AKU BENCI AYAHKU 25
(Tien Kumalasari)
Pak Ratman segera berdiri, tapi Kartika memegangi lengannya.
“Bapak mau ke mana?”
“Ini lho, ada telpon, biarkan aku terima dulu,” kata pak Ratman sambil melepaskan cekalan anak gadisnya.
“Dari siapa sih?”
“Ini urusan pekerjaan,” katanya sambil menjauh, menuju teras.
Di teras, pak Ratman membuka ponselnya.
“Ya, bu Rohana, ada apa?”
“Pak Ratman nggak mau mampir ke rumah? Saya sedang sendirian, tadi memasak opor ayam, ternyata kebanyakan. Maukah menemani saya makan?”
“Wah, sayang sekali bu, ini saya justru sedang makan bersama keluarga. Maaf sekali, barangkali besok, saya akan berusaha untuk mampir.”
“Ini lagi makan di mana Pak?”
“Di rumah. Istri saya yang masak. Nanti dia marah kalau saya tinggalkan.”
“Yaaah, mubazir dong, masakan saya ini. Apa sebaiknya saya kasih ke kucing tetangga saja?”
“Sungguh Bu, kalau malam ini, saya tidak bisa, ini lagi makan sama anak dan istri.”
“Tapi benar ya, besok pak Ratman mau ke rumah saya? Besok mau dimasakin apa? Apa sih kesukaan pak Ratman?”
“Terserah bu Rohana saja, saya sih apa-apa suka.”
“Baiklah, sedih deh malam ini, saya sudah susah-susah masak, tapi makan sendirian.”
“Ada kali lain yang lebih baik kan?”
“Ya sudah, selamat makan pak. Saya tunggu besok ya, kalau Bapak lupa, nanti saya ingatkan.”
Pak Ratman menutup ponselnya dengan perasaan campur aduk. Sedang merasa senang melihat penampilan istrinya, tiba-tiba bu Rohana yang sedikit genit itu mengganggunya.
Ia kembali ke ruang makan. Menatap istrinya lagi yang memandanginya sambil tersenyum. Bayangan Rohana lenyap perlahan-lahan.
“Bapak, kenapa menelpon sambil menjauh dari kita? Rahasia ya?” tanya Kartika.
“Sudah Pak, makan saja. Jangan didengarkan ocehan Kartika,” kata bu Ratman, yang kemudian membuat semuanya diam sambil melanjutkan makan.”
***
Pagi hari itu, keluarga pak Ratman makan pagi agak terlambat, sehingga ketika Tomy menjemputnya, mereka belum menyelesaikan sarapannya. Tapi mendengar suara mobil Tomy, pak Ratman menyuruh Kartika agar mengajak Tomy makan sekalian.
Tanpa disuruh dua kali, Tomy langsung berlari kecil ke arah depan. Dilihatnya Tomy baru turun dari mobil.
“Pagi, Kartika,” sapa Tomy begitu melihat Kartika muncul.
“Mas Tomy, dipanggil bapak tuh.”
Tomy menatap Kartika dengan heran. Bukankah nanti akan bisa berbicara setelah berada di dalam mobil menuju kantor?
“Itu, ditunggu bapak,” ulang Kartika ketika melihat Tomy bengong.
“Aku?”
“Iya, siapa lagi.”
Tomy mengikuti Kartika masuk ke rumah, dan Kartika mengajaknya langsung ke ruang makan, membuat Tomy terkejut.
“Tomy, sini, duduklah.”
Tomy menatap pak Ratman ragu-ragu.
“Bagaimana kamu ini, aku menyuruh kamu duduk. Duduklah di sini. Di depanku.”
Lalu Kartika meminta pembantu untuk membawakan satu piring lagi untuk Tomy.
“Nah, ayo kita sarapan bareng-bareng.”
“Tt… tapi …”
“Mas Tomy, bapak meminta agar mas Tomy makan pagi bersama kita. Awas ya, menolak rejeki itu tidak baik," celoteh Kartika.
“Ayo nak Tomy, jangan sungkan," sambung bu Ratman
Tomy, tentu saja sungkan. Tak biasanya pak bos besar mengajaknya makan pagi di rumahnya.
“Tapi saya ….”
“Jangan bilang kamu sudah makan. Setiap habis mengantar aku, kamu pasti nongkrong di kantin untuk sarapan. Ya kan? Hari ini aku memintamu makan pagi di sini, bersama keluargaku.”
Kartika yang tak sabar melihat keraguan Tomy, langsung menyendokkan nasi ke piring Tomy, dan mengambilkan sepotong ayam.
“Ayo, ambil sayurnya. Makan pagi harus makanan sehat, supaya bekerja dengan penuh semangat,” kata pak Ratman lagi.
