KUPETIK SETANGKAI BINTANG 06
(Tien Kumalasari)
Kirani mendahului turun. Ia tak tahu apa yang terjadi, ketika melihat Sutar tak segera turun dari mobil. Minar pura-pura tak tahu. Ia tak harus mengatakan apa yang dilihatnya, karena menurutnya, pemandangan itu sangat memalukan.
Sutar terkejut ketika Kirani membuka pintu di sampingnya.
“Ayo turun Mas, masa Mas akan duduk saja di mobil?”
Sutar menenangkan hatinya, kemudian mengikuti turun. Kirani menjadi tak enak hati, melihat wajah Sutar yang sangat muram. Ia mengira Sutar marah karena dirinya memaksa mengajaknya makan.
“Mas, kalau Mas nggak mau makan, nanti minum saja, atau makan cemilan-cemilan ringan,” katanya sambil mengajaknya berjalan masuk.
“Ayo, Minar, jangan sungkan,” katanya sambil menarik tangan Minar.
Mereka duduk di sebuah bangku yang dipilihkan Kirani. Lalu Kirani mengambil sebuah buku menu, diberikannya kepada Minar.
“Minar, pilih apa yang kamu suka,” katanya.
Wajah cantik itu kemudian menatap Sutar yang masih tampak muram.
“Maaf ya Mas, aku memaksa mas Sutar,” kata Kirani yang merasa bersalah telah memaksa Sutar. Ia tak mengira kemudian Sutar menjadi kesal.
“Oh, tidak apa-apa, aku menemani saja,” kata Sutar sambil mengulaskan senyuman tipis.
“Minar, tadi kan dapat obatnya yang dari puskesmas?”
“Iya, Bu.”
“Bukankah lebih baik obatnya harus segera diminum, supaya badan segera terasa lebih enak? Mana obat itu?”
Minar mengeluarkan bungkusan obat dari saku bajunya, karena ia memang tak membawa apapun. Dompet tidak, apalagi tas.
“Ini.”
Kirani meraih bungkusan itu dan membaca etiket yang ada di dalamnya.
“Ini kan harus diminum sekarang? Dan sesudah makan pula?”
Sutar meraih obatnya, lalu mengangguk.
“Biar aku minum sekarang.”
“Sebentar, aku pesan dulu minuman hangat untuk Mas, supaya bisa dipakai untuk minum obatnya.”
“Air putih saja,” kata Sutar.
“Baiklah, sekalian mau pesan apa, Minar?”
Minar ragu mengatakannya. Ia membaca harganya dan takut mengatakannya.
“Bagaimana?”
“Saya, sebenarnya … sudah kenyang,” kata Minar. Dan itu benar, biarpun separoan dengan ayahnya, tapi di puskesmas dia sudah makan.
“Tidak apa-apa walaupun dimakan sedikit. Dan untuk minum obatnya, bukankah ayahmu juga harus makan?”
Sutar masih teringat bagaimana sang istri bergandengan tangan dengan seorang laki-laki, dan tampak begitu gembira. Kecuali kenyang, ia sama sekali tak berselera makan. Ia hanya diam.
“Bagaimana? Baiklah, aku pesankan saja. Nasi yang ada kuahnya, yang hangat. Aku ingin es kopyor, Minar mau? Kalau untuk ayahmu biar aku pesan yang hangat, sama air putih. Ya?”
“Terserah Ibu saja,” kata Minar sambil menatap ayahnya yang masih terlihat muram.
Kirani melambaikan tangan ke arah pelayan, memesan tiga porsi nasi rawon, dan minuman untuk mereka.
“Mengapa Mas diam saja? Jangan marah karena aku memaksa Mas, aku hanya ingin agar Mas menemani aku makan. Sudah hampir duapuluh tahun kita tak bertemu. Apakah istri Mas akan marah, kalau Mas pulang kelamaan? Bukankah dia mengira Mas sedang bekerja, jadi dia tak perlu merasa khawatir? Nanti aku akan bilang terus terang kepadanya, bahwa_”
“Tidak, jangan mengatakan apapun. Istriku tidak ada di rumah,” sela Sutar memotong perkataan Kirani yang panjang lebar.
