KUPETIK SETANGKAI BINTANG 23
(Tien Kumalasari)
Birah menatap Murtono tak berkedip. Sikapnya berubah hanya dalam waktu beberapa saat. Dari penuh rayuan, memanjakan dengan memenuhi setiap permintaan, menjadi begitu irit dan mengatakan bahwa ia kehabisan uang. Sikapnya juga menjadi kasar tanpa belas. Birah juga merasa sakit ketika Murtono menyebut nama Rohana dan Murtono mengatakan bahwa dia akan mendekatinya.
“Kamu menyesal?” tanya Murtono ketika melihat Birah seperti marah ketika menatapnya.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu.”
“Kamu memang bodoh. Tidak mengerti tentang situasi yang sedang aku hadapi, maunya enak terus. Kamu lupa bagaimana dulu ketika bersama suamimu, kamu hidup miskin, serba kekurangan. Kamu tidak mengerti ketika aku bilang bahwa perusahaan sedang ada masalah dan aku kehabisan uang?” kata Murtono dengan nada tinggi.
“Baiklah. Ya, aku mengerti,” jawabnya pelan. Ia takut melihat wajah Murtono yang kemerahan karena menahan amarah.
“Kalau kamu mengerti, diam dan turutilah apa kemauanku. Terima saja rumah ini apa adanya, atau kamu pulang kepada suami kamu.”
“Baiklah, aku terima. Aku mau.” jawabnya ketakutan.
“Kalau begitu tinggallah di sini untuk sementara. Biarpun sederhana, tapi perabotannya lengkap. Ada dapur dengan peralatannya kalau kamu ingin memasak.
Birah diam membisu, tapi ia tak ingin menjawab apapun. Yang penting dia sudah mengatakan ‘ya’, dan Murtono kemudian tak melanjutkan omelannya.
Lalu Murtono berpamit untuk pergi, dan Birah juga tak menahannya. Ia belum pernah melihat Murtono semarah itu. Bahkan ketika masih muda dan mereka berpacaran, ia tak pernah melihat Murtono marah.
“Barangkali karena ia sedang memikirkan perusahaannya, tapi mengapa harus mendekati Rohana? Apa maksudnya tadi?”
Birah mulai dihantui perasaan khawatir. Apakah Murtono akan meminta tolong Rohana? Atau perusahaannya yang kacau itu hanya alasan untuk mendekati Rohana? Jangan-jangan Murtono benar-benar akan kembali kepada Rohana.
Birah membenahi barang-barangnya di kamar itu, walau hatinya sedang kacau. Kemudian ia melihat ke sekeliling rumah. Berkali-kali Birah mengeluh. Yang kamarnya kecil lah, yang kamar mandinya ada diluar lah. Lalu ketika sampai di dapur, Birah mencibir.
“Siapa yang ingin memasak? Huhh, enakan beli, tinggal makan. Masa mas Murtono keberatan kalau hanya memberi uang untuk makan saja? Hmm … semoga saja proses perceraian segera berhasil, lalu aku bisa tinggal di rumah mewah itu. Di sana ada pembantu, ada yang melayani aku, dan kalaupun Satria ada, bisa apa dia? Aku sudah menjadi nyonya di rumah itu kan? Bahkan dia harus hormat pada ibu tirinya ini.”
Birah mencoba menghibur dirinya dengan angan-angan yang selalu menjadi impiannya.
***
Hari berganti, dua tiga minggu lewat, dan acara reuni yang diadakan Satria dan teman-temannya berlangsung meriah. Acara tidak diadakan pada malam hari, karena banyak pertimbangan. Di saat siang, banyak rekan-rekan mereka dari luar kota yang pasti tidak sekedar ingin menikmati kebersamaan, tapi juga ada acara untuk jalan-jalan bersama.
Kebanyakan dari mereka meneruskan kuliah, bahkan ada yang sudah lulus dan bekerja. Tapi Minar tidak sedikitpun merasa rendah diri. Ia menemui teman-temannya dan menampakkan wajah yang sangat bahagia.
Namun adanya Satria yang menempel terus pada Minar, menimbulkan ‘syak wasangka’. Kebanyakan dari mereka, menggoda keduanya dan mengatakan bahwa mereka pas menjadi pasangan. Bahkan mereka juga mendoakan agar keduanya benar-benar bisa naik ke pelaminan.
Nah, sekarang inilah Minar baru merasakan adanya kesenjangan diantara mereka. Minar tahu siapa Satria, dan siapa pula dirinya. Karenanya ia berusaha menjauh, manakala rekan-rekan mereka mulai menggodanya. Padahal Satria menerimanya dengan santai. Bahkan ia selalu mengatakan hal yang positif tentang hubungan yang sebenarnya tidak ada itu.
“Doakan ya. Baiklah, terima kasih, doakan ya.”
“Aku doakan agar segera punya momongan," kata salah seorang teman yang usil. Keusilan itu disambut tawa diantara teman-temannya.
“Sembarangan kamu tuh doanya. Belum-belum didoakan punya momongan ….”
“Dosa kamu! Doanya kelewatan.”
“Maaf … maaf … aku kan hanya bercanda …” katanya sambil cengar cengir.
“Kasihan Minar. Lihat tuh, dia kabur.”
Minar memang kemudian mendekati teman-teman yang lain, diantaranya ada Wini.
“Hei, kenapa kamu kemari? Dicari pangeran kamu tuh,” kata Wini.
Minar merasa kesal. Menyingkir dari godaan-godaan teman di sebelah sana, ee … ketika pindah dan merasa tenang karena ada Wini sahabatnya, ternyata sama saja.
“Benar, lihat tuh … dianya ngelihatin kemari.”
Minar menoleh, dan memang tampak olehnya, Satria sedang memandang ke arahnya.
Tiba-tiba pembawa acara mengumumkan, bahwa sebentar lagi akan diadakan undian nama berhadiah. Memang, ketika hadir, mereka diminta menuliskan namanya masing-masing, lalu dimasukkan ke dalam sebuah kotak. Panitia juga harus mengikutinya.
Wini yang menjadi leader di acara undian segera naik ke atas panggung.
“Para hadirin yang belum memasukkan nama diharap segera menuliskan namanya dan dimasukkan ke kotak ini!!" teriak pembawa acara sambil membawa kotak yang sudah berisi nama-nama yang hadir. Hanya ada dua yang belum menulis, dia segera lari mendekat, lalu memasukkan namanya ke dalam kotak. Nama-nama itu digulung rapi, sehingga tidak kelihatan nama siapa yang tertulis.
“Hadirin, ada lima hadiah di sini yang akan menjadi milik siapa yang beruntung. Ada dua buah ponsel keluaran terbaru. Ada sebuah Rice Cooker, ada sebuah jam dinding cantik, ada lagi sebuah kain lurik halus dari Jogya.”
Hadirin mendadak riuh, semuanya pasti berharap mendapat hadiah.
“Adapun hadiah-hadiah ini, yang dua buah Ponsel adalah, sumbangan dari bapak Satria dan ibu Wini. Rice Cooker dari bapak Tamtama, jam dinding dari ibu Mulia, dan kain lurik dari ibu Mulyani, Terima kasih kami haturkan bagi para penyumbang, demi membuat acara lebih meriah, ” teriak pembawa acara lagi.
Hadirin bertepuk tangan dengan riuh.
“Baiklah, di dalam kotak ini tertulis nama kita semua yang hadir. Jumlahnya ada dua ratus lima belas, dan lima diantaranya yang beruntung adalah pemilik hadiah-hadiah cantik ini.”
“Salah seorang hadirin diminta ke atas panggung untuk mengambil salah satu hadiah. Pertama … hadiah jam dinding ya … ayo … siapa naik ke atas untuk mengambil salah satu nama yang beruntung?”
Salah seorang hadirin naik ke atas panggung, lalu mengambil salah satu gulungan kertas berisi nama.
“Silakan dibuka kertasnya Pak, coba di baca siapa …” teriak Wini.
“Su … kam … to ….”
Terdengar tepuk tangan meriah.
“Pak Sukamto, silakan maju untuk menerima hadiahnya …”
Acara undi mengundi itu sangat meriah, empat hadiah sudah diterima yang berhak. Sekarang tinggal satu buah Ponsel yang diperebutkan.
“Pak Satria, silakan maju ke depan untuk mengambil satu lagi gulungan nama.”
Satria maju ke depan, dengan senyum dia mengambil salah satu gulungan kertas.
“Wooow… coba Wini, tolong dibaca siapa namanya,” kata Satria sambil mengulurkan gulungan kertas itu ke arah Wini, yang kemudian membuat Wini berteriak.
“Minarni!!
Heboh tepuk tangan terdengar, dan Minar yang sedang berbincang dengan teman di sebelahnya terkejut.
“Kamu tuh!” kata sang teman.
“Apa?”
“Kamu dapat ponsel!!”
Hampir dari semua yang hadir berteriak …” Minar … Minar … Minar …”
Minar tak bergerak, ia tampak syok, hingga salah seorang hadirin mendekat dan menarik tangannya, dibawa ke panggung.
Wini menyalami sahabatnya dan merangkulnya erat.
“Hei, jangan bengong. Kamu dapat hadiah tuh!!”
Semuanya tertawa melihat sikap Minar yang kebingungan. Ia tak percaya kalau mendapat hadiah. Ponsel pula. Sesuatu yang belum pernah dimilikinya.
“Pak Satria, silakan menyerahkan hadiahnya,” teriak pembawa acara lagi.
Satria tersenyum lebar ketika menyerahkan hadiah sebuah kotak kecil berisi ponsel, kepada Minar.
Minar tersipu, ia hampir menitikkan air mata harena haru. Dengan gemetar dia mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Minar bahkan tak mampu berkata-kata, sampai kemudian Satria dan Wini mengantarkannya pulang.
***
Minar sudah diantar ke rumah, sekarang Satria harus mengantarkan Wini pulang. Keduanya tersenyum senang, karena benar-benar bisa memberikan ponsel kepada Minar, dengan cara yang tidak menyinggung perasaannya.
“Kamu hebat Wini, memiliki ide cemerlang untuk memberi Minar ponsel. Aku berhari-hari mikir, bagaimana caranya memberikan agar dia tak tersinggung.”
“Awalnya ini adalah ide Monik. Bukan aku.”
“Apakah kita berdosa telah menipu banyak orang ya?”
“Tidak, untuk sebuah kebaikan, Allah akan memaafkannya,” kata Wini.
Satria menarik napas panjang.
“Kerja sama yang baik, antara kita dan Monik, si pembawa acara.”
“Sejak awal aku dan Monik sudah membicarakannya. Kami kasihan pada Minar yang sulit dihubungi karena tidak punya ponsel. Ini semua awalnya juga usulan Monik. Dia baik, dan sejak awal sangat berempati pada Minar.”
“Syukurlah, semua berjalan baik,” kata Satria dengan wajah sumringah.
“Kapan mas Satria kembali ke Jakarta?”
“Minggu depan aku wisuda. Mau hadir di acara wisuda aku?”
“Aku? Mengapa aku? Ke Jakarta pula? Minar barangkali yang lebih pantas.”
“Mana mau Minar pergi jauh. Dia pasti keberatan meninggalkan ayahnya sendirian.”
“Apa Mas ingin sekali agar Minar ikut hadir di acara itu?”
Satria tersenyum malu.
“Ingin sih, tapi mana mungkin dia mau. Kecuali kalau kamu juga ikut bersama aku.”
“Aku?”
“Barangkali bersama kamu, dia akan mau.”
“Lalu kami menginap di mana? Jangan bilang kami harus tidur di rumah mas Satria.”
“Nggak, aku carikan hotel yang bagus untuk kalian.”
“Akan aku pikirkan, sekalian jalan-jalan ya mas.”
“Nah, sekalian jalan-jalan, nanti aku antar kalian putar-putar mengelilingi kota Jakarta.”
“Kelihatannya menyenangkan. Tapi aku juga harus minta ijin orang tuaku, dan juga merayu Minar agar dia mau ikut. Kalau Minar nggak mau, aku juga enggak.”
“Okey, nanti tiket pulang pergi aku yang tanggung. Semuanya aku, pokoknya kalian tidak usah mengeluarkan uang sesenpun saat di Jakarta.
“Nanti aku kabari ya Mas, kan masih minggu depan?”
“Aku tunggu berita baik dari kamu.”
***
Sutar ikut senang ketika Minar menunjukkan ponsel hadiah yang dia terima.
“Bapak sedang berpikir untuk membelikan kamu ponsel, kalau gajian bulan depan. Meskipun yang murah, asalkan bisa dipergunakan untuk komunikasi. Ternyata kamu malah mendapat yang lebih bagus. Gratis pula. Syukur Alhamdulillah,” kata Sutar sambil mengelus kepala anak gadisnya.
“Karena Allah tidak ingin Bapak menghamburkan uang untuk Minar, jadi Minar mendapatkan yang gratis.”
“Iya, kamu benar. Ini sudah sekalian ada simcardnya? Harus didaftarkan juga kan?”
“Sudah Pak, ini … sekarang nomornya Minar catat di ponsel Bapak ya? Mulai besok, kalau Bapak ingin berpesan sesuatu, bisa menelpon Minar.”
Sutar tertawa melihat keriangan Minar dengan ponsel barunya.
Tadi nomor kontak Satria dan Wini sudah dicatatnya, ketika di dalam mobil Satria, saat Satria dan Wini mengantarkannya pulang.
“Sekarang kamu istirahat saja dulu, pasti capek berhari-hari mengurus acara reuni itu.”
“Tapi ada imbalan untuk capeknya kan Pak. Ini,” kata Minar sambil mengacungkan ponselnya.
“Ya, ya. Tentu."
***
Malam hari itu ketika Minar sedang mengutak-atik ponsel, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Wini.
“Assalamu’alaikum,” sambut Minar riang.
“Wa’alaikumussalam, Minar. Sedang apa? Jangan bilang kamu sedang main game dengan ponsel barumu,” goda Wini.
“Nggak, lagi utak-atik saja. Aku kan belum pernah punya. Jadi harus mempelajari semuanya.”
“Untungnya kamu cerdas, sehingga dengan cepat bisa mengerti.”
“Aku pernah pinjam ponsel teman ketika sekolah dulu, jadi ya sedikit-sedikit bisa mengerti.”
“Ya sudah, lanjutkan kesibukan kamu dengan ponsel barumu. Eh, belum, aku sampai lupa ngomong.”
“Mau ngomong apa?”
“Main ke Jakarta yuk.”
“Apa? Memangnya Jakarta itu dekat?”
“Jauh sih, tapi ada sponsornya kok. Tiket pulang pergi dan akomodasi selama di sana, sudah ada yang menanggung.”
“Siapa?”
“Mas Satria.”
“Haa? Jadi yang mengajak tuh dia?”
“Sekalian menghadiri wisuda mas Satria, kita juga bisa jalan-jalan. Bagaimana?”
“Ah, kayaknya enggak deh, ayahku juga belum tentu mengijinkan.”
Sutar yang kebetulan mau masuk ke kamar Minar, mendengar sekilas pembicaraan itu.
Minar yang melihat ayahnya masuk, langsung mengatakannya.
“Pak, diajak Wini ke Jakarta, boleh tidak?”
“Ke Jakarta? Untuk apa?”
“Hanya jalan-jalan.”
“Jakarta itu jauh, lagian butuh uang banyak untuk bekal dan beli tiket.”
“Ada yang bayarin … “ kata Minar ragu-ragu.
“Siapa?”
“Mas Satria. Boleh tidak?”
***
Besok lagi ya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
KaeSBe_23 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku semoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam seroja...😍🤩
💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun, ibu Endah
Delete⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 23_. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Salam sehat mbak Tien 🥰
Salam *ADUHAI*
🙏💞🩷
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
Sami2 bu Djoko
DeleteSalam sehat dan ADUHAI deh
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeletealhamdulillah tayang awal. Salam sehat selalu
ReplyDeleteSalam sehat juga ibu Noor
DeleteAlhamdulillah ..... terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteAlhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 23 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Salam ADUHAI 3X
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
ReplyDeleteSyukron bu Tien, KaeSBe episode_23 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... 👍👍🌹
“Kamu menyesal?” tanya Murtono ketika melihat Birah seperti marah ketika menatapnya.
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
Matur nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Horeeeee, jeng Sari juara....
ReplyDeleteMas Kakek mau masuk finish kakinya terkilir.... Wow..... Aduuhhhh
Td Kakek Habi no 1, tp salah nulis yaa...KaeSBe episode 22, jd di delete tuh...hehe
DeleteAlhamdulilah KSB 23 sdh tayang terima kasih bu Tien... semoga ibu sll sehat dan bahagia... salam aduhai aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam aduhai 5x deh
Sugeng Dalu, matur nuwun jeng Tien salam sehat tetap semangat
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiih
DeleteSalam aduhai saja
Matur nuwun bunda Tien..🙏🙏
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah.Jalan2 .Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Harry
Whadhuh...Kakek Habi kakinya terkilir.
ReplyDeleteBu Tien gimana ini. Masih bisa baca to ya ama cerbungnya. Tapi masih bisa nganter kita2 ugak ya...
Alhamdulillah non Minar sudah tayang....
ReplyDeleteMatur nuwun pak Apip
DeleteMatur nuwun ibu 🙏
ReplyDeleteSami2 Butut
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 23* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Ternyata HP-nya diperoleh dari Hadiah Rekayasa. Ya terima kasih mas Satria.
ReplyDeleteBirah masih berangan menjadi Nyonya Besar. Tapi gelagatnya akan gagal.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰🌿💖
ReplyDeleteSenangnya Minar dpt ponsel ,,
Satria blm tau kl ayahnya sdg kolep perusahaan nya
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Terima kasih bunda tien....Minat sdh tayang sehat slalu utk bunda
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Agustina
Apa kabar?
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah... Mtsw Mbakyu, sehat selalu🙏🙏
ReplyDeleteSami2 jeng Kun Yulia
DeleteHaaa penasaran nih bu Tien. Lagi asyik tiba2 putus. Hehe.. Trm ksh bu Tien.. Panjangin lanjutannya ya..
ReplyDeleteBaiklah ibu Handayaningsih, mau seberapa ya panjangnya
DeleteTrimakasih bu Tien ... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~23 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Maturnuwun mbak Tien sayang. Wah...sudah kelihatan nih, perasaan Satria pads Minar.
ReplyDeleteSedikit masukan untuk episode ini :
Biasanya, reuni SMA, terlebih belum terlalu lama setelah lulus SMA (buktinya Satria saja baru mau wisuda, dan sejumlah teman lainnya masih kuliah), sesama teman saling memanggil nama, atau mbak/mas. Tidak ada yang memanggil bapak dan ibu.
Itu saja masukan saya, mbakyu...maturnuwun, salam aduhai...
Matur nuwun sanget jeng Iyeng, akan saya perhatikan sebagai masukan yang berharga, dan pastinya akan menjadi bekal dalam langkah saya selanjutnya.
DeleteADUHAI deh
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSelalu sehat dan tetap semangat
Aduhai.
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam sehat dan aduhai
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Mks bun KSB 23 sdh tayang, selamat mlm smg mimpi indah, salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Supriyati
DeleteSalam sehat juga
Super
ReplyDeleteSuperior
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSehat selalu nggih Bu💖🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Umi
Terimakasih bunda Tien Sehat dan bahagia bersama amancu
ReplyDeleteHoree...Minar dapat doorprize ponsel, maju step by step, semoga berjodoh dengan Satria ya...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