KUPETIK SETANGKAI BINTANG 14
(Tien Kumalasari)
Sutar membalikkan tubuhnya, keluar dari kamar, kembali masuk ke kamar mandi. Minar heran melihat tingkah sang ayah.
“Minaaar!”
Minar mendekat, berdiri di luar kamar mandi.
“Tolong ambilkan baju ganti yang sudah aku siapkan dikursi dekat cermin,” titahnya.
Minar segera bergegas masuk ke kamar ayahnya, lalu melihat ibunya memegangi baju yang tampaknya baru dibelinya, ditempelkan ke tubuhnya.
“Ibu mau mandi?” tanya Minar.
“Tidak, aku mau mencoba baju yang aku beli, tiba-tiba ayahmu masuk begitu saja, kaget aku, soalnya dia berteriak sambil memelototi aku. Bukankah ini juga masih kamarku?”
“Iya Bu, mungkin bapak tidak mengira ibu sudah pulang. Sekarang saya mau mengambil baju ganti bapak,” kata Minar sambil meraih tumpukan baju sang ayah seperti yang tadi dipesannya.
Minar keluar dari kamar sambil tersenyum. Ayahnya benar-benar tidak ingin berada dalam satu kamar dengan istrinya.
Kemudian Minar mengulurkan tumpukan baju ayahnya melalui celah pintu kamar mandi yang dibuka sedikit oleh Sutar.
Kesal sekali ketika tiba-tiba melihat istrinya melepas baju tanpa merasa malu. Lalu Sutar bertanya kepada dirinya sendiri. Mengapa tadi dia harus lari? Bukankah Birah masih istrinya dan tak ada yang melarang seandainya berada dalam satu kamar sambil berganti baju. Tapi Sutar membayangkan ketika pernah melihat sang istri bergandengan dengan laki-laki lain sambil tertawa-tawa bahagia. Bahkan pernah tidak pulang. Bayangan menjijikkan melintas, membuatnya benar-benar merasa jijik.
Itu juga sebabnya yang membuatnya merasa jijik ketika melihat tubuh istrinya. Kalau saja Kirani menceritakan pertemuannya dengan Subirah di sebuah toko roti, pasti Sutar akan lebih merasa muak terhadap sang istri. Tapi Kirani memang tidak mengatakannya, atau belum mengatakannya, karena merasa sungkan.
Birah rupanya juga tak terusik dengan masuknya Sutar ke dalam kamar. Ia melanjutkan kegiatannya mencoba satu per satu baju yang tadi dibelinya. Ia tersenyum melihat dirinya masih tampak cantik dengan baju-baju yang lebih pantas. Kamar itu sekarang penuh dengan baju-baju yang dibelinya hampir sebulan ini, dimasukkannya ke dalam almari, setelah ia membuang baju-baju lamanya yang dianggapnya sudah usang.
Setelah puas mencoba baju-bajunya, ia menatanya ke dalam almari, yang kemudian tampak berjubel karena penuh sesak.
“Besok aku akan membeli kopor yang besar, lalu aku masukkan baju-baju itu ke dalamnya, sehingga mudah untuk membawanya pergi, tidak usah repot-repot menatanya kembali."
Ketika ia keluar, ia berpapasan dengan suaminya lagi, ketika ia mau minum di ruang tengah. Tapi Birah bersikap seakan tak terjadi apa-apa diantara mereka. Ia bahkan mengingatkan kepada Sutar bahwa besok adalah sidang pertama perceraiannya.
“Besok apa kita akan pergi bersama?” tanya Birah.
“Tidak. Aku tidak akan hadir, agar prosesnya tidak usah bertele-tele. Aku terima gugatan cerai itu, aku memberikan kamu talak tiga,” kata Sutar tandas.
Birah agak terkejut mendengar suara Sutar yang agak keras. Dengan ucapan itu ia sekarang benar-benar sudah bercerai, hanya menunggu sah-nya secara hukum.
