AKU BENCI AYAHKU 13
(Tien Kumalasari)
Tomy baru bangun, kesadarannya belum utuh. Mendengar teriakan ibunya, ia baru sadar bahwa ibunya mencari Desy.
“Biasanya di dapur Bu, mengapa ibu berteriak?”
“Di dapur tidak ada. Dia tidak mengerjakan apa-apa, lihat almarinya, lihatt!!” Rohana berteriak semakin keras.
Tomy melihat ke arah almari yang ditunjuk ibunya, matanya terbelalak.
“Dia pergi?”
“Jadi kamu tidak tahu, bahwa dia pergi?”
Tomy menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tiba-tiba dia merasa pusing.
“Dia pergi? Dia jadi pergi?”
“Apa dia mengatakan bahwa mau pergi?”
“Beberapa hari yang lalu. Tapi Tomy tidak mengira kalau dia bersungguh-sungguh.”
“Dasar tak tahu diri. Kamu harus mencarinya, dan membawanya kembali kemari! Kalau dia tidak ada, mana bisa kamu makan kenyang? Uang ibumu ini tidak seberapa. Kebutuhan ibu banyak. Sedangkan kamu hanya bermalas-malasan selama berbulan-bulan.”
Tomy keluar dari kamar, kepalanya bertambah pusing mendengar ibunya mengomel terus menerus. Ia mencari sesuatu, kopi hangat yang biasanya disediakan oleh Desy. Tapi tak ada sesuatupun di sana.
“Mau minum kopi? Tak ada apa-apa. Desy kabur tanpa membuat kopi, bahkan tidak mencuci perabotan sejak semalam. Dapur bau sekali, karena bekas makan semalam tidak dicuci. Bagaimana ini, bagaimana? Kenapa kamu hanya duduk bersilang kaki di situ?”
“Apa yang harus Tomy lakukan? Cuci piring? Tomy nggak mau. Mana ada laki-laki mencuci piring?”
“Membuat kopi sendiri juga tidak mau? Kalau begitu minum air putih saja,” kata ibunya yang bukannya ke dapur untuk membuat minuman, tapi duduk di sofa dengan wajah kusut.
“Mengapa kamu diam? Cari istrimu, seret dia kembali kemari.”
“Iya, sebentar Bu, kepala Tomy pusing sekali,” katanya sambil memegangi kepalanya.
“Lalu bagaimana kalau dia tidak mau kembali?” kata Tomy lagi.
“Paksa dia.”
“Desy bukan anak kecil yang bisa dipaksa. Kalau dia tidak mau, tetap saja tidak mau.”
“Dasar kamu itu. Harusnya kamu segera bekerja, jadi tidak tergantung pada istrimu saja. Kamu tahu nggak, kamu itu sudah dibuang oleh ayah kamu. Gara-gara kamu selingkuh dengan perempuan bernama Desy itu. Dasar perempuan pembawa sial. Kamu menolak Monik yang cantik, yang anak orang kaya, malah memilih perempuan tak berguna itu.”
Tomy berdiri, menuju kulkas, mengambil air dingin dan meneguknya segelas. Kemudian pergi ke kamarnya.
“Apakah gara-gara dia ketemu Monik? Apa sebenarnya Monik juga bekerja di salon itu? Aku akan mencarinya ke sana, Kalau tidak, apakah dia pergi ke rumah orang tua Monik?” gumamnya sambil masuk ke kamar mandi.
***
Ternyata Monik masih ada di salon itu. Ketika dari bayangan di balik kaca ia melihat Tomy akan memasuki salon, Monik segera bersembunyi di belakang. Ia berbisik kepada temannya, kalau ada yang menyebut namanya, katakan saja tidak tahu. Jangan sampai dia tahu bahwa dirinya bekerja di salon itu.
Tomy masuk dan mencari-cari dengan matanya. Tapi tak ada bayangan Desy maupun Monik di sana.