“Oowh ….” Kirani menatap Sutar tak mengerti.
“Aku tidak marah padamu,” kata Sutar sambil lagi-lagi mencoba tersenyum, yang bagi Kirani, senyuman itu seperti nampak dipaksakan.
“Baiklah, rasanya aku juga tidak ingin membuat kamu marah. Aku hanya ingin bertemu agak lama setelah lama tidak bertemu. Tadi juga Mas baik-baik saja kan? Kok tiba-tiba seperti marah begitu?”
“Mungkin bapak merasa agak sakit, atau nggak enak badan,” kata Minar yang tak ingin membuat Kirani kecewa dengan sikap ayahnya.
“Oh, baiklah, akan aku minta dulu air putihnya, agar ayahmu segera bisa minum obatnya,” katanya sambil melambai ke arah pelayan agar mengambilkan dulu air putih yang tadi dipesannya.
Sutar merasa terharu. Kirani masih sangat perhatian terhadapnya, seperti dulu. Ketika dia sedang berjaga, dia sering membawakan minuman dan cemilan untuknya. Gadis itu sangat baik, dan sekarangpun masih belum berubah. Tapi Sutar tidak pernah bermimpi akan bisa mendampinginya, mengingat siapa dirinya. Baginya, kehidupan yang diterimanya adalah takdir yang tak bisa dihindarinya.
“Bapak, minum obatnya,” kata Minar ketika airnya sudah diantarkan.
Minar membuka bungkusan obatnya, dan membaca etiket di ketiga macam obat yang ada di sana. Ia mengambil dua macam obat yang harus diminum tiga kali sehari, diberikannya kepada ayahnya.
“Ini harus diminum siang, Pak.”
Sutar menerimanya, kemudian menelannya dengan air putih yang disediakan.
“Aku mau ke toilet dulu sebentar ya, kalau makanannya datang, langsung dimakan saja,” kata Kirani yang kemudian langsung berdiri dan berlalu ke arah belakang.
Sutar meletakkan botol air putihnya, setelah minum obatnya.
“Pak, Bapak kelihatan sangat muram. Minar tahu, pasti karena tadi melihat ibu di luar sana. Tapi jangan dipikirkan. Kalau itu memang sudah kemauan ibu, tak ada yang bisa kita lakukan untuk menghalangi.”
“Dia masih istri bapak,” kata Sutar pelan.
“Nanti di rumah bisa bicara bukan? Tapi sikap Bapak membuat Bu KIrani merasa bahwa Bapak sedang marah sama dia.”
Sutar mengangguk. Ia meneguk lagi air putihnya, dan berusaha menenangkan diri.
“Nah, senyumnya yang tulus dong Pak,” kata Minar sambil tersenyum.
Ketika pesanan sudah datang, Kirani belum kembali ke mejanya.
“Dimakan, Pak,” kata Minar.
“Menunggu dia saja,” kata Sutar.
“Lhoh, kok belum dimakan sih?” kata Kirani ketika sudah kembali.
“Menunggu bu Kirani, kata bapak.”
Kirani tersenyum manis sekali. Sesungguhnya Kirani memang sangat cantik walau usianya tak lagi muda.
“Baiklah, ayo makan. Hm, baunya sedap,” kata Kirani sambil mulai memakannya.
Sutar dan Minarpun kemudian mulai menyendok makanannya.
“Aku tuh nggak bisa masak. Tapi di rumah ada pembantu. Memalukan ya?” kata Kiran berterus terang.
“Kamu kan bisa beli diluar," kata Sutar.
“Ya, sering diluar, tapi juga sering pulang untuk makan di rumah. Masakan pembantuku lumayan enak. Minar suka masak?”
“Bisa masak yang gampang. Sayurnya yang ada di belakang rumah saja.”
“Oh, di rumah banyak menanam sayur?”
“Ada bayam, kacang panjang, kangkung.”
“Asyik dong. Kalau pengin masak tinggal ke kebun.”
“Daripada beli,” kata Minar terus terang.
“Tapi itu bagus. Pantesan kamu sehat, makannya sayuran.”
