KUPETIK SETANGKAI BINTANG 17
(Tien Kumalasari)
Murtono menatap bekas istrinya tak berkedip. Apakah tawaran itu menggiurkan? Dibalik wajahnya yang carut marut itu tersembunyi sisa kecantikannya. Murtono merasa seperti menjadi seorang pembeli. Mau pilih yang mana ya, yang baru mau dipoles, atau yang sudah polesan. Yang baru belajar menjadi cantik sempurna, atau yang sudah cantik sempurna?
“Mas, apakah menurutmu aku berbeda dengan Birah? Apa dia lebih baik dari aku? Kalau Mas menuduh aku pernah selingkuh, bagaimana dengan Birah? Dia juga bukan istri yang setia. Buktinya, dia masih punya suami tapi mau melayani Mas. Apakah dia baik?”
Murtono mulai menimbang-nimbang. Tapi aroma wangi yang terurai dari tubuh Rohana menusuk hidungnya, menusuk sanubarinya, menusuk lelah letihnya yang menjadi terlepas dan membuatnya lengah. Berdekatan dengan perempuan sudah biasa, apa yang salah kalau seandainya ia menghabiskan malamnya bersama bekas istri yang masih menarik?
Lupa pada kemarahan Birah, lupa pada ucapannya pada Birah tentang janji cinta yang hanya tertuju padanya. Mana yang salah, kalau laki-laki yang terbiasa bergumul dengan ombak di lautan nafsu lalu ingin melakukannya lagi dan lagi?
Malam yang larut habis tanpa sempat memicingkan mata. Tanpa peduli ketika Birah menangis menggerung-gerung ingin agar dia membelanya tapi bahkan dia mengacuhkannya.
***
Bangun kesiangan, Murtono membuka ponselnya, melihat berpuluh panggilan dari Birah yang diacuhkannya. Ia meletakkan kembali ponselnya, keluar dari kamar tamu, meninggalkan Rohana yang masih berselimut, lalu masuk ke dalam kamarnya. Bukannya membalas panggilan Birah, Murtono malah berbaring kembali di ranjang, melanjutkan tidurnya.
Di ruang makan, Satria sedang duduk untuk sarapan pagi. Agak heran ketika melihat ibunya tidak muncul, bahkan ayahnya yang dipastikan pulang karena ia melihat mobilnya. Tapi tak satupun dari mereka keluar untuk makan pagi.
“Tuan muda mau pergi lagi?”
“Iya Mbok, kalau di rumah kan nggak ada pekerjaan, paling bengong lalu mengantuk. Aku senang bertemu teman-teman lama.
“Iya benar. Jauh-jauh untuk liburan, pastinya lebih baik bersenang-senang. Apa hari ini tuan muda ingin dimasakkan sesuatu?”
“Tidak, terserah Simbok saja, apapun yang simbok masak, pasti enak.”
Simbok tersenyum. Satria sudah seperti anaknya sendiri, karena sejak bayi dialah yang mengasuhnya.
“Nanti kalau cari istri, harus yang pinter masak. Kalau istri pinter masak, tuan akan lebih betah tinggal di rumah, makan di rumah, tidak makan di mana-mana.”
“Apa enaknya punya istri?”
“Lho, jangan mikir enak dan tidaknya. Berumah tangga itu kan kodratnya manusia, supaya hidup lebih teratur, supaya punya keturunan yang bisa meneruskan cita-cita orang tua, supaya tidak kesepian di hari tua.”
“Bukankah wanita itu hanya bisa menyakiti?”
“Mengapa tuan muda berkata begitu? Simbok ini juga wanita lhoh. Simbok menyakiti siapa?”
“Bapak tuh. Punya istri yang lalu meninggakannya, punya calon istri … wanita yang masih punya suami. Di mana-mana aku temukan perempuan yang tidak setia. Karena itu aku jadi tak ingin punya istri. Begini lebih enak kan?”
“Pengalaman yang menimpa seseorang tidak bisa untuk kita berkaca. Tidak semua wanita begitu. Sesuatu yang menimpa orang lain tidak selalu akan menimpa diri kita.”
“Bagaimana aku tahu, mana wanita yang benar-benar setia dan bisa menjadi istri yang baik? Menurut aku, semua wanita sama saja.”
“Eeh, nggak boleh begitu. Simbok ini juga wanita. Ketika suami masih ada, sampai dia meninggal, simbok tidak pernah berpaling. Simbok mengabdi kepada kesetiaan. Tuan muda tidak percaya? Selama menjadi janda, simbok ada di sini, sejak tuan muda masih bayi, sampai tuan muda sudah sebesar ini, simbok masih tetap ada di sini. Simbok ini dulu juga cantik lho, yang suka banyak. Tapi simbok tetap setia kepada suami.”
Satria tertawa.
“Iya, aku tahu, simbok ini dulunya pasti cantik, hidungnya mancung, bibirnya tipis, matanya tajam, kulitnya juga bersih.”
Simbok terkekeh.
“Ya tidak begitu amat sih Tuan, biasa saja. Kok tuan muda memujinya seperti melihat seorang bidadari saja.”
“Itu benar. Yang berkurang dari simbok adalah kulit simbok yang sudah keriput, dan dua gigi yang sudah tanggal, tuh, ompong.”
Keduanya terkekeh senang. Di rumah itu, yang membuat Satria betah hanyalah simbok. Sejak kecil dia bersama simbok. Ibunya tak ada, ayahnya sibuk mengumpulkan harta.
“Sedang apa, asyik bener bercandanya,” tiba-tiba Murtono muncul. Tampak lelah. Baru saja bangun dari tidur.
“Ini Tuan, tuan muda bercanda.”
“Simbok ini kan cantik Pak, dia juga setia. Kalau cari istri lagi harusnya seperti simbok ini,” kata Satria enteng.”
“Apa? Kamu menyuruh bapakmu ini mengambil simbok sebagai istri?”
“Bukan simbok. Simbok mana mau punya suami Bapak. Simbok itu setia pada suaminya. Ini hanya misalnya, maksud Satria ... yang setia seperti simbok."
“Kirain simbok, simbok sudah keriput, sudah bau tanah."
“Bapak jangan begitu. Yang penting hatinya. Simbok itu baik, seperti ibu bagi Satria. Malah ibu saja kalah sama simbok.”
“Kamu itu ngoceh tidak karuan.”
“Siapa bilang ibu kalah sama simbok?” tiba-tiba Rohana muncul, sudah rapi, tapi tampak kalau belum mandi.
“Ibu kalah sama simbok. Simbok merawat Satria dari bayi sampai dewasa,” kata Satria yang kemudian beranjak dari kursinya.
“Mau pergi?” tanya ayahnya.
“Ya, ada rapat dengan teman-teman SMA yang mau ngadain reuni,” jawabnya sambil pergi.
Rohana tak ingin menahannya. Sesungguhnya kedekatannya dengan Satria memang kalah sama simbok. Tapi Rohana tak mempedulikan apa kata orang tentang dirinya.
“Apa tuan dan nyonya mau sarapan? Akan simbok siapkan.”
“Ya, aku mau sarapan mbok,” jawab Rohana sambil duduk.
“Aku mau mandi dulu,” kata Murtono sambil membalikkan tubuhnya masuk ke kamar.
“Aku minum dulu Mbok.”
“Sudah disiapkan, tinggal membawa ke sini, Nyonya.”
Seorang pembantu yang lain membawa gelas berisi minuman hangat.
Tiba-tiba ponsel Murtono berdering. Rohana mendengarnya, dan bergegas menghampiri. Rupanya Murtono meninggalkan ponselnya di ruang tengah. Rohana mengangkat ponsel itu, rupanya dari Birah. Rohana tersenyum mengejek, lalu menjawabnya.
“Ada apa? Kangen sama kekasihmu ya?”
“Mengapa kamu yang menjawabnya?” teriak Birah dari seberang dengan marah.
“Memangnya kenapa? Mas Murtono sedang mandi, aku menungguinya di kamar. Baru saja kami bangun, capek sekali rasanya. Ya ampuun malam tadi sungguh mengesankan…..”
Tapi Rohana kemudian tak melanjutkan ocehannya, karena Birah menutup ponselnya tiba-tiba.
Rohana terkekeh senang bisa memanas-manasi Birah dengan sukses. Ia sudah membayangkan, Birah pasti mencak-mencak penuh amarah. Mungkin juga sedang menangis darah.
“Rasakan. Kamu mau kembali merebut mas Murtono? Kamu suka kan, dia sudah kaya, dan kamu yang terbiasa hidup miskin, pasti merasa sudah pasti akan bisa memilikinya. Tapi ada aku, Birah. Bermimpilah sepanjang hidupmu.”
Dan Rohana terkekeh lagi.
Satria yang melintas dan siap pergi, menatapnya heran.
“Kenapa ibu tertawa-tawa sendiri?”
“Barusan ada badut.”
Satria melanjutkan melangkah, tak peduli pada ibunya yang kembali masuk ke ruang makan.
***
Birah kembali meraung. Perkataan Rohana berhasil membakar darahnya sehingga mendidih sampai ke ujung kepala.
Semalam Murtono tidak kembali ke hotel, dan ternyata tidur bersama Rohana?
“Teganya mas Murtono melakukan semua ini. Bahkan ketika aku menelpon, dia yang menerima. Setan perempuan itu kenapa tiba-tiba bisa ada di kota ini? Bukankah dia sudah punya suami lagi?” omelnya sambil mengacak-acak rambutnya.
Birah sungguh ingin berbicara dengan Murtono, tapi takutnya lagi-lagi yang menerima Rohana.
“Bisa semakin seneng dia mengejekku. Tapi gemes juga sama mas Murtono, kenapa tiba-tiba pulang ke rumah dan tidak balik ke hotel? Apakah si jahat itu melarangnya? Tapi mengapa mas Murtono harus menuruti kemauannya?” omel Birah tak henti-hentinya.
Karena kesal, maka Birah segera berdandan, dan siap pergi menemui Murtono di rumahnya. Kalau nanti terjadi rame lagi antara dirinya dan Rohana, Murtono kan ada.
“Pasti mas Murtono akan membelaku. Masa membela dia?”
Birah sudah mantap berangkat. Ia memanggil taksi dan menunggunya di lobi.
***
Minar sedang mau berangkat ke pasar. Ia ingin masak enak hari ini, karena nanti Sutar pasti pulang agak sore. Bukankah besok hari Minggu? Biasanya kalau Sabtu, Sutar pasti pulang agak awal. Kalau tidak capek, dia mengajak Minar jalan-jalan. Sekedar melepaskan penat, atau makan yang ringan-ringan yang banyak dijual di pinggir jalan.
Tapi tiba-tiba dia melihat seseorang memasuki halaman. Mereka ada dua orang dan berboncengan sepeda motor. Salah satunya langsung mendekat ketika melihat Minar berdiri di teras.
Minar tidak lupa, dia adalah Wini, kakak kelasnya. Sambil bertanya-tanya dalam hati, dia menyambutnya dengan ramah.
“Mbak Wini?”
“Senang, kamu tidak melupakan aku, Minar,” kata Wini.
Mereka kenal dekat. Banyak kakak kelas yang mengenal Minar, karena Minar anak yang pintar. Kebanyakan dari mereka melanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi Minar tidak. Mana mungkin orang tuanya bisa menyekolahkannya? Dia tahu, biaya sekolah sangat mahal
“Tentu saja tidak, silakan duduk,” kata Minar
“Mas Satria, sini !! Nanti dikira sombong lhoh,” kata Wini kepada teman yang memboncengkannya, yang ternyata Satria.
Satria tak begitu dekat dengan Minar, karena ketika Satria lulus, Minar baru kelas satu.
“Apa kabar?” sapa Satria ketika mendekat ke arah teras.
“Baik.”
Keduanya bukan tak saling mengenal. Ketika acara perpisahan, Minar juga menjadi panitia di acara itu, hanya saja karena hanya sekilas, mereka tak begitu dekat, apalagi setelah itu Satria melanjutkan kuliah di Jakarta.
Setelah dipersilakan duduk, Wini mengutarakan maksud kedatangannya.
“Minar, bulan depan kami akan mengadakan reuni diantara alumnus sekolah kita. Aku mengajak kamu untuk menjadi panitia di acara itu. Kamu bersedia kan?”
“Aku? Aku bisa apa?”
“Minar, jadi apapun, nanti kita bicarakan. Ada sepuluh orang teman lagi yang nanti akan bergabung. Kamu datang ya?”
“Kapan?”
“Nanti sore, di rumah aku.”
“Nanti sore?”
“Ya, apa kamu punya kesibukan? Kamu bekerja?”
“Tidak. Aku tidak bekerja, dan tidak punya kesibukan, kecuali melayani ayahku. Rumahmu belum pindah kan Mbak?”
“Belum. Masih di rumah yang dulu.”
“Biar nanti aku nyamperin Minar kemari” kata Satria tiba-tiba.
“Eh, tidak usah. Rumah Wini tidak begitu jauh dari sini, aku bisa berjalan kaki.”
“Jangan. Dari rumah aku ke rumah Wini, melewati rumah ini. Aku akan nyamperin kamu setelah maghrib.
“Berarti pulangnya malam dong,” kata Minar ragu-ragu.
“Nanti kan bisa pulang sama aku lagi?” kata Satria.
“Merepotkan sekali.”
“Tidak, kan tinggal lewat, lalu kamu aku lempar saja dari luar sana,” canda Satria yang disambut tawa teman-temannya.
“Baiklah, tapi aku harus minta ijin dulu dari bapak. Sekarang bapak masih bekerja.”
“Tidak apa-apa. Kita bertukar nomor kontak ya, supaya bisa komunikasi.” sambung Wini.
“Eh, aku tidak punya ponsel,” kata Minar tersipu.
“Oh, tidak punya? Ya sudah nggak apa-apa. Pokoknya aku nanti datang kemari setelah maghrib dan aku akan bilang kepada orang tua kamu bahwa aku akan mengajakmu rapat pada acara yang akan kita adakan,” tandas Satria.
“Baiklah kalau begitu.”
“Ini kamu mau pergi?”
“Mau ke pasar. Tugasku masak untuk Bapak,” kata Minar malu-malu.
“Wah, anak baik. Kamu pintar masak ya?” sambung Satria.
“Sekedar masak saja, tidak pintar,” kata Minar merendah. Tapi sikap Minar yang merendah itu membuat Satria berpikir lain.
“Gadis ini cantik, kata teman-temannya dia pintar, tapi tak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, karena keadaan orang tuanya. Dia juga rendah hati. Hei, ada apa aku ini? Dia hanya seorang gadis sederhana,” kata batin Satria.
“Ayo Mas, kita pulang dulu, masih ada teman yang harus kita datangi,” ajak Wini.
“Iya benar. Pamit dulu, Minar. Jangan lupa nanti sore,” kata Satria sambil tersenyum.
Minar membalas senyuman itu, lalu menundukkan wajahnya. Ia merasa aneh dengan cara memandang Satria kepadanya.
***
Birah turun dari taksi, menatap ke arah rumah Murtono, tampak sepi. Agak lega rasa hati Birah.
“Semoga perempuan jahat itu sudah pergi.”
Tapi kemudian dia menelpon Murtono, dan berharap bukan Rohana yang menjawabnya.
Birah merasa lega ketika mendengar suara Murtono menjawab panggilan telponnya.
“Birah, maaf, semalam aku kelelahan dan terpaksa tidur di rumah.”
“Sekarang Mas ada di mana?”
“Sedang mengantarkan Rohana belanja. Dia akan pulang ke Jakarta besok.”
Birah meremas ponselnya, membayangkan sedang meremas wajah saudara tirinya.
***
Besok lagi ya.
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSmg sht sll
Deleteππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
ReplyDeleteSyukron bu Tien, KaeSBe episode_17 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... πππΉ
Birah, Murtono dan Rohana, SETALI TIGA UANG, podo-podo SETAN, rasah ditiru.
Kasihan Satria dan Minar jika keduanya berjodoh,
ππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
Matur nuwun mas Kakek
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 17 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteMatur suwun Bu Tien salam sehat selalu..,πππ
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteSuwun
ReplyDeleteSami2 pak Wirasaba
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ...sehat selalu πΉπΉπΉπΉπΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Susi
Terima kasih, bu Tien cantiiik... semoga sekeluarga sehat, yaaππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Mita
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Deleteπ«ππ«ππ«ππ«π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
KaeSBe_17 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku semoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam seroja...ππ€©
π«ππ«ππ«ππ«π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillaah tayang makasih bunda salam sehat!!! Terus berkarya!!!
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteTerima kasih
Terima kasih bu Tien KSB 17 sdh tayang .. nah kan satria anak baik ketemu minar ansk baik ... wah tambah seru
ReplyDeleteSemoga bu Tien sll sehat dan bahagia .. salam hangat dan aduhai bun
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Matur nuwun Bu Tien.....
ReplyDeleteSami2 pak Apip
DeleteMudah2an terjadi yg seram2.
ReplyDeleteYaa
DeleteHoreeeee... Minar mulai dekat dengan Satria... Salah satu tanda akan saling berdekatan.
ReplyDeleteNah Birah makin kacau. Kalau tidak jadi dinikahi si playboy jadi nganggur deh.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Trimakasih Bu Tien ...... semoga bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
salam sehat selalu
Sami2 ibu Nanik
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~17 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat selalu njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah.cinta dari mata turun kehati .Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDelete
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun pak Herry
Kalau Satria jatuh cinta sama Minar, waduuhh...mangkin ruwet. Aduhai.Mtr nwn Bu Tien, sehat sll.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°πΏπ
ReplyDeleteMinar awas ya,,,, Satria mulai memperhatikan tuh...
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Konflik semakin seru ...
ReplyDeleteMatur nuwun, Mbak Tien
Salam sehat selalu, nggih.....
Sami2 ibu Purwani
DeleteSalam sehat juga
Kalau Minar berjodoh, nanti akan mengatakan ibu mertuaku saudara tiri ibuku... wk wk.. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat dan aduhai
Alhamdulillah... Mtsw mbakyu.. Sehat selaluπͺπͺ
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun Yulia
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 17 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Satria melihat Minar adalah gadis yang sederhana, rendah hati tapi cantik. Maka nya tiap kali Wini bicara dengan Minar, Satria...nyaru wuwos melulu, caper ya πππ
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Kisah orang tua-tua gatal saja bisa dibuat menarik oleh Mbak Tien...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Waduh, bisa2 tangkapan yg sdh di tangan lepas nih...Birah gigit jari, minta balik ke Sutar? Hmmm....lihat saja nanti, kepiawaian ibu Tien merangkai cerita.π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu...salam sehat selalu.πππ
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Alhamdulillah, matursuwun, salam sehat selalu Bu Tien
ReplyDeleteMatur suwun Bu Tien,
ReplyDeleteSalam Sehat bahagia selalu ππ❤πΉ