“Bapak mau apa? Ini bukan salon untuk laki-laki. Hanya menerima pelanggan wanita,” sambut seorang karyawan.
“Saya mencari Desy.”
“Oh, Desy sudah resign sejak kemarin.”
“Resign?”
“Iya, Pak.”
“Adakah karyawan bernama Monik?”
“Monik? Tidak ada tuh.”
Tomy keluar dengan kecewa. Satu-satunya yang terlintas dalam bayangannya adalah Desy pergi bersama Monik, ke rumah orang tua Monik. Kalau ke rumahnya sendiri, tidak mungkin, karena dia tahu bagaimana keadaan orang tuanya yang sederhana, bahkan kekurangan. Kalau tidak ... ke mana dia?
Tomy sudah mencoba menelponnya sejak pagi, tapi ponsel dimatikan.
Tomy pulang dan sang ibu menunggu di teras dengan wajah kusam. Pasti ia terpaksa bersih-bersih dapur yang kalau tidak dikerjakan baunya sangat mengganggu.
Melihat Tomy pulang sendirian, wajahnya bertambah keruh.
“Mana dia?”
“Tidak ada. Entah dia pergi ke mana.”
“Kamu sudah menelponnya?”
“Ponselnya dimatikan.”
“Ya sudah, sekarang kamu telpon ayahmu saja.”
“Mana mungkin? Bapak kalau sudah marah tidak ada yang bisa meredakannya. Tomy tidak berani. Ibu saja.”
“Ibu pernah menelponnya, dia malah memaki-maki ibu. Kalau ibu nekat, jangan-jangan dia justru tak mau lagi menghidupi ibumu ini.”
“Aku akan mencarinya ke rumah Monik.”
“Monik? Kamu menyebut nama Monik? Memangnya Desy kenal sama Monik?”
“Tomy pernah melihat mereka bersama. Beberapa hari yang lalu.”
“Jadi mereka saling kenal?”
“Tomy juga tidak tahu. Desy tak mau menjawab ketika Tomy menanyakannya.”
“Ya sudah terserah kamu mau apa. Yang jelas keuangan ibu terbatas. Jadi jangan berada di sini karena akan memberatkan ibu.”
“Sekarang di rumah ada makanan apa? Tomy lapar.”
“Adanya nasi, sama telur. Kalau mau nasi, telur sama kecap, itu ada.”
“Apapun Bu, setelah ini Tomy mau mencari Desy lagi.”
“Jangan bodoh! Mencari tuh pekerjaan, bukan mencari Desy!” hardik Rohana yang kehilangan kesabarannya.
Tomy diam, tak tahu harus menjawab apa.
***
Di rumahnya, Monik sedang berpikir, Desy resign setelah menerima gaji, lalu dia pasti kabur, karena Tomy tadi mencarinya ke salon. Ternyata ada juga rasa tak puas bagi Desy melihat kelakuan suaminya. Kalau ketika bersamanya, alasannya adalah tak cinta, maka bersama Desy adalah karena kelihatan bahwa Tomy itu malas dan tak bisa bekerja. Dulu ada ayahnya yang selalu mengawasinya, dan juga mencukupi kebutuhannya. Sekarang, setelah terusir, dia ternyata tak bisa apa-apa.
“Ibu sedang sedih?” pertanyaan Boy mengejutkannya.
“Eh, Boy … tidak, ibu tidak sedang sedih.”
“Tapi ibu kenapa diam saja? Boy bertanya, ibu tidak menjawab.”
“Masa? Maaf Boy, tadi Boy menanyakan apa?”
“Nggak jadi. Tadi Boy mencari mobil-mobilan berwarna merah. Tapi sudah ketemu.”
“O, syukurlah.”
“Ibu sedih gara-gara ketemu bapak, lalu bapak marah-marah lagi?”
“Tidak. Ibu tidak memikirkan apa-apa.”
“Kenapa Ibu diam?”
“Sebenarnya ibu sedang mengantuk.”
