KUPETIK SETANGKAI BINTANG 44
(Tien Kumalasari)
Pandangan mata tajam penuh amarah terlontar pada kedua wanita yang sekarang saling berhadapan. Api memercik dari sana, saling bakar dan menghanguskan. Rohana yang semula duduk mencecap minumannya, meletakkan gelas yang dibawanya ke atas meja.
“Mau apa kamu datang kemari?” Rohana mengucap keras.
“Aku yang seharusnya bertanya. Mengapa kamu datang kemari? Kamu bukan siapa-siapanya mas Murtono, bukan?” Wanita itu, Birah, balas menghardik.
“Lalu kamu siapanya?”
“Bodoh, apa kamu tidak tahu bahwa aku adalah bakal istrinya?”
“Apa? Bakal istrinya? Hahahaahhh…” Rohana tertawa ngakak keras sekali.
“Heiii! Mengapa tertawa?”
“Tertawa karena melihat kebodohan kamu. Bodoh! Bodoh! Bodoh!!!”
“Apa maksudmu mengumpatku bodoh?” Birah tak takut, melangkah maju, tapi Rohana juga tidak mundur setindakpun.
“Mau apa kamu? Bukankah kamu memang bodoh? Apa namanya kalau tidak bodoh, mau diambil istri tapi sampai sekarang dia tidak melakukan apa-apa?”
“Itu karena dia masih sibuk.”
“Sibuk apa? Dan kamu tahu, perusahaan mas Murtono yang hampir bangkrut itu bisa berjalan kembali karena siapa? Karena aku!!”
“Pembual!”
“Tanya saja pada dia!”
“Dasar perempuan tak tahu malu. Sudah dicerai masih berusaha mendekat.”
“Kamu yang tak tahu malu, mengharapkan bisa menjadi istri orang kaya, lalu meninggalkan suami yang miskin? Sekarang apa? Mas Murtono hanya menunggu waktu untuk meninggalkan kamu!!”
“Apa katamu?” Birah yang kemarahannya sudah memuncak kemudian merangsek maju, sebelah tangannya menampar wajah Rohana dengan keras, membuat Rohana menjerit keras.
Para pembantu yang semula melakukan tugasnya, kemudian berkumpul di depan pintu untuk melihat kejadian yang membuat mereka heran. Calon istri dan bekas istri bertengkar lagi?
Simbok berlari ke belakang dan mengambil ponselnya. Ia harus menghubungi majikannya, sementara pertarungan masih berlangsung.
Cakar mencakar tidak bisa dihentikan, rambut mereka sudah awut-awutan karena saling menjambak. Tak tahu malu bagai wanita tanpa akhlak.
Seorang pembantu laki-laki kemudian memberanikan diri maju, menarik salah satunya, tapi yang satu terus mengejar dengan amarah meluap.
Seorang lagi pembantu maju, menarik salah satunya, tapi amarah yang meluap membuat kekuatan mereka meningkat. Dua orang pembantu yang memisahkan mereka kewalahan, lalu keempat-empatnya jatuh berguling dilantai, dengan kaki dua wanita perkasa masih menendang-nendang.
Suasana ruang tamu menjadi kacau, sofa beralih tempatnya, meja kecil penghias ruangan terguling dan sebuah vas terjatuh pecah berserakan.
Tiba-tiba sebuah teriakan dan bantingan pintu terdengar, menggelegar bagai guntur di siang bolong.
“Hentikaaann!!”
Dan mereka memang berhenti. Murtono yang datang karena laporan simbok marah bukan alang kepalang.
“Apakah kalian ini manusia?” umpatnya kasar.
Dua orang wanita bangkit dengan wajah tak karuan dan rambut awut-awutan. Sebagian baju robek tak beraturan. Lalu seperti dikomando, keduanya menubruk Murtono yang berdiri dengan mata menyala.
Tapi Murtono menghindarinya, sehingga keduanya tersungkur justru saling berpelukan. Tapi kemudian saling mendorong dengan keras.
“Berhenti!!” Murtono kembali berteriak.
Lalu ia melihat beberapa pembantunya masih menonton di depan pintu.
“Pergi semuanya. Kalian melihat apa?”
Para pembantu kabur sehingga saling tubruk, tak lama kemudian ruangan menjadi senyap. Rohana dan Birah berdiri, masih saling berhadapan. Murtono mengusap wajahnya dengan kasar.
“Mari kita bicara,” titahnya sambil membetulkan letak sofa yang bergeser, kemudian duduk.
Rohana dan Birah menurutinya, duduk saling berhadapan, sambil membetulkan dan menutupi bagian tubuhnya yang kelihatan karena pakaiannya yang juga berantakan.
“Mas, aku di sini menunggu kamu untuk membicarakan uang aku yang kamu pakai, tapi perempuan jalang itu tiba-tiba datang dan mengamuk ketika melihat aku.”
“Dia berusaha mendekati kamu lagi. Dia … perempuan tak tahu malu itu masih ingin mengejarmu,” pekik Birah tak kalah garang.
“Diaaaam!!! Kita akan mengurai permasalahan satu demi satu.”
“Urus dia dulu! Lalu katakan bagaimana janji Mas sebelum meminjam uang!” kata Rohana.
“Urus dia dulu. Masalahku adalah masalah janji Mas Murtono yang akan menikahi aku," potong Birah.
“Bisa diam tidak? Atau aku lempar kalian ke halaman dan aku tak akan sudi berbicara lagi.”
“Baiklah, terserah Mas mau urus yang mana dulu. Yang penting Mas harus mengingat janji Mas kepadaku,” akhirnya kata Rohana sambil merapikan rambutnya yang awut-awutan.
“Rohana, karena uang kamu lumayan banyak yang aku pakai, sedangkan aku memakainya untuk operasional agar usahaku pulih, jadi belum bisa semuanya aku kembalikan. Tapi kalau kamu keburu butuh, aku akan mentransfernya nanti sebagian dulu. Apa kamu mau?”
“Bukankah Mas janji dua bulan lagi akan melunasi?”
“Ini kan belum dua bulan? Itu sebabnya aku belum bisa membayar semuanya.”
“Baiklah, jangan ditransfer, berikan cash saja karena aku membutuhkannya.”
“Baik,” kata Murtono yang kemudian menatap Birah dengan pandangan dingin.
“Uang bu Suryo sudah aku transfer begitu kamu mengatakannya.”
“Aku tidak ingin membicarakan bu Suryo, aku ingin membicarakan kelanjutan dari hubungan kita,” kata Birah sambil melirik Rohana, bermaksud mengejeknya karena Rohana harus tahu kalau Murtono akan segera menikahinya.
“Birah, aku minta maaf. Barangkali aku terpaksa mengatakannya sekarang.”
Birah mengangkat wajahnya.
“Kita tidak usah menjadi suami istri.”
“Apa maksudmu?” sekarang Birah berteriak.
“Maaf Birah. Ternyata aku tidak sanggup hidup berkeluarga lagi. Aku akan fokus menjadi pengusaha dan akan memajukan perusahaan aku tanpa adanya gangguan apapun juga.”
“Apa Mas? Dulu kamu menyuruh aku untuk bercerai. Sekarang aku sudah bercerai, lalu kamu akan mencampakkan aku?” Suara Birah sudah berisi tangisan.
“Benar, tapi aku sudah berbuat banyak untuk menyenangkan kamu. Kamu tidak pernah mengerti situasiku dalam keadaan terpuruk, hanya menuntut dan menuntut. Kamu bukan istri yang baik, karena hanya menginginkan kesenangan dan kemewahan.”
“Enak sekali kamu bicara. Tiba-tiba menyalahkan aku dengan berbagai alasan untuk mengingkari janji? Mas sudah membuat aku bercerai dan sekarang tidak mau bertanggung jawab?”
“Bukankah kamu memang ingin bercerai? Kamu lelah hidup miskin dan aku telah memberikan begitu banyak kemewahan untuk kamu.”
Birah menangis keras. Rohana tak tahan untuk mengejeknya.
“Sudah, nggak usah menangis, pulang saja sana.”
“Diam kamu!” hardik Murtono, membuat Rohana kemudian berdiri dan melangkah ke belakang.
“Birah, aku sudah bilang minta maaf.”
“Hanya itu? Bagaimana hidupku?”
“Bekerjalah.”
“Enak saja! Bekerja apa?”
“Aku sedang membuka kios sembako. Ada orang kepercayaanku di sana, kamu bekerjalah membantu dia, maka kamu akan mendapat kompensasi dari tugasmu, kalau tidak boleh dikatakan mendapatkan gaji dari situ. Kalau kamu mau sedikit mengeluarkan tenaga, maka kamu akan dapat hidup dari sana.”
Birah terisak.
“Kalau tahu akan begini jadinya ….”
“Kios sembako itu seperti ruko, kamu boleh tinggal di sana, gratis.”
Kalau dipikir-pikir memang Murtono telah mengingkari janjinya. Tapi Murtono juga tidak membiarkan Birah hidup terlunta-lunta. Barangkali dengan itu maka Birah akan tahu, bagaimana sulitnya mencari sesuap nasi.
***
Satria pulang menemui ayahnya. Kalau saja sehari sebelumnya dia sudah datang, pasti ia akan melihat bagaimana gemparnya rumah ayahnya dengan adanya pertarungan sengit dua orang wanita. Ibu kandungnya, dan calon ibu mertuanya? Satria pulang sedang ingin membicarakan masalah hubungannya dengan Minar. Satria tak ingin berbicara tentang hal itu dengan ibunya, karena dia tahu bahwa ibunya tak menyukai Minar. Satria tahu bahwa Minar belum bisa menerimanya, bukan karena merasa berbeda kasta, tapi juga karena hubungan Birah dan ayahnya. Dulu ayahnya pernah mengatakan bahwa dia tak akan menikahi Birah, tapi itu hanya sekilas. Sudah lama Satria menunggu kepastian hubungannya, dan Satria ingin mengurai permasalahannya satu per satu.
“Kamu benar-benar mencintai gadis itu?” tanya Murtono.
“Dia gadis yang luar biasa. Satria amat mencintainya. Tapi kendala yang satu ini tampaknya berat untuk dilompatinya.”
“Maksudmu … hubungan bapakmu ini dengan Birah?”
“Hubungan yang rumit bagi Satria dan Minar.”
“Bukankah bapak sudah pernah mengatakan bahwa bapak tidak lagi ingin menikahi Birah?”
“Bapak serius? Bukankah Bapak juga mendorong bercerainya Birah dengan suaminya?”
“Dia juga menginginkan itu. Dia bilang lelah hidup miskin.”
“Lalu kenapa tiba-tiba Bapak berubah pikiran? Pasti dia menuduh Bapak telah ingkar, membuat rumah tangganya hancur juga. Apa Bapak tidak merasa bersalah?”
“Terkadang seseorang terlambat menyadari kesalahannya. Tapi apakah tidak boleh seseorang itu mencoba memperbaikinya?”
“Setelah menghancurkan rumah tangga orang?”
“Bukan begitu, maafkanlah bapak. Bapak tidak ingin mengingkari kesalahan itu, tapi dia juga berperan untuk segera bercerai. Dia bisa menolak kalau memang dia setia pada pernikahannya. Dia tidak.”
“Bagaimana dia hidup setelah Bapak gagal mengambilnya sebagai istri?”
“Bapak suruh dia membantu di toko sembako yang baru bapak buka. Dia akan mendapat penghasilan dari sana. Kecuali itu aku juga mendidik dia agar bekerja untuk mendapatkan sesuatu. Bukan hanya mengharapkannya dari orang lain.”
“Dia mau menerimanya?”
“Pastinya dia tak bisa menolak. Semoga setelah ini hidup kami baik-baik saja. Aku juga akan mengembalikan uang ibumu, meskipun tidak seluruhnya.”
Satria sedikit merasa lega, walau sebenarnya dia ragu apakah akan diterima di keluarga Minar atau tidak. Apa ayah Minar tidak sakit hati kalau besannya berperan dalam perceraiannya dengan sang istri?
“Satria, kalau kamu ingin melanjutkan hubungan kamu dengan Minar, dan mantap untuk memperistrikannya, bapak akan membantu.”
“Apa yang akan Bapak lakukan?”
“Entahlah. Tapi sebuah niat baik pasti akan mendapat sambutan yang baik. Semoga.”
***
Hubungan Satria dan Minar masih seperti sebelumnya. Satria terus merayu dan Minar terus menghindar, walau sikapnya tetap baik dan manis setiap kali Satria menemuinya.
Satria senang karena Minar sudah mulai kuliah. Capek sih, karena setiap pagi harus bekerja, tapi sorenya kuliah. Bagi Minar, itu tidak begitu memberatkan. Bukankah dengan perjuangan barulah cita-cita bisa tercapai?
Minar justru gembira ketika berhasil menginjakkan kakinya di kampus. Tempat yang bertahun diimpikannya dan baru sekarang bisa ditemukannya.
Setiap kali ia harus meminta maaf kepada ayahnya, karena seringkali setelah pulang kuliah dia tak sempat membuat minuman hangat untuk sang ayah. Tapi dengan tersenyum sang ayah selalu memintanya untuk tidak memikirkannya.
“Bapakmu ini kan belum loyo. Tanpa kamupun bapak bisa melakukannya. Jangan terlalu memikirkannya. Apa kamu lupa, pada suatu hari nanti, setelah kamu menikah, bapak akan sendirian? Mengerjakan apapun juga sendiri. Mengapa sekarang kamu memusingkannya?”
Diingatkan tentang masalah menikah, wajah Minar menjadi suram. Ia tahu bahwa cinta yang ada didalam hatinya terhadap seseorang pada akhirnya akan kandas. Bukankah banyak kendala yang susah sekali dilampauinya?
Minar memeluk ayahnya dengan air mata berlinang.
“Minar tidak akan meninggalkan Bapak. Kecuali kalau Bapak menikah lagi.”
Sutar terkejut. Menikah? Hal yang tak pernah dibayangkannya. Ia sudah merasa tua, untuk apa menikah?
“Kamu ada-ada saja. Bapak kan sudah tua, mana pantas menikah lagi?”
“Bapak belum tua benar, walaupun tidak lagi muda. Kalau pada suatu hari Bapak menikah lagi, Minar pasti senang, soalnya Bapak tidak akan kesepian.”
Sutar tersenyum, wajah Kirani terbayang, tapi mungkinkah dia bisa menjangkaunya? Kirani terlalu tinggi untuknya.
***
Birah terpaksa menjalani hidupnya seperti yang disarankan Murtono. Apa boleh buat. Sebenarnya ia merasa, bahwa bukan karena kelewat cinta dia bersedia menjalin hubungan kembali dengan Murtono. Sebagian besar perasaannya hanyalah senang karena mendapat limpahan kemewahan yang membuatnya lupa diri. Ingin menjadi nyonya kaya dengan pembantu yang siap melayani semua keperluannya, lalu semua orang menunduk hormat karena kedudukannya. Ketika impian tentang nyonya kaya itu terhempas, ia baru menyadari kesalahannya. Berbulan-bulan dia sudah merasakan kurang perhatiannya Murtono terhadapnya. Uang yang diberikan hanya terbatas, dan dia tak bisa lagi berfoya-foya.
Lalu ketika dia harus bekerja, melihat kehidupan orang lain dengan tanpa batas, melihat orang tak punya yang hanya mampu membeli sekilo beras, tapi menjalaninya dengan ikhlas, tak tampak duka dan tersiksa, Birah menyadari bahwa sejak lama dia tidak sendiri. Barangkali dari sebuah pengalaman ke pengalaman yang lain, dari yang dilihat dan dirasakannya, Birah belajar melihat bagaimana kehidupan yang sebenarnya. Bahwa suka dan duka, kaya atau miskin itu bisa menjadi milik siapapun, dan keberhasilan hanya bisa dicapai dengan berusaha, tidak hanya dengan menadahkan uang demi kesenangan.
“Bu, kembaliannya belum,” Birah tersadar dari lamunannya, ketika seorang pembeli protes karena setelah membayar dia lupa memberikan kembalian.
Birah melihat ke laci uang, ternyata ia kehabisan uang kecil. Birah masuk ke dalam dan mengambil dompet yang ada di dalam tasnya. Ketika ia menumpahkannya karena mencari uang receh untuk kembalian, sesuatu terjatuh dari sana. Sebuah bungkusan dengan bubuk putih.
Birah memungutnya, dan wajahnya berubah pucat. Racun tikus. Dulu dia menyisihkannya sebungkus ketika membelinya, demi mengharap agar tikus di rumah sewanya mati semua. Tapi yang sebungkus lagi dia akan mempergunakannya untuk membunuh orang.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSehat wal’afiat, bahagia selalu π€²π½πΉ❤️
Selamat jeng Ermi Suhasti, is number one.....
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteTrmksh mb Yien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 44 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Terima kasih, bu Tien cantiik... semoga sehat dan semangat terus yaππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Mita
π«π§π»♀️π«π§π»♀️π«π§π»♀️π«π§π»♀️
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
KaeSBe_44 sdh tayang.
Matur nuwun sanget,
semoga Bu Tien &
kelg, selalu sehat &
bahagia. Aamiin.
Salam seroja...ππ€©
π«π§π»♀️π«π§π»♀️π«π§π»♀️π«π§π»♀️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 jeng Susi
Deleteππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
ReplyDeleteAlhamdulillah KaeSBe episode_44 sudah tayang. Terima kasih bu Tien. Salam sehat dan tetap ADUHAI...
πππΉ
πππ¨ ππͺππ²π«.... βπ¬π₯ππ«π π‘π°π« π π¦π―ππ₯ π ππ¨ππ―-π ππ¨ππ―ππ«.....
πππ±π―π¦π π¨π¬π«π°π¦π°π±π’π«....
ππ¦π«ππ― π―ππ€π²-π―ππ€π² π¨ππ―π’π«π π±ππ₯π²π« πππ₯π΄π ππΆππ₯ πππ±π―π¦π ππ‘ππ©ππ₯ πΆππ«π€ π§ππ‘π¦ ππ’π«πΆπ’πππ ππΆππ₯ π‘ππ« π¦ππ²π«πΆπ ππ’π―π π’π―ππ¦........
ππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
Matur nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteMaturnuwun bu Tien, Salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~44 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah ππ·
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteSelammat cakar2an ibu2.
ReplyDeleteNuwun pak Widay2
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 44* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Maturnuwun bu Tien , wah seruuuuu bingit rohana dan birah perang tanding ... lucuuu pas masing masing mau memeluk murtono yg menghindar ... jadilah mereka berpelukan.... bu Tien bisaaa aja
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhaiii 3x bun gak sabar menanti lanjutannya
Salam aduhai berkali kali ibu Sri
DeleteAlhamdulillah KaeSBe 44 telah tayang, matursuwun Bu Tien. Semoga sehat dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Samar samar tersirat Sutar dengan Kinar.
ReplyDeleteMungkin tinggal satu dua episode tamat. Semua sudah 'pada tempatnya ' .
Cuma Birah yang belum move on, lanjut apa stop ya, racun tikusnya,.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
ReplyDeleteAlhamdulillah " Kupetik Setangkai Bintang - 43 sdh hadir
Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 44 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Roda kehidupan selalu berputar, terkadang di atas, terkadang di bawah. Begitulah Birah, semoga menyadari kesalahan nya.
Tdk ada kamus nya kaya tanpa usaha, hrs bekerja keras tentu nya.
Cakep sekali pitutur yang hadirkan Bunda Tien di episode 44 ini. Suwun Bunda πππππΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletedi
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteItulah kehidupan Birah, jangan nglokro untung Murtono msh baik hati, kamu boleh bekerja untuk mencari sesuap nasi ditokonya
ReplyDeleteMks bun ...selamat malam
Wah wah wah...pecah perang to? Wkwk...makin seru nih, nampaknya Birah akan berakhir di bui nih, kasus pembunuhan berencana...apakah Rohana korban incarannya? Hmmm...π€
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...siap menanti lanjutannya. Sehat selalu ya...ππ
Sami2 ibu Nana
ReplyDeleteSalam sehat yaa
Sami2 ibu Supriyati
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya π€π₯°πΏπ
ReplyDeleteSebuah kehidupan,,yg berwarna
Birah & Murtono bersyukur baru menyadari, kesalahan dlm hidupnya. Tinggal Rohana apakah akan memperbaiki kehidupan nya...
Kita tunggu ...π₯°
Makin aduhai
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Terimakasih bunda Tien . Sehatdan semangat selalu
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien cerbungnya,
ReplyDeleteSehat2 selalu ya Bu π❤πΉ
Sipp
ReplyDelete