KUPETIK SETANGKAI BINTANG 21
(Tien Kumalasari)
Birah geram bukan alang kepalang melihat Murtono tiba-tiba berjalan menjauhinya, sambil berbincang dengan Rohana. Sikapnya terdengar sangat manis, membuat telinga Birah menjadi sakit.
“Aku lupa, maaf. Sekarang sudah sampai Jakarta? Iya, tentu saja. Apa? Kamu mengatakan apa? Suaranya berisik sekali. Kalau kamu sedang di depan tivi, matikan dong tivinya, mengganggu orang lagi ngomong saja. Ya, tentu, suatu hari aku akan ke Jakarta untuk menemui kamu. Ya, aku janji. Apa? Tadi? Diantar Satria? Syukurlah dia tidak pergi ke mana-mana. Apa? Dengan seorang gadis? Aduh, seperti apa sehingga kamu mengiranya pembantu? Ah, sudahlah, yaa, jangan khawatir, aku nanti akan menegurnya. Apa? Ini aku, maaf kalau yang menerima Birah. Tidak apa-apa, jangan pikirkan, dia hanya memakai simcard ku jadi kalau kamu menelpon nomor ini, pasti dia yang menerima. Baiklah, jangan khawatir. Akan aku ganti. Tentu saja, percayalah. Ini di kantor sedang banyak masalah. Jadi mengertilah kalau aku seperti kurang perhatian. Ada yang ingin aku bicarakan, nanti saja aku menelpon kamu. Sudah dulu, aku sedang di jalan. Sampai jumpa.”
Birah merasa dadanya hampir terbelah karena merasa sakit. Pasti Rohana menyebut namanya tadi. Wajahnya muram ketika ponselnya dikembalikan oleh Murtono.
“Ada apa menelpon lagi?” tanyanya sengit.
“Hanya mengatakan kalau sudah sampai Jakarta siang tadi.”
“Hanya itu? Mas bilang sampai jumpa, berarti janjian mau ketemu kan?”
“Ah, sudahlah, jangan membuat aku jadi kesal. Sekarang aku pergi dulu.”
“Bukankah sudah jelas kalau Rohana sampai di Jakarta, kenapa memaksa pulang?”
“Aku masih ada urusan. Nanti aku kemari lagi, sekalian aku membelikan kamu nomor yang baru.”
“Supaya kalau dia menelpon bisa langsung Mas yang menerima?”
“Birah, kamu bukan anak kecil kan, sudahlah, memalukan, sudah tua pakai cemburu juga.”
“Siapa yang tidak kesal, coba? Mas bersikap sangat manis kepada bekas istri. Sementara pada pacarmu ini, kamu selalu acuh sepertinya kamu sudah bosan. Awas saja kalau Mas mengingkari janji ya, proses perceraian sudah terus berjalan.”
“Jangan khawatir, ada temanku di sana yang akan membantu agar perceraian kamu segera terjadi.”
“Setelah itu kita menikah bukan?”
“Ya, sekarang aku pergi dulu.”
Birah merasa tidak puas dengan jawaban Murtono. Sepertinya kedatangan Rohana akan merusak semua angan-angan dan mimpinya.
“Aku tidak akan membiarkan kamu kembali mendekati mas Murtono. Awas saja kamu!!” geram Birah sambil beranjak masuk ke dalam kamarnya.
***
Murtono sudah sampai di rumah, dan simbok sudah menghidangkan minuman kesukaan sang tuan besar.
“Satria mana?”
“Tadi baru saja dari sini, tuan. Sepertinya ada di dalam kamarnya.”
“Jam berapa dia pulang?”
“Sudah tadi, Tuan, sebelum jam tiga sore.”
“Kamu tahu tidak, tadi dia datang bersama siapa?”
“O, waktu mau mengantar nyonya Rohana? Iya, tuan muda datang bersama seorang gadis cantik. Tadi sekilas mengajak simbok tersenyum. Dia juga membantu mengangkat barang-barang nyonya Rohana. Tampaknya dia rajin. Tapi sepertinya nyonya Rohana kurang suka. Kasihan, tadi begitu datang, nyonya mengira dia pembantu yang dibawa tuan muda.”
“Dia cantik?”
“Cantik, Tuan. Memang tidak seperti gadis-gadis yang simbok lihat seperti di televisi itu. Pakaiannya sederhana. Tapi dia cantik. Pantas kalau tuan muda mengatakan bahwa dia calon istrinya.”
Murtono tak menjawab. Ia berdiri dan langsung pergi menemui Satria di kamarnya.
Satria terkejut, dia baru saja selesai mandi ketika tiba-tiba sang ayah masuk ke kamarnya.
“Bapak, ternyata Bapak pulang. Tadi ibu menunggu Bapak.”
“Kamu sudah mengantarnya kan?”
“Sebenarnya Satria sedang ada perlu, tapi ibu memanggil, katanya nggak ada yang mengantarkan ke bandara. Karenanya Satria langsung pulang lagi, padahal sudah siap pergi bersama teman.”
“Kamu datang dengan siapa?”
“O, ibu sudah cerita pada Bapak?”
“Ditanya belum menjawab kok malah ganti bertanya.”
“Dengan teman, tadi tuh, kami sedang merencanakan acara reuni bersama teman-teman SMA.”
“Perempuan?”
“Kenapa Bapak menanyakan itu? Dia sekretaris di acara itu.”
“Tapi kamu bilang pada ibumu kalau dia adalah calon istri kamu? Sejak kapan kamu punya calon istri? Kok bapak sampai tidak tahu?”
“Bapak seperti tidak pernah muda saja.”
“Apa maksudmu? Masalah calon istri itu adalah masalah serius. Berarti kamu sudah sepakat, sudah yakin kalau dia benar-benar pilihan kamu. Kedua orang tua sudah tahu. Ibumu khawatir kamu salah memilih.”
“Ibu mengatakan apa saja pada Bapak? Harusnya ibu tak perlu khawatir. Satria berbeda dengan Bapak.”
“Apa?”
“Kalau Satria memilih, berarti dia yang terbaik.”
“Kamu serius mau beristri? Tidak bekerja dulu baru pilih istri?”
“Bapak tidak usah khawatir. Satria tahu apa yang harus Satria lakukan.”
“Kamu tidak menjawab pertanyaan bapak. Jawabannya ke mana-mana.”
“Sebenarnya apa yang Bapak tanyakan?”
“Tentang gadis itu. Apa benar kamu serius ingin punya istri, dan dia adalah pilihan kamu?”
Satria tertawa. Ia hanya ingin menentang ibunya karena mengira Minar adalah pembantu. Ia mengucapkannya sembarangan tadi. Tak tahunya jadi perbincangan serius antara ayah dan ibunya.
“Kamu jangan ‘cengengesan’ ya.”
“Jangan terlalu dipikiran Pak, tapi yang jelas gadis itu baik. Kalau dia memang jodoh Satria, pasti akan terjadilah nanti.”
Murtono yang kesal karena jawaban Satria tidak jelas, lalu meninggalkan kamar dengan omelan yang tidak begitu didengar oleh Satria. Satria hanya cengar-cengir sambil menyisir rambut ikalnya.
Tapi diam-diam, wajah Minar yang lugu melintas. Ia merasa gila ketika tiba-tiba mengakui di depan ibunya bahwa Minar adalah calon istrinya. Kalau ada setan lewat bagaimana? Kejadian dong. O, tidak. Gadis baik tidak didukung setan. Satria berharap ada malaikat lewat dan mendoakannya. Apa? Mendoakan agar dia benar-benar memperistrinya? Betapa akan heboh orang tuanya. Minar gadis dari keluarga pas-pasan, sedangkan dirinya? Tapi kenapa kalau beda kasta? Hati bisa bertaut dengan siapa saja, tak peduli kaya atau miskin.
