Wednesday, July 10, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 46

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  46

(Tien Kumalasari)

 

Laki- laki yang turun dari mobil itu melangkah perlahan, mendekat di mana Sutar menunggu di bawah teras. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, disambut dengan hangat oleh Sutar.

“Perkenalkan, saya Murtono. Saya dengan Bapak Sutarno?”

“Ya, benar.”

“Boleh saya minta waktunya sebentar?”

“Tentu, silakan masuk,” kata Sutar sambil membawa tamunya masuk ke dalam.”

Keduanya duduk berhadapan, di rumah Sutar yang sangat sederhana.

“Akan saya suguhkan minum dulu, maaf, soalnya anak saya sedang keluar, jadi_”

“Tidak usah Pak, begini saja. Tidak usah repot-repot.”

Sutar menghentikan niatnya membuatkan minuman.

“Baru sekali ini kita bertemu, bukan? Pak Sutar pasti terkejut melihat saya yang tiba-tiba datang.”

“Benar. Saya sangat terkejut. Apa ada sesuatu yang ingin Pak Murtono sampaikan?”

Sebenarnya Sutar mengira, Murtono akan memberitahukan bahwa ia telah menikahi Birah. Sutar sudah pernah melihat Murtono bergandengan dengan istrinya beberapa waktu yang lalu, jadi begitu datang, dia sudah mengenalinya. Benarkah akan memberitahukan tentang pernikahannya? Sutar merasa bahwa itu tidak perlu, bukankah Birah bukan lagi istrinya?

“Kedatangan saya kemari adalah untuk meminta maaf. Saya merasa berdosa besar terhadap keluarga ini.”

Tuh kan, Sutar sudah mengira bahwa tebakannya benar. Tapi tidak bereaksi dan tidak berkomentar, kecuali hanya menatap tamunya tak berkedip.

“Saya merasa telah menjadi penyebab pak Sutar bercerai dengan Birah,” katanya pelan, sambil menundukkan wajahnya.

“Oh, masalah itu, mengapa pak Murtono harus meminta maaf? Saya sama sekali tidak mempermasalahkannya. Saya justru mengucapkan selamat atas pernikahan pak Murtono dengan Birah. Semoga pernikahannya akan langgeng dan_”

“Tidak, saya tidak menikah dengan Birah.”

Sutar menatapnya heran.

“Maaf, dulu Birah memang menjadi cinta pertama saya. Ketika bertemu lagi, Birah mengeluh kehidupannya yang serba kekurangan. Saya bersalah karena memintanya bercerai dengan pak Sutar. Dia begitu gembira saat itu, dan benar-benar kemudian bercerai dengan Bapak. Semula saya menyanggupinya mengambil dia  sebagai istri. Tapi kemudian saya menyesalinya. Sungguh saya harus meminta maaf karena merasa berdosa. “

“Pasti Birah sangat sedih,” kata Sutar yang tak tahu harus berkomentar bagaimana.

“Tapi saya tidak membiarkan Birah kehilangan penghasilan, yang semula saya berikan cuma-cuma. Saya ingin Birah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi hidupnya. Saya membuka sebuah toko sembako, saya minta Birah bekerja di sana. Dengan demikian dia mendapat penghasilan dan bisa mencukupi kebutuhannya. Tapi saya tidak lagi berhubungan dengan dia.”

Sutar masih terdiam. Tak tahu siapa yang harus disalahkan. Murtono yang merayu istri orang, istri yang tergiur kekayaan orang lalu meninggalkan suami dan anaknya. Pasti dua-duanya salah. Tapi barangkali kehidupan membawanya melalui perjalanan itu, sehingga kemudian Birah menemukan kehidupan baru dengan bekerja di toko sembako atas ‘budi baik’ Murtono, atau mungkin sebagai permintaan maaf Murtono karena telah menyeret Birah sehingga harus bercerai dengan suaminya.

“Pasti pak Sutar sangat membenci saya,” gumam Murtono dengan wajah sendu.

Tapi Sutar tersenyum cerah.

“Tidak. Saya tidak membenci siapapun. Bukankah kehidupan adalah sebuah perjalanan? Kehidupan ini yang harus saya lalui, demikian juga kehidupan pak Murtono yang melalui banyak liku-liku dan sandungan.”

“Maafkanlah saya.”

“Saya sudah memaafkan sejak lama. Saya tidak membenci, saya juga tidak mendendam. Sungguh, lebih baik kita tetap bersaudara, dengan hati yang tulus dalam persaudaraan. Itu membuat kita merasa nyaman, bukan?”

Murtono menatap Sutar dan diam-diam ia mengaguminya. Bodohnya Birah yang telah meninggalkan suami sebaik Sutar. Tapi Birah memang lebih menyukai hidup yang berkecukupan, sehingga Sutar yang waktu itu dia juga menyebutnya miskin, ditinggalkannya. Lalu Murtono kembali dibebani oleh perasaan bersalah. Ternyata kemiskinan tidak membuat Sutar kelihatan sengsara. Miskin? Ia melihat suasana rumah sederhana milik Sutar ini kelihatan rapi dan bersih. Sutar juga berpakaian pantas dan tidak lusuh, seperti pakaian seorang buruh bangunan, seperti Birah pernah mengatakannya. Ketika datang, Murtono juga melihat sepeda motor keluaran terbaru terparkir di halaman.

“Maaf pak Sutar, apakah Bapak masih bekerja sebagai … mmm.. maksud saya bekerja di proyek bangunan? Birah pernah mengatakannya. Maaf kalau saya salah.”

“Ya, saya masih bekerja di sana. Seorang teman baik membantu saya.”

Murtono tiba-tiba ingin membantu Sutar agar mendapat pekerjaan yang lebih baik.

“Apakah … mmm … barangkali Bapak mau, bekerja bersama saya? Saya hanya pedagang beras sih, tapi dalam skala besar. Barangkali pak Sutar mau, kita bisa bekerja sama. Mungkin_”

“Maaf pak Murtono, saya berterima kasih atas perhatiannya, tapi saya bekerja di sana atas budi baik seorang teman. Saya merasa tidak enak kalau harus berpindah pekerjaan. Lagipula saya sudah merasa nyaman, dan bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya.”

“Ah, syukurlah kalau begitu. Saya tidak bermaksud merendahkan, hanya menawarkan, barangkali tawaran saya lebih baik. Ternyata Bapak sudah menemukan pekerjaan yang baik," kata Murtono yang meyakini bahwa kehidupan Sutar memang sudah membaik. Pakaian bersih rapi, sepeda motor di halaman, telah mengatakan semuanya. Murtono menyesal telah menawarinya pekerjaan.

“Saya tidak terlalu ingin menjangkau yang sangat tinggi dan tidak bisa tercapai oleh tangan saya. Bagi saya ini sudah cukup. Dengan rasa ikhlas dan syukur ini, saya merasa nyaman, dan tentu saja bahagia.”

“Senang saya mendengarnya Pak. Apa yang Bapak uraikan panjang lebar dari awal kita bicara, akan menjadikan saya pelajaran yang baik untuk kehidupan saya di masa mendatang.”

“Alhamdulillah.”

Pertemuan tak disangka itu kemudian menimbulkan kesan baik di hati masing-masing. Dalam hati Sutar juga bersyukur, Birah bisa menjalani kehidupan dengan bekerja, dan menimba nafkah dengan tetesan keringat sendiri, bukan berharap menjadi nyonya kaya yang dihormati.

***

Wini mengajak Minar berjalan-jalan, lalu makan rujak ditepi jalan, lalu duduk-duduk di taman karena kelelahan.

“Senang sekali kamu libur ketika aku juga bisa liburan. Jadi kita bisa bersama-sama jalan.”

“Aku tidak mau mengganggu, karena kamu kan sedang mengerjakan skripsi?”

“Masa tidak boleh istirahat sebentar saja. Aku kangen dong sama kamu.”

“Kayak orang lagi pacaran saja,” kata Minar terkekeh.

“Memang iya. Oh ya, apa kabarnya Monik ya?”

“Kenapa bertanya padaku? Mana aku tahu?”

“Barangkali mas Satria pernah bercerita tentang saudaranya itu.”

“Nggak pernah tuh. Tapi kabarnya lalu dibawa ayahnya, begitu selesai nikah.”

“Bagaimanapun aku bersyukur, bukan mas Satria yang menikahinya. Soalnya mas Satria itu cintanya sama kamu.”

“Kalau ingat itu aku jadi sedih. Eh, nggak ah, mungkin kami tidak berjodoh. Biarlah kami bersahabat saja.”

“Kamu selalu begitu. Optimis dong.”

“Nggak bisa. Kecuali itu aku akan menekuni kuliah aku dulu. Nggak mikir masalah cinta. Pusing.”

“Eeh, kuliah sambil pacaran juga boleh kan, buktinya aku ini.”

“Oh ya, setelah lulus kamu nikah dong.”

“Doakan semuanya lancar. Habis itu kamu. Ya kan.”

“Yaa. Kita saling mendoakan. Tapi kalau sekarang aku lagi belum bisa mikir masalah itu.”

“Mas Satria sering pulang demi kamu, kan?”

“Ya, sekedar omong-omong, lalu keluar makan, itu saja. Aku masih belum bisa mengatakan apa-apa tentang hubungan itu.”

“Aku doakan semoga kalian bisa jadian, dan bahagia bersama.”

“Aamiin. Doa baik harus diaminkan.”

"Ini sudah sore lhoh, ayo kita pulang, ayahmu pasti menunggu. Tapi mampir sebentar ya, aku mau beli beras, tadi ibuku nitip.”

“Ayuuk.”

Tanpa diduga pula, Wini mampirnya ke warung di mana Birah sedang ada di depan  kiosnya. Tentu Minar terkejut melihat ibunya ada di sana.

“Ibu?”

“Minar.”

“Ibu berjualan di sini?”

Kemudian Birah menceritakan semuanya. Tentang kegagalannya menikah, dan kemudian dia diberi pekerjaan untuk berjualan di kios sembako itu.

“Pasti ibu sangat kecewa, karena dia menipu ibu kan?”

“Tidak. Sekilas iya, ibu kecewa karena merasa dibohongi. Tapi ternyata sekarang ibu merasa, bahwa dia justru mendidik ibu untuk melakukan sesuatu yang baik demi meraih kehidupan yang baik pula. Ibu tidak harus menadahkan tangan ketika ingin membeli sesuatu, Ibu mengecap keringat yang menetes dari tubuh ibu ini, dan terasa lebih nikmat. Ibu melakukan kesalahan dimasa lalu. Salah terhadapmu, terhadap ayahmu, sekarang ibu ingin menebusnya dengan berbuat baik.”

“Ibu, Minar senang mendengarnya,” kata Minar sambil memeluk ibunya.

“Mengapa ibu tidak mengabari bahwa ibu ada di sini?”

“Sesungguhnya ibu merasa malu, karena sudah terlanjur mengabarkan pada kamu bahwa akan dinikahi olehnya.”

“Ini jalan terbaik untuk Ibu. Mengapa merasa malu? Oh ya, ini Wini, teman Minar. Dia mau membeli beras. Kok aku malah mengajak ibu mengobrol.”

“Tidak apa-apa Minar, aku tidak sedang tergesa-gesa,” kata Wini yang merasa terharu melihat pertemuan ibu dan anak dalam suasana baik itu.

“Baiklah Nak, ingin beli beras yang mana?”

“Ayo yang mana, biar aku bantu ibu menimbangkannya,” kata Minar riang. Entah mengapa Minar merasa beban yang memberati tubuhnya terasa berkurang. Keikhlasan ibunya untuk mengarungi hidup terasa menyejukkan.

“Yang ini saja, lima kilo. Kalau lebih, jadi  keberatan membawanya,” kata Wini.

Minar dengan cekatan mengamblil plastik pembungkus, dan mencoba membantu menimbang. Agak kaku, karena belum pernah melakukannya, tapi Birah kemudian membantunya.

“Sering-seringlah menengok ibu di sini,” kata Birah ketika keduanya berpamit.

“Tentu Bu, tapi Minar sekarang sudah mulai kuliah.”

“Kamu? Kuliah?” mata Birah berbinar. Kembali ia merangkul anaknya.

“Semoga kamu berhasil, dan bisa menyelesaikannya dengan lancar,” lanjutnya.

Birah mengusap air matanya yang menetes, ketika melepas keduanya pergi. Ia merasa, awal kehidupan yang lebih baik sedang menghampiri kehidupannya.

***

Ketika pulang pada minggu berikutnya, Murtono menghentikan Satria ketika hendak menemui Minar.

“Bapak akan bicara, jadi jangan pergi dulu.”

Satria duduk dihadapan ayahnya, yang menatapnya dengan pandangan serius.

“Apa benar kamu mencintai gadis itu?”

“Maksud Bapak, Minar?”

“Ya, apa ada gadis lain?”

“Apa yang ingin Bapak bicarakan? Satria harap Bapak tidak melarangnya, karena Satria akan tetap pada pendirian Satria.”

“Mencintai sampai maut memisahkan?” kata Murtono setengah bercanda.

“Ya, tentu saja.”

“Kapan siap melamarnya?”

Satria terkejut, menatap ayahnya tak percaya.

“Bapak serius?”

“Tentu saja, kamu kira bapakmu ini anak kecil, sehingga masalah besar dijadikan candaan?”

“Satria siap setiap saat. Hanya saja Minar belum pernah menjawab apa yang selalu Satria katakan. Barangkali ada yang membuatnya ragu. Dia merasa rendah diri, dan mengingat hubungan Bapak dengan ibunya.”

“Bapak kan sudah tidak lagi berhubungan dengan ibunya. Bapak juga sudah menemui ayah Minar beberapa hari yang lalu.”

“Bapak menemui pak Sutarno?”

Murtono mengangguk.

“Tanggapan pak Sutarno sangat baik, ketika bapak meminta maaf. Saya kira ada peluang untuk menerima kamu sebagai menantu.”

“Benarkah? Kalau Satria ke sana, sikapnya juga selalu baik. Tapi Satria kan dianggap hanya sebagai teman.”

“Ayo kita coba bicara.”

“Sekarang?”

“Kapan lagi? Keburu kamu sudah ubanan baru punya istri?”

Satria menatap ayahnya tak percaya, seperti mimpi mendengar bahwa sang ayah mendukungnya, bahkan sudah mengadakan pendekatan dengan calon besannya. Wajahnya berseri-seri.

“Satria akan mengatakannya pada Minar.”

“Jangan dulu, kita buat kejutan untuk Minar. Apa yang mau dikatakannya ketika bapak sudah bicara dengan bapaknya nanti.”

Satria tersenyum senang.

“Beritahu ibumu saja."

“Ibu? Ibu tidak suka pada Minar. Ibu tak akan setuju. Satria pikir kita tidak usah memberi tahu ibu.”

“Jangan Satria, bagaimanapun dia ibumu, yang telah melahirkan kamu.”

“Tapi ibu tidak akan menerimanya.”

“Bagaimanapun kamu harus memberi tahu. Kalau ibumu mau ikut bersama kita, syukurlah, kalau tidak, setidaknya kamu sudah memberi tahunya. Jangan sampai kamu dianggap durhaka karena melompati orang tua.”

***

Tapi seperti yang sudah diduga, Rohana justru marah-marah ketika Satria memintanya agar menemani sang ayah untuk menemui ayah Minar.

“Apa? Dari dulu aku sudah mengatakan bahwa aku tidak sudi punya menantu Minar. Terserah kalau ayahmu mau, aku nggak ikutan!”

“Minar anak yang baik, dia tidak akan mengecewakan ibu.”

“Itu karena kamu sudah tergila-gila sama dia. Gadis kampungan. Aku yakin, pasti kamu telah diguna-guna.”

***

Tak ada gunanya terus merayu, bagaimanapun Rohana tak suka. Jadi hari itu Murtono bersama Satria datang menemui Sutar, bermaksud melamar Minar. Sutar yang tak mengira akan datang lamaran secepat itu, bingung menjawabnya.

“Begini Pak, dan nak Satria, saat ini Minar kan masih kuliah. Bahkan belum lama dia bisa melanjutkan ke jenjang perkuliahan karena keadaan. Jadi mana mungkin saya bisa menerima lamaran ini?”

“Pak Sutar, kami bukan ingin menikahkan mereka hari ini juga, kami baru meminta ijin dari pak Sutar, agar diperkenankan nanti Satria bisa mempersunting Minarni.”

“Minaaar,” Sutar memanggil Minar, yang setelah menyajikan minum kemudian masuk ke dalam, tapi menguping di balik pintu. Mendengar sang ayah memanggil, Minar bergegas keluar.

"Sini, duduklah di sini."

“Pak Murtono dan nak Satria ini, datang kemari untuk melamar kamu. Bagaimana pendapatmu?”

Minar menundukkan wajahnya yang bersemu merah. Tak mengira Satria akan membawa ayahnya datang secepat itu.

“Bukankah saya masih kuliah? Kecuali itu keadaan kami yang seperti ini, mana pantas untuk mas Satria?”

Itu selalu jawaban Minar ketika sedang bersama Satria, dan itu juga jawabnya ketika Satria datang bersama ayahnya.

“Minar, kami tidak akan mempermasalahkan perbedaan status diantara kita. Apapun keadaan kamu, Satria tetap akan mencintai kamu. Masalah kamu masih kuliah, tidak menjadi soal. Kamu boleh meneruskan kuliah biarpun sudah menikah, bukankah begitu, Satria?” kata pak Murtono lembut.

Satria duduk agak mendekat ke arah Minar.

“Kalau kamu masih menganggap aku bagaikan bintang tinggi dilangit, sekarang bintang itu sudah ada didekatmu, bukankah aku sudah memetiknya?”

Minar tersenyum malu. Betapa gigih Satria mendekatinya, menunjukkan betapa tulus cintanya. Apalagi dia diijinkan meneruskan kuliah walau telah menikah nanti.

Adakah bahagia seperti ketika sebuah cinta bermuara di dermaganya?

***

T A M A T.

 

 

APAKAH MEREKA BERHASIL MERAJUT CINTA MENJADI SEBUAH PERNIKAHAN? BAGAIMANA TOMY YANG SEBENARNYA TIDAK MENYUKAI ISTRINYA?

CERITA TERPENGGAL SEBENTAR. YUK BERTEMU LAGI DALAM “AKU BENCI AYAHKU”

 

 

________________________

78 comments:

  1. 💫🧚🏻‍♀️💫🧚🏻‍♀️💫🧚🏻‍♀️💫🧚🏻‍♀️
    Alhamdulillah 🙏🦋
    KaeSBe_46 sdh tayang.
    Matur nuwun sanget,
    semoga Bu Tien &
    kelg, selalu sehat &
    bahagia. Aamiin.
    Salam seroja...😍🤩
    💫🧚🏻‍♀️💫🧚🏻‍♀️💫🧚🏻‍♀️💫🧚🏻‍♀️

