KUPETIK SETANGKAI BINTANG 46
(Tien Kumalasari)
Laki- laki yang turun dari mobil itu melangkah perlahan, mendekat di mana Sutar menunggu di bawah teras. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, disambut dengan hangat oleh Sutar.
“Perkenalkan, saya Murtono. Saya dengan Bapak Sutarno?”
“Ya, benar.”
“Boleh saya minta waktunya sebentar?”
“Tentu, silakan masuk,” kata Sutar sambil membawa tamunya masuk ke dalam.”
Keduanya duduk berhadapan, di rumah Sutar yang sangat sederhana.
“Akan saya suguhkan minum dulu, maaf, soalnya anak saya sedang keluar, jadi_”
“Tidak usah Pak, begini saja. Tidak usah repot-repot.”
Sutar menghentikan niatnya membuatkan minuman.
“Baru sekali ini kita bertemu, bukan? Pak Sutar pasti terkejut melihat saya yang tiba-tiba datang.”
“Benar. Saya sangat terkejut. Apa ada sesuatu yang ingin Pak Murtono sampaikan?”
Sebenarnya Sutar mengira, Murtono akan memberitahukan bahwa ia telah menikahi Birah. Sutar sudah pernah melihat Murtono bergandengan dengan istrinya beberapa waktu yang lalu, jadi begitu datang, dia sudah mengenalinya. Benarkah akan memberitahukan tentang pernikahannya? Sutar merasa bahwa itu tidak perlu, bukankah Birah bukan lagi istrinya?
“Kedatangan saya kemari adalah untuk meminta maaf. Saya merasa berdosa besar terhadap keluarga ini.”
Tuh kan, Sutar sudah mengira bahwa tebakannya benar. Tapi tidak bereaksi dan tidak berkomentar, kecuali hanya menatap tamunya tak berkedip.
“Saya merasa telah menjadi penyebab pak Sutar bercerai dengan Birah,” katanya pelan, sambil menundukkan wajahnya.
“Oh, masalah itu, mengapa pak Murtono harus meminta maaf? Saya sama sekali tidak mempermasalahkannya. Saya justru mengucapkan selamat atas pernikahan pak Murtono dengan Birah. Semoga pernikahannya akan langgeng dan_”
“Tidak, saya tidak menikah dengan Birah.”
Sutar menatapnya heran.
“Maaf, dulu Birah memang menjadi cinta pertama saya. Ketika bertemu lagi, Birah mengeluh kehidupannya yang serba kekurangan. Saya bersalah karena memintanya bercerai dengan pak Sutar. Dia begitu gembira saat itu, dan benar-benar kemudian bercerai dengan Bapak. Semula saya menyanggupinya mengambil dia sebagai istri. Tapi kemudian saya menyesalinya. Sungguh saya harus meminta maaf karena merasa berdosa. “
“Pasti Birah sangat sedih,” kata Sutar yang tak tahu harus berkomentar bagaimana.
“Tapi saya tidak membiarkan Birah kehilangan penghasilan, yang semula saya berikan cuma-cuma. Saya ingin Birah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi hidupnya. Saya membuka sebuah toko sembako, saya minta Birah bekerja di sana. Dengan demikian dia mendapat penghasilan dan bisa mencukupi kebutuhannya. Tapi saya tidak lagi berhubungan dengan dia.”
Sutar masih terdiam. Tak tahu siapa yang harus disalahkan. Murtono yang merayu istri orang, istri yang tergiur kekayaan orang lalu meninggalkan suami dan anaknya. Pasti dua-duanya salah. Tapi barangkali kehidupan membawanya melalui perjalanan itu, sehingga kemudian Birah menemukan kehidupan baru dengan bekerja di toko sembako atas ‘budi baik’ Murtono, atau mungkin sebagai permintaan maaf Murtono karena telah menyeret Birah sehingga harus bercerai dengan suaminya.
“Pasti pak Sutar sangat membenci saya,” gumam Murtono dengan wajah sendu.
Tapi Sutar tersenyum cerah.
“Tidak. Saya tidak membenci siapapun. Bukankah kehidupan adalah sebuah perjalanan? Kehidupan ini yang harus saya lalui, demikian juga kehidupan pak Murtono yang melalui banyak liku-liku dan sandungan.”
“Maafkanlah saya.”
“Saya sudah memaafkan sejak lama. Saya tidak membenci, saya juga tidak mendendam. Sungguh, lebih baik kita tetap bersaudara, dengan hati yang tulus dalam persaudaraan. Itu membuat kita merasa nyaman, bukan?”
Murtono menatap Sutar dan diam-diam ia mengaguminya. Bodohnya Birah yang telah meninggalkan suami sebaik Sutar. Tapi Birah memang lebih menyukai hidup yang berkecukupan, sehingga Sutar yang waktu itu dia juga menyebutnya miskin, ditinggalkannya. Lalu Murtono kembali dibebani oleh perasaan bersalah. Ternyata kemiskinan tidak membuat Sutar kelihatan sengsara. Miskin? Ia melihat suasana rumah sederhana milik Sutar ini kelihatan rapi dan bersih. Sutar juga berpakaian pantas dan tidak lusuh, seperti pakaian seorang buruh bangunan, seperti Birah pernah mengatakannya. Ketika datang, Murtono juga melihat sepeda motor keluaran terbaru terparkir di halaman.
“Maaf pak Sutar, apakah Bapak masih bekerja sebagai … mmm.. maksud saya bekerja di proyek bangunan? Birah pernah mengatakannya. Maaf kalau saya salah.”
“Ya, saya masih bekerja di sana. Seorang teman baik membantu saya.”
Murtono tiba-tiba ingin membantu Sutar agar mendapat pekerjaan yang lebih baik.
“Apakah … mmm … barangkali Bapak mau, bekerja bersama saya? Saya hanya pedagang beras sih, tapi dalam skala besar. Barangkali pak Sutar mau, kita bisa bekerja sama. Mungkin_”
“Maaf pak Murtono, saya berterima kasih atas perhatiannya, tapi saya bekerja di sana atas budi baik seorang teman. Saya merasa tidak enak kalau harus berpindah pekerjaan. Lagipula saya sudah merasa nyaman, dan bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya.”
“Ah, syukurlah kalau begitu. Saya tidak bermaksud merendahkan, hanya menawarkan, barangkali tawaran saya lebih baik. Ternyata Bapak sudah menemukan pekerjaan yang baik," kata Murtono yang meyakini bahwa kehidupan Sutar memang sudah membaik. Pakaian bersih rapi, sepeda motor di halaman, telah mengatakan semuanya. Murtono menyesal telah menawarinya pekerjaan.
“Saya tidak terlalu ingin menjangkau yang sangat tinggi dan tidak bisa tercapai oleh tangan saya. Bagi saya ini sudah cukup. Dengan rasa ikhlas dan syukur ini, saya merasa nyaman, dan tentu saja bahagia.”
“Senang saya mendengarnya Pak. Apa yang Bapak uraikan panjang lebar dari awal kita bicara, akan menjadikan saya pelajaran yang baik untuk kehidupan saya di masa mendatang.”
“Alhamdulillah.”
Pertemuan tak disangka itu kemudian menimbulkan kesan baik di hati masing-masing. Dalam hati Sutar juga bersyukur, Birah bisa menjalani kehidupan dengan bekerja, dan menimba nafkah dengan tetesan keringat sendiri, bukan berharap menjadi nyonya kaya yang dihormati.
***
Wini mengajak Minar berjalan-jalan, lalu makan rujak ditepi jalan, lalu duduk-duduk di taman karena kelelahan.
“Senang sekali kamu libur ketika aku juga bisa liburan. Jadi kita bisa bersama-sama jalan.”
“Aku tidak mau mengganggu, karena kamu kan sedang mengerjakan skripsi?”
“Masa tidak boleh istirahat sebentar saja. Aku kangen dong sama kamu.”
“Kayak orang lagi pacaran saja,” kata Minar terkekeh.
“Memang iya. Oh ya, apa kabarnya Monik ya?”
“Kenapa bertanya padaku? Mana aku tahu?”
“Barangkali mas Satria pernah bercerita tentang saudaranya itu.”
“Nggak pernah tuh. Tapi kabarnya lalu dibawa ayahnya, begitu selesai nikah.”
“Bagaimanapun aku bersyukur, bukan mas Satria yang menikahinya. Soalnya mas Satria itu cintanya sama kamu.”
“Kalau ingat itu aku jadi sedih. Eh, nggak ah, mungkin kami tidak berjodoh. Biarlah kami bersahabat saja.”
“Kamu selalu begitu. Optimis dong.”
“Nggak bisa. Kecuali itu aku akan menekuni kuliah aku dulu. Nggak mikir masalah cinta. Pusing.”
“Eeh, kuliah sambil pacaran juga boleh kan, buktinya aku ini.”
“Oh ya, setelah lulus kamu nikah dong.”
“Doakan semuanya lancar. Habis itu kamu. Ya kan.”
“Yaa. Kita saling mendoakan. Tapi kalau sekarang aku lagi belum bisa mikir masalah itu.”
“Mas Satria sering pulang demi kamu, kan?”
“Ya, sekedar omong-omong, lalu keluar makan, itu saja. Aku masih belum bisa mengatakan apa-apa tentang hubungan itu.”
“Aku doakan semoga kalian bisa jadian, dan bahagia bersama.”
“Aamiin. Doa baik harus diaminkan.”
"Ini sudah sore lhoh, ayo kita pulang, ayahmu pasti menunggu. Tapi mampir sebentar ya, aku mau beli beras, tadi ibuku nitip.”
“Ayuuk.”
Tanpa diduga pula, Wini mampirnya ke warung di mana Birah sedang ada di depan kiosnya. Tentu Minar terkejut melihat ibunya ada di sana.
“Ibu?”
“Minar.”
“Ibu berjualan di sini?”
Kemudian Birah menceritakan semuanya. Tentang kegagalannya menikah, dan kemudian dia diberi pekerjaan untuk berjualan di kios sembako itu.
“Pasti ibu sangat kecewa, karena dia menipu ibu kan?”
“Tidak. Sekilas iya, ibu kecewa karena merasa dibohongi. Tapi ternyata sekarang ibu merasa, bahwa dia justru mendidik ibu untuk melakukan sesuatu yang baik demi meraih kehidupan yang baik pula. Ibu tidak harus menadahkan tangan ketika ingin membeli sesuatu, Ibu mengecap keringat yang menetes dari tubuh ibu ini, dan terasa lebih nikmat. Ibu melakukan kesalahan dimasa lalu. Salah terhadapmu, terhadap ayahmu, sekarang ibu ingin menebusnya dengan berbuat baik.”
“Ibu, Minar senang mendengarnya,” kata Minar sambil memeluk ibunya.
“Mengapa ibu tidak mengabari bahwa ibu ada di sini?”
“Sesungguhnya ibu merasa malu, karena sudah terlanjur mengabarkan pada kamu bahwa akan dinikahi olehnya.”
“Ini jalan terbaik untuk Ibu. Mengapa merasa malu? Oh ya, ini Wini, teman Minar. Dia mau membeli beras. Kok aku malah mengajak ibu mengobrol.”
“Tidak apa-apa Minar, aku tidak sedang tergesa-gesa,” kata Wini yang merasa terharu melihat pertemuan ibu dan anak dalam suasana baik itu.
“Baiklah Nak, ingin beli beras yang mana?”
“Ayo yang mana, biar aku bantu ibu menimbangkannya,” kata Minar riang. Entah mengapa Minar merasa beban yang memberati tubuhnya terasa berkurang. Keikhlasan ibunya untuk mengarungi hidup terasa menyejukkan.
“Yang ini saja, lima kilo. Kalau lebih, jadi keberatan membawanya,” kata Wini.
Minar dengan cekatan mengamblil plastik pembungkus, dan mencoba membantu menimbang. Agak kaku, karena belum pernah melakukannya, tapi Birah kemudian membantunya.
“Sering-seringlah menengok ibu di sini,” kata Birah ketika keduanya berpamit.
“Tentu Bu, tapi Minar sekarang sudah mulai kuliah.”
“Kamu? Kuliah?” mata Birah berbinar. Kembali ia merangkul anaknya.
“Semoga kamu berhasil, dan bisa menyelesaikannya dengan lancar,” lanjutnya.
Birah mengusap air matanya yang menetes, ketika melepas keduanya pergi. Ia merasa, awal kehidupan yang lebih baik sedang menghampiri kehidupannya.
***
Ketika pulang pada minggu berikutnya, Murtono menghentikan Satria ketika hendak menemui Minar.
“Bapak akan bicara, jadi jangan pergi dulu.”
Satria duduk dihadapan ayahnya, yang menatapnya dengan pandangan serius.
“Apa benar kamu mencintai gadis itu?”
“Maksud Bapak, Minar?”
“Ya, apa ada gadis lain?”
“Apa yang ingin Bapak bicarakan? Satria harap Bapak tidak melarangnya, karena Satria akan tetap pada pendirian Satria.”
“Mencintai sampai maut memisahkan?” kata Murtono setengah bercanda.
“Ya, tentu saja.”
“Kapan siap melamarnya?”
Satria terkejut, menatap ayahnya tak percaya.
“Bapak serius?”
“Tentu saja, kamu kira bapakmu ini anak kecil, sehingga masalah besar dijadikan candaan?”
“Satria siap setiap saat. Hanya saja Minar belum pernah menjawab apa yang selalu Satria katakan. Barangkali ada yang membuatnya ragu. Dia merasa rendah diri, dan mengingat hubungan Bapak dengan ibunya.”
“Bapak kan sudah tidak lagi berhubungan dengan ibunya. Bapak juga sudah menemui ayah Minar beberapa hari yang lalu.”
“Bapak menemui pak Sutarno?”
Murtono mengangguk.
“Tanggapan pak Sutarno sangat baik, ketika bapak meminta maaf. Saya kira ada peluang untuk menerima kamu sebagai menantu.”
“Benarkah? Kalau Satria ke sana, sikapnya juga selalu baik. Tapi Satria kan dianggap hanya sebagai teman.”
“Ayo kita coba bicara.”
“Sekarang?”
“Kapan lagi? Keburu kamu sudah ubanan baru punya istri?”
Satria menatap ayahnya tak percaya, seperti mimpi mendengar bahwa sang ayah mendukungnya, bahkan sudah mengadakan pendekatan dengan calon besannya. Wajahnya berseri-seri.
“Satria akan mengatakannya pada Minar.”
“Jangan dulu, kita buat kejutan untuk Minar. Apa yang mau dikatakannya ketika bapak sudah bicara dengan bapaknya nanti.”
Satria tersenyum senang.
“Beritahu ibumu saja."
“Ibu? Ibu tidak suka pada Minar. Ibu tak akan setuju. Satria pikir kita tidak usah memberi tahu ibu.”
“Jangan Satria, bagaimanapun dia ibumu, yang telah melahirkan kamu.”
“Tapi ibu tidak akan menerimanya.”
“Bagaimanapun kamu harus memberi tahu. Kalau ibumu mau ikut bersama kita, syukurlah, kalau tidak, setidaknya kamu sudah memberi tahunya. Jangan sampai kamu dianggap durhaka karena melompati orang tua.”
***
Tapi seperti yang sudah diduga, Rohana justru marah-marah ketika Satria memintanya agar menemani sang ayah untuk menemui ayah Minar.
“Apa? Dari dulu aku sudah mengatakan bahwa aku tidak sudi punya menantu Minar. Terserah kalau ayahmu mau, aku nggak ikutan!”
“Minar anak yang baik, dia tidak akan mengecewakan ibu.”
“Itu karena kamu sudah tergila-gila sama dia. Gadis kampungan. Aku yakin, pasti kamu telah diguna-guna.”
***
Tak ada gunanya terus merayu, bagaimanapun Rohana tak suka. Jadi hari itu Murtono bersama Satria datang menemui Sutar, bermaksud melamar Minar. Sutar yang tak mengira akan datang lamaran secepat itu, bingung menjawabnya.
“Begini Pak, dan nak Satria, saat ini Minar kan masih kuliah. Bahkan belum lama dia bisa melanjutkan ke jenjang perkuliahan karena keadaan. Jadi mana mungkin saya bisa menerima lamaran ini?”
“Pak Sutar, kami bukan ingin menikahkan mereka hari ini juga, kami baru meminta ijin dari pak Sutar, agar diperkenankan nanti Satria bisa mempersunting Minarni.”
“Minaaar,” Sutar memanggil Minar, yang setelah menyajikan minum kemudian masuk ke dalam, tapi menguping di balik pintu. Mendengar sang ayah memanggil, Minar bergegas keluar.
"Sini, duduklah di sini."
“Pak Murtono dan nak Satria ini, datang kemari untuk melamar kamu. Bagaimana pendapatmu?”
Minar menundukkan wajahnya yang bersemu merah. Tak mengira Satria akan membawa ayahnya datang secepat itu.
“Bukankah saya masih kuliah? Kecuali itu keadaan kami yang seperti ini, mana pantas untuk mas Satria?”
Itu selalu jawaban Minar ketika sedang bersama Satria, dan itu juga jawabnya ketika Satria datang bersama ayahnya.
“Minar, kami tidak akan mempermasalahkan perbedaan status diantara kita. Apapun keadaan kamu, Satria tetap akan mencintai kamu. Masalah kamu masih kuliah, tidak menjadi soal. Kamu boleh meneruskan kuliah biarpun sudah menikah, bukankah begitu, Satria?” kata pak Murtono lembut.
Satria duduk agak mendekat ke arah Minar.
“Kalau kamu masih menganggap aku bagaikan bintang tinggi dilangit, sekarang bintang itu sudah ada didekatmu, bukankah aku sudah memetiknya?”
Minar tersenyum malu. Betapa gigih Satria mendekatinya, menunjukkan betapa tulus cintanya. Apalagi dia diijinkan meneruskan kuliah walau telah menikah nanti.
Adakah bahagia seperti ketika sebuah cinta bermuara di dermaganya?
***
T A M A T.
APAKAH MEREKA BERHASIL MERAJUT CINTA MENJADI SEBUAH PERNIKAHAN? BAGAIMANA TOMY YANG SEBENARNYA TIDAK MENYUKAI ISTRINYA?
CERITA TERPENGGAL SEBENTAR. YUK BERTEMU LAGI DALAM “AKU BENCI AYAHKU”
________________________
💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
KaeSBe_46 sdh tayang.
Matur nuwun sanget,
semoga Bu Tien &
kelg, selalu sehat &
bahagia. Aamiin.
Salam seroja...😍🤩
💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️
Waaah TAMAT ternyata...👍😍
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 46 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteYes
ReplyDeleteYessss
DeleteAlhamdulilah KSB 45 sudah tayang, maturnuwun bu Tien ..
ReplyDeletesemoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️❤️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai deh
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Deletealhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibi Susi
DeleteAlhamdulillah, KaeSBe-46 sudah tayang ⭐
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.
Sehat wal’afiat, bahagia selalu 🤲🏽🌹❤️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Alhamdulilah KSB 46 sudah tayang, maturnuwun bu Tien ..
ReplyDeletesemoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️❤️
Wah ternyata tamat ... ditunggu selanjutnya " aku benci ayahku "
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
Terima kasih, bu Tien cantiik.... semoga segalanya dilancarkan dan sehat selalu, yaa💕
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Mita
Alhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu bwt bunda
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~46 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteWalaaaaah sampun tomat ..🍅...
ReplyDeleteMaturnuwun sanget bu Tien
Tomat itu sehat kan ibu Ratna
DeleteSami2
Alhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Mudah2an kelanjutann ya tambah serem
ReplyDeleteNuwun pak Widay2
DeleteAlhamdulillah .... maturnuwun bu Tien .... semoga selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Syukron nggih Mbak Tien ..
ReplyDelete.Happy End Alhamdulillah..
🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulilah KaeSBe ~ 46 sudah tayang, matursuwun Bu Tien ..
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sekeluarga sehat selalu dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat 🙏✋
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Umi
Matur Nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Kharisma
DeleteTerima kasih sudah TAMAT
ReplyDeleteSami2 ibu Kharisma
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 46* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Sang Maestro cerita roman yg bukan picisan....saya fans berat bu Tien. Sehat2 ya bu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun dagoesta the organizer
Woow keren ada yang ngefans saya. Hehee... salam hangat dari saya
Nah kan benar feeling saya kemarin, langsung ditamatkan deh kisahnya...nyambung di judul lain.😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat selalu.🙏
Sami2 ibu Nana
DeleteSehat selalu juga
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 46 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Waduh wis Tamat
Matur nuwun suguhan Cerbung nya nggeh Bunda Tien.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTamat... tetapi Minar masih menggantung. Mungkin akan disambung dengan peran Tomi yang tidak senang dengan Monik.
ReplyDeleteMenunggu dengan sabar saja.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien K
Semoga bunda selalu sehat bahagia & selalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Anrikodk
Apa kabar
Alhamdulillaah matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰🌿💖
ReplyDeleteWah senangnya ,, tapi masih gantung cerita nya...😀
Nah ini tanda tanya besar ,kata2 siapa itu...
*Aku benci Ayahku*
Wah Bu Tien buat jadi penasaran, 😀
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Matur nuwun Bu Tien....tetap sehat njih Ibu. Menanti "Aku Benci Ayahku".
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteDari pada pemirsa eh pembaca terbanting-banting terus, akhirnya Mbak Tien menamatkan serial ini dengan 'paksa'...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteTerimakasih bunda Tien ... Kupetik setangkai Bintang sesi 1 tamat berlanjut sesi 2 dg judul beda Aku Benci Ayahku
ReplyDeleteAduhai
Sami2 ibu Nanik
DeleteAduhai
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu dan tetap aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteTerima ksih bundaqu ..slmt pgii dan slm sehat sll DRI sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga dari Solo
Menghangat
ReplyDeleteSudah dingin pak Joyo
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Arif
Lanjuuuttt
ReplyDelete