“Hei, apa yang aku pikirkan? Benarkah aku tertarik pada gadis itu?” gumamnya sambil berjalan ke arah teras. Udara sore terasa segar, wajah gadis itu, mengapa terus menerus mengikutinya? Dirabanya ponselnya. Kemudian menyesal tidak menanyakan nomor kontaknya. Haaah? Nomor kontak? Bukankah gadis itu tak punya ponsel?
“Bagaimana kalau aku memberinya ponsel? Tidak. Pasti dia tersinggung,” gumamnya sambil meletakkan ponselnya lagi di atas meja, lalu berpikir, bagaimana caranya memberi, tapi tidak menyinggung perasaan.
***
Hari itu adalah Minggu. Minar berkutat di dapur. Ada makanan yang kemarin dibelikan Satria, belum habis karena sang ayah juga membeli lauk sepulang dari kantor. Masih enak, karena Minar sempat memanaskannya. Dan sekarang harus dipanaskan lagi, untuk sarapan. Sup ayam, barangkali tidak lagi selezat ketika baru saja dimasak. Tapi siapa yang akan menyalahkannya kalau sekarang dia memanaskannya lagi untuk sarapan?
“Dibuang sayang, masih enak kok,” gumamnya sambil menatanya lagi di atas meja.
“Lagi ngapain kamu?” tiba-tiba ayahnya melongok ke dapur, sudah rapi.
“Ini, menyiapkan untuk makan pagi. Bapak kok sudah rapi, ini hari Minggu kan?”
“Kamu lupa? Bukankah bapak bilang kalau hari ini mau mengajak kamu jalan-jalan?”
Minar menutup mulutnya. Ya, dia lupa. Tapi wajahnya berseri. Jalan-jalan bersama ayahnya, hal yang belum pernah dilakukannya sejak dia tumbuh dewasa. Dulu sekali, ketika dia masih kecil, ia masih ingat, pergi menonton pawai tujuh belasan di jalan Slamet Riyadi. Ayahnya menggendongnya, sang ibu membawa bekal minum, takut kehausan di jalan, karena hari masih siang. Lalu pulangnya sang ayah membelikan dia makanan arum manis. Itu, yang dibuat dari gula, lalu digulung-gulung setelah gulanya berserat, dalam plastik bentuknya bulat panjang, berwarna-warni. Minar tadinya merasa sayang memakannya, tapi harumnya menusuk hidung. Dia menggigitnya, dan serat gula itu lenyap begitu saja, meninggalkan rasa manis yang memikat. Ah, masa kecil yang menyenangkan. Setelah itu, seingat Minar, ia tak pernah lagi berjalan-jalan bersama. Penghasilan ayahnya yang tidak seberapa, harus ditabung sebagian untuk biaya sekolahnya. Bahkan makanpun harus hati-hati. Keluarga Sutar benar-benar hidup dalam keprihatinan, demi menyekolahkan Minar, anak semata wayangnya. Dan ternyata Minar berhasil menyelesaikan SMA nya dengan nilai gemilang. Tapi lanjut kuliah? Tak lama setelah dia lulus, ayahnya pensiun dari pekerjaannya, lalu hidup keluarganya menjadi sangat memprihatinkan. Menyesalkah Minar karena tidak bisa kuliah? Tidak. Minar menerima kehidupannya dengan penuh rasa syukur. Tapi ibunya mulai sering uring-uringan karena minimnya uang belanja. Harusnya semuanya dihadapi dengan penuh syukur. Lalu Minar menyesal, mengapa ibu tidak sabar menjalani kehidupan yang serba kekurangan?
“Hei, kenapa kamu melamun?” tegur sang ayah.
Minar kaget. Ia sedang memanaskan nasi. Untung tidak hangus dandangnya.
“Ayo kita sarapan,” katanya kemudian.
“Kamu belum mandi?”
“Setelah ini, Minar mau mandi. Pengin segera jalan-jalan bersama Bapak,” katanya riang.
***
Pagi hari itu Rohana sedang sarapan bersama Tomy. Sejak kemarin Tomy uring-uringan karena sang ibu pergi begitu lama.
“Kenapa kamu mengatakan bahwa ibu pergi terlalu lama? Hanya tiga hari dua malam. Itupun belum selesai.”
“Sebenarnya urusan apa sih Bu, apa yang belum selesai?”
“Hanya urusan dengan teman lama. Ada apa denganmu? Terkadang ibu juga butuh pergi ke lain tempat, bukan hanya terus di sini menunggui kamu. Apalagi sejak tidak ada pembantu. Ibu capek dong.”
“Bukankah ibu mengatakan kalau sedang mencari pembantu?”
“Sudah dapat, nanti mau diantar kemari. Jaman sekarang cari pembantu itu susah. Kalau sudah dapat, kita yang harus bisa menjaganya agar dia kerasan, tidak berpindah-pindah tempat lagi.”
“Bukankah dia juga dibayar mahal?”
“Yang penting perlakuan kita. Kalau kita kasar sedikit saja, pasti dia kabur, walau gajinya besar. Tidak seperti pembantu jaman dulu. Bisa bekerja sama dengan majikan.”
“Bu, uangku habis,” tiba-tiba kata Tomy.
“Habis? Sebenarnya berapa yang kamu butuhkan untuk keperluan kamu sehari-hari? Sebelum berangkat, ibu beri kamu dua juta. Dan sekarang kamu bilang habis?”
“Iya Bu, cuma dua juta, untuk beli bensin, untuk cuci mobil dan servis. Terus ada acara makan-makan bersama teman.”
“Kamu jangan boros-boros dong Tomy. Lama-lama ayahmu mengira kalau ibu yang menghabiskan uangnya.”
“Bukankah bapak memberi uang yang banyak untuk kebutuhan Tomy?”
“Meskipun banyak, kalau dihabiskan ya habis.”
“Ibu jangan pelit dong. Jangan-jangan ibu memberikan uang juga untuk Satria.”
“Satria tidak pernah minta uang pada ibu.”
“Masa?”
“Dia tidak pernah kemari kalau ibu tidak memanggilnya. Dan kalau datang itu tak banyak yang diceritakannya. Paling ibu bertanya tentang kuliahnya. Dan kamu tahu, Tomy, Satria itu sudah lulus. Tinggal menunggu wisuda. Kamu kapan dong?”
“Sabar lah Bu, nanti lama-lama juga lulus,” enteng jawaban Tomy.
“Lama-lama, ini sudah lama. Satria sudah selesai, dan kamu entah akan berapa lama lagi.”
“Mengapa ibu membandingkannya dengan Satria terus?
“Supaya kamu tahu, bahwa dia saja bisa berhasil, sedangkan kamu, hanya bersenang-senang terus.”
”Kalau ibu nggak mau kasih uangnya, aku mau minta bapak saja.”
“Eh, jangan. Nanti ibu yang ditegur sama bapakmu. Ini ibu kasih satu juta lagi.”
“Tambahin dong Bu.”
Rohana agak kesal. Tapi dia tak bisa menolak, karena bekas suami yang ayahnya Tomy selalu memberikan uang berlebih, sehingga hidupnya tanpa kekurangan.”
“Tambahin ya?”
“Iya, nanti. Ibu selesaikan dulu sarapan,” kesal Rohana.
“Jangan lama-lama Bu, ini hari Minggu, Tomy sudah ditunggu nih.”
Tak peduli ibunya kesal atau marah, Tomy tetap saja meminta. Ia bergaul dengan anak orang-orang berada, sehingga ikut-ikutan menghamburkan uang dan selalu ibunyalah yang jadi sasaran.
Ketika Rohana selesai sarapan, dia segera beranjak ke dalam kamar, karena Tomy mau agar uangnya segera diberikan.
Ketika itulah ponsel Rohana yang masih tergeletak di meja makan berdering. Tomy mengangkat ponsel itu, dan melihat siapa yang menelpon. Tak ada nama di situ, dan Tomy mengangkatnya, karena penasaran.
“Hallo, Rohana, ini aku, Murtono. Aku ingin bicara penting ini, barangkali aku butuh pertolongan kamu.”
Tomy tahu, Murtono adalah suami ibunya yang terdahulu, ayahnya Satria. Tanpa menjawab dia menutup ponsel itu dan meletakkannya kembali. Wajahnya muram. “Butuh pertolongan? Pasti dia akan meminta uang pada ibu. Enak saja.”
Tomy segera memblokir nomor itu.
***
Besok lagi ya.
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
ReplyDeleteSyukron bu Tien, KaeSBe episode_21 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... 👍👍🌹
Keterlaluan Murtono, ternyata masih cinta sama Rohana.....
Mempermainkan perasaan perempuan.....
Selamat membaca....
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
Matur nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 21 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun JENG in
ADUHAI 3XR
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 21_. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Salam sehat mbak Tien 🥰
Salam *ADUHAI*
🙏💞🩷
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
Sami2 jeng Ning
DeleteSalam sehat dan ADUHAI deh
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
DeleteMatur nuwun jeng Tien Salam sehat
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah tayang matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu ya utk bunda
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Maturnuwun bu Tien ... KSB 21 sampun tayang ....wah rohana kena jegal anaknya he he he
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai bunda Tien... semoga sehat dan bahagia sll
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aamiin Ya Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah....terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteWah, bagus juga kalau Tomy ikut campur tangan.😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏
Sami2 ibu Nana,
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~21 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰🌿💖
ReplyDeleteSebuah gambaran keluarga yg TDK utuh ,, Krn kuncinya di ibu yg terlalu cuek n memanjakan
🙏
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Selamat seri 21.
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah. Matursuwun Bu Tien..... semoga Bu ztien sehat selalu bersama keluarga. Aamiin 💖 🌹
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Dasar Murtono si playboy kampung. Tau rasa nomornya diblokir anaknya Rohana.
ReplyDeletePak Sutar kalau jalan jalan jangan lupa belikan anakmu HP, ada yang murah kok. Sekitar seribu-an juga ada.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 21* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Yah birah dicuekin sama murtono kasihan deh, murtono jg kebangeten ko,mempermainkan birah...tpi ya itulah siapa yg menanam dialah yg menuai
ReplyDeleteMks bun ksb 21 nya,selamat malam salam sehat
Sami2 ibu Supriyati
DeleteSalam sehat juga
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah... Terimakasih ... BundaTien Smg sehat jasmani rohani ekonomi
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteSemangkin rumit. Blm bs meraba gmn endingnya. 🙂
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Sami2 ibu Retno
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Bunda salam sehat semangat
ReplyDeleteSami2 pak Herry
DeleteSalam sehat dan semangat juga
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam bahagia selalu.
Aduhai.
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam bahagia dan aduhai deh
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien KSB 21 sdh tayang
Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
Aamiin yaa rabbal'alamiin
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah "Kupetik Setangkai Bintang - 21 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Matur nuwun Bu Tien yang makin membuat penasaran. Seperti yang sudah-sudah, cerita Ibu memang tidak dapat ditebak. Salam sehat bahagia selalu....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat dan bahagia juga
Alhamdulillah.... Sehat selalu mbakyu
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Kun
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 21 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Minar senang, hari Minggu akan di ajak jalan2 oleh Ayah nya, terkenanglah dia wkt kecil jalan2 di Slamet Riyadi Pasar Yaik, oleh Ayah nya di beliin Aromanis.
Asyik ya Minar...😁😁
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah.. KSB~21 sudah tayang... no hp
ReplyDeleteMurtono diblokir oleh Tommy otomatis Murtono bakal sulit hubungi Rohana.. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai...
Sami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat juga
Terimakasih Mbak Tien..
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteLama absen sih?