Birah menyadari, ada rasa teriris karena perceraian itu, tapi bukankah itu kemauannya sendiri? Sesal itu tak harus ada, karena Murtono sedang menunggunya dengan iming-iming yang membuatnya terlena.
Sutar punya apa? Sementara Murtono punya segalanya.
Tapi Minar yang ada didapur untuk menyiapkan makan malam mendengarnya. Rasa sepi mencekam tiba-tiba, karena ia benar-benar merasa sudah kehilangan seorang ibu. Walau hampir setiap hari terkena marah, walau hampir setiap hari ada saja pekerjaannya yang salah, tapi Birah tetaplah ibunya. Ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan, dan mengasuhnya sampai dia menjadi gadis dewasa.
Ia menyesal, mengapa ibunya menjadi ringkih hanya karena iming-iming gebyarnya dunia?
Ia menyelesaikan pekerjaannya menata meja, kemudian mendekati ayah ibunya yang masih duduk berhadapan dengan saling diam.
“Bapak, makan sudah siap. Ibu, makan ya … sudah Minar tata … seadanya.”
Sutar berdiri, berjalan menuju ruang makan, sementara Birah masih tetap duduk, bergeming di tempatnya.
“Aku tidak makan. Sudah terbiasa makan yang nggak biasa, jadi nggak doyan makan yang seadanya. Aku mau tidur saja,” katanya sambil berdiri, lalu beranjak ke kamarnya. Tapi sebelum memasukinya, ia menoleh lagi kepada Minar yang terpaku di tempatnya berdiri.
“Minar, mungkin malam ini adalah malam terakhir ibu menginap di sini. Besok-besok sudah enggak lagi. Kalau kamu ingin ketemu ibu, nanti ibu tinggalkan alamatnya untuk kamu.”
“Ibu benar-benar ingin meninggalkan bapak?”
“Ibu sudah memilih jalan terbaik untuk ibu. Ibu sudah lelah.”
“Sebenarnya Bapak sudah bekerja, dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Hidup kita akan berubah.”
“Huhh, pekerjaan yang lebih baik itu apa? Sama saja tetap menjadi buruh kan? Tak ada yang menarik. Aku sudah memutuskan, dan bapakmu sudah menjatuhkan talak tiga.”
Lalu terdengar pintu ditutup keras, hampir membuat Minar terlonjak kaget.
Setitik air mata meloncat dari sepasang mata bening itu. Ia mengusapnya, kemudian berjalan menuju ruang makan.
“Kamu sedih?” tanya sang ayah yang belum juga menyendok nasinya.
“Mengapa rumah tangga ini harus hancur?”
“Kamu kan tahu penyebabnya, dan kamu sudah mengerti, bukan? Lupakan saja semuanya. Ayo makan. Bapak sudah lapar,” kata Sutar sambil menyendok makanannya.
“Ibu bilang, ini adalah malam terakhir ibu tinggal di rumah ini. Berarti besok Minar tak akan melihat ibu lagi,” katanya sendu.
“Kamu mau ikut ibumu?”
“Tidak.”
“Kalau tidak, berarti kamu akan bersama bapak. Menjalani hidup ini dengan suka dan dukanya.”
Minar diam. Pasti semua tidak akan sama. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Rasa kesal kepada ibunya segera mengibaskan kesedihan yang melanda. Bukankah ibunya sudah menyiratkan bahwa dia sudah lelah hidup miskin? Iming-iming bahwa sang ayah sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, sama sekali tak menggoyahkan keinginan sang ibu. Apa artinya pekerjaan baik ayahnya kalau dibandingkan dengan kekayaan Murtono yang berlimpah ruah? Ke mana-mana dengan mobil, belanja tak henti-hentinya. Seorang Sutar tak akan bisa memberikannya.
Minar menyendok nasinya, kemudian mengibaskan semua angan-angan yang menyedihkan itu. Ia harus bahagia bersama ayah, seorang laki-laki yang baik tapi dikesampingkan oleh ibunya.
***
Di kantor, ketika sedang beristirahat, Kirani tidak pulang ke rumah untuk makan siang. Ia hanya menyuruh OB untuk membelikannya makanan. Ia menatap wajah Sutar yang sedari tadi tampak murung. Lalu Kirani tiba-tiba ingin tahu, apakah benar rumah tangganya baik-baik saja? Ia bertemu dengan Subirah yang sedang bersama laki-laki lain, dan tampaknya dia memang istri Sutar. Berhari-hari Kirani memendam pertanyaan, yang dirasanya sungkan untuk diutarakannya. Tapi hari ini ia ingin mengatakannya. Barangkali wajah keruh Sutar disebabkan oleh adanya kemelut di rumah tangganya.
“Mas tidak makan dulu? Kok seperti sedang melamun begitu?” tanya Kirani.
“Ah, tidak … aku baik-baik saja.”
“Aku ingat, aku belum pernah cerita sama Mas. Beberapa hari yang lalu, aku hampir menabrak seorang wanita. Untungnya lukanya tidak parah, tapi aku kemudian membawanya ke rumah sakit. Ketika mendaftar, dia mengatakan namanya Subirah."
Sutar mengangkat wajahnya. Ia ingat beberapa hari yang lalu Birah pulang sambil berjalan terpincang-pincang. Katanya keserempet atau hampir tertabrak mobil. Siapakah yang diceritakan Kirani? Birah? Tapi Sutar tidak mengatakan apa-apa.
"Beberapa hari kemudian, aku bertemu dia lagi di sebuah toko roti. Dia bersama dengan …. seorang … laki-laki," lanjutnya.
Sutar tidak terkejut. Ia yakin bahwa laki-laki itulah yang membuat Birah ingin bercerai.
“Dia bukan suaminya, aku yakin. Karena dia menawarkan pada Birah agar membelikan makanan untuk suaminya yang miskin. Juga anaknya yang bernama Minar disebutnya. Hanya saja Birah tidak mau. Mas tahu? Aku sangat berharap, wanita itu bukan Birah istri Mas. Banyak nama yang sama, bukan?”
“Tapi nama yang sama, dengan suami miskin dan anak bernama Minar, pastilah orang yang sama.”
“Maksud Mas … dia … istri Mas?”
“Ya.”
“Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud ….”
“Tidak apa-apa, kami sedang dalam proses cerai.”
“Proses cerai? Mas mau menceraikan dia?”
“Dia yang minta cerai, tidak tahan menjadi istri laki-laki miskin,” akhirnya Sutar berterus terang. Kirani menatapnya iba.
“Aku menyesal mengatakannya pada Mas.”
“Tidak apa-apa, bu Kirani. Akhirnya toh bu Kirani akan tahu juga.”
Kirani mengangguk, tapi diam-diam dia memaki perempuan bernama Birah, yang ternyata perempuan yang tidak setia.
Sementara itu makanan yang dipesan Kirani sudah datang. Kirani ternyata pesan dua porsi gado-gado, lalu memberikannya yang sebungkus kepada Sutar.
“Ini untuk Mas, ayo kita makan sama-sama.”
“Tapi saya kan sudah membawa bekal?”
“Hanya gado-gado, tidak begitu membuat kenyang, tapi segar.”
Sutar tak bisa menolak. Kirani mengajaknya duduk di sofa, dan bersama-sama makan gado-gado, tapi ternyata gado-gado itu membuatnya kenyang, sehingga bekal yang dibawakan Minar belum sempat dimakan.
“Kok tidak dilanjutkan makan bekalnya?”
“Nanti saja, saya sudah merasa kenyang. Nanti kalau merasa lapar saya makan lagi.
“Jangan sampai tidak dimakan, nanti Minar kecewa.”
“Sesekali tidak apa-apa.”
“Oh ya Mas, ini ponsel untuk Mas.”
“Ponsel?” tanya Sutar ketika Kirani menyodorkan sebuah kotak.
“Kita perlu sering berkomunikasi, jadi Mas harus punya ponsel. Disitu sudah ada simcardnya, nanti Mas tinggal mendaftar saja.
“Terima kasih banyak, bu Kirani. Saya sedang berpikir untuk membelinya yang murah saja, saat saya menerima gaji. Ini malah mendapat yang bagus.”
“Tidak apa-apa. Itu fasilitas dari perusahaan, tapi juga bisa untuk keperluan pribadi, kalau Mas merasa perlu.”
“Terima kasih.”
“Hari ini Mas juga akan menerima gaji pertama Mas. Sebaiknya Mas membuka rekening di bank, supaya setiap saat gajian, kami bisa langsung mentransfernya ke rekening Mas. Tapi kalau Mas sudah punya, berikan saja sekarang nomor rekeningnya.
Sutar tertunduk malu. Dulu waktu masih bekerja, dia punya rekening di bank, tapi setelah tidak lagi bekerja, siapa yang akan mentransfer ke dalam rekening itu? Pastinya juga sudah ditutup karena tidak aktif.
“Tidak punya.”
“Kalau begitu besok Mas bisa membukanya di bank mana terserah Mas.”
“Baiklah.”
“Kali ini Mas bisa mengambilnya di keuangan dulu, setelah Mas membuka rekeningnya, berikan nomornya pada bagian keuangan. Selanjutnya gaji Mas akan ditransfer."
“Saya akan segera mengurusnya.”
***
Hari itu Birah mengatakan kepada Murtono, bahwa dia sudah tidak akan pulang ke rumah Sutar lagi. Tapi ketika Murtono memintanya tinggal di rumahnya, Birah menolaknya.
“Bukankah Satria masih ada di sana?”
“Dia sedang liburan, belum ingin kembali ke Jakarta. Memangnya kenapa kalau ada dia? Dia setiap hari pergi bersama teman-temannya.”
“Walaupun pergi kan akhirnya pulang juga. Aku enggan bertemu dia.”
“Apa Satria pernah melukai kamu? Nanti aku akan menegurnya.”
“Tidak. Bukan itu. Hanya saja aku merasa bahwa dia tidak menyukai aku.”
“Karena belum saling mengenal saja, nanti kalau sudah mengenal kan berbeda.”
“Pokoknya nggak mau tinggal di rumah kamu, nanti saja kalau kita sudah menikah.”
“Lalu kamu mau tinggal di mana?”
“Carikan saja kontrakan untuk aku, biar kecil nggak apa-apa, sambil menunggu selesainya proses perceraian, dan kita menikah.”
“Baiklah, kalau begitu. Aku akan menyuruh orang untuk mencarikan kontrakan untuk kamu. Hari ini, kalau belum mendapat kontrakan yang cocok, kamu tinggal di hotel saja dulu.”
“Hotel? Aduh, aku takut, apa Mas akan ikut tidur di sana?”
Murtono tertawa.
“Mengapa takut? Tidak ada hantunya di sana. Justru kalau aku ikut tidur di sana, aku bisa menjadi hantu,” kata Murtono sambil tertawa.
Birah ikut tertawa.
“Aku suka kalau hantunya mas Murtono,” katanya sambil melirik genit.
Mereka kemudian bercanda seperti candaan anak muda. Benar-benar lupa pada usia.
***
Hari itu Sutar pergi ke bank seperti saran Kirani. Uang gaji sudah diterima, dan kecuali sekedar membuka rekening, Sutar juga ingin menyisihkan sebagian uang gajinya, agar tidak membawa uang cash terlalu banyak.
Setelah selesai mengisi formulir dan melengkapi semua persyaratan, maka selesailah urusan buka rekening.
Sutar sudah turun dari tangga bank itu, ketika tiba-tiba seseorang menegurnya sambil menepuk pundaknya.
“Mas Sutar ya?”
Sutar menoleh, terkejut melihat siapa yang menyapanya.
"Masih ganteng sih Mas, kamu."
***
Besok lagi ya.
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
ReplyDeleteSyukron Bu Tien, KaeSBe episode_14 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... 👍👍🌹
Siapa ya yang menegur Sutar setelah beres buka rekening BANK??
Bolehkah aku menebak?
ROHANAH-kah dia? Saudara tiri Subirah???
🤩🫡🫡
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
Sami2 mas Kakek
DeleteBesok lagi ya..
Matur suwun bu Tien Eps 14 sdh tayang..,🙏🙏
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteTerima kasih, ibu Tien cantiik... salam kangen selalu, yaa💕
ReplyDeleteSami2 jeng Mita
DeleteKangen selalu..
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien 🙏
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteTerima kasih seri 14
ReplyDeleteSami2 pak Widay2
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 14 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
DeleteMatur nuwun Mbak Tien ku sayang. Salam sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~14 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah ..... maturnuwun Bu Tien .... semoga bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillah.pak Sutar sudah nabung diBank.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
ADUHAI DEH
Alhamdulillah KSB 14 sdh tayang
ReplyDeleteMatur nuwun bunda
Sami2 ibu Wiwik
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien ksb 14 sdh tayang
Semoga bu tien selalu sehat2 n tetap semangat ... aamiin yra
SALAM ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Salam Aduhai deh
Sami2 jeng Ira
ReplyDeleteSalam sehat juga
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sari
ADUHAI deh
Mbak Tien sayaaang.... Matur nuwun njiih 🙏😘❤️
ReplyDeleteSalam Aduhai dr Surabaya 🙏😘😍❤️
Sami2 jeng Dewi sayaaang
DeleteAduhai deh, dari Solo
Resmi sudah cerai. Birah menginap di hotel. Segera menikah dengan Murtono?
ReplyDeleteSutar mendapat gaji pertama, diberi HP, sepeda motor. Wah seperti pegawai kantor yang sudah senior.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI,, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulilah KSB 14 sdh tayang ..terima kasih bunda Tien, semoga ibu dan keluarga sehat ..salam hangat dan aduhai bun
ReplyDeleteWah pak sutar masih ada penggemarnya ya he he he
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nwn bu Tien, semoga sehat selalu 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bam's
Alhamdulilah. Matur nuwun Bu Tien sampun paring lelipur para sutrisna cerbung. Mugi2 panjenengan sekeluarga tansah ginanjar kasarasan, kebagyan, kamulyan 🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sujoko,
Dangu mboten komen, menapa malah dereng nate komen?
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah, matur nuwun ibu🙏 mugi ibi tansah pinaringan sehat lan tetep menghibur.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Butut
Matur nuwun bu tien, KSB no.14 sampun tayang, salam sehat selalu ...
ReplyDeleteSami2 AvaHari
DeleteSalam sehat juga
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 14 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Minar sedih Ayah & Ibu nya tdk bisa di satukan.
Subirah memilih lelaki lain dan Sutar mentalak 3.
Tenang ya Minar, ana Bu Kirani yang menemani ayah mu..😁😁
Ow jangan bersedih Minar, badai pasti berlalu, .....waduh siapa lagi wanita yg menepuk si Sutar itu, ......jangan" si Rohana, ....waduh gawat-gawat nih
ReplyDeleteMks bun ksb 14 nya .....selamat malam....aduh penasaran nih bun....salam sehat
Sami2 ibu Supriyati
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun, Mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu, nggih....
Sami2 ibu Purwani
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga selalu sehat wal'afiat...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemoga sehat selalu dan tetap semangat. Aduhai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sul
Sutar ditegur oleh ibu Satria?...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteMaturnuwun bu tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam aduhai deh
Alhamdulillah KSB 14 sdh tayang. Matursuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga selalu sehat wal'afiat... Aamiin
ReplyDeleteReply
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Umi
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terimakasih Bu Tien, sehat2 selalu ya Bu 🙏🌹❤
ReplyDelete