Tomy terpaksa menurutinya dengan sikap kaku. Tak biasanya begini, dan Tomy merasa ini sangat aneh.
“Mulai sekarang, kamu harus selalu makan pagi di sini sebelum mengantar aku ke kantor,” kata pak Ratman yang merasa senang Tomy mulai menyendok makanannya.
“Setiap hari?” Tomy merasa heran.
“Setiap hari,” tandas pak Ratman.
“Nanti aku minta diantar mas Tomy lagi,” celetuk Kartika tiba-tiba.
“Apa maksudmu? Apa ban mobilmu kembali kempes?” tanya ayahnya.
“Bukan, lagi males saja.”
“Tomy menatap Kartika yang tersenyum-senyum lucu, dan Tomypun mengikutinya tersenyum. Gadis cerewet itu pasti akan mengisi pagi harinya dengan kicauan yang benar-benar menyenangkan. Apa? Menyenangkan? Tomy memarahi dirinya sendiri yang selamanya tak pernah merasakan perasaan seperti saat itu. Bahkan ketika sedang bersama Desy yang katanya sangat dicintainya. Cinta? Apakah Tomy memiliki cinta?
***
Siang itu, sebelum Satria pulang untuk makan, pak Ratman memanggilnya. Satria berdebar. Jangan-jangan pak Ratman akan mengatakan sesuatu tentang Tomy. Memecatnya? Atau apa?
Di depan pintu ruangan pak Ratman, Satria menata hatinya. Ia harus mempertahankannya kalau pak Ratman benar-benar akan memecat Tomy. Tapi mampukah dia? Pasti mandat dari orang tua Tomy lebih diperhatikan oleh pak Ratman, daripada sekedar menuruti anjuran Satria.
“Satria, apakah kamu di situ?” suara pak Ratman dari dalam ruangan mengejutkannya. Rupanya bayangan tubuhnya yang berdiri di depan pintu kelihatan dari dalam. Bukankah pintunya terbuat dari kaca walaupun buram?
Satria segera mengetuk pintu perlahan, langsung masuk, karena toh pak Ratman sudah melihatnya.
“Duduklah.”
Satria duduk. Bukan di depan meja kerja pak Ratman, tapi di sofa, dimana pak Ratman selalu menemui tamu-tamunya.
“Aku ingin bicara tentang Tomy.”
Dada Satria terasa bagai dipukul sebuah palu. Ia tak mengatakan apa-apa, hanya menunggu apa yang akan dikatakan pimpinannya.
“Kamu pasti tahu, sebenarnya Tomy itu anak siapa. Ya kan?”
Satria tak menjawab. Hanya menatap pak Ratman tak mengerti. Tapi ada perasaan, bahwa pak Ratman akan menegur atau memarahinya.
“Ayah Tomy itu sahabatku sejak masih muda. Kamu berpapasan dengan dia ketika mau keluar dari ruangan ini kan? Pastinya kamu kenal, tapi mengapa kamu tidak menyapanya?”
“Saya ingin menyapa, tapi saya melihat, kemudian Bapak langsung bicara begitu akrab, jadi saya tak ingin mengganggu.”
“Kamu tidak bertanya, mengapa dia menemui aku? Kamu tahu kan, kalau dia ayah Tomy?”
Satria hanya diam. Tentu saja dia tak mengerti maksud kedatangan ayah Tomy.
“Saya tidak berani. Tampaknya urusan yang sangat pribadi.”
“Dia baru saja mengetahui kalau anaknya bekerja di sini, sebagai sopir pula.”
“Apa beliau marah?”
Pak Ratman tersenyum, sambil menggeleng-gelengkan kapalanya.
“Yang membuat aku heran, kamu tidak mengatakan Tomy itu anak siapa.”
“Apakah perlu seorang pelamar mengatakan siapa orang tuanya? Saya juga tidak tahu kalau Bapak mengenal ayah Tomy.”
“Benar. Aku tidak menyalahkan kamu, karena ayah Tomy juga tidak menyalahkan.”
“Mengingat pak Drajat itu sahabat sejak muda, aku tak ingin Tomy menjadi sopirku," lanjutnya.
“Bapak akan memecatnya? Sesuai dengan permintaan ayah Tomy?”
“Tidak.”
Satria merasa lega.
“Aku ingin memposisikan dia dengan pekerjaan yang lain, sedang aku pikirkan. Itu janjiku kepada mas Drajat.”
“Benarkah?”
Wajah Satria berseri. Tentu dia senang kalau Tomy tidak lagi menjadi sopir, tapi diberinya posisi yang lebih baik.
“Tapi mas Drajat melarangnya.”
“Apa? Dan pak Drajat tetap ingin anaknya dipecat?”
“Tidak. Dia ingin Tomy tetap menjadi sopir.”
