KUPETIK SETANGKAI BINTANG 05
(Tien Kumalasari)
Minar merasa tidak mengenal wanita yang turun dari mobil itu, yang kemudian mendekati mereka yang sedang mengelus siku tangan dan kaki karena terbentur aspal jalanan. Tapi Sutar menatapnya tak berkedip. Wajah itu seperti dikenalnya, entah, berapa belas tahun yang lalu, tapi seperti dia. Dia masih tetap cantik seperti dulu, tapi benarkah dia?”
“Apa Anda terluka?” tanya wanita yang kemudian bergegas mendekati keduanya.
“Tidak Bu, tidak apa-apa, hanya luka sedikit. Kami mau ke puskesmas, ayah saya sakit,” kata Minar yang segera mengambil rantang yang terguling jatuh, sehingga makanannya berserakan, lalu menarik tangan ayahnya, diajaknya pergi. Puskesmas sudah dekat, Minar khawatir sudah tutup di hari sesiang itu.
“Lihat, makanannya tumpah semua, maaf ya,” wanita cantik itu memberikan dua lembar ratusan ribu.
“Tolong terimalah, sebagai ganti makanan yang tumpah, maafkan sopir saya,” kata wanita itu.
Tapi Minar menolaknya sambil tersenyum.
“Tidak Bu, tidak apa-apa. Hanya sayur dan tempe goreng.”
“Jangan begitu, tolong terimalah, kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidup karena hampir menyerempet kalian,” wanita itu tetap menggenggamkan uangnya di tangan Minar. Tapi lagi-lagi Minar menolaknya.
“Tidak usah Bu, kami salah karena berjalan agak ke tengah.”
“Tolong,” wanita cantik itu memohon. Wajahnya berubah sendu, penuh penyesalan. Minar terpaksa menerimanya.
Sejak tadi Sutar diam saja. Ia bahkan tak berani menatap wanita cantik itu. Kemudian ia mengikuti Minar yang kemudian menariknya, setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada wanita cantik itu.
***
Pasien di puskesmas itu sudah hampir habis. Minar telah membelikan ayahnya sebungkus nasi padang, dari uang yang diberi oleh wanita tadi, karena Minar tahu, pasti ayahnya sudah sangat lapar. Tapi kemudian Sutar meminta agar sebungkus nasi itu dimakan berdua.
“Wanita itu sungguh baik hati. Kita diberinya uang dua ratus ribu rupiah. MInar sudah menolaknya, tapi dia memaksa.”
“Ya sudah, yang penting kita tidak meminta.”
Makanan itu sudah dimakan habis oleh keduanya, ketika seorang perawat memanggil namanya.
“Bapak Sutarno.”
Minar menarik tangan ayahnya, diajaknya masuk ke dalam, dimana dokter sudah menunggu.
Sementara itu wanita cantik yang tadi mobilnya hampir menyerempet Sutar dan Minar, terbelalak ketika mendengar perawat menyebut nama ‘Sutarno’. Nama itu sangat dikenalnya, tapi tadi dia ragu-ragu mengatakannya. Entah mengapa, wanita itu kemudian mengikuti mereka sampai masuk ke dalam, karena merasa mengenal Sutar, tapi masih ragu-ragu.
“Betul, dia mas Sutar,” gumamnya sambil duduk di sebuah bangku tunggu, di mana sebuah rantang kosong terletak di sampingnya.
Wajahnya menjadi muram. Tampaknya sangat prihatin melihat keadaan Sutar yang dikenalnya.
“Mas Sutar, mengapa keadaan kamu seperti itu? Aku ingin bertemu, aku harus menanyakan keadaannya,” gumamnya sambil terus menerus mengawasi pintu ruang dokter, di mana tadi Sutar dan Minar masuk ke dalamnya.
Hanya sebentar, ketika kemudian yang ditunggunya muncul. Ia berdiri dan menunggu sampai Sutar dan anaknya mendekat.
“Mas Sutar?”
“Mm … ya, tapi … maaf, saya harus mengambil obat.”
“Bapak menunggu di sini dulu, biar Minar yang mengambil obatnya," kata Minar sambil menjauh, dan Sutar tak bisa menolaknya. Sesungguhnya Sutar sudah tahu siapa yang tadi hampir menyerempetnya, tapi ia malu untuk bertegur sapa, mengingat perbedaan di antara mereka.
“Mas Sutar, mengapa Mas sepertinya tidak mau lagi mengenali aku? Aku yakin Mas tidak lupa padaku, bahwa aku adalah Kirani, yang dulu sering bercanda ketika Mas sedang bertugas.”
Sutar menghela napas panjang. Tentu saja dia mengenalnya. Bahkan dulu Kirani pernah mengatakan bahwa dia menyukainya. Tapi Sutar memilih menghindar, mengingat siapa dirinya dan siapa Kirani.
“Mas Sutar, bagaimana keadaanmu? Apa itu tadi anak Mas? Cantik sekali.”
“Keadaanku baik, ya seperti inilah. Sebenarnya malu bertemu kamu.”
“Kenapa malu?”
“Ya malu, aku seperti ini, dan kamu seperti itu.”
Kirani tersenyum lucu.
“Kamu seperti itu, dan aku seperti ini? Memang ada perbedaan ketika seseorang ingin bertemu? Eh, maksudku, apakah sebuah perbedaan bisa menghalangi seseorang untuk saling bertemu?”
“Entahlah, aku saja yang merasa tidak pantas.”
“Jangan begitu Mas, aku senang bisa bertemu Mas lagi. Mas tahu, ketika Mas akhirnya menikahi Subirah, aku menangis semalaman,” kata Kirani berterus terang, sambil tersenyum masam.
“Tapi tidak apa-apa, semuanya sudah berlalu, dan aku senang Mas hidup berbahagia bersama gadis pilihan Mas,” lanjutnya, karena Sutar tak juga menanggapi.
“Bagaimana keadaan kamu?” Sutar balas bertanya.
“Saya baik. Ya seperti inilah.”
“Anakmu berapa?”
“Anak? Aku tidak menikah.”
“Apa?” Sutar menatap tak percaya. Gadis cantik yang pernah dekat dengannya, berwajah cantik dan pintar, tidak menikah?
“Iya, aku tidak pernah menikah. Tak lama setelah Mas menikah, orang tuaku menjodohkan aku dengan anak sahabatnya. Tapi sebelum menikah, dia meninggal karena kecelakaan. Gagal menikah, aku kemudian tak mau lagi memikirkan sebuah keluarga. Aku melanjutkan usaha kakekku sampai sekarang.”
“Aku tidak mengira.”
“Siapa yang tahu apa yang terjadi pada kehidupan kita di masa mendatang? Tapi aku senang bertemu Mas Sutar. Rumah Mas di mana? Pada suatu hari nanti aku akan main ke sana, agar bisa berkenalan dengan istri Mas.”
Wajah Sutar menjadi muram. Ingatan tentang keinginan istrinya untuk bercerai, kembali melintasi benaknya.
“Nggak boleh ya?” tanya Kirani.
“Ini obatnya sudah Pak,” tiba-tiba Minar sudah kembali dengan membawa sebungkus obat.
“Oh ya, kalau begitu kami pamit dulu,” kata Sutar kepada Kirani.
“Anak cantik, kenalan dulu, aku Kirani, dulu teman baik ayahmu,” kata Kirani ramah.
Minar mengangguk, lalu mengulurkan tangannya untuk menyalami teman ayahnya itu.
“Saya Minarni.”
“Baiklah, ayo aku antarkan kalian pulang, kata Kirani yang langsung mengikuti Sutar berdiri.
“Tidak, aku tidak pulang sekarang.”
“Lho, Mas kan sedang sakit, mau ke mana lagi?”
“Hanya gejala flu, tidak berat, jadi aku akan langsung bekerja.”
“Memangnya Mas bekerja di mana?”
“Aku hanya buruh bangunan,” kata Sutar yang tak ingin menutupi keadaannya.”
Kirani menutup mulutnya, bukan merendahkan, tapi terkejut.
“Buruh bangunan di mana?”
“Dekat situ, kira-kira lima rumah dari puskesmas ini.”
“Apa? Itu perusahaan milik kakekku, yang aku juga ikut mengurusnya,” pekik Kirani.
“Ya Tuhan.”
Sutar agak kaget, hanya tak mengira. Tapi apa salahnya kalau dirinya bekerja di perusahaan milik Kirani atau siapa saja? Karenanya tanpa perubahan sikapnya ketika kemudian ia berjalan menuju keluar, dan Kirani masih tetap ada di sampingnya.
“Ya, baru hari ini aku mulai bekerja, setelah setahun yang lalu berhenti menjadi satpam.”
Kirani menatapnya iba.
“Karena Mas sedang sakit, maka aku antarkan pulang saja.”
“Tapi aku baru bekerja sehari, mana mungkin aku langsung pulang? Mandor itu begitu baik dengan menyuruh aku berobat dan memberikan uang, kalau aku langsung pulang, apa nanti yang akan dia pikirkan?”
“Mas aku antar pulang, dan aku akan mengatakan pada pak Bodong bahwa Mas sedang sakit.”
“Pak Bodong siapa?”
“Mandor itu namanya pak Bodong Warsono.”
“Owh.” Sutar baru tahu namanya sekarang. Waktu melamar untuk bekerja, dia hanya mengatakan ingin bertemu pak Mandor, karena begitulah anak buah pak Mandor menyebutnya.
“Ayo cepat, di mana rumahmu Mas, aku akan mengantarmu, mobilku ada di sana.”
“Tapi ….”
“Sudah, jangan membantah. Sedang sakit jangan dipaksa untuk bekerja. Besok juga tidak usah bekerja dulu sampai akhir pekan. Aku akan datang untuk membicarakan pekerjaan lain untuk Mas.”
“Apa maksudnya?”
“Ada pekerjaan lain untuk Mas, nanti kita bicara lagi,” kata Kirani sambil menarik tangan Minar, diajaknya masuk ke dalam mobil.
***
Murtono senang menatap Birah sudah berpakaian lumayan bagus, dan berdandan, biarpun cara berdandannya belum sempurna benar. Tapi ia harus mengakui, bahwa Birah memang cantik. Umurnya yang sudah kira-kira berumur empat puluhan tahun, tidak membuat Birah tampak tua. Murtono senang karena Birah menuruti permintaannya untuk bercerai dengan suaminya.
Mereka sedang makan di rumah makan yang lain, yang tak kalah mewahnya. Birah sangat senang bisa mengenal makanan-makanan mahal yang belum pernah dimakan sebelumnya.
“Beginilah nanti kehidupan kamu setelah menjadi istriku. Makan di rumah makan besar, menyantap makanan-makanan enak, bukan hanya makan tahu dan singkong seperti yang kamu makan sehari-hari sebelum ini.”
“Iya, aku tahu.”
“Karena kamu sudah mulai mengurus gugatan cerai untuk suami kamu, berarti kamu sudah bersedia menjadi istriku setelahnya, bukan?”
“Ya Mas, tentu saja.”
“Nanti belilah baju-baju lagi, yang lebih bagus, besok aku akan mengajak kamu jalan-jalan ke luar kota.”
“Benarkah? Ke mana?” mata Birah berbinar-binar.
“Pokoknya ke luar kota, melihat pemandangan indah. Kalau perlu kita menginap. Kamu mau kan?”
“Mau, tentu saja aku mau. Tak ada yang menghalangi, karena aku sudah akan bercerai dengan mas Sutar.”
“Bagus.”
“Bolehkah aku melihat rumahmu Mas? Pasti rumahmu bagus.”
“Tentu saja boleh. Sekarang pun boleh. Supaya kelak kalau kamu sudah tinggal di sana, kamu sudah terbiasa dengan rumah itu.”
“Bukankah ada anakmu Mas? Apa anakmu suka, kalau aku tinggal di rumah itu?”
“Anakku sekolah di Jakarta. Dia jarang pulang, karena di sana ada ibunya. Lagipula dia tidak akan menghalangi kalau aku punya istri lagi. Malah dia yang minta agar aku segera mencari istri, daripada main perempuan.”
“O, jadi Mas suka main perempuan?” mata Birah menatap tak suka.
Tapi Murtono malah tertawa.
“Aku ini kan laki-laki. Aku tidak menikah lagi setelah istriku meninggalkan aku. Bisa dimaklumi dong, kalau terkadang aku juga kesepian, dan membutuhkan seorang wanita untuk menenangkan jiwaku.”
“Hm, enak jadi laki-laki,” gerutu Birah.
“Tapi nanti setelah kamu menjadi istriku, aku tidak akan ke mana-mana.”
“Janji?”
“Percayalah pada calon suami kamu ini.”
“Awas saja kalau nanti masih suka main perempuan.”
“Tidaaaak, nggak percayaan amat sih.”
“Ya sudah, ini sudah siang, aku mau pulang dulu.”
“Kenapa terburu-buru? Sudah kangen sama suami miskin kamu itu ya?”
“Tidak, dia sudah bekerja, jadi siang ini tidak akan ada di rumah.”
“Kalau begitu pulang ke rumah aku saja. Katanya pengin tahu di mana dan seperti apa rumahku.”
“Sekarang?”
Murtono mengangguk senang.
“Baiklah, aku mau.”
“Habiskan dulu makanmu, dan pesan apa saja agar kamu bisa membawanya pulang, agar anakmu senang.”
“Kamu baik sekali Mas, itu sebabnya aku bersedia menuruti kemauanmu,” kata Birah sambil tersenyum. Sebenarnya ia sadar bahwa ia bersedia menerima Murtono untuk mengambilnya sebagai istri, karena ia menyukai uang dan iming-iming yang dipamerkan Murtono. Sekarang ia tahu bahwa uang bisa membuatnya senang. Dulu dia menolak Murtono, bukan karena Murtono miskin, tapi karena Sutar lebih ganteng daripada Murtono. Tapi gantengnya Sutar ternyata hanya membuat hidupnya berkekurangan.
***
Di dalam mengantarkan Sutar pulang, Kirani banyak bertanya tentang kehidupan Sutar. Sutar berterus terang tentang hidupnya yang sederhana, tapi dia tidak mengatakan tentang istrinya yang ingin bercerai dengannya. Ia bahkan mengatakan bahwa hidupnya baik-baik saja.
“Minar masih sekolah?” tanya Kirani kepada Minar yang duduk di sebelahnya, sedangkan Sutar duduk di depan, di sebelah sopir.
“Saya sudah tidak sekolah setelah lulus SMA.”
“Oh, sayang sekali.”
“Dia hanya anak orang tua yang miskin, mana bisa menyekolahkan lebih tinggi?” kata Sutar.
“Minar masih ingin melanjutkan sekolah?” tanya Kirani lagi.
Minar menggeleng pelan.
“Tidak, Bu, saya hanya ingin melayani bapak.”
“Kan sudah ada ibu?”
Minar terdiam beberapa saat lamanya. Tapi karena sang ayah tidak mengatakan apa-apa tentang ibunya, maka diapun tidak.
“Sama saja, saya juga ingin melayani ibu,” katanya pelan, tak yakin akan kebenaran kata yang diucapkannya.
“Oh ya, nanti mampir ke rumah makan langganan ya Pak,” titah Kirani kepada sopirnya.
“Baik, Bu.”
“Tapi kami sudah makan, jangan mengajak kami makan lagi,” kata Sutar.
“Tidak apa-apa, sedikit juga tidak apa-apa, atau hanya minum. Es kopyor di rumah makan itu sangat enak.”
Pak sopir hampir menghentikan mobilnya di halaman rumah makan yang dimaksud, tapi mata Sutar dan Minar menangkap sepasang manusia keluar dari rumah makan itu sambil bergandengan tangan. Mata Sutar menyala dibakar amarah.
***
Besok lagi ya.
🌟🪴🌟🪴🔥💫🔥🪴🌟🪴🌟
ReplyDelete"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘔𝘢𝘴, 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘣𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘶𝘢𝘯𝘮𝘶." 𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘉𝘪𝘳𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯𝘺𝘶𝘮........
ℍ𝕦𝕙.....
𝔻𝕒𝕤𝕒𝕣 𝕡𝕖𝕣𝕖𝕞𝕡𝕦𝕒𝕟 𝕞𝕒𝕥𝕣𝕖𝕜, 𝔹𝕚𝕣𝕒𝕙... 😡😡
𝔸𝕝𝕙𝕒𝕞𝕕𝕦𝕝𝕚𝕝𝕝𝕒𝕙...
𝕊𝕪𝕦𝕜𝕣𝕠𝕟 𝔹𝕦 𝕋𝕚𝕖𝕟....
KUPETIK SETANGKAI BINTANG_05
𝕊𝕦𝕕𝕒𝕙 𝕥𝕒𝕪𝕒𝕟𝕘
🌟🪴🌟🪴🔥💫🔥🪴🌟🪴🌟
Matur nuwun Mas Kakek
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteKakek larinya cepet sekali😊
ReplyDeleteℙ𝕒𝕕𝕒𝕙𝕒𝕝 𝕟𝕘𝕒𝕟𝕘𝕘𝕠 𝕤𝕒𝕟𝕕𝕒𝕝 𝕛𝕖𝕡𝕚𝕥.
Delete𝙅𝙚𝙗𝙜 𝙎𝙪𝙨𝙞 𝙥𝙖𝙠𝙖𝙞 𝙨𝙚𝙥𝙖𝙩𝙪 𝙠𝙚𝙩....
maturnuwun bibda
ReplyDeletealhamdulillah
Sami2 ibu Nanik
DeleteTerima kasih, bu Tien cantiik.... semangat dan sehat terus, yaa...
ReplyDeleteAamiin
DeleteSami2 jeng Mita
Matur nuwun mugi bubda Tien tansah kaparingan kadarasan.
ReplyDeleteSami2 ibu Isti
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
Alhamdulillah *KUPETIK SETANGKAI BINTANG*
ReplyDeleteepisode 5 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3
Alhamdulillah.... terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteMatur nuwun jeng Tien Sugeng Dalu salam sehat
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniik
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun, bu Tien. Salam sehat
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
ReplyDeleteSalam sehat juga
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Padma Sari
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
ADUHAI deh
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Sari
ADUHAI dehx
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat , bahagia selalu bersama keluarga
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Mudah mudahan Birah tidak hanya jadi 'barang mainan' oleh playboy si teman lama.
ReplyDeleteLain dengan nasib Sutar yang akan ditolong kenalan lamanya yang jadi bos itu.
Dunia bisa dibolak-balik oleh mbak Tien...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah bisa menikmati gorengan cerita dari bunda Tien yang aduhai selalu,.terimakasih bunda Tien, salam sehat dan selalu aduhai.
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
Alhamdulillah KSB-05 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Alhamdulillah KSB 5 sdh tyng. Mtr nwn Bu Tien, sehat sll.
ReplyDeleteAlhamdulillah KSB 5 sdh tyng.Mtr nwn Bu Tien, sehat sll.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~05 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien beserta keluarga sehat2 selalu ..... aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Waah...ini kisahnya dobel CLBK kali ya...pasti seru nih, perjumpaan dengan para mantan di masa lalu yg sekarang sudah sukses.😀
ReplyDeleteTerima kasih terus berkarya, ibu Tien...semoga sehat selalu.🙏🙏🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Wah bisa perang badar nih ,.
ReplyDeleteSabar pak Sutar,,,ada Bu Kirani malu ..hihi😁🤭
(Dia hanya anak orang tua yang miskin, mana bisa menyekolahkan lebih tinggi?” kata Murtono., Mungkin Sutar yg dimaksud 🙏🙏)
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰🌿💖
Iya ibu Ika.
DeleteTerima kasih koreksinya
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat barakah...aamiin...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat.
Salam aduhai
Terimakasih... lanjut kabar nasib perceraian Sutar... Sehat selalu bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.KSB penuh tragedi cinta
ReplyDeleteZaman old & now hehehebat Bunda selalu sehat semangat.Maturnuwun.
Sami2 pak Herry, matur nuwun
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah, smg Bu Tuen sehat s3lalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Menarik sekali cerbungnya ...
ReplyDeleteGa sabar dg lanjutannya, bu Tien.. ❤
Matur nuwun ibu Darti
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ermi
Sungguh tdk pantas seorang ibu yg bergandengan sama laki"yg bukan mukhrim nya, emlh ketahuan sama anak dan suaminya
ReplyDeleteOwalah birah_birah dasar perempuan mata duwitan, sabar _ sabar sutar
Mks bun ksb sdh tayang.
Sugeng siang bun maaf baru baca