Minar tersipu. Iyalah, makan sayuran, mana bisa keluarganya beli ikan atau daging.
“Enakkah, rawonnya?”
“Sangat enak," jawab Sutar.
“Kami jarang sekali makan daging, lebih-lebih setelah aku tidak lagi bekerja,” lanjut Sutar. Bagaimanapun, makanan hangat itu juga menghangatkan tubuhnya yang terasa kurang nyaman. Maklumlah, semalaman tidur diluar, saat hujan begitu deras, dan tentu udara juga sangat dingin. Belum setengah dia memakannya, keringatnya sudah bercucuran.
Kirani mengambil tissue, diberikannya kepada Sutar. Sutar mengangguk. Benar-benar Kirani belum berubah.
“Terima kasih. Minum obat, lalu makan makanan panas, membuat tubuhku berkeringat.”
“Itu membuat badan terasa lebih enteng, bukan? Aku yakin, besok Mas pasti sudah segar kembali.”
“Benar, aku bisa mulai bekerja lagi.”
Kirani sudah hampir menghabiskan nasinya.
“Mas, besok tidak usah kembali ke pak Bodong.”
“Kiran, kamu kan tahu, aku butuh pekerjaan untuk makan.”
“Aku tahu, tapi ada pekerjaan yang lebih baik untuk Mas. Besok datang ke kantor aku, Mas bisa bantu-bantu pekerjaan aku.”
“Aku, bekerja kantoran?”
“Ya, menjadi kuli bangunan itu berat.”
“Bagiku tidak apa-apa. Demi sesuap nasi, aku rela melakukan apa saja.”
“Mas tidak muda lagi. Jangan membantah, besok datang ke alamat ini, cari aku,” kata Kirani sambil memberikan kartu namanya. Disana juga ada nama perusahaan dan tentu saja alamatnya.
Sutar menatap anaknya, sepertinya minta persetujuan.
“Jalani saja Pak, siapa tahu ini lebih baik,” kata Minar.
“Baiklah, aku akan mencobanya.”
Kirani tersenyum senang.
Ketika pulang, pelayan membawakan beberapa bungkus makanan ke meja mereka.
“Ini nanti kamu bawa pulang. Minar,” kata Kirani sambil meminta pelayan memberikan bilnya. Rupanya ketika pamit ke belakang tadi, Kirani memesan beberapa makanan untuk diberikan kepada Minar.
“Banyak sekali,” kata Minar.
“Kalau sisa bisa disimpan di kulkas.”
“Kami tidak punya kulkas.”
Kirani menahan rasa terkejutnya, dan menyesal telah mengatakannya. Tapi kemudian dia tersenyum sambil memegang tangan Minar.
“Kalau begitu, bisa setelah makan dipanaskan, supaya bisa dimakan esok harinya. Ibu pasti sudah tahu caranya,” kata Kirani yang lagi-lagi menyebut ‘ibu’, membuat Sutar kembali muram.
“Baiklah, saya bisa melakukannya. Terima kasih banyak, Bu.”
Ketika pulang, Kirani mengantarkan Sutar dan Minar sampai ke depan rumah.
“Terima kasih banyak, Kiran.”
“Lain kali aku akan mampir, agar bisa berkenalan dengan istri Mas.”
Sutar tidak menjawab. Minar sekali lagi mengucapkan terima kasih, lalu menggandeng tangan bapaknya masuk ke halaman.
Kirani menatapnya penuh prihatin.
“Aku akan memberi kamu penghasilan yang lebih baik, Mas. Agar kamu bisa menghidupi keluarga kamu dengan lebih layak,” gumamnya sambil menjalankan mobilnya.
***
Memasuki rumah, mereka mendapati rumah mereka kosong. Birah pergi sejak pagi, dan ternyata sedang bersama laki-laki lain yang kaya. Pasti kayalah, kan dia punya mobil mewah, dan pasti juga dia yang telah memberi Birah makanan dan uang yang banyak. Itu pula sebabnya maka Birah tiba-tiba minta cerai.
Minar sudah mengganti bungkusan-bungkusan makanan yang diberikan Kirani ke dalam wadah.
“Ya ampun, begitu baik bu Kirani. Dia memberi uang sebagai ganti sayur beningku yang tumpah, dan mengajak makan enak di restoran, serta membawakan makanan-makanan ini. Dan yang paling penting, dia akan memberi bapak pekerjaan yang entah apa. Yang jelas di kantor."
Selesai membereskan semuanya, Minar pergi ke kamar ayahnya, membuka almari usang tempat pakaian ayahnya di simpan.
“Besok bapak akan pergi ke kantor bu Kiran, harus memakai pakaian yang lebih pantas,” gumamnya sambil mencari-cari pakaian ayahnya yang kira-kira masih bagus.
Akhirnya Minar menemukan celana hitam dan baju batik yang dulu pernah dipakai ketika ulang tahun perusahaannya, dan mendapat hadiah pakaian itu. Minar meletakkan pakaian itu di atas tempat tidur ayahnya.
Ketika ia keluar dari kamar, dilihatnya sang ayah sedang berbaring di kursi panjang. Minar mendekat, melihat wajah ayahnya yang muram.
“Bapak,” sapanya pelan.
Sutar menatap anaknya.
“Bapak tidak usah memikirkan ibu. Kalau memang itu yang menjadi pilihan ibu, biarkanlah. Mana mungkin kita bisa menghalanginya? Minar juga sedih karena nantinya juga akan berpisah dengan ibu. Tapi kita terima saja, tidak usah terlalu dipikirkan. Nanti Bapak sakit.”
Sutar bangkit. Keinginan untuk menegur sang istri dan memarahinya tiba-tiba surut. Ya, untuk apa memikirkan seseorang yang ingin meninggalkannya demi mencari kehidupan yang lebih mewah?
“Kamu benar, Kita tidak usah memikirkannya.”
“Minar sudah memilihkan baju yang pantas untuk Bapak pakai besok pagi. Bapak mau ke kantor, jadi harus memakai pakaian yang baik. Semoga ini adalah awal kehidupan kita yang baik juga.”
Sutar mengangguk. Terharu memiliki anak gadis yang penuh pengertian.
“Siapa sebenarnya bu Kirani?”
“Bukankah dia sudah mengatakan bahwa dia adalah teman bapak?”
“Tapi dia sangat perhatian.”
“Dia begitu sejak dulu.”
“Bekas pacar Bapak ya?” goda Minar.
Sutar tertawa.
“Waktu itu bapak hanya satpam, dia anak keluarga orang berada.”
Minar tersenyum, tapi dia bisa menangkap kata-kata ayahnya. Pasti ada sesuatu diantara mereka … dulunya.
***
Birah berjingkrak senang ketika Murtono mengajaknya turun dari mobil, di sebuah pekarangan luas, ada rumah bagus yang baginya seperti rumah dalam sebuah dongeng. Kebiasaan hidup di rumah sederhana, membuatnya seperti sedang memasuki sebuah istana.
“Murtono menggandengnya masuk. Mata Birah berkeliling mengitari rumah dan perabotnya.
“Tidak salah aku memilih bercerai, kalau kehidupan aku nanti akan begitu menyenangkan,” kata batin Birah. Matanya berbinar.
“Kamu suka?”
“Tentu saja aku suka. Kamu tinggal sendiri di rumah sebesar ini?”
“Ada pembantu, ada tukang kebun, pokoknya pelayanan di sini lengkap. Kalau kamu memerlukan sesuatu, ada yang akan melayani kamu.”
“Ahaaa, aku merasa seperti seorang putri,” kata Birah sambil memutar-mutar tubuhnya. Birah memang cantik. Itu sebabnya Murtono masih tetap mencintainya biarpun umur mereka tak lagi muda.
Tiba-tiba Birah menatap foto besar terpampang di tembok. Foto Murtono dan seorang wanita cantik. Mata Birah terbelalak. Ia mengenal wanita itu.
***
Besok lagi ya.
ππͺ΄ππͺ΄π₯π«π₯πͺ΄ππͺ΄π
ReplyDeleteSemoga CLBK antara Sutar & Kirani........
Semoga Minar bisa kuliah.....