Lalu Monik pura-pura menguap agar dikira ngantuk beneran.
“Kalau begitu, Ibu tidur saja.”
“Ayuk, Boy juga mau tidur?”
“Tidak sekarang. Boy masih ingin bermain.”
“Tadi kan sudah seharian bermain?”
“Tapi Boy belum mengantuk.”
“Baiklah, kalau begitu ibu temani Boy bermain saja.”
“Katanya mengantuk?”
“Kalau tidur tidak bersama Boy, ya tidak bisa tidur.”
“Kalau begitu Boy tidak usah bermain lagi saja. Ayuk, ibu tidur, Boy temani ibu tidur.”
Monik tersenyum. Meskipun masih kanak-kanak, Boy adalah anak yang sangat pintar. Terkadang jalan pikirannya sudah seperti orang dewasa. Diam-diam Monik terharu. Boy benar-benar bisa membuatnya bersemangat untuk tetap hidup. Monik berjanji akan menjadikan Boy anak yang berhasil dalam hidupnya. Ketika pergi, Monik masih punya beberapa perhiasan berharga, yang disimpannya untuk biaya Boy sekolah. Kalau bisa sampai selesai kuliah, atau entah apa nanti pendidikan yang bagaimana yang Boy inginkan. Itulah sebabnya mengapa Monik sangat berhemat, agar tidak sampai mengusik barang-barang yang akan dijadikannya bekal untuk Boy sekolah.
“Ibu, apakah bapak meminta kita pulang?”
“Tidak.”
“Kenapa bapak marah-marah?”
“Bapak tidak marah.”
“Boy mendengar, bapak berteriak-teriak.”
“Tidak apa-apa, jangan dipikirkan. Yang penting Boy bahagia bersama ibu.”
“Ibu sekarang tidurlah, katanya mengantuk.”
“Baiklah, Boy juga tidur, ayuk pejamkan matanya.”
“Kata bu Lany, sebentar lagi Mia mau sekolah," ternyata Boy masih mengajaknya mengobrol.
“Benarkah? Apa Boy juga ingin sekolah?”
“Boy mau. Nanti bisa sekolah bareng Mia, kan?”
“Besok ibu akan menanyakannya pada bu Lany, apa bu Lany sudah bertanya pada sekolah itu, dan bisa menerima anak seusia kalian.”
“Memangnya kalau masih kecil belum boleh sekolah?”
“Sekolah itu ada aturannya. Kalau seusia Mia, barangkali bisa masuk play grup, nanti Boy pastinya sudah bisa taman kanak-kanak nol kecil.”
“Nol kecil itu apa?”
“Nol kecil itu artinya kamu masih terlalu kecil sehingga nanti masuknya di klas anak-anak kecil.”
“Boy ingin sekali jadi anak pintar.”
“Tentu saja Nak, Boy harus jadi anak pintar. Nanti kalau Boy sudah besar, bisa menjaga ibu.”
“Ibu akan menjadi tua?”
“Ya, dong. Orang itu semakin lama menjadi semakin tua.”
“Kalau Boy … apa menjadi semakin tua juga?”
“Boy menjadi semakin besar … semakin besar … lalu menjadi dewasa.”
“Lalu menjadi tua juga?”
“Itu masih sangat lama. Yang tua itu ibu. Nah, sekarang benar-benar bobuk yuk.”
Boy memejamkan matanya. Ia bermimpi melihat seorang nenek tua, rambutnya putih, jalannya terbungkuk-bungkuk. Boy merasa kasihan, lalu diluar kesadarannya, Boy merangkul ibunya sangat erat.
***
Hari itu Sutar dan Kirani menikah. Secara sederhana, yang dihadiri hanya oleh kerabat dekat dan para karyawannya.
Satria yang datang khusus untuk menghadiri pernikahan mertuanya, duduk berdekatan dengan istrinya yang tampak sangat bahagia.
“Bukankah ayahku masih sangat ganteng biarpun tidak lagi muda?” kata Minar sambil tak pernah melepaskan pandangannya kepada ayah dan ibu sambungnya.
“Mereka pasangan yang sangat serasi. Aku ikut bahagia bersamamu,” bisik Satria yang tak pernah melepaskan tangan istrinya.
“Terima kasih karena selalu menemani aku, dalam susah dan bahagiaku,” jawab Minar.
“Setelah ini kamu harus bersiap-siap. Aku akan menjemputmu, seminggu lagi.”
“Aku sudah bersiap untuk melayani suamiku, dan aku akan membuktikannya.”
“Terima kasih, istriku.”
“Bapak mungkin akan pindah ke rumah bu Kirani, tapi entahlah. Kami belum berbicara tentang hal itu.”
“Sebagai suami istri, sebaiknya mereka tinggal satu rumah. Seperti kita nantinya.”
Tapi ketika acara pernikahan itu berakhir, Kirani mengatakan bahwa ia tak keberatan menemani Sutar tinggal di rumahnya yang sederhana.
“Kami sepakat, akan tinggal di rumah ayahmu seminggu, lalu seminggu berikutnya ayahmu akan tinggal di rumahku. Begitu, jadi adil. Soalnya ayahmu masih keberatan meninggalkan rumahnya.”
“Lagipula, yang benar adalah istri mengikuti suami, bukan suami mengikuti istri. Benar kan?” sambung Sutar.
Ah, entahlah, masalah mau tinggal di mana dan berapa lama, Minar tak begitu memikirkannya. Yang terpenting adalah, tinggal di manapun, ayahnya tidak sendiri lagi. Dan itu membuatnya merasa lebih tenang.
***
Hari itu Kirani berada di rumah Sutar. Satria sudah datang kembali untuk menjemput istrinya. Minar sedang berkemas untuk menata barang-barang yang akan dibawanya. Ada baju yang bertahun lalu diberikan oleh Birah kepadanya, tapi tidak pernah disentuhnya. Tiba-tiba Minar merasakan ada kasih sayang yang menyelinap pada beberapa potong baju itu. Ibunya memberikannya, pasti karena ada perhatiannya kepada anak gadisnya. Minar memasukkan baju itu ke dalam kopor, dan menyisakan salah satunya, untuk dipakainya saat berangkat ke Jakarta nanti, agar mengurangi rasa bersalahnya karena mengabaikan pemberian itu, entah darimana datangnya uang yang dipakai untuk membelikannya.
Sementara itu Kirani sedang berbincang dengan suaminya tentang kamar tidur mereka.
“Mas Sutar, bukan aku merendahkan atau tidak menyukai, tapi bolehkah aku merubah kamar ini?”
“Merubah bagaimana maksudmu?”
“Bagaimana kalau kamar ini dibongkar, lalu dipindahkan ke sudut sana. Mungkin bisa lebih agak besar.”
Sutar menatap Kirani, tapi Kirani membalasnya dengan tersenyum tulus.
“Sungguh bukan aku tidak mau tidur di ruangan ini karena buruk atau apa, tapi … ada rasa nggak enak saja. Ini kan … kamar mas Sutar bersama Subirah?”
Sutar kemudian mengangguk mengerti. Sebenarnya kenangan tentang Birah sudah lama tenggelam terkikis ombak rumah tangga yang bertahun-tahun lalu menimpanya. Rasa sakit yang semula mendera, sudah lenyap tergilas waktu. Tapi memang benar. Sutar bisa mengerti bagaimana perasaan Kirani. Bukan hanya Kirani, tapi dirinya juga ingin menghilangkan semua kenangan tentang Birah yang telah menyakitinya. Harus benar-benar lenyap, karena ia telah menemukan pendamping yang lebih baik, yang setia mencintainya selama berpuluh tahun.
