KUPETIK SETANGKAI BINTANG 20
(Tien Kumalasari)
Minar terkejut. Apa Satria ngelindur? Ia tak mampu berkata-kata, hanya menatap wanita cantik yang dipanggil ‘ibu’ oleh Satria. Wanita itu tampak membelalakkan matanya, tentu saja tak percaya. Minar gadis sederhana walaupun cantik, bagaimana mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah calon istrinya?
“Satria … apa kamu kurang waras?”
“Ibu mau diantar ke bandara tidak? Kelamaan bicara, nanti ketinggalan pesawat,” kata Satria tanpa rikuh mengatakan apa yang ingin dikatakannya, untuk mengalihkan perhatian ibunya pada Minar. Ia segera mengambil kopor dan juga barang-barang yang sudah siap di depan. Minar yang masih merasa bingung, dengan canggung ikut membawa kardus berisi oleh-oleh, barangkali, lalu mengikuti Satria membawanya ke bagasi. Rohana terus menatapnya.
“Ayo, ibu sudah siap?” kata Satria tanpa memberi kesempatan ibunya untuk berbicara apapun.
Tapi di perjalanan, Rohana tak bisa menahan rasa kesalnya.
“Satria? Coba diulang, kamu tadi mengatakan apa?” tanya Rohana yang duduk di belakang, sedangkan Minar duduk di samping Satria.
“Yang mana Bu?”
“Yang kamu bicara tentang calon istri itu.”
“Maaf Bu, saya_” kata Minar yang tiba2 terpotong oleh perkataan Satria.
“Nanti aku akan bicara pada ibu, tapi lain kali. Sedang konsentrasi di jalan nih,” kata Satria memotong perkataan Minar yang tampaknya ingin menerangkan sesuatu. Satria menatap Minar, memincingkan sebelah matanya, memberi isyarat pula dengan jari telunjuknya yang diletakkan di mulut. Maksudnya agar Minar tak mengatakan apa-apa.
Tapi Rohana tak mau terima. Ia malah bicara tentang seorang istri idaman, yang artinya tidak menyukai Minar yang katanya calon istri Satria.
“Satria, kamu sudah dewasa, kamu memang sudah pantas punya pacar, punya calon istri, tapi memilih istri itu kan tidak gampang. Bukan asal cantik, bukan asal perempuan.”
“Ibu benar. Tidak asal perempuan dan yang wajahnya cantik. Yang penting dia harus baik dan setia, karena kesetiaan itu penting demi tegaknya mahligai rumah tangga,” kata Satria tandas.
Wajah Rohana tampak gelap. Ia tahu bahwa anaknya sedang menyindirnya.
“Sok tahu kamu.”
Satria tersenyum penuh kemenangan. Ibunya tak bisa berkata banyak, karena merasa bahwa dialah wanita tidak setia itu. Satria sengaja mengatakannya.
Minar yang kebingungan tak mampu mengatakan apapun. Ada rasa sakit karena ibu Satria terasa sangat merendahkannya. Sekilas Satria melihat cairan bening mengambang pada sepasang mata Minar. Satria merasa bersalah. Ia memacu mobilnya agar bisa segera sampai, kemudian ia akan segera meminta maaf setelah sang ibu diturunkan.
***
Begitu keluar dari Bandara, Satria segera mengutarakan apa yang sejak tadi ditahannya, yaitu meminta maaf.
“Aku tidak mengerti Mas, mengapa Mas mengatakan itu pada ibu,” kata Minar yang masih tampak muram.
“Aku kan sudah minta maaf. Lupakan saja.”
“Tapi Mas Satria mengatakan bahwa aku calon istri Mas, orang tua mana yang mau menerima gadis seperti aku untuk menjadi menantunya?”
“Jangan begitu Minar. Baiklah, aku minta maaf karena kelancanganku. Tapi itu tadi aku ucapkan, karena kesal pada perkataan ibu, bahwa aku membawa calon pembantu.”
“Itu tidak aneh.”
“Aku tidak suka ibu mengatakan itu. Kamu adalah gadis baik dan terhormat.”
“Aku gadis miskin.”
“Yang miskin adalah orang yang memiliki jiwa rendah, tidak bisa menghargai orang lain, menyakiti orang lain, dan merasa dirinya paling baik. Jiwanya yang miskin.”
Minar menghela napas. Ia merasa, Satria hanya ingin menghiburnya.
“Minar, aku berharap kamu melupakan semua yang kamu dengar, kecuali apa yang aku katakan tadi.”
“Maksudnya ….?”
“Siapa tahu, kita benar-benar berjodoh.”
“Mimpi,” kata Minar dengan wajah merah. Masa iya, anak pak Sutar akan berjodoh degan anak orang kaya yang pastinya sangat terhormat.
“Bagaimana kalau mimpi bisa menjadi nyata?”
Minar menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak pernah memimpikan sesuatu yang tak mungkin dijangkaunya. Menjadi menantu orang kaya? Menjadi istri seorang perjaka tampan menawan?
“Oh ya, bicara tentang tujuan kita pergi ini saja, ayuk … kita ke sebuah hotel.”
“Hotel?” Minar membelalakkan matanya.
“Hei, jangan salah sangka. Hotel yang menyewakan tempatnya untuk kita mengadakan reuni. Kamu pikir apa?”
Minar tersenyum tipis.
“Maaf.”
“Aku orang baik-baik, Minar. Maaf kalau ibuku berucap kasar dan merendahkan kamu, dan itu menunjukkan bagaimana ibuku. Tapi aku tidak seperti ibuku. Aku menghargai kamu, sangat,” kata Satria dengan menekankan kata ‘sangat’.
“Jadi mana mungkin aku melakukan hal yang tidak-tidak terhadapmu?” lanjutnya.
“Maaf, Mas.”
“Tidak apa-apa. Ya ampun, kenapa kamu yang minta maaf? Aku yang melakukan kesalahan, kan?”
“Aku menuduh Mas mau melakukan hal buruk dengan menyebut nama hotel.”
“Kamu keseringan nonton sinetron ya?” goda Satria.
“Sinetron apa? Keluargaku tidak punya televisi,” jujur kata Minar.
“Oh, maaf,” kata Satria penuh sesal. Ada rasa iba mengetahui keadaan Minar. Hari gini, nggak punya ponsel, nggak punya televisi? Diam-diam Satria membayangkan, seperti apa keadaan keluarga Minar sebenarnya. Bukan menganggap rendah, hanya merasa iba.
“Keluarga kami adalah keluarga yang miskin. Bapak baru saja mendapatkan pekerjaan yang membuat kami bisa makan layak.”
“Kamu satu-satunya anak di keluarga kamu?”
“Ya. Aku hidup bersama bapak.”
“Dan ibu … ?”
Minar mengangkat bahunya. Ia tak ingin berbicara tentang ibunya. Satria mengerti, bahwa Minar tak ingin mengatakan tentang ibunya. Mungkin ayah ibunya sudah bercerai, entahlah. Kalau meninggal, pasti Minar mengatakan kalau ibunya sudah meninggal, ini tidak kan? Satria kemudian tak ingin mengungkitnya lagi.
Mereka tiba di sebuah hotel, lalu mereka bertanya-tanya tentang adakah ruang yang bisa dipergunakan untuk pertemuan, yang tidak begitu besar, tapi nyaman. Lalu mereka melihat-lihat, lalu berbicara tentang harga, dan pelayanan apa saja yang bisa diberikan. Pokoknya semua lengkap. Minar mencatatnya dengan cermat.
Lalu ada lagi sebuah gedung pertemuan, yang kemudian mereka tidak cocok karena terlalu besar.
Tak terasa sudah lewat tengah hari ketika mereka menemukan tiga tempat yang sekiranya cocok. Satria mengajaknya mampir di sebuah masjid untuk melaksanakan shalat dzuhur. Minar senang, Satria seorang yang taat beragama. Ia semakin mempercayainya, dan bersyukur, walau Satria anak orang kaya, tapi taat beragama, dan tidak membedakan status siapapun yang bergaul dengannya, ramah, santun, baik juga tampan. Hei, kenapa kalau semua baik-baik? Minar memarahi dirinya sendiri karena merasa telah memuja seseorang. Ia menepuk pipinya keras, membuat Satria yang sudah duduk di belakang kemudi menatapnya heran. Saat itu mereka sudah keluar dari halaman masjid.
“Eh, kenapa?”
“Apa? Oh, ada apa?” Minar kaget dengan pertanyaan Satria. Kok dia melihat ketika dirinya menepuk pipinya keras sih?
“Kamu kenapa memukul pipi kamu sendiri?”
“Eh … ini … seperti ada nyamuk …” jawab Minar sekenanya.
“Masa di dalam mobil ada nyamuk?”
“Anu, mungkin terbawa dari … dari luar … tadi, “ kali ini jawaban Minar masih sekenanya.
Satria tertawa pelan.
“Nyamuk nakal, mengikuti orang sampai masuk ke dalam mobil,” gumamnya pelan, membuat Minar tersipu.
“Kamu lapar nggak? Makan dulu ya?”
“Apa? Tidak, aku pulang saja, soalnya belum masak untuk bapak.”
“Kamu hanya tinggal bersama bapak saja kan? Nanti kita belikan bapak makanan, kamu tidak perlu memasak.”
“Tt … tapi …”
“Kasihan perut kita, sejak pagi tidak di isi. Ya kan?”
“Tt … tapi …”
“Nanti aku bilang pada bapak kalau aku mengajak kamu muter-muter, kemudian mampir makan,” kata Satria yang langsung membelokkan mobilnya ke halaman sebuah restoran.
Minar merasa sungkan, juga kikuk. Ia tidak biasa makan di restoran. Pernah sekali, ketika bersama Kirani, saat sepulang dari puskesmas. Tapi Satria tidak memperhatikan sikap Minar yang tampak malu-malu. Ia langsung menyodorkan menu dan meminta Minar memilihnya.
“Ayo, mau makan apa?”
“Terserah mas Satria saja.”
“Minumnya?”
“Terserah mas Satria.”
“Es jeruk, es buah, es … apa, banyak pilihan tuh.”
Dan sekali lagi Minar mengatakan ‘terserah’.
Akhirnya Satria memilih pesan nasi dan sup dan ikan goreng, minumnya es jeruk. Minar tidak membantah, hanya tersenyum tipis. Sesungguhnya dia sungkan. Restoran itu besar, pelanggan yang datang adalah orang-orang yang berpakaian serba apik menarik dan menunjukkan bahwa mereka bukan orang biasa. Mereka adalah orang-orang berada yang sudah biasa keluar masuk rumah makan besar, tidak seperti dirinya yang berpakaian sederhana, berdandan sederhana, sedangkan di depannya duduk seorang pemuda tampan yang pasti kelihatan bercahaya, jauh bedanya jika dibandingkan dengan dirinya. Pantas saja pagi tadi ibu Satria mengira dia calon pembantu. Menyakitkan sih, tapi Minar mengerti. Barangkali juga orang-orang disekitar tempat itu, mengira dirinya pembantu yang sedang menemani majikannya makan siang. Ehem, pembantu yang beruntung.
“Ayo, makanan sudah siap. Nanti aku pesan yang bisa kamu bawa pulang, sehingga bapak tidak marah meskipun kamu tidak sempat memasak untuknya.”
Minar tersenyum. Bapaknya kelewat baik. Minar bahkan merasa, tak pernah sekalipun sang ayah memarahinya.
***
Sutar memang tidak memarahinya, walau dia lebih dulu sampai di rumah daripada kepulangan Minar. Maklum, di hari Sabtu, Sutar pulang lebih awal.
Satria tak sungkan mendatangi Sutar, mencium tangannya dan meminta maaf, karena mengajak Minar pergi sampai hari menjelang sore.
“Tidak apa-apa Nak. Bagaimana tadi, sudah mendapat tempat yang cocok untuk pertemuan?”
“Ada tiga pilihan, nanti masih kami bicarakan dengan teman yang lain.”
“Syukurlah, semoga semuanya lancar.”
“Saya langsung pulang Pak, soalnya sudah sore. Kasihan Minar, pasti capek.”
“Baiklah Nak, terima kasih sudah mengantarkan Minar.”
Satria pulang, meninggalkan kesan baik, bukan hanya di hati Sutar, tapi juga di hati Minar.
“Maaf Pak, tadi Minar tidak sempat masak. Tapi mas Satria membelikan lauk untuk Bapak.”
“Yaaah, mengapa harus repot untuk bapak, kan bapak sudah bilang, kalau akan membeli lauk untuk makan kita?”
“Minar sudah menolak, tapi mas Satria memaksa. Itu dibelinya ketika mengajak Minar makan siang tadi.”
“Ya sudah, mau bagaimana lagi, namanya rejeki ya harus kita syukuri.”
“Iya, Bapak tadi beli apa?”
“Hanya ayam goreng kesukaan kamu sih.”
“Wah, menyenangkan sekali Pak. Nanti Minar pasti bisa makan banyak.”
“Makanlah yang banyak, buat badanmu agak gemukan sedikit, tidak ceking seperti orang cacingan,” goda Sutar.
“Ah, Bapak. Memang aslinya Minar tuh badannya kecil. Kan bapaknya kecil, ibunya kecil. Kalau Minar gemuk, nanti dikira anak tetangga dong.”
“Oh, gitu ya? Baiklah. Tapi maksud bapak tuh bukan gemuk. Agak berisi, gitu lhoh. Mulai sekarang harus makan makanan yang bergizi.”
“Eeh, siapa bilang Minar makan makanan tidak bergizi? Setiap hari masak sayur macam-macam lhoh, dikebun kan banyak sayur? Dan sayur itu makanan yang penuh gizi. Memangnya yang bergizi hanya ikan, daging, dan makanan yang mahal-mahal?”
Sutar tertawa. Memang benar. Biarpun bukan orang kaya, tapi makanan mereka bergizi, bukan?
“Kamu benar, ya sudah … selesaikan pekerjaan kamu, lalu mandi dan istirahat .”
“Bapak mau makan?”
“Tadi sudah makan bekal yang kamu bawakan untuk Bapak, jadi belum lapar. Nanti malam saja kita makan sama-sama.”
“Baiklah, Minar selesaikan merapikan makanan-makanan ini, lalu mandi.”
***
Birah senang karena sejak semalam Murtono menemaninya di hotel. Biarpun wajahnya kusut dan tampak lelah, tapi dia ada di sampingnya sepanjang malam. “Biarlah Rohana yang ada di rumah gigit jari. Pasti dia tidak berani menelpon lagi, karena kalau dia menelpon, pasti masuknya ke ponselku,” gumamnya pelan.
Tapi sore hari itu tiba-tiba Murtono bergegas bangun, dan bersiap pergi.
“Mas mau ke mana? Bukankah di sini juga bisa beristirahat? Aku tidak akan mengganggu kok.”
“Aku lupa, Rohana pulang siang tadi. Pasti dia bingung karena aku tidak pulang sejak semalam.”
Birah langsung merengut. Ternyata Murtono masih memikirkan Rohana.
"Kalau sudah pulang siang, kenapa Mas bingung? Pulangpun tidak bisa ketemu dia kan?”
“Dia hanya tahu nomor kontakku yang sekarang kamu bawa. Tadi dia menelpon tidak?”
“Tidak. Eh … iya, kemarin. Aku tidak tahu, kenapa kalau menelpon Mas, selalu masuk ke ponsel aku?”
“Bukankah aku sudah bilang kalau simcard yang ada di ponsel kamu itu adalah nomorku yang lama? Dia tahunya nomor itu.”
“Oh, begitu?”
“Pasti dia segan menelpon lagi karena selalu kamu yang menerima.”
“Biar saja.”
“Sebaiknya kamu segera ganti nomor. Nanti aku belikan,” katanya sambil ngeloyor pergi.
“Mas, nanti kembali kemari kan?” Birah mengikutinya keluar.
Murtono tak menjawab, tapi dia menoleh ketika ponsel Birah kembali berdering. Jangan-jangan Rohana yang menelpon. Dan itu benar. Birah sudah bersiap menyemprotnya dengan kata-kata kasar, ketika Murtono tiba-tiba merebutnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDelete⭐π«πππ«π⭐π«π
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 20 _. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Salam sehat mbak Tien π₯°
Salam *ADUHAI*
πππ©·
⭐π«πππ«π⭐π«π
Sami2 jeng Ning
DeleteSalam sehat dan aduhai
Horrreeeee
ReplyDeleteAlhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 20 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur nuwun mas Kakek
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun ibu...mugi tansah pinaringan sehat, bahagia
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Butut
Alhamdulillah.... terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteAlhamdulillah .... Trimsjasih Bu Tien ..... semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillah.di KSB banyak nyamuk nakal.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terima kasih bude Tien. Semoga tetap sehat dan bahagia.
ReplyDeleteAamiin pak Widay2
DeleteAlhamdulillah sudah tayang. Baru sempat komen. Jadi ruwet juga, ibunya Minar calon ibu tiri Satria. Kalau Satria suka sama Minar demikian juga Minar bagaimana repon Birah dan Murtono? Bisa bisa gagal dua duanya. Matur nuwun bu Tien, salam sehat selalu. aamiin
ReplyDeleteSami2 ibu Noor
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillaah tayang makasih bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteMinar hatinya berbunga bunga
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien salam hangat dan aduhai
DeleteSami2 ibu Sri
DeleteSalam aduhai deh
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Salam aduhai hai hai
Sami2 ibu Endah
DeleteAduhai hai hai deh
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~20 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Tur Nuwuun mbak Tien sayang ππ
ReplyDeleteSemoga senantiasa sehat njiih...
Salam Aduhai dr Surabaya
Kakeeeeek.... dapet salam sayang dr Rohana dan Birah,♥️♥️π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Dewi
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerimakasih bu tien KSB 20 sdh tayang
Semoga bu tien sehat2 selalu & tetap semangat .... aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah "Kupetik Setangkai Bintang-20" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Murtono,,,,,bingung milih ndi yaaa Birah apa Rohona
ReplyDeleteKlambine diwalik nek bingung
DeleteRohana
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Arif
Setuju Satria, setia sampai mati. Rumah tangga memang harus diperjuangkan agar tetap tegak .
ReplyDeleteMinar dan pak Sutar sudah mendapat kesan baik, semoga bisa berlanjut.
Bagi para kebo , bersenang senang dahulu, susah pada akhirnya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah.... Sehat selalu mbakyu .... Jazakillahπ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun
Alhamdulillah....... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sari
ADUHAIII
00 PM
ReplyDeleteππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
Syukron bu Tien, KaeSBe episode_20 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... πππΉ
Kasihan Minar...
Memangnya dia seperti pembantu? Dasar Rohana dan Birah sama-sama perempuan tidak terpuji.....
ππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
Matur nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah, matur nuwun .. sehat dan bahagia selalu bunda Tien ,,
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Bu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 20 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Satria asbun kpd ibu nya, klu Minar adalah calon istrinya. Terusin aja gpp ya Satria, Minar gadis yng sederhana, jujur dan itu yang kamu cari kan...he...he...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°πΏπ
ReplyDeleteSemoga berjodoh ya Satria Minar,,tp perjalanan msh panjang,.
Murtono knp ...
Terimakasih Bunda Tien sehat selalu
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteOwalah kok ya ruwet bgt to yo, kaya benang kusut gitu lo, bagaimana jadinya yaaa....tunggu besok lagi n terserah bunda saja nantinya
ReplyDeleteMks bun ksb 20 sdh tayang .....selamat malam selamat tidur, semoga sehat" selalu n jangan lupa bahagia
Iya ya...hari gini masih ada yg ga punya HP dan TV? Lha banyak keluarga yg mengaku 'miskin' tapi di rumahnya ada TV, motor, kulkas, HP masing2 anggota keluarga, sehingga ga layak dapat KIP, terus kel.Minar pantasnya disebut apa? Heran aja sih...π€
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sudah mengajar pembaca untuk lebih bersyukur juga dengan mengaca pada sikon tokoh2nya. Salam sehat.ππ
Trm ksh bu Tien smg sehat selalu..
ReplyDeletePanas
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien
ReplyDeleteSehat2 selalu ππΉ