AKU BENCI AYAHKU 07
(Tien Kumalasari)
Boy merengut, tak mau turun dari taksi. Ia ingin ke supermarket, berharap ketemu Satria. Tapi sang ibu membawanya ke sebuah rumah. Tentu saja Boy kesal.
“Boy, ayo turun.”
“Kenapa Ibu bohong?”
“Bohong bagaimana sih Boy?”
“Ini bukan supermarket.”
“Turun dulu. Kamu ingin ketemu om Satria bukan?”
“Apa di sini kita bisa ketemu Om Satria?”
“Turun dan jangan marah-marah begitu. Bapak pengemudi taksi bisa marah kalau kelamaan.”
Boy turun, masih dengan wajah muram.
“Kita akan ketemu om Satria di sini.”
“Benarkah?” wajah Boy langsung berbinar. Ia mengikuti langkah ibunya mendekati rumah.
“Apa ini rumah om Satria?”
“Kamu lihat saja nanti.”
Boy berlari mendahului, belum sampai di depan pintu dia sudah langsung berteriak.
“Om Satriaaaa!”
Terdengar pintu dibuka. Boy sudah ingin menghambur masuk, tapi yang dilihat adalah seorang wanita. Boy langsung membalikkan tubuhnya, dan berteriak marah.
“Ibu bohong!!’
Monik melihat wanita yang berdiri di depan pintu dengan wajah heran.
“Monik?” wanita itu menyapa dengan tersenyum manis.
“Minar, kamu di sini?”
“Baru kemarin aku datang. Ayo masuk. Ini anakmu?” Minar membungkuk, mengulurkan tangan kepada Boy. Tapi wajah Boy merengut.
“Aku mau ketemu om Satria,” katanya ketus.
“Oh, kamu pasti Boy. Ya kan?”
Boy heran mendengar Minar mengetahui namanya.
“Benar bukan?” Minar mengulang pertanyaannya.
“Iya. Tapi aku mau ketemu om Satria.”
“Baiklah, masuk dan duduklah kalian. Om Satria baru mandi.”
“Jadi benar, om Satria ada di sini?”
“Benar. Ayo duduk dulu.”
Monik merasa tak enak. Ia tak mengira Minar ada di sini. Satria bilang Minar sedang menyelesaikan kuliahnya, jadi belum diajak ke Jakarta.
“Apa kabar, Monik?”
“Aku baik.”
“Syukurlah. Mas Satria bilang, pernah ketemu kalian ketika sedang belanja. Dia juga bilang, Boy sangat menggemaskan dan lucu. Tidak disangka aku bisa bertemu juga dengan kalian.”
“Ibu, apakah ini yang namanya bu Minar?”
“Iya, benar, Boy.”
Minar tertawa.
“Bagaimana kamu bisa tahu bahwa itu adalah namaku?”
“Om Satria bilang, istrinya bernama bu Minar.”
“Anak pintar. Kamu selalu mengingat apa yang kamu dengar, ya?”
"Kata mas Satria, kamu masih kuliah,” sela Monik.
“Aku sudah selesai, tinggal menunggu wisuda.”
“Syukurlah, setelah ini akan terus tinggal di sini?”
“Belum. Hari ini aku kemari, dijemput mas Satria. Dia minta agar aku mengatur perabotan, dua hari lagi aku pulang dulu, sambil menunggu wisuda..”
“Kamu sungguh beruntung,” lirih Monik.
“Kamu harus sabar ya. Kalau perlu bantuan, katakan kepada kami,” kata Minar tulus. Walau Monik pernah bersikap buruk, tapi Minar tidak pernah membenci Monik. Ia justru merasa kasihan atas nasib kurang beruntung yang menimpa Monik.
“Aku ke belakang dulu, aku buatkan minuman untuk kalian,” kata Minar sambil berdiri.
“Boy mau minum jus mangga?” tanyanya kepada Boy.
“Mau. Tapi kenapa om Satria lama sekali?”
“Ayuk kita lihat, om Satria lagi ngapain …” ajak Minar sambil menggandeng tangan Boy. Boy mengikutinya dengan senang hati.
Monik merasakan perasaannya yang tak menentu. Ia tak banyak berkata-kata. Ia tak mengira akan bertemu Minar yang menjadi saingannya sejak lama.
Apakah dia kesal? Marah? Iri hati? Monik juga tak bisa menguraikan perasaannya saat itu. Ia kemudian menyadari perasaannya kepada Satria ternyata masih sama. Tak tahan mendengar rengekan Boy, ia nekat pergi ke rumah Satria yang sudah diketahuinya sejak ia bersama Minar dan Wini ke Jakarta bertahun lalu. Ternyata bukan hanya Boy yang ingin, tapi dirinya juga. Apa daya ketika sampai di rumahnya, ternyata ada Minar di sana.
“Om Satriaaaa,” Boy berteriak dari arah dapur. Satria yang ada di kamar dan sedang mengganti pakaiannya terkejut.
Ia bergegas keluar, dan melihat Boy sedang mencecap segelas jus yang diberikan Minar.
“Boy? Kamu sama siapa? Kok bisa sampai kemari?”
“Sama ibu,” katanya dengan wajah berseri ketika benar-benar bertemu Satria.
Boy meletakkan gelasnya, lalu menghambur ke pelukan Satria. Minar menatapnya iba. Ia tahu, Boy haus akan kasih sayang seorang ayah.
“Aku kangen sama om Satria.”
“Oh ya?”
“Om kangen nggak sama Boy?”
“Tentu saja.”
“Mas, duduklah di depan. Monik ada di sana,” kata Minar sambil membawa nampan berisi gelas-gelas jus.
Satria menggandeng tangan Boy. Di ruang tamu, ia melihat Monik sedang melamun.
“Ibu, ternyata ibu tidak bohong,” kata Boy riang.
“Bagaimana kamu bisa sampai kemari?” tanya Satria kepada Monik.
“Aku masih ingat rumah ini, ketika mau menghadiri wisuda Mas. Hanya mampir sebentar, tapi aku masih ingat.”
Minar meletakkan gelas-gelasnya.
“Silakan di minum.”
“Terima kasih. Aku kesal karena Boy merengek terus ingin ketemu om Satria.”
“Benarkah Boy?”
“Aku mau om Satria menjadi ayahku,” celotehnya tiba-tiba, membuat semuanya tertegun. Boy hanya anak-anak, ia mengatakan apa yang diinginkannya, tanpa sadar ucapan itu mengusik hati Satria, terutama Minar.
“Boy jangan omong sembarangan," tegur Monik yang merasa sungkan.
“Boy mau ayah seperti om Satria. Baik sama Boy, tidak seperti bapak Tomy,” ia masih saja berceloteh.
“Boy boleh kok, menganggap om Satria sebagai ayah Boy,” yang menjawab justru Minar, yang menyadari seperti apa perasaan Boy.
“Benarkah? Apakah om Satria akan tinggal bersama ibuku?”
“Tidak Boy. Om Satria akan tetap di sini, bersama tante Minar. Boy juga boleh menganggap ibu pada tante Minar,” kata Satria.
“Masa ibunya ada dua?” Boy masih saja protes.
“Kalau ibunya dua, lebih banyak yang menyayangi Boy,” kata Minar.
“Tante Minar juga menyayangi Boy?”
“Tentu saja Boy.”
“Ibu, ibuku ada dua. Ayahnya satu,” celoteh Boy sambil menggoyang-goyang tangan Monik.
Monik hanya tersenyum. Ia meraih gelas berisi jus mangga yang disajikan Minar, berusaha mengendapkan perasaannya.
Mereka kemudian berbincang, yang sebagian besar adalah meladeni celoteh Boy yang bicara semau-maunya.
Dengan ramah Minar juga menyajikan makan siang, dan menyuapi Boy dengan senang hati.
“Ibu Minar baik ya?” kata Boy yang kemudian langsung memanggil ibu.
Hari sudah sore ketika kemudian Monik berpamit pulang.
“Mas, antar Monik ke rumahnya dong,” kata Minar yang tak sampai hati melihat Monik pulang hanya bersama Boy.
“Tidak, jangan. Aku akan naik taksi saja,” katanya sambil mengambil ponselnya untuk memanggil taksi online.
Satria dan Minar segera mengerti, Monik tak ingin ada orang lain mengetahui di mana rumahnya.
“Ibu, bolehkah Boy menginap di sini?”
“Boy!” Monik menatap Boy dengan marah.
“Boy, besok om Satria akan sangat sibuk, karena sedang membenahi rumah. Lalu besoknya akan mengantar tante Minar pulang. Jadi tidak bisa kalau Boy tidur di sini,” kata Satria.
Boy mengangguk.
“Tapi lain kali, kalau tante Minar sudah tinggal di sini, Boy boleh sesekali menginap di sini.”
“Benarkah?”
“Ya, tentu saja benar,” kata Satria dan Minar hampir bersamaan, membuat Boy merasa senang.
***
Di sepanjang perjalanan pulang, Monik tak banyak bicara. Ia diam saja ketika Boy berceloteh tentang Satria dan Minar yang sangat baik dan ramah kepada dirinya.
“Ibu, bolehkah Boy memanggil tante Minar dengan ibu saja?”
“Ibumu kan sudah ada. Ya ibu ini.”
“Tapi om Satria kan sudah menjadi bapak untuk Boy.”
“Hanya bapak bohong-bohongan.”
“Ibu gimana sih. Mengapa bapak bohong-bohongan?”
“Kalau bapak beneran ya tinggal bersama ibu dan kamu, di rumah kita.”
“Kalau begitu Boy akan minta agar om Satria mau tinggal bersama kita.”
Ada senyuman miris di hati Monik. Kalau itu benar, alangkah senangnya. Tapi ada Minar yang sebentar lagi akan berada di rumah Satria. Minar mengatakan bahwa setelah wisuda akan ikut Satria di rumahnya, dan itu berarti perhatian Satria akan sepenuhnya tertuju kepada Minar. Tiba-tiba rasa panas kembali membakar hati Monik. Rasa yang dulu pernah dirasakannya ketika masih sama-sama belum menikah. Satria adalah laki-laki yang dicintainya. Bahkan Rohana, sang ibu mertua dengan segala upaya ingin menjebak Satria agar tak bisa menghindarinya. Apa daya kemudian nasib berkata lain. Tomy lah yang kemudian terjebak lalu melakukan hal buruk itu kepadanya, sehingga Tomy yang kemudian menikahinya. Tomy yang buruk perangainya, yang semula dia ingin mencoba mencintainya, tapi tanpa hasil karena Tomy selalu menindas dan menyakiti batinnya.
“Ibu, apakah ibu suka kalau om Satria tinggal di rumah kita?”
“Apa?” Monik terkejut karena sedang melamun.
“Ibu kok tidak mendengarkan Boy bicara? Nggak sopan, tahu,” protes Boy.
“Ibu bukannya tidak mendengarkan, ibu sangat mengantuk, tadi.”
“Kalau begitu, nanti sesampainya di rumah, ibu boleh tidur.”
“Iya, Boy.”
Monik geleng-geleng kepala. Ia merasa, Boy lebih pintar untuk anak seusianya. Terkadang dia bicara seperti orang dewasa.
“Ibu.”
Tapi Monik kemudian memejamkan matanya, pura-pura benar-benar mengantuk, agar Boy tidak mengucapkan kata-kata yang sangat mengganggu perasaannya.
***
Sore hari itu Minar kembali membenahi barang-barang yang baru dibelinya bersama Satria sejak pagi.
Satria membantunya. Rumahnya sedikit berantakan. Maklum rumah bujangan sejak lama, dan tidak pernah punya pembantu. Tapi dengan kedatangan Minar, perlahan semua ditatanya. Ditambah ini dan itu agar terlihat rapi dan tentu saja indah. Tapi sambil bekerja itu, keduanya masih membicarakan Boy dan ibunya.
“Boy itu menggemaskan, dan pintar. Bagaimana mungkin Tomy tidak tergugah hatinya untuk menyayanginya?” kata Minar sambil merapikan letak vas bunga dengan bunga-bunga plastik yang cantik.
“Wajahnya juga wajah Tomy, bukan?”
“Benar. Seperti pinang dibelah dua.”
“Monik pernah berkata, sepertinya Tomy punya selingkuhan.”
“O, begitu? Tapi ikatan darah harusnya tidak bisa memutuskan tali yang mengikatnya. Aku heran, dan merasa kasihan pada anak itu. Masa sih, seorang anak sampai membenci ayahnya?”
“Karena dia juga tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya.”
“Masa sampai dia ingin agar Mas menjadi ayahnya, lalu dimintanya tinggal bersama ibunya. Bagaimana menurut Mas?” kata Minar setengah bercanda.
Satria terkekeh geli.
“Ada-ada saja. Kalau aku tinggal di sana, bagaimana dengan istriku yang cantik ini?” kata Satria sambil memeluk erat sang istri.
“Kalau Mas mau, aku tidak apa-apa.”
“Bohong deh. Berarti kamu nggak cinta dong sama suami kamu, buktinya merelakan suaminya tinggal bersama wanita lain.”
“Cinta itu kan harus rela berkorban. Kalau orang yang dicintai itu merasa bahagia, pasti dia juga akan bahagia.”
“Teori, itu. Prakteknya tidak begitu. Masa tidak sakit ditinggal orang yang dicintai?”
“Entahlah, kan aku belum pernah merasakannya, dan jangan sampai lah.”
“Tuh, kan.”
“Apa benar, Mas tidak akan mengkhianati cinta yang pernah Mas ucapkan?”
“Tidak. Di dunia ini hanya ada satu wanita yang aku cintai. Apa aku harus bersumpah?”
“Jangan. Baiklah, aku percaya kok. Sekarang tolong bantu memindahkan meja ini. Harusnya ada di sana. Di pojokan, bukan di tengah-tengah begini.”
Keduanya sibuk sambil bercanda. Satria memuaskan hatinya dengan kebersamaan yang dirasakannya. Memang sih, Minar belum bisa sepenuhnya tinggal, tapi setidaknya rumah yang ditinggalinya telah ditata dengan sentuhan tangan cantik sang istri, yang tak lama lagi akan menjadi penghuninya.
***
Rohana merasa kesal. Berbulan-bulan Tomy belum juga mendapat pekerjaan. Anjuran ibunya agar Tomy meminta tolong Satria, tidak digubrisnya. Setiap bulan Desy menyerahkan sebagian besar gajinya, dan hanya mengambilnya untuk transport ke tempat kerja, tapi Rohana masih merasa kurang. Uang pemberian Desy dirasanya belum cukup. Tomy didesaknya agar bekerja, tapi Tomy selalu mengatakan belum mendapatkannya.
Karena kesal, kemudian Rohana menelpon ayah Tomy, barangkali ada perhatian darinya ketika mengetahui keadaan anaknya.
“Hallo, ada apa? Aku sudah mentransfer uangnya,” kata ayah Tomy, dingin.
“Iya, itu aku sudah tahu, aku hanya ingin bicara tentang Tomy.”
“Bicara tentang Tomy, apa itu urusanmu?”
“Tomy dan istrinya tinggal di rumahku.”
“Oh, syukurlah kamu mau menampungnya. Ajari dia yang baik-baik. Yang telah lalu itu ajaran buruk yang kamu berikan.”
“Mas, Mas kan tahu, uang dari Mas untuk aku sangat terbatas. Hanya cukup untuk aku makan.”
“Bukankah yang penting itu makan? Banyak orang tidak bisa makan, dan itu sengsara. Kamu bisa makan, kamu harus mensyukurinya.”
“Mas, bebanku bertambah karena Tomy dan istrinya ada di rumah.”
“Mengapa kamu cerita padaku? Aku sedang sibuk.”
Rohana merasa kesal. Ayah Tomy menutup ponselnya tiba-tiba.
***
Besok lagi ya.
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Deleteπ»ππ»ππ»ππ»π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
AaBeAy_07 sdh tayang.
Matur nuwun sanget,
tetep smangats nggih Bu.
Semoga slalu sehat dan
bahagia. Aamiin.
Salam Aduhai ππ
π»ππ»ππ»ππ»π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Deletealhamdulillah
ReplyDeleteTrimakasih bu tien
Sami2 ibu Endah
DeleteMatur suwun ,πππ
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatursuwun bunda Tien semoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun, bu Tien cantiiik... sehat2 sekeluarga, yaa
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun jeng Mita
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah ...terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
Deletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteMatur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteTetap semangat dalam karya
Sami2 mbak Yaniiikkk
DeleteAlhamfulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteMatur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah ABeAy_07, sdh tayang.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, capek kami berdua baru pulang bawa sahabat2 alumni pddk telkom 1970-1971
Sidah ada yang mijitin kan mas Kakek?
DeletePiyΓ© pΓͺnakΓ©...Tomy ditemokkΓ© Minar waΓ©, terus tertarik....
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 07* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun psk Wedeye
Alhamdulillah ππ·
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Waah...jadi penasaran nih, Ayah Tomy siapa namanya ya? Sepertinya belum pernah disebut, tapi sekarang sering muncul. Agak rancu ketika Boy menyebut ayahnya sebagai "bapak Tomy".
ReplyDeleteBtw, terima kasih ibu Tien...salam sehat.ππ
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~07 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 07 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
'Terlalu Baik' malah jadi tidak baik. Minar maupun Satria bila terlalu baik kepada Boy bisa berbuah kerusakan dalam keluarga.
ReplyDeleteBagaimanapun Monik tetap menginginkan Satria, ternyata dipermudah dengan rengekan Boy.
Salam sukses mbak Tien, semoga selalu sehat dan ADUHAI... aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Matur nuwun bunda Tien..ππ
ReplyDeleteSami2 ibu Padmasari
DeleteRame
ReplyDeleteRame2 pak Joyo
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien untuk tayangan ABA 07
Semoga bu tien sehat² & selalu dlm lindungan & bimbingan Allah SWT .... aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya π€π₯°πΏπ
ReplyDeleteSeorang suami kl diberikan kepercayaan oleh istrinya untuk tinggal dg seorang bukan istrinya malah tdk mau,, tp kl dilarang malah kebalasan ππ€
Suami pernah tinggal di Amerika, selama kurleb 10th, Krn tugas mengantikan kakak perempuan nya yg sakit', hrsnya hny 3 bln malah ke jd lama,, sy menyarankan silahkan kl mau mencari istri di Amerika, tp malah g mau , katanya bikin ribet,,,ntr malah bikin tdk ingat anak ,, haha
Mantab & aduhaiii Minarni sy suka pribadinya.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Suami yang setia, topp
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulillah, mtnw mbakyu, sehat selaluπ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Kun
Alhamdulillaah "ABeAy 7" sdh datang. matursuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya π€π₯°πΏπ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Hamdallah. cerbung Aku Benci Ayahku -07 telah hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat dan bahagia selalu bersama amancu di Sala.
Rohana parah, semua nya serba perhitungan. Tomy juga parah, malas tdk mau bekerja. Hanya Desy yng bekerja sbg tulang punggung mereka.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai deh
Terimakasih Mbak Tien..
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDelete