KUPETIK SETANGKAI BINTANG 24
(Tien Kumalasari)
Minar berdebar, menunggu reaksi sang ayah. Tapi barangkali tidak bisa sekaligus memutuskan sesuatu yang tidak biasa. Meninggalkan rumah, bersama seorang laki-laki yang belum lama dikenal?
Melihat sang ayah ragu-ragu, Minar melanjutkan pembicaraannya di telpon.
“Wini, nanti aku menelpon lagi saja ya.”
“Semoga bapak mengijinkan. Kita belum pernah jalan-jalan bersama, apalagi ke tempat jauh.”
“Ya, kamu benar.”
“Baiklah Minar, selamat malam, dan sampaikan hormatku untuk bapak ya.”
Ketika Minar menutup ponselnya, Sutar masih berdiri di depan pintu.
“Jadi kamu mau pergi dengan nak Satria? Bapak kok kurang suka. Kamu seorang gadis, dan belum lama mengenal dia. Masa iya, bapak tidak boleh khawatir?”
“Bukan hanya Minar yang berangkat, tapi juga Wini.”
“Nak Wini juga?”
“Iya. Wini tidak akan berangkat, kalau Minar tidak berangkat. Tapi semua terserah Bapak, kalau Bapak mengijinkan, kami berangkat, kalau tidak ya tidak.”
“Kapan itu?”
“Masih minggu depan. Sebenarnya saat itu mas Satria wisuda.”
“Nanti bapak pikirkan lagi."
“Ya, Pak. Minar mengerti. Minar tidak akan memaksa.”
“Baiklah, sekarang istirahatlah, bapak tadi masuk ke kamar karena mendengar kamu bicara. Bapak lupa kalau kamu sudah punya ponsel dan sedang bicara dengan temanmu,” kata Sutar sambil tersenyum.
“Bapak ada-ada saja,” Minarpun tersenyum, kemudian mencoba memejamkan matanya. Mimpi tentang Jakarta segera terbayang. Alangkah senangnya. Ia belum pernah melihat kota Jakarta. Kata orang Jakarta itu sangat besar, sangat ramai, banyak gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, dan masih banyak yang lain dan hanya didengarnya dari cerita orang. Tapi Minar sadar, ia tak bisa memaksakan kehendak. Sang ayah pasti juga memikirkan bekal dan apakah dia punya uang lebih atau tidak. Minar harus menahan keinginannya, dan tak akan memaksa ayahnya untuk mengijinkannya. Minar khawatir, pasti malam ini sang ayah sedang gelisah memikirkan pembicaraannya sebelum ini. Lalu dengan iseng dia mengirim pesan singkat kepada ayahnya.
(“Bapak jangan memikirkan permintaan Minar ya, Minar tidak begitu ingin melihat Jakarta, selamat tidur, Pak”)
Minar tersenyum. Lucunya punya ponsel, hidup serumah, hanya beda kamar, bisa kirim-kirim pesan kalau tak ingin bicara dengan menemuinya.
Di sana, di kamarnya yang lain, Sutar menerima pesan Minar dengan senyuman lebar. Minar sedang senang-senangnya punya ponsel. Lalu Sutar membalasnya dengan disertai emotikon lucu.
(“Kamu khawatir kalau bapak memikirkan permintaan kamu, lalu tidak bisa tidur? Jangan khawatir, bapak akan tidur nyenyak karena merasa senang kamu punya ponsel baru”)
Minar membalasnya dengan emotikon tertawa yang panjang dan berderet-deret. Lalu kantuk menyerangnya, dan Minar benar-benar bermimpi tentang Jakarta.
***
Satria masih belum tidur malam itu. Sebenarnya ia ingin menelpon Minar, tapi diurungkannya. Takut dikira mengganggu, karena memang sudah malam. Satria belum ingin tidur, lalu keluar dari kamar. Dengan heran ia melihat ayahnya sedang duduk di ruang tengah. Televisi menyala, tapi ayahnya hanya menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Apa sang ayah sedang memikirkan sesuatu? Barangkali tentang pernikahannya dengan wanita bernama Birah yang tidak disukainya itu?
Perlahan Satria mendekat, lalu duduk di dekat sang ayah.
Mendengar ada yang duduk di dekatnya, Murtono mengangkat kepalanya, lalu duduk tegak.
“Kamu belum tidur?”
“Tidak bisa tidur. Mengapa Bapak juga belum tidur?”
“Kapan kamu wisuda?” tanya Murtono tanpa menjawab pertanyaan anaknya.
“Masih minggu depan, beberapa hari lagi Satria kembali ke Jakarta.”
“Apa kamu butuh uang?”
“Uang yang bapak beri masih ada.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Terima kasih, Satria.”
“Mengapa Bapak berterima kasih?”
“Sebenarnya saat ini bapak sedang kesulitan uang. Perusahaan sedang merugi, sampai bapak nggak bisa membayar hutang.”
Satria menatap ayahnya dengan perasaan prihatin. Selama ini sang ayah menghamburkan uang, mungkin tanpa perhitungan. Baru-baru ini malah menawarkan mobil, kalau memang dirinya ingin. Untunglah Satria adalah anak yang merasa cukup dengan yang ada. Bahkan kalau sang ayah mengiriminya uang lebih, ia malah menyimpannya sebagai tabungan.
“Maaf kalau bapak tidak bisa memberi uang saat ini.”
“Satria masih punya, dan cukup. Setelah ini Satria akan mencari pekerjaan. Bapak tidak usah lagi memberi uang untuk Satria.”
“Terima kasih Nak, semoga kamu berhasil meraih cita-cita kamu.”
“Aamiin. Tapi Pak, kalau memang Bapak membutuhkan uang, mengapa mobil tidak dijual saja? Ada dua mobil di rumah, dan untuk keperluan Bapak kan bisa menggunakan mobil kantor.”
“Mobil kantor sudah dijual untuk membayar karyawan.”
“Apakah bisa Bapak melakukan aktivitas tanpa mobil? Kalau bisa, tidak apa-apa dua mobil dijual saja. Diluaran ada taksi, ada mobil yang bisa disewa untuk keperluan sesaat,” Satria mencoba memberi saran.
“Nanti akan bapak pikirkan.”
“Apakah … Bapak … jadi akan menikah?” tanya Satria hati-hati.
“Belum dalam waktu dekat ini. Dia juga sedang dalam proses cerai. Tapi kabarnya sudah hampir rampung.”
“Sebaiknya Bapak pikirkan lagi, baik dan buruknya.”
“Bapak tidak bisa hidup tanpa wanita. Kalau tidak menikah, bapak akan lebih menghambur-hamburkan uang.”
Satria mengangguk mengerti. Ayahnya belum tua benar. Semangat masih tinggi, tak ada tanda-tanda loyo dan menua. Memang Satria dulu pernah menyarankan agar lebih baik ayahnya menikah saja, tapi mengapa dengan Birah? Entah mengapa Satria kurang menyukai wanita itu. Tapi mana bisa dia menentang kemauan ayahnya?
“Ya sudah, kamu istirahat saja sana, nanti bapak akan memikirkan jalan keluar terbaik untuk lepas dari kemelut.”
Satria mengangguk. Dengan rasa prihatin dia masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Murtono masih termangu di tempat duduknya.
“Satu-satunya harapanku adalah Rohana. Tapi mengapa dia memblokir nomorku? Kalau dia keberatan, mestinya dia bisa berterus terang mengatakannya. Sebenarnya aku ingin menelpon dengan nomorku yang satunya, tapi kalau dia menolak dan memblokirnya lagi, bagaimana. Aku sudah sakit hati ketika dia menolaknya. Tapi ini sangat mendesak, kalau tidak, usahaku akan hancur dan aku tidak punya apa-apa."
Murtono meraba ponselnya, membuka nomor yang diblokir, tapi kemudian malah mematikan nomor itu karena kesal.
Sampai malam semakin larut, Murtono masih belum menemukan jalan keluar.
***
Malam hari itu Rohana juga belum bisa memicingkan matanya. Sudah berminggu-minggu setelah dia kembali ke Jakarta, Murtono tidak menghubunginya. Ia mendiamkannya, untuk mencoba sampai di mana Murtono memperhatikannya, tapi nyatanya tak ada kabar berita yang didengarnya.
“Pasti dia sedang sibuk dengan calon istrinya. Kurangajar benar Birah. Lagipula apakah mas Murtono buta? Bukankah aku lebih cantik dari Birah? Mengapa dia tidak tertarik padaku walau aku telah datang ke sana dan menghiburnya walau hanya semalam? Apa penampilanku kurang menarik? Dibandingkan dengan Birah yang kampungan itu, mengapa dia lebih tertarik pada Birah? Pokoknya aku harus menghalanginya. Aku sih bukan memikirkan ketakutanku kehilangan mas Murtono, tapi aku lebih memikirkan rasa tidak rela kalau Birah sampai hidup enak disampingnya. Aku begitu benci pada perempuan itu.”
Rohana meraba ponselnya, ingin menelpon kembali karena penasaran. Tapi dengan heran dia melihat bahwa nomor itu terblokir. Siapa yang memblokirnya? Apa dia tidak sengaja melakukannya? Ia tak pernah membukanya selama ini, dan baru tahu kalau nomornya terblokir, padahal dia tak melakukannya.
Rohana memutar nomor itu, membuka blokirnya, tapi rupanya Murtono telah mematikannya. Berkali-kali mencoba tak berhasil. Rohana merasa kesal.
Malam sudah larut, dan Tomy belum pulang ke rumah. Selalu begitu. Dan Rohana tak pernah bisa mengendalikan anaknya. Rohana tertidur ketika pagi mulai menjelang.
***
Pagi masih buta ketika Tomy pulang dengan langkah sempoyongan. Ia menggedor pintu sangat keras sambil berteriak-teriak.
Pembantu yang belum sebulan mengabdi di rumah itu sudah terbangun dan berkutat di dapur. Mendengar pintu digedor dan suara majikan muda berteriak, Sinah, nama pembantu itu, bergegas ke depan.
Ia segera membuka pintu dan melihat tuan muda yang mabuk itu ambruk di depan pintu.
“Tuan Tomy, tuaaaan, bangun tuaaan.”
Tomy menggeliat, meraih lengan Sinah dan merengkuhnya.
Sinah menjerit kaget.
“Apa yang akan tuan lakukan?”
Tomy seperti orang kesetanan, ia juga berusaha menarik baju Sinah.
Sinah berbadan besar, dengan sepenuh kekuatannya dia menepiskan kedua tangan Tomy, bahkan berani memakinya.
“Tuan gila ya? Kalau mabuk, mabuk aja, jangan mencoba melecehkan pembantu!” teriak Sinah sambil bergegas ke belakang. Tapi Tomy yang masih saja sempoyongan mengejarnya.
Sinah tak menyerah. Dia mengangkat kursi dan melemparkannya ke arah Tomy.
Gedubrakkk!!
Tomy terjatuh tertimpa kursi.
“Orang gilaaa!” Tomy mengumpat.
“Sampeyan yang gila!!” teriak Sinah.
Mendengar suara ribut, Rohana terbangun. Ia terbelalak melihat Tomy berkutat untuk bangun dengan menyingkirkan kursi yang semula menimpanya. Kepalanya bercucuran darah.
“Tomy!! Ada apa?”
“Orang gila itu, menganiaya Tomy,” katanya dengan suara sedikit pelo.
“Sinah, apa yang kamu lakukan?” Rohana menatap Sinah dengan penuh amarah. Ia segera berjongkok dan membantu anaknya bangun.
“Nyonya jangan menyalahkan saya. Tuan Tomy ingin memperkosa saya.”
Rohana tertegun. Pembantunya yang tubuhnya kekar seperti laki-laki, dengan wajah yang sama sekali tidak menarik, dan Tomy ingin memperkosanya?
“Dia gila … gila … “
Tomy terus meracau, dan Rohana menarik tubuhnya dengan susah payah.
“Sinah, bantu aku membawa tuan Tomy ke kamar!” hardiknya.
Sinah mendekat dengan ragu-ragu. Biarpun dia hanya pembantu, ia merasa jijik dengan apa yang dilakukan Tomy barusan. Tapi ia tak berani membantah perintah sang nyonya yang terus menatapnya marah.
Dengan sigap dia membantu memapah Tomy masuk ke dalam kamarnya, langsung ke kamar mandi.
“Pergilah, dan siapkan baju bersih untuk tuan Tomy,” titahnya.
Sinah melakukan apa yang diperintahkan majikannya, dengan wajah masih menahan marah.
Sementara itu, Rohana mengguyur anaknya dengan sower yang dikucurkan deras.
Bukan sekali ini Tomy pulang dalam keadaan mabuk. Tapi baru sekali ini dia berusaha memperkosa pembantu. Geram Rohana memikirkannya.
***
Sinah sedang menjerang air di dapur. Ia harus menyiapkan minuman hangat untuk sang nyonya yang dengan terpaksa bangun karena datangnya Tomy yang pulang dalam keadaan mabuk. Ia tahu nyonya majikannya marah karena dia berani menentang anak semata wayangnya. Ia juga memaki dengan kasar. Dan dia tahu kalau sang nyonya pasti mendengarnya.
Ketika ia menghidangkan segelas susu untuk nyonya majikan, ia tak melihat Tomy bersamanya. Sinah memberanikan diri untuk bicara tentang kelakuan sang tuan muda.
“Nyonya, saya minta maaf, kalau tadi saya bersikap kasar pada tuan muda.”
Rohana menatap pembantunya yang bersimpuh di depannya.
“Saya memang hanya pembantu, tapi saya tidak terima kalau diperlakukan seperti itu. Saya juga sempat memaki karena tuan muda juga memaki, sementara dia yang bersikap kurang ajar pada saya. Kalau memang Nyonya keberatan dengan sikap saya, tidak apa-apa seandainya Nyonya memecat saya.”
Rohana diam, sinar matanya berubah lembut. Sinah bekerja sangat baik, tapi meskipun dia pembantu, dia enggan ditindas. Rohana tahu, Tomy memang keterlaluan. Sebagai seorang ibu, ia pasti membela anaknya, tapi kalau Sinah pergi, dia juga akan kerepotan. Rohana harus menimbang-nimbang.
Sinah hampir berdiri, karena melihat sang nyonya tak bereaksi, tapi kemudian ia berhenti mendengar sang nyonya memanggilnya.
“Sinah, anakku memang keterlaluan. Kalau dia menindasmu, atau melakukan hal yang tak senonoh, kamu boleh menentangnya.”
“Maafkan saya, Nyonya. Tapi terima kasih banyak. Saya permisi ke belakang lagi.”
Rohana tak menjawab.
***
Malam harinya, hampir semalaman dia tidak tidur. Memikirkan Murtono dan membayangkan saat Murtono bersama Birah. Dadanya terasa panas bak dibakar. Ingin dia menghubungi, tapi kehilangan kontak dengannya.
“Siapa memblokir nomor mas Murtono. Pasti dia marah dan mematikan nomor itu sekalian. Jangan-jangan Tomy."
***
Birah merasa kesal. Berhari-hari Murtono tak muncul. Terpaksa dia menjalani hidupnya sendirian, di rumah yang sangat tidak menyenangkan baginya. Banyak suara-suara aneh terdengar saat malam hari. Tapi Birah tak takut hantu. Ia yakin bahwa di rumah itu banyak tikusnya.
Siang itu, ketika dia mau mengambil air di dapur, seekor tikus menerjang kakinya, membuatnya hampir jatuh terjengkang.
“Tikus sialan! Aku harus membeli racun tikus sekarang juga,” pekiknya marah.
Tapi bukan hanya tikus itu yang ingin dibantainya tapi juga orang lain.
***
Besok lagi ya.
⭐π«πππ«π⭐π«π
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 24_. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Salam sehat mbak Tien π₯°
Salam *ADUHAI*
πππ©·
⭐π«πππ«π⭐π«π
Sami2 bu Djoko
DeleteSalam sehat yang ADUHAI
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteSami2 ibu Susi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 24 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Matur suwun bu Tin
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteHamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 24 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Salam Jumat penuh Berkah.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah .... terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteAlhamdulillah Maturnuwun Bunda.semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah KaeSBe_24 sdh tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun Budhe. π₯°π₯°π₯°
Tomy... Tomy... Bisanya menghamburkan uang saja.... Mabuk2an, melecehkan pembantu pula.....
Matur nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah... matur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteAlhamdulillah sdh tayang .... maturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Endang
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Tien cantiik.... salam sehat dan salam bahagia, yaa....ππ
ReplyDeleteSami2 ibu Mita
DeleteSalam sehat aduhai
Alhamdulilah KSB 24 sudah tayang... terima kasih bu Tien...
ReplyDeleteWah kebo kebo mulai kemasukan setan dan akan bertindak kriminal ... jadi deg degan bu Tien... siapa yg mau diracun birah...gak sabar nunggu besok .
Salam aduhai aduhai aduhai bunda Tien
Sami2 ibu Sri
DeleteAduhai 3x
Dua anak Rohana yang saling berbeda sifat, yang satu hati hati dan bertanggung jawab, yang satu urakan dan boros.
ReplyDeleteBirah mau meracuni tikus dan siapa ya... Mungkin Rohana yang jadi saingan beratnya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah, KSB 24 dah tayang, matur nwn bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bam's
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~24 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah... Matursuwun mbakyu... Sehat selalu π
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun
Alhamdulillah " Kupetik Setangkai Bintang - 24 sdh hadit
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Semoga Tomy tdk ngganggu pembantu lagi. Tetap Aduhai.
ReplyDeleteNuwun pak
DeleteMatur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°πΏπ
ReplyDeleteWaduh seru semua nya
Tomy yg nakal, Birah yg sdg galau dg kemiskinan nya, Murtono dg pailit perusahaan ,, Yg sdg senang' Minar dg ponsel baru nya serta Satria,,,
Aduhaiii π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Salam aduhai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiyati
DeleteWah, nampaknya Birah akan tersandung kasus hukum nih...wait & see.π°
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.π
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Terimakasih bunda Tien, selalu setia memberikan karya tulus yg sangat aduhai... salam sehat selalu..
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien π
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sklg sehat dan bahagia selalu. Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteTerimakasih Bunda Tien , Semogasehat , semangat dab bahagia selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Makasih mba Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Sul
ReplyDeleteSami2 ibu Sul
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien cerbungnya, sehat2 selalu ya Bu....πππΉ
ReplyDelete