Monday, June 24, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 32

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  32

(Tien Kumalasari)

 

 

Sutar baru saja selesai mandi di sore hari itu, ketika melihat Minar sedang melamun di teras. Di depannya, ponsel Minar tergeletak begitu saja.

“Hei, sedang ngelamunin apa? Ingat waktu jalan-jalan ke Jakarta? Bukankah semuanya menyenangkan?” katanya sambil duduk di depan anaknya.

Minar mengangkat wajahnya, tersenyum melihat sang ayah tiba-tiba sudah ada di depannya.

“Bapak sudah mandi?”

“Sudah. Kan bapak sudah rapi, sudah wangi,” jawab Sutar sambil meraih secangkir kopi yang disediakan Minar beberapa saat yang lalu.

“Kamu sedang memikirkan sesuatu?” tanya sang ayah lagi.

“Tidak ada. Sedang menunggu Bapak selesai mandi.”

“Bohong kan? Kelihatan lhoh, kalau kamu sedang memikirkan sesuatu.”

Minar menghela napas panjang. Masalah ponsel itu masih sangat mengganggunya, walaupun Satria dan Wini sudah meminta maaf.

“Ya Pak, sebenarnya ada beberapa masalah yang sedang Minar pikirkan.”

“Tuh, kan, bapak tidak akan salah menilai kamu. Kamu tuh selalu kelihatan, sedang senang hati, atau sedang sedih, entah apa  yang kamu pikirkan, tapi bapak pasti tahu.”

“Bapak seperti tukang ramal saja. Bisa melihat pikiran orang.”

“Bukan bisa melihat. Bapak tuh hanya menebak-nebak saja. Beberapa masalah apa yang sedang kamu pikirkan? Berat banget tuh, masalahnya ada beberapa.”

“Iya Pak, nggak berat-berat banget sih, tapi tetap mengganjal. Nomor satu adalah masalah ponsel Minar ini.”

“Memangnya kenapa ponsel kamu? Rusak? Masa ponsel baru bisa rusak?”

“Bukan rusak. Minar hanya ingin bilang, ponsel Minar ini sebenarnya pemberian orang.”

“Pemberian orang bagaimana sih? Bukankah itu hadiah yang kamu dapat ketika reuni beberapa waktu yang lalu?”

 “Ini hadiah rekayasa. Bukan murni hadiah yang diundi waktu itu.”

“Maksudnya?”

Lalu Minar menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, membuat sang ayah juga mengerutkan kening.

“Minar bingung, kemarin itu ingin mengembalikan ponsel ini kepada mas Satria ataupun Wini, tapi mereka memohon-mohon agar Minar tidak melakukannya.”

“Mereka kasihan karena kamu tidak bisa membeli ponsel, atau orang tua kamu tidak mampu membelikannya?”

“Mereka bilang bukan. Mereka memberinya dengan tulus. Mereka bilang, mengapa melakukannya dengan cara itu, karena mereka khawatir Minar pasti akan menolaknya kalau diberikan secara langsung. Minar bingung harus bagaimana, memaksa mengembalikan, atau bagaimana ya Pak?”

“Sebenarnya memang hal itu agak sedikit menjadikan ganjalan. Tapi kamu sudah berusaha mengembalikannya dan mereka menolaknya bukan? Jadi sebenarnya mereka itu punya niat baik tapi jalannya yang salah.”

“Minar juga berpikir begitu. Tapi mereka memohon-mohon agar Minar tidak mengembalikannya. Mas Satria bahkan sampai berlutut di depan Minar, jadi nggak enak sekali perasaan Minar.”

“Ya sudah, karena kamu juga sudah melakukan yang terbaik, tidak usah kamu memikirkannya lagi. Terima saja dan bersyukur. Lalu apa lagi masalah kamu?”

“Maaf kalau hal ini membuat Bapak sakit hati.”

Minar berhenti sebentar untuk menata perasaannya.

“Bapak kan tahu, ibu pergi karena ada laki-laki lain yang membuatnya lebih tertarik, sehingga rela meninggalkan Bapak? Ketika di Jakarta Minar ketemu laki-laki itu. Yang kita lihat ketika kita mau makan, dan laki-laki itu keluar dari rumah makan itu, bersama ibu.”

“Kamu bertemu dia di Jakarta? Dia sedang bersama ibumu?”

“Tidak. Dia bersama bekas istrinya.”

“Bekas istrinya?”

“Jadi dia itu sebenarnya seorang duda. Yang membuat Minar sedikit agak kurang enak ialah, bahwa laki-laki itu adalah ayah mas Satria.”

“Apa? Jadi calon ayah tiri kamu itu ayah nak Satria?”

Minar mengangguk dengan wajah sedih.

“Jadi kamu ketemu dia, pastinya saat dia menghadiri wisuda nak Satria kan? Kamu bertemu ibunya juga pastinya. Tidak bersama ibumu?”

“Tidak. Bekas istrinya cantik dan kaya raya.”

Sutar diam. Dia baru saja menerima surat perceraian resmi dari kantor urusan agama. Hal itu tidak dipikirkannya karena memang dia sudah berniat menceraikannya. Entah siapa yang akan menjadi suami Birah nantinya, Sutar juga tidak peduli. Tapi ketika melihat wajah Minar, ada yang kemudian dipikirkannya. Apakah ada hubungan khusus antara Minar dan Satria, lalu hubungan antara ibunya dan ayah Satria akhirnya menjadi ganjalan? Tapi sebenarnya Sutar tidak begitu mengharapkan ada suatu hubungan diantara Minar dan Satria, mengingat keadaan keluarganya dan pastinya keluarga Satria yang tidak sepadan.

“Apa kamu sedih karena hal itu mengganggu hubungan kamu dengan nak Satria?” kata Sutar berterus terang, karena tak ingin Minar menyembunyikannya.

“Saya dan mas Satria hanya berteman,” hanya itu jawaban Minar, walau ada rasa lain yang ia juga belum begitu mengerti apa artinya.

“Tidak ada hubungan yang lebih dari teman?”

“Minar kan harus tahu diri. Minar tidak akan bermimpi, dan mas Satria juga menganggap Minar hanya sebagai teman biasa,” kata Minar yang sesungguhnya  berpikir tentang hal yang berbeda. Sikap dan perhatian Satria yang luar biasa, benarkah ia hanya menganggap dirinya sebagai teman?

“Ya sudah, tidak usah dipikirkan lagi, semuanya kan memang harus terjadi. Bapak bisa mengerti semuanya, dan hanya berharap agar kamu menemukan kebahagiaan dalam hidup kamu. Jangan menyesali kepergian ibumu, jangan menyesali keadaan kita, berjalanlah seperti jalan yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Agar kamu merasa nyaman dalam menjalani kehidupan ini.”

Minar mengangguk. Biarlah ibunya pergi, karena ia punya ayah yang bijaksana dan sangat mengasihinya.

***

Murtono sedang membenahi usahanya, dengan modal yang diberikan Rohana. Meskipun syaratnya adalah tidak menikahi Birah, tapi karena keadaan memaksa, dia menyanggupinya. Entah apa nanti yang harus dikatakannya kepada Birah, dia belum memikirkannya. Yang penting usahanya bisa bangkit, dan dia harus mulai membenahinya dengan lebih berhati-hati.

Pagi itu dia mau berangkat ke kantor, ketika tiba-tiba Birah muncul dengan wajah cemberut.

“Mas, berhari-hari aku mencari, baru kali ini bisa ketemu,” katanya sambil langsung duduk di kursi teras.

“Kamu kan harus tahu, aku sedang ada masalah di perusahaan.”

“Mas ke Jakarta menemui Rohana bukan?”

“Terus terang … ya. Karena dia yang menolongku ketika usahaku hampir bangkrut. Dan sekarang ini kamu harus tahu, bahwa aku sedang mulai membenahi usaha tersebut.”

“Aku sudah memberi tahu Mas, bahwa surat cerai itu sudah keluar.”

“Syukur alhamdulillah.”

“Lalu bagaimana dengan rencana kita? Bukankah kita harus segera menikah?”

“Birah, kamu baru saja bercerai. Kenapa buru-buru membicarakan pernikahan? Kamu masih dalam masa idah kan?”

“Bagaimanapun semua itu kan harus kita rencanakan. Tidak tiba-tiba menikah. Aku harus tahu bagaimana rencana Mas untuk itu.”

Wajah Murtono muram seketika. Ia ingat kerepotannya, ingat janjinya kepada Rohana, ingat banyak hal yang pasti nanti harus diingkarinya.

“Kenapa diam? Jangan bilang Mas masih repot dan belum bisa memikirkannya, aku sudah nggak betah tinggal di rumah kumuh itu.”

“Birah, yang harus kamu ingat sekarang adalah, rumah yang aku sewa itu adalah jauh lebih bagus dari rumah suamimu yang buruk dan lebih dari kumuh.”

“Benar, tapi rumah ini lebih bagus. Aku ingin segera pindah ke rumah ini, lalu foto kamu bersama Rohana segera kamu singkirkan.”

“Birah, aku memang ingin mengatakan bahwa aku sedang sibuk mengurus perusahaanku. Masih banyak yang harus dibenahi, jadi aku belum bisa memikirkan hal-hal lain. Kamu harus mengerti, jadi jangan mengganggu aku dengan pembicaraan-pembicaraan yang membuat aku pusing dan semakin pusing.”

Birah menatap wajah Murtono, yang sama sekali saat bicara tidak memandanginya. Ada perasaan tak enak, dan merasa bahwa perhatian Murtono sudah jauh berkurang.

“Sekarang ini aku harus buru-buru pergi ke kantor, jadi lebih baik kamu pulang dulu saja, atau bareng aku juga tidak apa-apa, nanti aku turunkan di rumah sewa itu.”

“Mas, tapi uangku sudah menipis.”

“Baiklah, aku beri, tapi tidak banyak, jangan samakan aku dengan dulu, aku sedang kerepotan,” kata Murtono yang kemudian mengambil dompetnya, lalu memberikan beberapa lembar uang ratusan.

“Birah merengut menerima uang itu.

“Hanya segini?”

“Kamu harus berhemat. Jangan membeli barang-barang yang tidak perlu. Yang penting kamu bisa makan dan tidak kelaparan. Kamu lihat, mobilku yang satu sudah aku jual untuk menutupi kebutuhan, tinggal itu yang karena masih aku butuhkan, jadi masih ada,” katanya sambil berdiri.

“Aku mau di sini dulu, mau minta sarapan sama simbok,” kata Birah tanpa mau beranjak.

Murtono membiarkannya. Dia langsung turun dan menghampiri mobilnya, kemudian berlalu.

Birah menatapnya sampai Murtono hilang dari pandangan. Ia masih duduk di kursinya ketika simbok ingin menutup pintu rumah.

“Oh, ternyata ada Nyonya Birah,” seru simbok.

“Buatkan aku coklat panas Mbok, dan sediakan makan untuk sarapan,” titahnya bagai sudah benar-benar menjadi nyonya di rumah itu.

“Baiklah, Nyonya. Nyonya mau duduk di mana?”

“Aku di ruang tengah. Taruh minumannya di sana, lalu siapkan makan pagiku.”

“Baik,” kata simbok yang selalu kurang senang melihat sikap bakal nyonya yang sangat arogan itu.

Birah segera masuk ke dalam, lalu duduk di ruang tengah sambil menyilangkan kaki.

“Tinggal menunggu masa idah, lalu akan berada di sini sebagai nyonya Murtono,” gumamnya sambil menatap ke sekeliling ruangan, kemudian berhenti pada foto Murtono bersama Rohana yang masih terpampang di sana.

“Tak lama lagi kamu akan tergeletak di tempat sampah,” gumamnya lagi dengan marah.

***

Monik masih tinggal di rumah Rohana. Sangat kerasan karena Rohana sangat memanjakannya. Ia tak peduli harus bolos dari kuliahnya, karena ia harus mengejar keinginannya untuk bisa berdampingan dengan Satria.

“Ibu, mengapa mas Satria tidak datang, walaupun Ibu sudah memanggilnya?”

“Tenang saja Monik, Satria sedang mencari pekerjaan dan hari ini wawancara. Barangkali belum selesai, atau masih ada persyaratan yang belum dipenuhinya.”

“O, begitu ya?”

“Sabar dong Monik, jangan khawatir. Kamu pasti akan menjadi menantuku. Aku sudah memikirkan cara untuk memaksanya.”

“Senang saya mendengarnya Bu. Sudah sejak lama saya menyukai mas Satria, tapi sangat sulit mendekatinya. Dia sangat rajin dan jarang berkumpul dengan teman-temannya.”

“Satria memang sangat pintar. Berbeda dengan Tomy,” kata Rohana yang sejauh ini belum pernah bercerita tentang Tomy.

“Siapa Tomy, Bu?”

“Tomy itu anakku juga, dari ayah yang lain.”

“Jadi Ibu sudah bersuami lagi?” tanya Monik tanpa sungkan.

“Aku bersuami lagi, melahirkan Tomy, tapi belum lama ini kami bercerai, karena dia punya istri, dan istrinya mengetahui hubungan ibu dengan suaminya,” terang Rohana yang juga tidak sungkan menceritakan kehidupannya yang sedikit rumit.

“O, begitu?”

“Kamu harus tahu semuanya, karena kelak kamu juga akan menjadi keluargaku.”

“Ibu yakin bisa?”

“Tentu saja ibu yakin, jadi kamu tidak usah khawatir. Kamu tidak buru-buru ingin pulang kan?”

“Saya akan menunggu mas Satria datang.”

“Bagus. Ibu senang kamu menemani ibu di sini. Anggap saja rumah ini seperti rumah kamu sendiri.”

“Baiklah Bu, terima kasih atas kebaikan ibu selama ini.”

“Jangan sungkan, kamu kan calon menantuku.”

Monik merangkul Rohana erat, dengan penuh harapan akan segera bisa memiliki Satria yang selalu diimpikannya.

***

Hari itu Rohana pamit kepada Monik, karena ada urusan di bank. Ia melarang Monik ikut, karena Satria hari ini berjanji akan datang.

“Tunggu di rumah saja. Ibu sudah menyiapkan minuman untuk Satria di ruang tengah, kamu harus menyambutnya dengan manis nanti. Usahakan dia minum minuman itu,” pesan Rohana. 

“Baiklah, ibu jangan khawatir,” jawab Monik sambil mengantarkan Rohana sampai ke teras. Ia sudah mengerti apa artinya minuman itu. Monik segera masuk ke dalam kamarnya, lalu berganti pakaian yang cantik, yang menawan, yang nanti akan membuat Satria tertarik padanya. Ia berputar sebentar di depan kaca, lalu membayangkan Minar yang dianggapnya terlalu kampungan dalam berpakaian maupun penampilan. Mana bisa dibandingkan dengan dirinya?

Kemudian Monik membaringkan dirinya di sofa. Ia tak ingin kelihatan seperti sedang menunggu. Ia harus jual mahal, karena ia yakin Satria akan tertarik dengan penampilannya yang seksi dan menawan.

Sebuah mobil berhenti di halaman, Monik memejamkan matanya, pura-pura tidur, menekuk sebelah kakinya agar terlihat menantang.

Monik mendengar langkah-langkah kaki mendekat, lalu sebuah suara berdehem. Terdengar suara gelas dan sendok berdenting, Monik yakin Satria sedang minum. Tapi tak terdengar Satria menyapanya. Ya pastilah, kan Satria sudah tahu kalau dia menginap di rumah ibunya. Lalu terdengar suara sebuah siulan, dan seseorang duduk di dekat kakinya. Monik berdebar. Sangat berdebar ketika sebuah tangan menyentuh lengannya. Monik tetap memejamkan matanya.

Lalu terdengar langkah menjauh. Lalu suara Sinah terdengar menyapa.

"Tuan muda? Mau dibuatkan minum apa?"

"Aku sudah minum. Yang ada di meja itu."

Sinah tak terdengar menjawab. Monik masih memejamkan mata. Bukankah Satria sudah minum di gelas yang disediakan  ibunya? Ia menunggu dengan debar yang terasa menghentak-hentak dadanya.

***

Besok lagi ya.

 

70 comments:

  1. Replies
    1. Selamat jeng Iin juaranya, sebab dekat dengan nakoda, diatas kereta Lodaya.
      Selamat jalan bu Tien, mas Tom dan jeng Iin.
      Fii Amanillah

      Delete
    2. Aamiin. Matur nuwun atas semuanya, mas Kakek

      Delete
  2. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  3. 🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫

    Syukron bu Tien, KaeSBe episode_32 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI...
    👍👍🌹

    𝙎𝙚𝙗𝙪𝙖𝙝 𝙢𝙤𝙗𝙞𝙡 𝙗𝙚𝙧𝙝𝙚𝙣𝙩𝙞 𝙙𝙞 𝙝𝙖𝙡𝙖𝙢𝙖𝙣, 𝙈𝙤𝙣𝙞𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙟𝙖𝙢𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙩𝙖𝙣𝙮𝙖, 𝙥𝙪𝙧𝙖-𝙥𝙪𝙧𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙪𝙧, 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙠𝙪𝙠 𝙨𝙚𝙗𝙚𝙡𝙖𝙝 𝙠𝙖𝙠𝙞𝙣𝙮𝙖 𝙖𝙜𝙖𝙧 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜.
    (𝘛𝘰𝘮𝘺 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘶𝘯 𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘯𝘪𝘤𝘩, 𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴 '𝘯𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬' 𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘭𝘢) 🫢🫢🫢

    🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang

    ReplyDelete
  5. Trimakasih Bu Tien ... sdh tayang

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.... matur nuwun bunda, sehat2 selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Wiwik

      Delete
  7. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  8. Baru duduk di kereta api Lodaya mlm
    Bunda Tien Kumalasari lgsg tayang

    Diriku ndherekno di blkg

    ReplyDelete
  9. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  10. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  11. Fii amanillah bunda
    Moga lancar sampai di Solo

    Walau di kereta tetep tayang gasik
    Kereeen
    Salam aduhai sll

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Wiwik

      Delete
  12. Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~32 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  13. Terima kasih bu Tien K ... Kupetik Setangkai Bintang ke 32 sdh tayang ... Semakin asiik ceritanya ... senjata makan tuan muda ... Smg bu Tien dan keluarga sehat & bahagia sll ... Wssalam ... Mohon maaf lahir bathin .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun sami2 ibu Enny

      Delete
  14. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, di sela² kunjungan ke Bandung , bunda masih menyempatkan menghibur kami semua, fii Amanillah bunda dan rombongan sampe do Solo

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Mundjiati

      Delete
  15. Yang datang Tomi bukan Satria , bagaimana nasibmu Monik?
    Terimakasih bunda Tien

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Terima kasih bu tien KSB 32 telah meluncur
    Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... Aamiin yra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Arif

      Delete
  17. Alhamdulillah.... Barokallah fik... Sehat selalu🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Kun Yulia

      Delete
  18. Terimakasih bunda Tienasih sempat menghibur kami, selamat sampai tujuan, salam sehat selalu dan aduhai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Komariyah

      Delete
  19. Horeeeee...Tomi si tuan muda yang minum...
    Apakah Satria segera datang ya, atau mungkin Rohana juga sudah pulang. Makin ramai saja.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  20. Alhamdulillah
    Matur nuwun bunda Tien K.
    Fii Amanillah bunda bersama rombongan semoga lancar sampe Solo

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun Anrikodk

      Delete
  21. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien,
    Sehat wal'afiat semua ya , Fii Amaanillah, yassarullaah , selamat sampai tujuan 🤗🥰🌿💖

    Monik nakal ya kamu , awas ada Tomy yg lebih nakal lg ,,,hihi😁

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun bunda..selalu setia menunggu...

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tienl
    Salam sehat selalu💖

    ReplyDelete
  24. Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 32 telah tayang

    Sugeng tindak kondor ning Solo nggeh Bunda Tien ugi pakdhe Tom...fii amanilah..Aamiin

    Monik...ganjen pura2 tidur, agar di bopong Satria. Tak tahu nya yang mbopong Tomy, ke kamar, jadi hiburan nya Tomy nih..😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  25. Matur nuwun Bu Tien. Ibu memang sangat piawai membuat cerita yg sulit ditebak. Tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Reni

      Delete
  26. Makasih mba Tien.
    Salah sasaran nih kayaknya.
    Salam sehat selalu dan tetap aduhai

    ReplyDelete
  27. Akhirnya Monik diperkosa Tommy karena minum obat perangsang...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah Kupetik Setangkai Bintang - 32 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.

    Fii Amanillah Bunda Tien, Pak Tom semoga lancar diperjalanan menuju Solo
    Aamiin Allahumma Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ting

      Delete
  29. Waduuuh, mulai kebo keboan nih ... siapa menanamm dia akan menuai ...
    Marurnuwun bu Tien salam hangat dan aduhai ...

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...