πΈππππππ¦ππππππ...
ππͺπ¦ππ£π π πΉπ¦ ππππ....
KUPETIK SETANGKAI BINTANG_06
ππ¦πππ π₯ππͺπππ
ππͺ΄ππͺ΄π₯π«π₯πͺ΄ππͺ΄π
Sami2 mas Kakek
DeleteAlhamdulillah *KUPETIK SETANGKAI BINTANG*
ReplyDeleteepisode 6 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 jeng In
ADUHAI 3X
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteSuwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeletetayang...terimakasih Bunda
Sami2 ibu Tutus
Deletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteTerima kasih, ibu Tien cantiiik.... salam sehat selalu, ya Bu. Tetap semangat...
ReplyDeleteSami2 jeng Mita
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih ibu Atiek
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 06* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Wedeye
Matur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Aamiin
DeleteNuwun mbak Yaniiiik
Hayo melihat foto siapa birah...ah jadi penasaran nih, tunggu besok lagi yaaaaa
ReplyDeleteMks bun KSB 6 nya...pandai nya bun bikin penasaran...
Selamat malam .....salam sehat
Sami2 ibu Supriyati
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah ....tayang gasik, sehat2 selalu bunda Tien
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Wiwik Wisnu
Alhamdulillah KSB 06 sdh tayang
ReplyDeleteP.Sutar semangat ya...
Sakit hatimu pasti terbalas
Tunggu saja Birah bakalan dibuat sakit hati oleh Murtono
Matur nuwun bunda hiburannya
Moga sehat sll.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Wiwik
Alhamdulillaah, pak Sutar dah dpt pekerjaan dr Kirani,,,smg betah n berlanjut nih π€©
ReplyDeleteKnp Birah kok lihat foto langsung panik ....
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya π€π₯°πΏπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Ika
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien KSB 06 sdh tayang
Semoga bu tien sehat2 selalu n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... Aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Arif
Teeima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Yati.
Lama nggak komen nih
Sd pkl 19:57 yang komen ada 21 komen, tp blm satupun di jawab bu Tien, mungkin beliau kecapekan....
ReplyDeleteSekarang mungkin sdh istirahat...
Selamat malam Bu Tien
Sugeng aso salira....
Sekarang baru mulai jawab nih mas Kakek
DeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga selalu sehat penuh barakah....aamiin...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Reni
Aseek...keren nih, ceritanya nanti "ganti jodoh" dan sama2 hidup berkecukupan ya...π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.πππ
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Aduhaaaaaiiiii,,,
ReplyDeleteSiapakah foto wanita cantik bersama Murtono,,,
Bunda Tien paling bisa banget bikin penisirin,,,
Ok Lanjut Bunda,,,
Salam aduhai dan salam sehat selalu ya Bund,,,
Salam sehat dan aduhai ibu Jainah,
DeleteLama nggak komen nih
Alhamdulillah.KSB heboh cinta lama bersemi lagi.semoga Bunda selalu sehat.Maturnuwun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteSami2 pak Herry
Alhamdulillah KSB - 06 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Ting
Nah mantap, pak Sutar jadi pegawai kantor. Kerja tukang bangunan mungkin sudah tidak mampu lagi.
ReplyDeleteBirah sedang diatas awan, tapi jangan terlena, kalau nanti kamu ditendang jangan menyesal.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteSami2 pak Munthoni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteSami2 jeng Ning
ADUHAI selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemoga sehat selalu.
Salam hangat selalu aduhai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibi Sul
Aduhai deh
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~06 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Djodhi
Cepet amat habis episidenya, mba Tien...
ReplyDeleteBikin penasaran...
Panjangin dikit lagi dong, mba... π
Hehee... bukankah dikit2 lama2 menjadi bukit?
DeleteTerimakasih Bunda Tien sehat selalu. Ditunggu perjalanan hidup Sutar dan Birah
ReplyDeleteSami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat semuanya Bu Tien sekeluarga, juga pak Sutar Minarni dan Bu Kirani
Sami2 ibu Umi
ReplyDeleteSERU NIH. SIAPA DIA?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete