KUPETIK SETANGKAI BINTANG 19
(Tien Kumalasari)
Birah mengomel panjang pendek karena ternyata duitnya kurang untuk membeli cemilan. Ia harus kembali ke hotel, atau menelpon Murtono agar mau membelikan cemilan untuknya.
Birah mengambil ponselnya, diputarnya nomor Murtono.
Begitu diangkat, terdengar nada tak senang dari seberang sana.
“Birah, aku sedang menghadapi situasi yang kurang baik di perusahaan. Aku harap kamu mengerti dan tidak mengganggu dulu.”
“Mas, aku hanya ingin agar nanti kalau kamu datang, membawakan cemilan untuk aku di hotel.”
“Baik, dan jangan ganggu aku sampai aku datang menemui kamu.”
Lalu Murtono menutup ponselnya, membuat Birah kesal.
Sementara itu Kirani yang juga keluar dari toko, mendengar pembicaraan Birah, entah dengan siapa. Yang ia tahu hanyalah Birah minta dibawakan cemilan ke hotel.
“Jadi perempuan kasar itu tinggal di hotel? Aku heran, bagaimana mas Sutar bisa memiliki istri sekasar itu. Rupanya ia baru saja menjadi simpanan orang kaya, hidup bermewah-mewah, lalu menjadi sombong, tidak punya tata krama, dan mau menang sendiri. Entah aku harus bersyukur ketika tahu bahwa dia menggugat cerai mas Sutar, atau bersedih karena mas Sutar harus kehilangan istri. Tapi kalau aku sih … lebih baik bercerai saja,” lalu Kirani memukul mulutnya pelan karena memiliki pemikiran seperti itu. Berharap agar sahabatnya bercerai?
“Habis … dia sendiri yang minta, dan dia yang ketahuan sifat buruknya. Apa benar pernikahan itu harus dipertahankan?”
Kirani memasuki mobilnya, karena hari sudah sore dan dia baru saja pulang dari kantornya. Ketika mobilnya berjalan, Kirani melihat Subirah memasuki sebuah halaman hotel. Kirani geleng-geleng kepala.
“O, di situ dia menginap? Mungkin sampai proses perceraian selesai, dan laki-laki kaya itu menikahinya? Berapa banyak uang yang harus dikeluarkannya?" gumamnya.
Kirani memacu mobilnya menuju pulang.
***
Satria sudah ada di rumah, dan langsung mandi. Kemudian duduk di ruang makan sambil menghirup coklat susu yang dihidangkan simbok.
“Tuan muda sudah rapi, mau pergi lagi?”
“Iya, Mbok. Mau ada pertemuan dengan teman-teman.”
“Bukannya setiap hari sudah pertemuan?”
“Yang ini beda. Hanya beberapa teman, mau membicarakan acara reuni bulan depan.”
“Pesta, begitu?”
“Aku harapkan seperti sebuah pesta, karena sudah bertahun-tahun tidak ketemu.”
“Oh, syukurlah. Bisa kangen-kangenan ya?”
“Simbok tahu? Aku akan nyamperin seorang gadis setelah ini.”
“Gadis? Maksudnya pacar? Simbok suka kalau tuan muda punya pacar. Apa dia cantik? Kenalin simbok dong.”
Satria tertawa.
“Kok pacar sih Mbok. Baru ketemu tadi, setelah aku lulus SMA.”
“Tapi pasti ada ‘sesuatu’ kan? Buktinya Tuan Muda cerita sambil senyum-senyum begitu. Cantikkah dia? Simbok jadi pengin tahu.”
“Simbok ngarang deh. Aku kan bilang baru ketemu tadi. Dia memang cantik, tapi sangat lugu dan sederhana. Belum bicara banyak sama dia.”
“Buktinya tuan muda mau nyamperin dia sebelum bertemu yang lain.”
“Soalnya kebetulan aku lewat rumahnya. Huuh, simbok kok kepo sih?”
“Kepo itu apa sih, Tuan?”
“Ya kayak simbok itu, pengin tahu.”
“Rahasia ya?”
“Heee, sudah, sana. Aku habisin minum ini, lalu aku mau berangkat.”
“Baru jam tujuh, masih kurang sedikit.”
“Nggak apa-apa, lebih awal lebih baik.”
Satria mengambil kunci mobilnya, bergegas ke depan.
“Hei, mau ke mana?” tiba-tiba Rohana menghadang di depannya.
“Mau ketemu teman.”
“Boleh ibu numpang? Ada yang terlupa ibu beli buat dibawa pulang besok.”
“Ke arah mana numpangnya?”
“Dekat mal yang di sebelah perempatan itu.”
“Oh, maaf Bu, arahnya berlawanan,” kata Satria sambil berlalu.
“Eh, kalau nganterin ibu dulu kenapa sih? Nanti pulangnya ibu naik taksi. Cuma nganterin, dan kamu boleh langsung pergi,” kata Rohana sambil mengikuti Satria sampai ke halaman.
“Nggak keburu Bu, sudah ditunggu teman,” kata Satria yang tanpa menoleh, kemudian menghampiri mobilnya.
“Dasar anak kurangajar,” umpat Rohana.
“Ibu naik taksi saja!” teriak Satria sambil masuk ke dalam mobilnya.
Rohana tak menjawab, langsung masuk ke dalam, sambil mengomel kesal.
***
Sutar tersenyum ketika melihat Minar sudah rapi. Tampaknya Minar sudah bersiap untuk pergi menemui teman-temannya.
“Itu baju yang diberi ibumu?”
“Bukan. Bapak lupa ya, ini kan baju yang dibelikan Bapak sebagai hadiah, waktu Minar lulus itu.”
“Masa? Masih bagus. Dan kamu kelihatan cantik.”
“Kan nggak pernah dipakai Pak, jadi masih kelihatan baru.”
“Kenapa nggak jadi memakai baju yang diberi ibumu?”
“Nggak, lebih suka yang ini. Apa Minar cantik dengan baju ini?” canda Minar menggoda ayahnya.
“Kamu selalu cantik.”
Minar terkekeh.
“Kalau Minar laki-laki, Bapak pasti bilang ganteng.”
“Itu benar, tapi kamu memang cantik.”
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara dari luar, yang dijawab salam oleh Minar dan ayahnya.
“Pak, itu teman Minar.”
Sutar beranjak ke depan, diikuti Minar.
“Selamat malam Pak,” sapa Satria dengan santun.
“Selamat malam, silakan duduk.”
“Kedatangan saya kemari untuk menjemput Minar, Pak. Karena sudah ditunggu teman lain, mohon maaf saya tidak bisa lama-lama sekarang.”
“Oh, begitu ya. Tampaknya Minar juga sudah menunggu. Baiklah, kalian hati-hati ya, jangan pulang terlalu malam,” pesan Sutar.
“Baik Pak, nanti saya antar Minar ke rumah, kalau acara sudah selesai.”
Sutar mengangguk. Minar mencium tangan ayahnya, diikuti Satria.
Sutar melepas kepergian Minar dan temannya, dan merasa lega, karena teman Minar ternyata memiliki tata krama yang sangat baik.
“Anak orang kaya,” gumam Sutar ketika melihat Satria membawa mobil yang diparkir di luar pagar.
“Semoga Minar baik-baik saja.”
Tiba-tiba Sutar mengingat bahwa Minar akan bergaul dengan teman-teman lamanya, dan tidak punya baju yang pantas untuknya, sementara ia tidak mau memakai baju-baju pemberian ibunya.
“Besok kalau aku libur, akan aku ajak Minar membeli beberapa baju, agar tidak memalukan kalau bergaul dengan teman-temannya. Masih ada sisa dalam tabungan untuk membeli dua atau tiga potong baju. Tidak usah yang mahal, yang penting pantas. Kasihan anakku."
***
Pembicaraan dalam rapat itu terdengar hangat. Satria yang ditunjuk sebagai ketua, memutuskan agar besok mulai mencari tempat untuk diadakannya acara reuni itu. Satria bersedia menyumbangkan sewa gedung dan sebagian untuk konsumsi, selebihnya akan mencari donatur diantara teman-teman yang lainnya.
“Besok aku dan Minar akan mencari gedung yang pantas untuk acara itu,” kata Satria.
“Aku?” pekik Minar terkejut.
“Kamu adalah sekretaris, jadi harus mengikuti apa yang kami lakukan bersama.”
“Tap … pppii ….”
“Kamu tenang saja, aku tidak akan melepaskan kamu sendirian, aku akan selalu bersamamu. Oke?”
Minar tak bisa menjawab apapun. Dia memang sekretaris, jadi harus mengikuti apa kata sang ketua.
“Baiklah, hari sudah malam, bagaimana kalau kita bubar dulu?”
“Baiklah, besok aku akan mengabari lagi, kapan pertemuan berikutnya. Yang jelas, besok aku akan mencari gedung dulu, menanyakan harganya dan biaya untuk semua yang terlibat untuk kebutuhan kita. Wini akan mengurus konsumsi, bagian keuangan juga akan melakukan tugasnya. Hari ini aku akan mentransfer sebagian dana untuk operasional.”
“Baik mas Satria, akan saya kirimkan nomor rekening saya," kata Wini.
***
Belum begitu larut malam itu, ketika Satria sudah mengantarkan Minar pulang. Ketika keduanya beriringan memasuki halaman kecil rumah Sutar, mereka melihat Sutar menunggu di teras. Ia berdiri menyambut, ketika keduanya mendekati rumah.
“Selamat malam, Pak.”
“Malam, Nak.”
“Saya mengantarkan Minar, dalam keadaan tak kurang suatu apa.”
“Baiklah, terima kasih banyak, ya Nak.”
“Mohon maaf kalau kami datang agak malam, pembicaraan kami baru saja selesai. Maklum, banyak yang harus dibahas.”
“Tidak apa-apa, Nak. Bapak bisa mengerti. Apa Nak mau singgah dulu?” kata Sutar ramah.
“Tidak Pak, ini sudah malam. Lain kali saya akan mengunjungi Bapak kalau ada waktu senggang.”
“Saya menunggu kehadiran nak ….”
“Satria, Pak,” sambung Satria.
“Oh ya, nak Satria. Silakan datang kapan saja nak Satria suka.”
“Terima kasih banyak Pak, sekarang saya permisi dulu. Minar, aku pulang dulu. Oh ya Pak, besok pagi mungkin saya akan mengajak Minar mencari gedung untuk tempat acara. Agak siang tidak apa-apa, jam sepuluh, begitu, Minar?” sambung Satria.
“Baiklah, pesan saya, selalu hati-hati.”
“Baik, terima kasih, saya permisi,” kata Satria sambil kembali mencium tangan Sutar.
Sutar menatap punggung anak muda itu sampai dia masuk ke dalam mobilnya, lalu masuk ke dalam rumah diikuti Minar.
“Bagaimana acaranya?”
“Baik Pak, kami lebih dulu saling menyapa. Riuh sekali karena lama tidak berjumpa.”
“Pasti mereka sudah pada kuliah, atau bekerja.”
“Ya, yang lebih senior sudah ada yang bekerja.”
“Kamu menyesal tidak bisa kuliah?”
“Tidak, mengapa Bapak berkata begitu? Minar bahagia dengan apa yang Minar terima. Oh ya, Bapak sudah makan?” tanya Minar sambil berjalan ke ruang makan.
Tapi Minar terkejut ketika makan malam yang disiapkan ternyata masih utuh.
“Kok Bapak belum makan?”
Sutar tersenyum, lalu duduk di kursi, membuka tudung saji yang menutupi makanan yang disiapkan Minar sejak sore.
“Tidak enak makan sendiri. Temani bapak makan sekarang. Kamu sudah makan?”
“Tadi di sana Wini menyiapkan acara makan malam juga. Tapi tidak apa-apa sekarang Minar menemani Bapak makan, Minar ganti baju dulu ya Pak.”
***
Rohana sedang menunggu Murtono pulang. Ia duduk di teras dengan wajah kusut. Ingin menelpon, tapi khawatir kalau Birah lagi yang menjawab. Kesal sekali rasanya, mengapa selalu Birah yang menerima? Rohana berjanji akan menanyakannya nanti, karena ia merasa dikesampingkan. Perjuangannya semalam, dikiranya akan berhasil menundukkan hati Murtono, ternyata malah Murtono masih menemani saingannya itu di hotel.
Ketika terdengar mobil memasuki halaman, ternyata yang datang adalah Satria. Wajah Rohana tak berubah, kusut. Ia teringat ketika Satria menolaknya ketika tadi dia minta menumpang. Alasannya karena tidak lewat. Ada sedikit rasa pedih, ketika merasa bahwa Satria sebenarnya tidak menyayanginya. Hanya Tomy yang begitu dekat, dan tetap selalu bermanja padanya, karena Tomy dirawatnya sejak masih bayi. Meskipun tidak secara langsung, tapi dia menyaksikan perkembangannya dari hari ke hari, sampai Tomy menginjak dewasa. Itu sebabnya ketika kemarin Tomy menelponnya untuk minta agar ibunya segera pulang, maka Rohana menurutinya.
Ketika Satria sudah turun dari mobil, dan berjalan memasuki rumah, ia hanya menatap sekilas kepada ibunya, dan menyapa ala kadarnya.
“Belum tidur Bu?”
“Masih sore. Kamu dari mana saja?”
“Ada perlu bersama teman,” jawabnya sambil terus ngeloyor masuk ke rumah.
“Satria!” panggilnya dengan kesal.
Satria berhenti, menoleh ke arah ibunya yang mengikutinya masuk.
“Besok ibu mau kembali ke Jakarta.”
“Jam berapa?”
“Jam sepuluh sudah harus berangkat dari rumah. Pesawat jam dua belasan.”
“Oh, hati-hati dijalan.”
Lalu Satria berlalu.
Rohana menahan rasa kesal dihatinya. Ia duduk di ruang tengah, mencoba menyalakan televisi. Tapi kemudian dimatikannya. Ia merasa lebih baik tidur. Ketika ia memasuki kamarnya, tiba-tiba ponsel berdering. Rohana berharap dari Murtono, tapi ternyata bukan. Dari Luna, temannya, tetangga sebelah.
“Hei, ada apa? Oh, iya, aku sedang menengok anakku yang satunya. Benarkah? Terima kasih banyak. Belum kok. Baiklah, Biar di situ dulu, besok aku pulang ke Jakarta. Iya, nggak apa-apa, terserah berapa saja. Okey, sampai besok ya.”
Rohana menutup pintu kamarnya dan mencoba berbaring, agar bisa terlelap, dan melupakan kekesalannya kepada Murtono dan tentu saja … Birah.
***
Pagi tadi, sebelum Sutar berangkat ke kantor, Minar sudah berpamit, karena sekitar jam sepuluh nanti, Satria akan nyamperin ke rumah. Sang ayah juga sudah tahu, karena Satria juga sudah mengatakannya.
“Kalau kamu tidak sempat masak, tidak usah masak saja, nanti dari kantor bapak akan beli lauk di jalan.”
“Gampang Pak, kalau sempat mau masak yang gampang-gampang saja.”
“Oh ya, besok kan hari Minggu, bapak mau mengajak kamu jalan-jalan.”
“Benarkah? Kemana?” tanya Minar dengan mata berbinar.
“Pokoknya jalan-jalan, dan belanja.”
“Wauuww … menyenangkan sekali. Kita belum pernah belanja bersama ya Pak. Baiklah. Aduh, nggak sabar menunggu hari esok jadinya,” Minar tampak riang dan ingin berjingkrak kegirangan. Sutar mengelus rambutnya pelan. Bahagia rasanya melihat wajah Minar yang berseri-seri.
***
Jam sepuluh pagi itu, Minar sudah bersama Satria. Mereka belum tahu akan ke mana terlebih dulu, karena belum ada gagasan untuk menuju ke satu gedungpun untuk ditinjau.
Coba browsing di sini, kata Satria sambil mengulurkan ponselnya, karena ia tahu Minar tidak punya ponsel. Tapi sebelum Minar menerimanya, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari ibunya.
“Ya Bu, sudah mau berangkat? Oh ya, bapak belum pulang? Cari taksi saja. Ya ampuun, Satria harus kembali pulang? Baiklah.”
Satria menutup ponselnya.
“Pulang ke rumahku dulu ya, ibuku mau pulang ke Jakarta, jadi harus mengantarkannya ke bandara, takut terlambat naik pesawat.”
“Terserah mas Satria saja.”
Sesampainya di rumah, dilihatnya sang ibu sedang menunggu dengan seabreg bawaan.
Ketika Satria turun, dilihatnya sang ibu berdiri di teras.
“Satria, ibu sudah mendapatkan pembantu dari tetangga sebelah, mengapa kamu mencari pembantu lagi?” tanyanya sambil menatap Minar yang turun bersama Satria.
Wajah Satria kuyup dengan rasa kesal.
“Ibu, ini calon istri Satria, bukan calon pembantu,” jawabnya enteng.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 19 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Delete⭐π«πππ«π⭐π«π
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 19 _. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Salam sehat mbak Tien π₯°
Salam *ADUHAI*
πππ©·
⭐π«πππ«π⭐π«π
Sami2 jeng Ning
DeleteADUHAI deh
Sami2 jeng Ning,
DeleteADUHAI deh
✨πͺ»✨πͺ»✨πͺ»✨πͺ»
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
KaeSBe_19 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku semoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam seroja...ππ€©
✨πͺ»✨πͺ»✨πͺ»✨πͺ»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteSuwun mb Tiwb Tienb
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
Deleteππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
ReplyDeleteSyukron bu Tien, KaeSBe episode_19 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... πππΉ
Satri asal jawab saat Minar dikira ibunya calon pembantu
Wajah Satria kuyup dengan rasa kesal.
“Ibu, ini calon istri Satria, bukan calon pembantu,” jawabnya enteng.
ππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
Sami2 mas Kakek
DeleteMatur nuwun, bu Tien. Sugeng menikmati malming
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun, ibu Tien cantiiik... sehat selalu, yaa....
ReplyDeleteSami2 jeng Mita
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah.duh Minar yang sabar ya.Maturnuwun Bunda semoga tetap sehat semangat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Trimakasih bu Tien .... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Trima kasih
ReplyDeleteSami2 pak Widay2
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~19 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Wah..... Mas Satria ..ADUHAI
ReplyDeleteMatur nuwun, Mbak Tien.
Salam sehat selalu...π
Sami2 ibu Purwani
DeleteSalam sehat ugi
Alhamdulillah Kupetik Setangkai Bintang 19 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien,semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Tampaknya Murtono ada masalah dengan pekerjaannya. Kalau sampai bangkrut atau dipecat bisa gawat ni Birah .
ReplyDeleteWah Satria mengatakan Murti itu calon istrinya. Hayo pegang ucapanmu, jangan membuat hati wanita sedih.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah.... Matursuwun mbakyu, sehat selalu... Barokallah
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun
Hehe...sudah diakui sebagai calon istri...apa yang terjadi kalau nanti Satria ke rumah Minar dan bertemu Birah ya?π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.π
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu n tetap semangat
Salam aduhai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillaah
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua yaπ€π₯°πΏπ
Mantab πππ Satria tenanan
ini calon istri Satria, bukan calon pembantu,” jawabnya enteng.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Matur nuwun Bu Tien, ceritanya semakin menarik. Tetap sehat njih Bu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 19 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Cerita akan makin seru. Seandai nya Satria dan Minar duduk di Pelaminan. Apakah Birah tetap di nikah okeh Murtono. Bisa jadi gigit jari ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulilah KSB 19 sdh tayang ...waduh jawaban satria minar sbg calon istri...smg benar nih ..tapi pasti berat tantangannya...
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, smg ibu sekeluarga sll sehat dan dalam lindungan Allah... salam hangat dan aduhai bun
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai deh
Owalah kasihan si minar dikira calon pembantu,...eeee dg enteng nya satria bilang calon istri....waduh bakal serunih kayaknya
ReplyDeleteMks bun ksb 19 nya....selamat malam...sugeng sare....semoga sehat" ya bun
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSeruu niihh...
Salam hangat selalu aduhai
Dialog dalam cerita ini luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Makin seru nih...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien, semoga sehat selalu bersama keluarga tercinta ❤
Terimakasih bunda Tien sehat selalu
ReplyDelete