KUPETIK SETANGKAI BINTANG 32
(Tien Kumalasari)
Sutar baru saja selesai mandi di sore hari itu, ketika melihat Minar sedang melamun di teras. Di depannya, ponsel Minar tergeletak begitu saja.
“Hei, sedang ngelamunin apa? Ingat waktu jalan-jalan ke Jakarta? Bukankah semuanya menyenangkan?” katanya sambil duduk di depan anaknya.
Minar mengangkat wajahnya, tersenyum melihat sang ayah tiba-tiba sudah ada di depannya.
“Bapak sudah mandi?”
“Sudah. Kan bapak sudah rapi, sudah wangi,” jawab Sutar sambil meraih secangkir kopi yang disediakan Minar beberapa saat yang lalu.
“Kamu sedang memikirkan sesuatu?” tanya sang ayah lagi.
“Tidak ada. Sedang menunggu Bapak selesai mandi.”
“Bohong kan? Kelihatan lhoh, kalau kamu sedang memikirkan sesuatu.”
Minar menghela napas panjang. Masalah ponsel itu masih sangat mengganggunya, walaupun Satria dan Wini sudah meminta maaf.
“Ya Pak, sebenarnya ada beberapa masalah yang sedang Minar pikirkan.”
“Tuh, kan, bapak tidak akan salah menilai kamu. Kamu tuh selalu kelihatan, sedang senang hati, atau sedang sedih, entah apa yang kamu pikirkan, tapi bapak pasti tahu.”
“Bapak seperti tukang ramal saja. Bisa melihat pikiran orang.”
“Bukan bisa melihat. Bapak tuh hanya menebak-nebak saja. Beberapa masalah apa yang sedang kamu pikirkan? Berat banget tuh, masalahnya ada beberapa.”
“Iya Pak, nggak berat-berat banget sih, tapi tetap mengganjal. Nomor satu adalah masalah ponsel Minar ini.”
“Memangnya kenapa ponsel kamu? Rusak? Masa ponsel baru bisa rusak?”
“Bukan rusak. Minar hanya ingin bilang, ponsel Minar ini sebenarnya pemberian orang.”
“Pemberian orang bagaimana sih? Bukankah itu hadiah yang kamu dapat ketika reuni beberapa waktu yang lalu?”
“Ini hadiah rekayasa. Bukan murni hadiah yang diundi waktu itu.”
“Maksudnya?”
Lalu Minar menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, membuat sang ayah juga mengerutkan kening.
“Minar bingung, kemarin itu ingin mengembalikan ponsel ini kepada mas Satria ataupun Wini, tapi mereka memohon-mohon agar Minar tidak melakukannya.”
“Mereka kasihan karena kamu tidak bisa membeli ponsel, atau orang tua kamu tidak mampu membelikannya?”
“Mereka bilang bukan. Mereka memberinya dengan tulus. Mereka bilang, mengapa melakukannya dengan cara itu, karena mereka khawatir Minar pasti akan menolaknya kalau diberikan secara langsung. Minar bingung harus bagaimana, memaksa mengembalikan, atau bagaimana ya Pak?”
“Sebenarnya memang hal itu agak sedikit menjadikan ganjalan. Tapi kamu sudah berusaha mengembalikannya dan mereka menolaknya bukan? Jadi sebenarnya mereka itu punya niat baik tapi jalannya yang salah.”
“Minar juga berpikir begitu. Tapi mereka memohon-mohon agar Minar tidak mengembalikannya. Mas Satria bahkan sampai berlutut di depan Minar, jadi nggak enak sekali perasaan Minar.”
“Ya sudah, karena kamu juga sudah melakukan yang terbaik, tidak usah kamu memikirkannya lagi. Terima saja dan bersyukur. Lalu apa lagi masalah kamu?”
“Maaf kalau hal ini membuat Bapak sakit hati.”
Minar berhenti sebentar untuk menata perasaannya.
“Bapak kan tahu, ibu pergi karena ada laki-laki lain yang membuatnya lebih tertarik, sehingga rela meninggalkan Bapak? Ketika di Jakarta Minar ketemu laki-laki itu. Yang kita lihat ketika kita mau makan, dan laki-laki itu keluar dari rumah makan itu, bersama ibu.”
“Kamu bertemu dia di Jakarta? Dia sedang bersama ibumu?”
“Tidak. Dia bersama bekas istrinya.”
“Bekas istrinya?”
“Jadi dia itu sebenarnya seorang duda. Yang membuat Minar sedikit agak kurang enak ialah, bahwa laki-laki itu adalah ayah mas Satria.”
“Apa? Jadi calon ayah tiri kamu itu ayah nak Satria?”
Minar mengangguk dengan wajah sedih.
“Jadi kamu ketemu dia, pastinya saat dia menghadiri wisuda nak Satria kan? Kamu bertemu ibunya juga pastinya. Tidak bersama ibumu?”
“Tidak. Bekas istrinya cantik dan kaya raya.”
Sutar diam. Dia baru saja menerima surat perceraian resmi dari kantor urusan agama. Hal itu tidak dipikirkannya karena memang dia sudah berniat menceraikannya. Entah siapa yang akan menjadi suami Birah nantinya, Sutar juga tidak peduli. Tapi ketika melihat wajah Minar, ada yang kemudian dipikirkannya. Apakah ada hubungan khusus antara Minar dan Satria, lalu hubungan antara ibunya dan ayah Satria akhirnya menjadi ganjalan? Tapi sebenarnya Sutar tidak begitu mengharapkan ada suatu hubungan diantara Minar dan Satria, mengingat keadaan keluarganya dan pastinya keluarga Satria yang tidak sepadan.
“Apa kamu sedih karena hal itu mengganggu hubungan kamu dengan nak Satria?” kata Sutar berterus terang, karena tak ingin Minar menyembunyikannya.
“Saya dan mas Satria hanya berteman,” hanya itu jawaban Minar, walau ada rasa lain yang ia juga belum begitu mengerti apa artinya.
“Tidak ada hubungan yang lebih dari teman?”
“Minar kan harus tahu diri. Minar tidak akan bermimpi, dan mas Satria juga menganggap Minar hanya sebagai teman biasa,” kata Minar yang sesungguhnya berpikir tentang hal yang berbeda. Sikap dan perhatian Satria yang luar biasa, benarkah ia hanya menganggap dirinya sebagai teman?
“Ya sudah, tidak usah dipikirkan lagi, semuanya kan memang harus terjadi. Bapak bisa mengerti semuanya, dan hanya berharap agar kamu menemukan kebahagiaan dalam hidup kamu. Jangan menyesali kepergian ibumu, jangan menyesali keadaan kita, berjalanlah seperti jalan yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Agar kamu merasa nyaman dalam menjalani kehidupan ini.”
Minar mengangguk. Biarlah ibunya pergi, karena ia punya ayah yang bijaksana dan sangat mengasihinya.
***
Murtono sedang membenahi usahanya, dengan modal yang diberikan Rohana. Meskipun syaratnya adalah tidak menikahi Birah, tapi karena keadaan memaksa, dia menyanggupinya. Entah apa nanti yang harus dikatakannya kepada Birah, dia belum memikirkannya. Yang penting usahanya bisa bangkit, dan dia harus mulai membenahinya dengan lebih berhati-hati.
Pagi itu dia mau berangkat ke kantor, ketika tiba-tiba Birah muncul dengan wajah cemberut.
“Mas, berhari-hari aku mencari, baru kali ini bisa ketemu,” katanya sambil langsung duduk di kursi teras.
“Kamu kan harus tahu, aku sedang ada masalah di perusahaan.”
“Mas ke Jakarta menemui Rohana bukan?”
“Terus terang … ya. Karena dia yang menolongku ketika usahaku hampir bangkrut. Dan sekarang ini kamu harus tahu, bahwa aku sedang mulai membenahi usaha tersebut.”
“Aku sudah memberi tahu Mas, bahwa surat cerai itu sudah keluar.”
“Syukur alhamdulillah.”
“Lalu bagaimana dengan rencana kita? Bukankah kita harus segera menikah?”
“Birah, kamu baru saja bercerai. Kenapa buru-buru membicarakan pernikahan? Kamu masih dalam masa idah kan?”
“Bagaimanapun semua itu kan harus kita rencanakan. Tidak tiba-tiba menikah. Aku harus tahu bagaimana rencana Mas untuk itu.”
Wajah Murtono muram seketika. Ia ingat kerepotannya, ingat janjinya kepada Rohana, ingat banyak hal yang pasti nanti harus diingkarinya.
“Kenapa diam? Jangan bilang Mas masih repot dan belum bisa memikirkannya, aku sudah nggak betah tinggal di rumah kumuh itu.”
“Birah, yang harus kamu ingat sekarang adalah, rumah yang aku sewa itu adalah jauh lebih bagus dari rumah suamimu yang buruk dan lebih dari kumuh.”
“Benar, tapi rumah ini lebih bagus. Aku ingin segera pindah ke rumah ini, lalu foto kamu bersama Rohana segera kamu singkirkan.”
“Birah, aku memang ingin mengatakan bahwa aku sedang sibuk mengurus perusahaanku. Masih banyak yang harus dibenahi, jadi aku belum bisa memikirkan hal-hal lain. Kamu harus mengerti, jadi jangan mengganggu aku dengan pembicaraan-pembicaraan yang membuat aku pusing dan semakin pusing.”
Birah menatap wajah Murtono, yang sama sekali saat bicara tidak memandanginya. Ada perasaan tak enak, dan merasa bahwa perhatian Murtono sudah jauh berkurang.
“Sekarang ini aku harus buru-buru pergi ke kantor, jadi lebih baik kamu pulang dulu saja, atau bareng aku juga tidak apa-apa, nanti aku turunkan di rumah sewa itu.”
“Mas, tapi uangku sudah menipis.”
“Baiklah, aku beri, tapi tidak banyak, jangan samakan aku dengan dulu, aku sedang kerepotan,” kata Murtono yang kemudian mengambil dompetnya, lalu memberikan beberapa lembar uang ratusan.
“Birah merengut menerima uang itu.
“Hanya segini?”
“Kamu harus berhemat. Jangan membeli barang-barang yang tidak perlu. Yang penting kamu bisa makan dan tidak kelaparan. Kamu lihat, mobilku yang satu sudah aku jual untuk menutupi kebutuhan, tinggal itu yang karena masih aku butuhkan, jadi masih ada,” katanya sambil berdiri.
“Aku mau di sini dulu, mau minta sarapan sama simbok,” kata Birah tanpa mau beranjak.
Murtono membiarkannya. Dia langsung turun dan menghampiri mobilnya, kemudian berlalu.
Birah menatapnya sampai Murtono hilang dari pandangan. Ia masih duduk di kursinya ketika simbok ingin menutup pintu rumah.
“Oh, ternyata ada Nyonya Birah,” seru simbok.
“Buatkan aku coklat panas Mbok, dan sediakan makan untuk sarapan,” titahnya bagai sudah benar-benar menjadi nyonya di rumah itu.
“Baiklah, Nyonya. Nyonya mau duduk di mana?”
“Aku di ruang tengah. Taruh minumannya di sana, lalu siapkan makan pagiku.”
“Baik,” kata simbok yang selalu kurang senang melihat sikap bakal nyonya yang sangat arogan itu.
Birah segera masuk ke dalam, lalu duduk di ruang tengah sambil menyilangkan kaki.
“Tinggal menunggu masa idah, lalu akan berada di sini sebagai nyonya Murtono,” gumamnya sambil menatap ke sekeliling ruangan, kemudian berhenti pada foto Murtono bersama Rohana yang masih terpampang di sana.
“Tak lama lagi kamu akan tergeletak di tempat sampah,” gumamnya lagi dengan marah.
***
Monik masih tinggal di rumah Rohana. Sangat kerasan karena Rohana sangat memanjakannya. Ia tak peduli harus bolos dari kuliahnya, karena ia harus mengejar keinginannya untuk bisa berdampingan dengan Satria.
“Ibu, mengapa mas Satria tidak datang, walaupun Ibu sudah memanggilnya?”
“Tenang saja Monik, Satria sedang mencari pekerjaan dan hari ini wawancara. Barangkali belum selesai, atau masih ada persyaratan yang belum dipenuhinya.”
“O, begitu ya?”
“Sabar dong Monik, jangan khawatir. Kamu pasti akan menjadi menantuku. Aku sudah memikirkan cara untuk memaksanya.”
“Senang saya mendengarnya Bu. Sudah sejak lama saya menyukai mas Satria, tapi sangat sulit mendekatinya. Dia sangat rajin dan jarang berkumpul dengan teman-temannya.”
“Satria memang sangat pintar. Berbeda dengan Tomy,” kata Rohana yang sejauh ini belum pernah bercerita tentang Tomy.
“Siapa Tomy, Bu?”
“Tomy itu anakku juga, dari ayah yang lain.”
“Jadi Ibu sudah bersuami lagi?” tanya Monik tanpa sungkan.
“Aku bersuami lagi, melahirkan Tomy, tapi belum lama ini kami bercerai, karena dia punya istri, dan istrinya mengetahui hubungan ibu dengan suaminya,” terang Rohana yang juga tidak sungkan menceritakan kehidupannya yang sedikit rumit.
“O, begitu?”
“Kamu harus tahu semuanya, karena kelak kamu juga akan menjadi keluargaku.”
“Ibu yakin bisa?”
“Tentu saja ibu yakin, jadi kamu tidak usah khawatir. Kamu tidak buru-buru ingin pulang kan?”
“Saya akan menunggu mas Satria datang.”
“Bagus. Ibu senang kamu menemani ibu di sini. Anggap saja rumah ini seperti rumah kamu sendiri.”
“Baiklah Bu, terima kasih atas kebaikan ibu selama ini.”
“Jangan sungkan, kamu kan calon menantuku.”
Monik merangkul Rohana erat, dengan penuh harapan akan segera bisa memiliki Satria yang selalu diimpikannya.
***
Hari itu Rohana pamit kepada Monik, karena ada urusan di bank. Ia melarang Monik ikut, karena Satria hari ini berjanji akan datang.
“Tunggu di rumah saja. Ibu sudah menyiapkan minuman untuk Satria di ruang tengah, kamu harus menyambutnya dengan manis nanti. Usahakan dia minum minuman itu,” pesan Rohana.
“Baiklah, ibu jangan khawatir,” jawab Monik sambil mengantarkan Rohana sampai ke teras. Ia sudah mengerti apa artinya minuman itu. Monik segera masuk ke dalam kamarnya, lalu berganti pakaian yang cantik, yang menawan, yang nanti akan membuat Satria tertarik padanya. Ia berputar sebentar di depan kaca, lalu membayangkan Minar yang dianggapnya terlalu kampungan dalam berpakaian maupun penampilan. Mana bisa dibandingkan dengan dirinya?
Kemudian Monik membaringkan dirinya di sofa. Ia tak ingin kelihatan seperti sedang menunggu. Ia harus jual mahal, karena ia yakin Satria akan tertarik dengan penampilannya yang seksi dan menawan.
Sebuah mobil berhenti di halaman, Monik memejamkan matanya, pura-pura tidur, menekuk sebelah kakinya agar terlihat menantang.
Monik mendengar langkah-langkah kaki mendekat, lalu sebuah suara berdehem. Terdengar suara gelas dan sendok berdenting, Monik yakin Satria sedang minum. Tapi tak terdengar Satria menyapanya. Ya pastilah, kan Satria sudah tahu kalau dia menginap di rumah ibunya. Lalu terdengar suara sebuah siulan, dan seseorang duduk di dekat kakinya. Monik berdebar. Sangat berdebar ketika sebuah tangan menyentuh lengannya. Monik tetap memejamkan matanya.
Lalu terdengar langkah menjauh. Lalu suara Sinah terdengar menyapa.
"Tuan muda? Mau dibuatkan minum apa?"
"Aku sudah minum. Yang ada di meja itu."
Sinah tak terdengar menjawab. Monik masih memejamkan mata. Bukankah Satria sudah minum di gelas yang disediakan ibunya? Ia menunggu dengan debar yang terasa menghentak-hentak dadanya.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteSelamat jeng Iin juaranya, sebab dekat dengan nakoda, diatas kereta Lodaya.
DeleteSelamat jalan bu Tien, mas Tom dan jeng Iin.
Fii Amanillah
Aamiin. Matur nuwun atas semuanya, mas Kakek
DeleteYesssss
DeleteSuwun mb Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun atas semuanya jeng Ning 😍😍
DeleteAlhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
ReplyDeleteSyukron bu Tien, KaeSBe episode_32 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI...
👍👍🌹
𝙎𝙚𝙗𝙪𝙖𝙝 𝙢𝙤𝙗𝙞𝙡 𝙗𝙚𝙧𝙝𝙚𝙣𝙩𝙞 𝙙𝙞 𝙝𝙖𝙡𝙖𝙢𝙖𝙣, 𝙈𝙤𝙣𝙞𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙟𝙖𝙢𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙩𝙖𝙣𝙮𝙖, 𝙥𝙪𝙧𝙖-𝙥𝙪𝙧𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙪𝙧, 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙠𝙪𝙠 𝙨𝙚𝙗𝙚𝙡𝙖𝙝 𝙠𝙖𝙠𝙞𝙣𝙮𝙖 𝙖𝙜𝙖𝙧 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜.
(𝘛𝘰𝘮𝘺 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘶𝘯 𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘯𝘪𝘤𝘩, 𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴 '𝘯𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬' 𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘭𝘢) 🫢🫢🫢
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
Matur nuwun mas Kakek
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSAmi2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien.
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTrimakasih Bu Tien ... sdh tayang
ReplyDeleteSami2 ibu Endang
DeleteAlhamdulillah.... matur nuwun bunda, sehat2 selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteBaru duduk di kereta api Lodaya mlm
ReplyDeleteBunda Tien Kumalasari lgsg tayang
Diriku ndherekno di blkg
Terima kasih sayangku
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Salam aduhai hai hai
Sami2 Yangtie
ReplyDeleteSami2 ibu Endah
ReplyDeleteAduhai hai hai..
Fii amanillah bunda
ReplyDeleteMoga lancar sampai di Solo
Walau di kereta tetep tayang gasik
Kereeen
Salam aduhai sll
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~32 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terima kasih bu Tien K ... Kupetik Setangkai Bintang ke 32 sdh tayang ... Semakin asiik ceritanya ... senjata makan tuan muda ... Smg bu Tien dan keluarga sehat & bahagia sll ... Wssalam ... Mohon maaf lahir bathin .
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun sami2 ibu Enny
Terima kasih.
ReplyDeleteSami2 pak Widay2
DeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari, di sela² kunjungan ke Bandung , bunda masih menyempatkan menghibur kami semua, fii Amanillah bunda dan rombongan sampe do Solo
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Mundjiati
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteYang datang Tomi bukan Satria , bagaimana nasibmu Monik?
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Sami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien KSB 32 telah meluncur
Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... Aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah.... Barokallah fik... Sehat selalu🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Kun Yulia
Terimakasih bunda Tienasih sempat menghibur kami, selamat sampai tujuan, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Horeeeee...Tomi si tuan muda yang minum...
ReplyDeleteApakah Satria segera datang ya, atau mungkin Rohana juga sudah pulang. Makin ramai saja.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien K.
Fii Amanillah bunda bersama rombongan semoga lancar sampe Solo
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Anrikodk
Maturnuwun, bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien,
ReplyDeleteSehat wal'afiat semua ya , Fii Amaanillah, yassarullaah , selamat sampai tujuan 🤗🥰🌿💖
Monik nakal ya kamu , awas ada Tomy yg lebih nakal lg ,,,hihi😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Matur nuwun bunda..selalu setia menunggu...
ReplyDeleteTerima kasih ibu Riani
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tienl
ReplyDeleteSalam sehat selalu💖
Sami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 32 telah tayang
ReplyDeleteSugeng tindak kondor ning Solo nggeh Bunda Tien ugi pakdhe Tom...fii amanilah..Aamiin
Monik...ganjen pura2 tidur, agar di bopong Satria. Tak tahu nya yang mbopong Tomy, ke kamar, jadi hiburan nya Tomy nih..😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun Bu Tien. Ibu memang sangat piawai membuat cerita yg sulit ditebak. Tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalah sasaran nih kayaknya.
Salam sehat selalu dan tetap aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam aduhai deh
Akhirnya Monik diperkosa Tommy karena minum obat perangsang...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteAlhamdulillah Kupetik Setangkai Bintang - 32 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Fii Amanillah Bunda Tien, Pak Tom semoga lancar diperjalanan menuju Solo
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Waduuuh, mulai kebo keboan nih ... siapa menanamm dia akan menuai ...
ReplyDeleteMarurnuwun bu Tien salam hangat dan aduhai ...