Satria membelalakkan matanya. Semua perkiraannya salah. Tapi dalam hati dia mencela ayah Tomy yang membiarkan anaknya bekerja sebagai sopir, sementara dirinya adalah konglomerat yang kaya raya.
“Mas Drajat seorang yang bijaksana. Dia mengatakan, bahwa dia ingin agar Tomy bisa menjalani hidup, dari tataran yang rendah. Dia berpesan agar aku mendidiknya menjadi pekerja yang baik dan bertanggung jawab.”
“Jadi dia akan tetap pada posisinya sebagai sopir?”
Pak Ratman mengangguk sambil tersenyum.
“Tapi aku berpesan pada kamu, hal ini jangan sampai terdengar oleh Tomy. Tapi percayalah bahwa aku akan memperlakukan Tomy dengan lebih baik.”
Satria baru mengerti. Ayah Tomy seorang yang disiplin. Barangkali kelakuan Tomy selama ini membuatnya kecewa, lalu ketika mendengar Tomy mau bekerja, walaupun hanya menjadi sopir, dia merasa bahwa ini semua adalah pembelajaran buat Tomy.
Satria mengangguk mengerti.
Ketika keluar dari ruangan pak Ratman, Satria merasa lega. Tomy tidak dipecat, hanya diharapkan bahwa jalan yang dilakoninya adalah sebuah pembelajaran untuk hidup bagi dirinya yang dulu adalah anak muda manja, dan kurang bertanggung jawab.
“Syukurlah, gumamnya sambil menuju ke ruangannya, berniat pulang karena sang istri pasti sedang menunggu.
***
Sang istri yang sedang menunggu berita, merasa lega ketika mendengar apa yang dikatakan sang suami tentang Tomy.
“Jadi ayah Tomy yang mendengar bahwa Tomy bekerja sebagai sopir, tidak marah atau tersinggung seperti sikap ibu Rohana ketika mendengar apa pekerjaan Tomy? Aku sudah khawatir kalau hal itu sampai terjadi. Ternyata ayah Tomy seorang yang bijaksana.”
“Dia keras, tegas, tapi dia bijaksana. Dia bukan tak punya kasih sayang ketika mengusir Tomy, tapi dia ingin agar Tomy belajar untuk hidup.”
“Sangat luar biasa ya Mas, aku senang mendengarnya.”
“Tapi pak Ratman mengatakan bahwa dia akan memperlakukan Tomy dengan lebih baik.”
“Syukurlah. Semoga Tomy benar-benar berubah.”
“Aamiin.”
“Mas tahu, apa yang aku pikirkan? Bagaimana kalau kita buat Tomy bisa bersatu lagi dengan Monik?”
“Pemikiran yang bagus. Tapi sepertinya tidak mudah.”
“Belum dicoba, belum tentu sulit.”
“Hanya saja, Monik yang terbiasa hidup mewah, maukah menjadi istri seorang sopir? Monik itu sekarang menjalani hidup sederhana karena dia tak punya banyak uang, yang pastinya juga diharapkan untuk bisa menyekolahkan anaknya. Tapi sebenarnya dia kan punya keluarga yang memiliki banyak harta? Mana mau dia hidup miskin?
“Iya juga sih.”
“Ya sudahlah, kita serahkan saja semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Semoga hal terbaiklah yang diberikanNya untuk mereka.”
“Ya sudah, ngobrol saja, mas Satria nanti terlambat kembali ke kantor.”
Satria tertawa. Setelah menghabiskan makan siangnya, dia segera bersiap untuk kembali ke kantor.
***
Siang itu pak Ratman mengajak Tomy makan di sebuah restoran. Hal yang tak biasa. Banyak yang ditanyakan pak Ratman tentang dirinya, tapi Tomy tak mau mengumbar aib dirinya sendiri. Banyak yang ditutupinya, kecuali dia hanya mengatakan tak mampu melanjutkan kuliah karena malas dan tidak begitu pintar. Hal yang pernah pula dikatakannya kepada Kartika.
“Kamu tinggal di mana Tom?”
“Saya kost di suatu tempat.”
“Kontrak rumah?”
“Tidak, hanya menyewa sebuah kamar. Cukup untuk saya.”
“Aku punya sebuah rumah kecil yang tidak terpakai. Dulu istriku akan memakainya untuk sebuah usaha menjahit, lalu menempatkan orang di rumah itu untuk mengerjakan usaha itu. Tapi tidak berhasil, karena istriku memang tidak berbakat untuk berdagang. Jadi rumah itu sekarang kosong. Maukah kamu menempatinya?”
“Apa? Menempati rumah? Pasti sewanya lebih mahal. Tidak. Saya menjalani hidup sederhana saja. Tidak usah rumah. Sebuah kamar itu cukup.”
“Siapa menyuruh kamu membayar? Kamu bisa tinggal di sana, gratis.”
“Gratis?” Tomy terbelalak.
“Rumah itu sudah ada perabotannya. Meja kursi, almari, tempat tidur, bahkan dapur juga ada. Lengkap, Tinggallah di sana, karena tidak jauh dari rumahku.”
“Tapi … mana mungkin saya_”
“Mungkin saja. Mengapa aku menyuruh kamu tinggal di sana? Bukan tanpa alasan lhoh. Pertama, supaya rumah itu tidak dibiarkan kosong tak berpenghuni, takutnya nanti dihuni hantu,” canda pak Ratman sambil tertawa.
“Kedua, kalau aku membutuhkan kamu sewaktu-waktu, misalnya aku ingin ke mana, ketika tidak sedang di kantor, jadi mudah memanggil kamu.”
“Oo, begitu.”
“Setelah makan, kita akan melewati rumah itu, masuk sebentar dan melihat-lihat. Ada televisi tidak terpakai juga di rumah itu. Karena memang dulunya ada yang tinggal. Beberapa penjahit pembantu istriku. Hanya saja … yaah .. karena dia tidak bisa mengelola, jadinya ambyar.”
***
Ketika sepulang kantor dan Satria mengantarkannya, Tomy mengatakan semuanya. Bahwa pak Ratman bersikap sangat baik, bahkan menyuruhnya tinggal di rumahnya pula.
“Tadi aku diajak melihat rumah itu, kecil, perabotnya lengkap, tapi agak kotor karena sudah lama tidak ada yang tinggal.”
“Bagus dong Tom, senang aku mendengarnya. Kamu mau?”
“Alasannya adalah supaya rumah itu tidak kosong terlalu lama, lalu kalau pak Ratman memanggil aku sewaktu-waktu, aku bisa datang lebih cepat.”
“Jadi kamu mau?”
“Terpaksa aku mau. Bukan karena mendapat tempat tinggal gratis, tapi ….”
Ketika itu sebuah ojol melintas, membawa Monik dan anaknya. Rupanya itu juga salah satu alasan untuk dia berpindah dari rumah kostnya.
“Bukankah itu Monik?” pekik Satria
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteABeAy episode 25..sudah tayang
Matur nuwun Mbak Tien
Salam sehat
Salam ADUHAI..dari Bandung
🙏🥰🤗🩷🌹🌸
Sami2 jeng Ning
DeleteADUHAI dari Solo
Hatur nuhun ..Bu Tien Abe Ay 25 dah tangan
DeleteSemoga Bu Tien sehat selalu & bahagia bersama keluarga 🌹🌹🌹
Yes
ReplyDeleteYessss jeng Susi
DeleteSuwun bu
ReplyDeleteSami2 pak Wirasaba
DeleteApa kabar?
🥝🍉🥝🍉🥝🍉🥝🍉
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🌹
AaBeAy_25 sdh tayang.
Matur nuwun sanget,
tetep smangats nggih Bu.
Semoga slalu sehat dan
bahagia. Aamiin.
Salam Aduhai 😍🦋
🥝🍉🥝🍉🥝🍉🥝🍉
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Deletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
semoga selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerima kasih, Bu Tien cantiik... salam sehat dan semoga terus semangat dan ceria, ya Bu💕
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasih jeng Mita
Lama nggak komen
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~25 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Maturnuwun Bu Tien .... semoga selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 25* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terima kasih ABA 25
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu.
Aduhai....
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Monik apa pindah kontrakan ya, jangan jangan dekat rumah pak Ratman. He he...dasar jodoh.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTeeima kasih bu tien abeay 25 sdh hadir
Semoga bu tien sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah "Aku Benci Ayahku- 25" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Salam Aduhai 🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Alhamdulilah ak be ay 25 sdj tayang .. wah semoga tomy konsisten berubah jadi bertanggung jawab ...maturnuwun bu Tien, semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT ..aamiin yra .... salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️❤️
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam ADUHAI 2X
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam hangat dan salam sehat selalu
Sami2.ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Hamdallah. cerbung Aku Benci Ayahku -25 telah hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien,
Sehat dan bahagia selalu bersama amancu di Sala. Aamiin.
Tomy heran pada pak Ratman, jabatan Sopir, tapi di perlakukan istimewa, bisa jadi gajinya bukan gaji sopir nih...he..he..
Klu penyakit Tokmis nya pak Ratman lagi kambuh, Tomy di suruh ngantar ke rumah Rohana...ini dia yang di nanti, jadi ambyar..ambyaar..😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Terimakasih bunda Tien sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
Matur nuwun Bu Tien, sehat selalu Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Ceritanya memang luasr biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteHangat
ReplyDelete