“Terserah kamu saja. Apapun yang kamu inginkan. Nanti aku suruh orang untuk membuatnya. Bagaimana kalau kamar itu dijadikan satu dengan kamar Minar, supaya kalau Minar dan suaminya datang, bisa tidur di kamar yang lebih luas.”
“Bagus sekali, aku setuju. Kita akan mengerjakannya mulai besok.”
***
Pagi hari itu Indira sedang bercanda dengan sang kakek, yang sering mengunjunginya disaat senggang, untuk menciptakan ketenangan di hati sang cucu, karena kehilangan kedua orang tuanya.
“Indi, boneka ini sudah usang. Maukah besok kakek belikan yang baru dan lebih besar?” tanya sang kakek.
“Mauu … mauuu …” Indira berteriak kegirangan.
“Bolehkah Indi ikut bersama kakek, kalau beli boneka baru?”
“Tentu saja, nanti Indi boleh memilih sendiri.”
“Horeeee …. horeee … apa sekarang kita perginya, Kek?”
“Boleh, boleh… hari ini kakek sedang tidak banyak pekerjaan. Kita akan jalan-jalan agar Indira senang.
Tapi tiba-tiba Indira menatap ke arah gerbang.
“Ibuuuu ?” teriaknya.
Wajah sang kakek berubah muram.
***
Besok lagi ya.
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien π
Sami2 ibu Ting
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
DeleteTerima kasih mba Tien ke 13 nya dah tayang.
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulilah Aku Benci Ayahku 13 sudah tayang
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien ..
semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️❤️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai deh
Alhamdulillah ABeAy_13 sdh hadir.....
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Sami2 mas Kakek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah ππ·
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
πͺ»π»πͺ»π»πͺ»π»πͺ»π»
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
AaBeAy_13 sdh tayang.
Matur nuwun sanget,
tetep smangats nggih Bu.
Semoga slalu sehat dan
bahagia. Aamiin.
Salam Aduhai ππ
πͺ»π»πͺ»π»πͺ»π»πͺ»π»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai deh
Trm ksh bunda Tien, sehat2 selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih bunda Tien semoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~13 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun kok Sutar menikah aku gak diundang yaaa
ReplyDeleteUndangane terbatas mbak Yaniiiik
DeleteAnget
ReplyDeleteAgak panas pak Joyo
DeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat dan aduhai
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteAduhai deh
Hamdallah. cerbung Aku Benci Ayahku -13 telah hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat dan bahagia selalu bersama amancu di Sala. Aamiin
Rohana dan Tomy, pada pating pendelik setelah Desy kabur dari rumah nya.
Salam Samawa buat temantem muda ( Satria & Minar ) dan buat temanten tua ( Sutar & Kirani )..ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAkhir nya yg ditunggu berpuluh tahun oleh Kirani sdh terwujud, sebuah cinta suci,yg sekarang sdh bersanding didekat nya
ReplyDeleteSementara Minar jg berbahagia skli, hatinya merasa tenang untuk mengayuh bahtera rumah tangganya bersama Satria
Mks bun ABA 13 nya ...selamat malam,smg bahagia sllu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Alhamdulillah
ReplyDeleteSdh tayang cerbungnya
Terima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dlm lindungan Allah SWT
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Ternyata Desy kangen anaknya. Tapi sesudahnya mau kemana? Mungkin akan cari kerja didekat anaknya.
ReplyDeleteMenunggu Minar yang akan mengikuti suaminya, bagaimana kalau Monik nanti menggoda Satria.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 13* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 13 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Alhamdullilah, "ABeAy1~13" telah hadir
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien
Semoga sehat & bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin allohumma Aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sul
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteMbak Tien sudah tau nama saya ... hihihi..
DeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.π
ReplyDeleteAlhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya π€π₯°πΏπ,,
ReplyDeleteSenangnya mereka,
Indira kangen Ibu....
Terharu
Terimakasih Bu Tien cerbungnya,
ReplyDeleteSalam sehat selalu π❤ππΉ