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah *KaeSBe*
    episode 46 tayang

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Salam hangat dari Jogja
    Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng In
      ADUHAI 3X

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulilah KSB 45 sudah tayang, maturnuwun bu Tien ..
    semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai deh

      Delete
  5. Alhamdulillah, KaeSBe-46 sudah tayang ⭐
    Matur nuwun bunda Tien.
    Sehat wal’afiat, bahagia selalu 🤲🏽🌹❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ermi

      Delete
  6. Alhamdulilah KSB 46 sudah tayang, maturnuwun bu Tien ..
    semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah ternyata tamat ... ditunggu selanjutnya " aku benci ayahku "

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai

      Delete
  7. Terima kasih, bu Tien cantiik.... semoga segalanya dilancarkan dan sehat selalu, yaa💕

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Mita

      Delete
  8. Alhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu bwt bunda

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Wiwik

      Delete
  9. Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~46 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  10. Walaaaaah sampun tomat ..🍅...
    Maturnuwun sanget bu Tien

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  12. Mudah2an kelanjutann ya tambah serem

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah .... maturnuwun bu Tien .... semoga selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endang

      Delete
  14. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  15. Syukron nggih Mbak Tien ..
    .Happy End Alhamdulillah..
    🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  16. Alhamdulilah KaeSBe ~ 46 sudah tayang, matursuwun Bu Tien ..
    Semoga Bu Tien sekeluarga sehat selalu dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat 🙏✋

    ReplyDelete
  17. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Umi

    ReplyDelete

  18. Alhamdullilah
    Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 46* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  19. Sang Maestro cerita roman yg bukan picisan....saya fans berat bu Tien. Sehat2 ya bu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun dagoesta the organizer
      Woow keren ada yang ngefans saya. Hehee... salam hangat dari saya

      Delete
  20. Nah kan benar feeling saya kemarin, langsung ditamatkan deh kisahnya...nyambung di judul lain.😅

    Terima kasih, ibu Tien...sehat selalu.🙏

    ReplyDelete
  21. Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 46 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin

    Waduh wis Tamat

    Matur nuwun suguhan Cerbung nya nggeh Bunda Tien.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  22. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  23. Tamat... tetapi Minar masih menggantung. Mungkin akan disambung dengan peran Tomi yang tidak senang dengan Monik.
    Menunggu dengan sabar saja.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah
    Matur nuwun bunda Tien K
    Semoga bunda selalu sehat bahagia & selalu dalam lindungan Allah SWT
    Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun Anrikodk
      Apa kabar

      Delete
  25. Alhamdulillaah matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰🌿💖

    Wah senangnya ,, tapi masih gantung cerita nya...😀

    Nah ini tanda tanya besar ,kata2 siapa itu...
    *Aku benci Ayahku*
    Wah Bu Tien buat jadi penasaran, 😀

    ReplyDelete
  26. Matur nuwun Bu Tien....tetap sehat njih Ibu. Menanti "Aku Benci Ayahku".

    ReplyDelete
  27. Dari pada pemirsa eh pembaca terbanting-banting terus, akhirnya Mbak Tien menamatkan serial ini dengan 'paksa'...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  28. Terimakasih bunda Tien ... Kupetik setangkai Bintang sesi 1 tamat berlanjut sesi 2 dg judul beda Aku Benci Ayahku
    Aduhai

    ReplyDelete
  29. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu dan tetap aduhai


    ReplyDelete
  30. Terima ksih bundaqu ..slmt pgii dan slm sehat sll DRI sukabumi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  31. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Arif

    ReplyDelete

MASIHKAH ADA CINTA

 MASIHKAH ADA CINTA (Tien Kumalasari) Masihkah ada cinta Ketika kau sakiti aku Ketika manisnya madu telah berlalu Ketika kau guyur aku denga...