AKU BENCI AYAHKU 08
(Tien Kumalasari)
Rohana merasa kesal. Ia tak terima ayah Tomy menutup pembicaraan itu begitu saja. Ia kembali memutar nomornya, lama tidak dijawab, tapi Rohana masih terus memutarnya dan memutarnya.
“Ada apa sih?” sentak dari seberang, membuat telinganya sakit. Tapi Rohana menguatkan hatinya.
“Apa kamu lupa bahwa Tomy adalah anakmu?”
“Tidak, aku tidak lupa. Lalu kenapa?”
“Dia membebani aku. Bersama istrinya pula. Apa kamu akan mendiamkannya saja? Bukankah dulu kamu memberi uang berlebih untuk keperluan Tomy?”
”Tentu, itu dulu. Tapi sekarang Tomy bukan anak kecil lagi. Dia bertindak apa yang dia inginkan, dan dia harus bertanggung jawab atas itu semua.”
“Bahkan kamu biarkan dia mati kelaparan?”
“Apakah Tomy lumpuh?”
“Mas!!”
“Kalau dia tidak lumpuh, berarti dia bisa melakukan apapun. Berusaha bagaimana memenuhi kebutuhan hidup. Ada yang salah dari perkataanku?”
“Kamu tega, Mas.”
“Bukan tega. Seorang anak tidak harus selalu bergantung kepada orang tuanya. Dia punya akal budi, dia punya kekuatan. Apa yang tidak bisa dilakukannya? Camkan itu, dan jangan memanjakan anak, bahkan ketika dia beranjak tua.”
“Jadi kamu akan membiarkannya dan tidak akan peduli padanya?”
“Ya. Kalau dulu dia bergantung kepada kekuatan orang tua, maka sekarang saatnya dia berusaha menghidupi dirinya sendiri. Aku kurang apa? Sudah aku beri jalan agar dia punya penghasilan. Tanpa syarat. Bahkan walau kuliahnya tidak selesai. Ada jalan untuk hidup dan itu karena aku membantunya. Lalu dia bertindak atas kemauannya sendiri. Suruh dia bertanggung jawab dan jangan lagi bergantung kepada orang lain, biarpun kepada orang tuanya sendiri. Aku akan merawat anaknya, dan menjadikannya orang yang berguna dan bermartabat. Aku tidak peduli dengan Tomy yang sudah bertindak tanpa menyadari artinya sebuah tanggung jawab. Biarlah semua ini menjadi pelajaran baginya.”
“Jadi ….”
“Jadi jangan menghubungi aku lagi.”
Kali ini benar-benar ponsel dimatikan, dan Rohana tak lagi bisa menghubunginya. Air mata Rohana menitik, karena kesalnya sudah tak terbendung lagi.
Tiba-tiba Sinah datang mendekat.
“Nyonya ….”
“Ada apa?” Rohana menatap pembantunya dengan tatapan dingin.
“Saya minta maaf. Baru saja saya mendengar kabar bahwa ibu saya di kampung sedang sakit. Saya mohon ijin pulang beberapa hari.”
“Ya sudah, pulang saja sana.”
“Tapi Nyonya, saya mau minta gaji saya yang belum terbayar selama tiga bulan. Karena_”
“Tiga bulan? Jadi aku belum memberi kamu gaji selama tiga bulan? Bukannya hanya dua bulan?”
“Tiga, nyonya, bahkan sudah lebih beberapa hari. Ada catatannya. Saya selalu mencatat dan minta agar Nyonya memeriksa catatan saya bukan?”
“Baiklah, kali ini aku baru saja mendapat kiriman dari bapaknya Tomy. Aku beri tiga bulan gaji kamu, tapi kamu tidak usah kembali lagi kemari," katanya sambil membuka dompet yang tergeletak di atas meja.
“Jadi saya tidak boleh kembali bekerja lagi, Nyonya?”
“Kehidupanku agak bermasalah. Pemasukan uang banyak berkurang, jadi rasanya aku tidak sanggup lagi membayar pembantu. Ini uangmu,” katanya sambil memberikan sejumlah uang, yang merupakan gaji Sinah selama tiga bulan.
Sinah menerima uangnya, dan air mata merebak tiba-tiba.
Bagaimanapun, bagi Sinah, melayani keluarga Rohana selama bertahun-tahun, telah memberikan ikatan batin yang terasa sangat lekat, jadi ketika sang nyonya majikan tidak ingin dia bekerja lagi, maka rasa sedih itu ada. Tapi apa mau dikata, ia memang melihat kehidupan nyonya majikannya sudah berubah.
“Baiklah nyonya, barangkali saya juga butuh istirahat di kampung. Hanya saja , setelah saya pergi, siapa yang akan membantu Nyonya mengurusi rumah?”
“Apa kamu lupa, sekarang di sini ada istri Tomy. Dia tidak boleh enak-enak seperti anak kos. Nanti akan aku suruh dia mengerjakan semuanya. Bersih-bersih, memasak. Beres kan?”
“Bukankah non Desy bekerja dari pagi sampai sore?”
“Ada selang waktu untuk bisa mengerjakan semuanya. Sebelum dia berangkat, dan sesudah dia pulang. Beres kan? Dan dengan begitu aku bisa menghemat uang pengeluaran aku yang biasanya untuk membayar pembantu.”
Sinah mengangguk. Walau dia mengerti, betapa beratnya mengurus rumah sambil bekerja, tapi dia tak bisa apa-apa, karena sang nyonya majikan memilih memberhentikannya.
***
Sore harinya, baru saja Desy selesai mandi sepulang dari bekerja, Rohana memanggilnya. Desy sudah merasa tak enak melihat wajah sang mertua yang muram. Ia duduk menghadap, bahkan belum sempat minum seteguk airpun sebagai penghapus dahaga setelah seharian bekerja.
“Desy, hari ini Sinah pulang, karena ibunya di kampung sakit.”
“Kasihan. Ijin berapa hari mbak Sinah, Bu?”
“Dia tidak kembali lagi ke mari.”
“Tidak kembali?”
“Ibu tidak kuat membayar pembantu. Karena itu, semua tugas Sinah, kamu yang menggantikannya.”
“Apa?”
“Kamu seorang istri, bukan majikan di rumah ini. Jadi, berusahalah bangun lebih pagi, membersihkan rumah dan memasak. Kalau kamu tidak sempat memasak, masaklah pada sore atau malam, untuk makan keesokan harinya. KIta harus irit, karena penghasilan kamu tidak cukup untuk membeli lauk matang apalagi makan di luar.”
“Tapi saya sudah sangat letih setelah seharian bekerja.”
“Letih itu bukan masalah. Yang harus kamu kerjakan itu kan pekerjaan seorang istri? Bukan pekerjaan yang luar biasa. Dulu ketika ayah Tomy masih di rumah ini, aku juga melayani semuanya.”
Desy tidak menjawab. Hanya mengangguk. Mana berani ia membantah perintah mertuanya?
“Hanya itu yang ingin aku katakan. Kalau untuk makan malam ini, Sinah sudah menyediakannya sebelum pergi. Yang harus kamu kerjakan adalah tugas untuk besok pagi dan seterusnya.
Desy berdiri. Ia akan segera masuk ke kamarnya, karena merasa letih. Tapi ibu mertuanya kembali menghentikannya.
“Satu lagi. Ingatkan pada suami kamu agar bekerja. Penghasilan kamu yang tidak seberapa itu tidak cukup untuk menghidupi kalian berdua.”
Desy masuk ke kamar, dan melihat sang suami sedang berbaring di ranjang, sambil mengutak atik ponselnya.
Wajah Desy bertambah muram.
“Sebenarnya apa yang kamu kerjakan sih Mas? Istri bekerja seharian tapi kamu enak-enak saja bermain ponsel.”
“Jangan asal bicara. Aku ini bukan sedang bermain ponsel. Aku sedang mencari lowongan pekerjaan.”
“Mencari lowongan … berbulan-bulan mencari lowongan tidak dapat juga, baru mencari lowongan, belum mencoba melamar, belum pasti diterima juga, sampai bosan aku mendengarnya,” omel Desy.
“Kamu jangan sembarangan omong. Kamu kira aku tidak berusaha?”
“Dengar ya Mas, yang mengeluhkan tentang kamu itu bukan hanya aku, tapi juga ibumu. Sebelum aku masuk kamar ini tadi, ibumu juga minta agar aku mengingatkan kamu tentang pekerjaan.”
“Diam kamu! Mentang-mentang kamu sudah bekerja lalu kamu merendahkan aku, dan mengomel sepanjang waktu.”
“Apa maksudmu Mas? Aku mengomel bukan aku merendahkan kamu karena mentang-mentang aku sudah bekerja. Sepatutnyalah kamu yang menghidupi istri, bukan aku menghidupi suami. Apa kamu tidak risih mendengar omelan ibumu setiap waktu? Kalau saja kita hidup berdua saja, belum tentu aku mengeluh seperti ini. Omelan ibumu itu lho, aku tidak tahan. Mengapa tidak langsung mengomel ke kamu, dan harus aku juga ikut mendengarnya? Ditambah lagi mbak Sinah sekarang sudah tidak lagi bekerja di sini. Dan kamu tahu Mas, ibu menumpahkan semua tugas mbak Sinah kepadaku. Bisa kamu bayangkan berapa berat beban yang aku pikul?”
“Sekarang kamu juga mengomel. Bosan mendengarnya!” Tomy membanting bantal yang semula untuk menumpu kepalanya, lalu beranjak keluar dari dalam kamar, sambil membanting pintunya keras sekali, membuat Desy terlonjak karenanya.
“Keterlaluan!! Apakah hatinya terbuat dari batu? Merasa benar dan tidak punya rasa kasih sayang. Meninggalkan anaknya juga tega. Meskipun Indira dirawat kakeknya dengan sangat baik, tapi rasa sedih kehilangan anaknya juga nggak kelihatan. Aku merasa berat, tapi aku kan harus mengikuti suami aku? Pantas saja Monik kabur dari rumah. Barangkali juga tidak betah punya suami yang tidak berperasaan seperti dia,” gerutu Desy sambil membaringkan tubuhnya di ranjang. Rasa lelah sangat menghimpitnya. Lelah lahir, dan juga batinnya. Sekilas ada keinginan kabur dari rumah, seperti Monik. Mengapa tidak? Tiba-tiba perasaan rindu kepada Indira datang mengganggunya. Bagaimana kalau dia pulang lalu mengambil anaknya? Pasti kakeknya tak akan mau memberikannya. Tapi bukankah dia ibunya, dan berhak merawat anaknya? Tapi kehidupannya sendiri tidak begitu baik. Orang tuanya juga bukan keluarga kaya. Apakah Indira akan bahagia hidup dalam kemiskinan sementara selama ini kakeknya yang kaya raya pasti memberinya kesenangan dan memanjakannya? Ia tahu karena ia melihat sikap kakeknya ketika melihat Indira. Ia tampak sangat bahagia, dan Indirapun menyukai kakeknya. Desy terlelap karena lelah, sehingga tak tahu kapan suaminya kembali dari pergi entah ke mana.
***
Pagi masih buta ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Desy menggeliat malas, tak biasanya ia bangun sepagi ini. Tapi ketukan di pintu itu sangat mengganggunya. Ia melemparkan selimutnya dan beranjak membuka pintu. Sang ibu mertua berdiri di depan pintu dengan wajah masam.
“Ini sudah pagi. Aku ingatkan kali ini, barangkali kamu lupa akan tugas kamu,” kata Rohana yang terasa pedas mengiris.
Desy membalikkan tubuhnya tanpa menjawab. Ia mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamar, langsung beranjak ke dapur. Agak bingung karena selama ini begitu dia bangun, Sinah sudah menyiapkan minuman hangat untuk semua penghuni rumah.
Gelas … di mana gelas … oh ya, gula … kopi … Desy menggaruk kepalanya ketika kemudian menemukan yang dicarinya. Lalu ia menyeduh kopi ke dalam gelas yang sudah diberinya gula. Air panas sudah tersedia di termos. Ia menuangkan air dari termos ke dalam gelas yang sudah berisi gula dan kopi. Eiiit, mengapa tidak semua kopi larut ke dalam air? Ada yang mengambang, dan tidak mau turun walau dia mengaduknya. Celaka. Harusnya untuk menyeduh kopi, airnya harus benar-benar baru saja mendidih, bukan dari air termos. Ia ingin membuangnya saja, tapi kemudian dia menuangkan tiga gelas kopi itu ke dalam panci kecil, kemudian merebusnya.
Begitu mendidih, kopi itu tak lagi mengambang. Lalu dia menyaringnya, dan memasukkan kembali ke dalam gelas-gelas.
Desy berlari ke kamar mandi yang ada di dekat dapur, kamar mandi yang disediakan untuk Sinah dan pembantu sebelumnya.
Setelah meletakkan kopi-kopi itu di meja ruang tengah, ia membuka kulkas, melihat apa yang bisa dimasak untuk sarapan.
Hanya ada sawi, telur dan tahu di sana. Desy mengeluarkan semuanya.
“Desy, apa tidak ada cemilan?” tiba-tiba terdengar teriakan ibu mertuanya.
Cemilan? Desy mencari-cari, tapi ia tak melihat ada cemilan di sekitar dapur.
“Tidak ada apa-apa, Bu,” kata Desy sambil menyiapkan sayur yang akan dimasaknya.
“Biasanya ada singkong frozen di kulkas, kamu bisa menggorengnya kan?”
Waduh, masih harus menggoreng singkong, sementara belum mulai memasak, dan dia juga belum sempat mandi.
“Cepat digoreng dulu Des,” ibu mertua yang tidak berperasaan itu berteriak lagi.
Desy terpaksa membuka kembali kulkas, dan mengambil singkong frozen dari sana. Karena tergesa-gesa, singkong masih beku langsung masuk ke dalam minyak yang belum panas benar, akhirnya singkong goreng matang berminyak. Ketika dihidangkan, Rohana ngedumel.
“Menggoreng saja nggak bisa.”
Tapi Desy tak mendengarnya. Ia harus memasak. Ada sawi di oseng pakai telur juga. Lalu ia menggoreng tahu.
“Tahu gorengnya kalau sudah matang aku juga mau ngicipin, bawa kemari Des."
Desy mengelus dadanya. Ia merasa diperlakukan seperti pembantu. Ia meneruskan pekerjaannya, tak menjawab permintaan ibu mertuanya.
Ketika memasak selesai, ia menatanya di atas meja makan. Begitu selesai menata meja untuk sarapan, Desy berlari ke kamar. Ia harus mandi. Tapi belum sampai ia masuk ke kamar mandi, didengarnya sang ibu mertua berteriak dari ruang tengah.
“Desy, aku kan mau tahu gorengnya dulu.”
Desy keluar lagi dari dalam kamar, mengambil basi berisi tahu goreng, diletakkannya di meja, di mana sang ibu mertua duduk sambil bersilang kaki.
“Wah, keasinan,” omelnya lagi ketika menggigit sepotong tahu. Desy belum sampai memasuki kamar ketika mendengarnya. Tapi dia langsung masuk dan tidak menjawabnya. Dilihatnya sang suami masih meringkuk di atas ranjang. Desy menarik selimutnya, sehingga karena terkejut Tomy berteriak.
“Desy!! Aku masih ingin tidurrrr!!”
“Tidur saja. Hari ini aku mau pergi dan tidak akan kembali,” katanya sambil masuk ke kamar mandi dengan menutup pintunya keras.
“Apaaa?” Tomy kembali berteriak.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 08 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ratna
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur nuwun mbak Tien
ReplyDeleteSalam sehat dari Purwodadi
Sami2 ibu Kharisma
DeleteSalam sehat dari Solo
alhamdulillah
ReplyDeleteTrimakasih bu tien
Sami2 ibu Endah
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah...Terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Delete❤️❤️🌷☘️☘️☘️🌷❤️❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah......
ABeAy_08 sudah hadir.
Matur nuwun Bu Tien.
Bu Tien memang OYE.
Sinah pulang kampung.
Desy, menantu merangkap pembantu,
Tomy tetap ongkang-2..
Desy mau minggat juga...
❤️❤️🌷☘️☘️☘️🌷❤️❤️
Matur nuwun mas Kakek
DeleteMatur nuwun bu Tien
ReplyDeleteMatur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah, Aku Benci Ayahku telah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.
Semoga selalu sehat dan bahagia. Aamiin ..
Salam Aduhai ....
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Sami2 pak Wedeye
ReplyDeletematurnuwun bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Nanik
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulilah ABAku 08 sudah tayang, iya bagus desy pergi aja tinggalkan orang otang tak bermutu itu...
ReplyDeletematurnuwun bu Tien ..
semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️❤️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai deh
Nha...Desy bergabung saja dengan Monik. Biarkan Tomy gigit jari...
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien
Sami2 jeng Iyeng..
DeleteHoreee ketemu lagiii
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Alhamdulillah " Aku Benci Ayahku-08" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, semoga bunda dan keluarga sehat selalu, sakam kangen dari PasurPasuruan ian
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwunt ibu Mundjiyati
Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~08 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Rasain loe...Desy akan pergi tak kan kembali. Rohana dan Tomy harus kerja keras.
ReplyDeleteApa Desy akan kerja sama dengan Monik ya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
💜🪻💜🪻💜🪻💜🪻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
AaBeAy_08 sdh hadir.
Manusang nggih, doaku
semoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia
lahir bathin. Aamiin.
Salam seroja...😍🤩
💜🪻💜🪻💜🪻💜🪻
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillaah matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu 🤗🥰🌿💐
ReplyDeleteHore seperti kapal mau pecah,,,
Desy mau pergi ,, mengikuti jejak Monik ,, keren nih ,, trs nasib Tomy & Emaknya piye 😁 ,bye bye
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Ayo Tomy....jangan kaya Tarzan terus. Mosok mung nggandul wae sama nyonyahe. Cari kerjaan dong
ReplyDeleteKaya aku aja. Mung nggandul terus.
Mks bun, KSB 8 nya, selamat malam....smg sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
ABA 08 telah tayang dgn lancar
Semoga bu tien selalu sehat² n tetap semangat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien, salam sehat dan semangat
ReplyDeleteSami2 pak Bams
DeleteSalam sehat juga
Rasain tuh nanti kalau Desy pergi... Tomy perang sendiri sama ibunya, karena sama2 malas bekerjadan terbiasa hidup enak2an saja...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Sehat selalu.🙏
Sami2 ibu Nana
DeleteSehat selalu juga
Rohana vs Tommy...rameee
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Anie
DeleteSemangkin ramai
ReplyDeleteGayeng pak Joyo
DeleteMantab cerbung seri 08 ini, sengaja oleh Bunda Tien...jalan cerita nya 'nge gas melulu'
ReplyDeleteDari awal sampai akhir cek cok melulu.
Pantesan Desy tdk tahan ingin segera kabur. 😁😁
Matur nuwun pak Munthoni
DeleteTerima kasih Bu Tien samoga sehat s elalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteRohana & Tomy nyebelin. Baper.🙂
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah, marursuwun Bu Tien, sehat-sehat selalu Bu 💖
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai