M E L A T I 27
(Tien Kumalasari)
Nurin tertegun, menatap sahabatnya dengan kening berkerut, sementara Nilam hanya tersenyum-senyum lucu, melihat Nurin seperti orang bingung.
“Apa maksudmu, Nilam? Mas Daniel sebenarnya sudah punya anak atau belum sih?”
“Mengapa kamu menanyakan tentang anak? Kalau kamu jatuh cinta, tidak peduli dia itu punya anak atau belum, kan? Kenapa kamu seperti merasa bahwa itu adalah hal yang penting?”
“Ya ampun, Nilam. Aku ini kan masih muda. Tidak kebayang sih, bagaimana caranya mengasuh anak, apalagi anak tiri. Pasti sangat merepotkan, belum bagaimana caranya menyesuaikan diri sebagai ibu, dan mengetahui bagaimana watak masing-masing. Kamu kan tahu, aku ini orang yang tidak sabaran. Bagaimana kalau anak tiriku itu merasa bahwa aku galak dan menindas.”
“Waduh, ternyata kamu juga belum siap punya anak. Bagaimana kamu ingin punya suami? Sementara orang menikah itu pasti punya keinginan untuk segera memiliki anak.”
“Entahlah, aku belum bisa membayangkan. Tapi banyak cara untuk mengasuh anak bukan? Menyewa baby sitter, misalnya.”
Nilam menggelengkan kepala dengan kecewa. Bagaimanapun Nurin sebenarnya belum siap berumah tangga. Ia hanya mengejar kesenangan. Jatuh cinta yang sebenarnya tidak ada dalam hatinya. Yang ada hanya suka, karena Daniel ganteng dan baik. Tapi apakah ia sanggup menjalani hidup berumah tangga dengan segala pernik-perniknya? Bukankah berumah tangga tidak sekedar meluapkan kasih sayang dan bersenang-senang?
“Jadi bagaimana Nilam, apakah mas Daniel sudah punya anak? Jawaban kamu membingungkan aku. Awalnya bilang punya, lalu baru saja kamu bilang belum punya. Gimana sih?”
“Nurin, yang lebih penting adalah mendidik diri kamu terlebih dulu agar menjadi dewasa. Bukankah keinginan berumah tangga adalah ketika seseorang merasa sudah matang dan bersiap untuk menjalaninya?”
“Maksud kamu, aku belum dewasa? Kamu lupa ya, kita ini seumuran?”
“Dewasa bukan tergantung pada umur. Ada yang masih sangat muda tapi bisa berpikir secara dewasa, ada yang sudah berumur tapi masih bersikap seperti anak muda.”
“Aku bingung.”
“Kamu hanya menyukai seseorang, berambisi ingin memilikinya, karena kamu terbiasa selalu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Bukankah kamu anak tunggal yang selalu dimanjakan? Bukankah kamu selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan? Sekarang ini kamu masih ada di fase itu. Ingin mendapatkan apa yang kamu inginkan, jangan sampai kalah dengan yang lain. Benarkah?”
“Aku?”
Nurin diam beberapa saat, mencoba merenungkan apa yang Nilam katakan.
Benarkah dirinya masih terbawa oleh kemanjaan yang diterima dari orang tuanya, yaitu harus selalu mendapatkan setiap kali dirinya menginginkan sesuatu? Dan sekarang ini dia menginginkan Daniel dan tak mau kalah oleh seorang gadis sederhana bernama Melati. Masa dirinya kalah dengan Melati? Dia sudah belajar berlaku manis, bersikap lembut dihadapan Daniel, tidak kelihatan mengejar, karena bukankah Nilam mengatakan bahwa dia harus merebut cintanya dengan cara terhormat? Tapi tiba-tiba sebuah sandungan membuatnya ragu. Anak kecil ganteng bernama Nugi, kalau benar dia anak Daniel, bisakah dia menerimanya?
“Nurin, berhentilah mengejar sesuatu yang kamu merasa sulit untuk menjalaninya. Kamu bukan kanak-kanak lagi, sedangkan yang kamu inginkan adalah kesenangan dan kepuasan.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Nurin, yang tiba-tiba lupa mendesak Nilam tentang ‘anaknya Daniel’.
“Kamu harus belajar menjadi dewasa. Melupakan kesenangan dan kepuasan, barulah kamu bisa mengejar cinta, yang pastinya cinta orang dewasa, yang pastinya juga akan bermuara pada kehidupan berumah tangga. Aku yakin kamu belum siap untuk itu.”
Nurin pulang tanpa membawa keyakinan yang tadi dikejarnya. Punya anak? Nurin merasa bahwa dia belum siap untuk itu. Baik anak sendiri, apalagi anak tiri.
***
Daniel sudah merasa sehat, luka dilengannya sudah mengering, rasa ngilu ditubuhnya sudah tidak begitu terasa, pusingnya juga sudah hilang. Besok pagi dia bersiap untuk pulang. Baru saja Ramon menelpon, menanyakan alamat rumahnya, agar bisa segera mengirimkan sepeda motornya yang tertinggal di rumah Harjo.
Ia sangat berterima kasih kepada Ramon, yang membuatnya dirawat di rumah sakit yang baik, dan ditempatkan di ruang inap yang mewah.
Hari masih sore, baru saja Daniel selesai mandi dan berganti pakaian, ketika Nilam tiba-tiba muncul.
“Bagaimana keadaan kamu Mas?”
“Baik, besok aku boleh pulang.”
“Jam berapa, nanti aku jemput.”
“Besok aku kabari. Kamu sendirian?”
“Iya, mas Wijan pulang agak malam. Ada banyak hal yang harus diselesaikannya.”
“Maklum, mas Wijan kan dipersiapkan untuk memimpin perusahaan nantinya, setelah pak Raharjo pensiun.”
“Iya, bapak sudah sering mengeluh lelah.”
“Bisa dimaklumi. Tapi pak Raharjo boleh bangga, memiliki mas Wijan yang pintar dan cekatan.”
“Benar. Apa Mas ingin bekerja di perusahaan bapak?”
“Tidak, tidak … duniaku bukan dunia pengusaha. Aku adalah hamba kesehatan, dan aku mencintai dunia itu. Semuanya sudah cukup bagiku. Bukankah aku pernah mengatakannya?”
Nilam mengangguk, sudah beberapa kali dia menawarkannya, tapi Daniel selalu menolak.
“Bagaimana tentang istri?” Nilam mulai memancing.
Daniel tersenyum.
“Belum ada yang bisa aku pastikan. Aku menyukai seseorang, tapi dia masih ragu menjawabnya. Ya sudah, aku harus bersabar kan?”
“Bagaimana dengan Nurin?”
“Mengapa kamu menyebut nama itu lagi? Aku kan pernah bilang bahwa aku tidak tertarik pada gadis itu.”
“Karena dia pengusaha, dan Mas takut tak bisa mengimbanginya?”
“Apakah perasaan cinta mengenal perasaan takut? Cinta adalah cinta. Kalau ada yang takut, itu bukan perasaan cintanya, tapi perasaan yang lain. Mungkin karena rendah diri, merasa tidak berharga, tidak seimbang dan sebagainya. Tapi kalau memang cinta, ya cinta saja.”
“Jadi menurut Mas, Melati itu sebenarnya cinta, tapi hanya takut mengutarakannya?”
“Dia selalu menganggap aku ini kerabat orang-orang kaya. Seperti dirimu, misalnya. Padahal kan aku ini orang yang sederhana.”
“Mas orang yang sederhana, tapi baik dan luar biasa hebat.”
“Apa hebatnya aku sih?”
“Berani mempertaruhkan nyawa demi seorang gadis yang dicintai, bukankah itu hebat?”
Daniel tertawa.
"Ternyata penyelamatnya bukan aku,” kata Daniel tersenyum.
“Tapi Mas sudah berkorban kan? Melati juga harus mencatatnya.”
“Aku belum sempat meyakinkan dia tentang perasaan aku.”
“Mas cinta mati pada Melati? Tak tergantikan?”
“Nilam, apa maksudmu?”
“Nurin kemarin datang ke rumah. Dia kemari, lalu melihat Nugi? Dan Mas mengatakan bahwa Nugi itu anak Mas?”
Daniel tertawa.
“Kenapa? Dia mundur setelah mendengar jawaban aku kan?”
“Dia bahkan takut merawat anaknya sendiri, apalagi anak tiri.”
“Haa? Benarkah? Kamu jawab apa, pasti dia menanyakannya sama kamu kan?”
“Aku jawab bukan.”
“Yaaah, Nilam … kenapa tidak kamu jawab ‘iya’ saja?”
“Jawaban apapun, akan sama hasilnya. Kalau dia bilang nggak mau merawat anak tiri, dia juga bilang nggak mau merawat anaknya sendiri. Entah apa yang sekarang dipikirkannya. Aku bilang dia belum siap berumah tangga. Jadi lupakan saja dia.”
“Baiklah. Bawa apa kamu itu, sampai lupa nanya, kamu bawa bungkusan hanya dipegang saja. Untuk aku, bukan?”
Nilam tertawa, ia lupa memberikan oleh-olehnya untuk sang kakak, karena keasyikannya bicara.
“Ini gethuk lindri sama klepon, kesukaan Mas,” kata Nilam yang segera membuka bungkusan dan menyuapkannya kepada sang kakak dengan garpu yang tersedia di meja.
Ketika itulah, tiba-tiba Melati muncul bersama ibunya.
“Selamat sore,” sapa Melati, ragu. Mendengar ada yang bicara di dalam, Melati sebenarnya ragu untuk masuk, tapi sang ibu memaksanya. Sudah jauh-jauh datang, masa harus kembali, begitu kata Karti.
Nilam menoleh, dan menyambutnya dengan ramah, sementara Daniel terpaku diam, gugup menerima kedatangan gadis yang dicintainya.
“Ini Melati kan?” sambut Nilam ramah.
“Iya, tidak menyangka ada bu Nilam di sini. Ini ibu saya,” Melati memperkenalkan ibunya.
Karti mengulurkan tangannya, disambut Nilam dengan tersenyum.
“Saya ibunya Melati.”
“Dan saya Nilam, adiknya mas Daniel. Senang bertemu ibu di sini. Kalau Melati, sudah beberapa kali ketemu kan?”
“Iya. Bu Nilam ini beberapa kali pesan masakan di tempat Melati bekerja, Bu.”
“Oh, begitu?”
“Masakan di sana enak sekali, jadi senang berlangganan. Silakan duduk, Bu,” kata Nilam mempersilakan Karti duduk di sofa, karena Daniel sudah mendahului duduk dan mempersilakannya.
“Maaf, baru sekali menjenguk nak Daniel,” kata Karti.
“Tidak apa-apa Bu, malah jadi merepotkan. Terima kasih, dulu saya dikirimin opor sama sambal goreng. Enak sekali.”
“Syukurlah kalau nak Daniel suka. Ini saya bawakan, tapi bukan masakan saya, ini namanya ledre intip,” kata Karti sambil menyodorkan kotak berisi ledre.
Daniel membukanya dengan suka cita. Wajahnya yang berbinar, membuat Karti senang, karena yang diberi tampak menyukainya.
“Saya suka sekali ledre. Ini kan ketan, di dalamnya berisi pisang?”
“Benar Nak.Syukurlah kalau nak Daniel juga suka.”
“Mas Daniel sudah tampak sehat. Lengannya sudah tidak dibalut,” kata Melati.
“Iya, besok saya sudah boleh pulang.”
“Syukurlah. Senang saya mendengarnya.”
“Tadi naik apa?”
“Kami naik taksi, ibu nggak berani bonceng sepeda,” kata Melati tersipu.
“Ya, lebih baik naik taksi, apalagi ini sudah sore.”
“Nanti pulangnya bareng saya ya Mel, saya membawa mobil sendiri.”
“Jadi merepotkan,” sambung Karti.
“Tidak, kan sekalian pulang.”
Mereka berbincang, dan ketika pulang Nilam mengantarkan mereka sampai ke rumah.
***
Begitu sampai di rumah, Melati menerima telpon dari pak Samiaji.
“Ya Pak, saya baru pulang dari rumah sakit.”
“Oh iya, kabarnya Daniel sudah bisa pulang besok,” rupanya Samiaji sudah mendengar berita itu.
“Iya, bersyukur sekali ya Pak, mas Daniel sudah sembuh.”
“Melati, malam ini Ramon mau ke rumah kamu.”
“Oh, ya? Ada apa Pak? Masa tuan muda Ramon mau mendatangi rumah saya?”
“Lho, memangnya kenapa? Yang didatangi kan orangnya, bukan rumahnya.”
“Tapi ….”
“Sebenarnya Ramon mau memberikan uang dari Harjo,”
“Oh, uang itu?”
“Harjo ingin mengembalikan uang itu, karena dia merasa tidak berhak menerimanya. Dia melakukan itu, karena sudah menyadari kelakuan buruknya.
“Pak, lebih baik saya saja yang datang ke rumah Bapak. Nggak enak merepotkan tuan muda Ramon.”
“Nanti dulu. Kamu itu selalu memanggil Ramon dengan sebutan tuan muda. Nggak ah, dia juga tidak suka. Panggil saja pak Ramon, lebih enak didengar kan?”
Melati tertawa lirih.
“Iya Pak, kebawa ketika saya masih di rumah tuan Harjo. Semua orang memanggilnya tuan muda.”
“Mulai sekarang panggil saja pak Ramon.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Sekarang kamu tungguin ya, Ramon mau kemari bersama istrinya. Jangan sungkan masalah rumah. Anak dan menantuku tidak mempersoalkan rumah kamu. Raisa, anakku, ingin berkenalan sama kamu.”
“Oh ya? Baiklah kalau begitu.”
Ketika Melati meletakkan ponselnya, sang ibu baru datang dari belakang, setelah mempersiapkan makan malam untuk mereka.
“Bu, tuan muda … eh … pak Ramon mau datang kemari, bersama istrinya.”
“Lhoh, ada apa?” Karti tampak terkejut.
“Katanya mau memberikan uang yang limabelas juta itu.”
“Ya ampun, bagaimana, rumah kita kotor begini.”
“Tidak apa-apa, Bu. Memang inilah rumah kita. Melati akan membersihkan ruang tamu, menggantikan taplak meja dengan yang bersih.”
“Ibu mau menyiapkan minuman. Aduh, mau disuguhin apa ya, orang kaya. Di rumah hanya ada jagung rebus yang baru saja diangkat.”
Begitulah, kedatangan seseorang yang dianggap lebih tinggi derajatnya, selalu membuat kesibukan di rumah sederhana seperti rumah Karti, misalnya. Merasa hidangannya tidak patut, merasa rumahnya terlalu kotor, dan masih banyak lagi.
“Apa ibu membeli roti dulu di warung sebelah?”
“Tidak usah Bu, orang kaya sudah sering makan roti. Kalau ibu punya jagung rebus, hidangkan saja, siapa tahu mereka suka.”
***
Daniel sudah bersiap untuk pulang. Ia sudah mengemasi barang-barangnya, dibantu Baskoro yang datang lebih pagi.
“Kenapa pak Bas meninggalkan warung? Pagi-pagi begini pasti banyak pembeli.”
“Tidak apa-apa, anak-anak sudah biasa melayaninya.”
“Nilam katanya mau menjemput, tapi kok sampai sekarang belum datang ya.”
Tiba-tiba seseorang muncul, membuat Daniel mengerutkan keningnya.
“Nurin.”
“Ya ampun Mas, setiap kali melihat aku, mas Daniel wajahnya selalu keruh begitu. Aku datang kemari karena Nilam menelpon aku. Dia tidak bisa menjemput mas Daniel.”
“Kenapa Nilam.”
“Dia sudah ada di rumah sakit, sepertinya mau melahirkan.”
“Haa? Melahirkan? Katanya bulan depan.”
“Nggak tahu, buktinya sekarang sudah ada di rumah sakit. Ayo, apakah semua sudah siap? Pulang sekarang?”
“Aku naik taksi saja.”
“Jangan begitu, aku tidak bermaksud apa-apa. Kok tiba-tiba seperti orang ketakutan begitu?” ejek Nurin.
“Ya sudah Nak, daripada memanggil taksi kelamaan, ada yang mau mengantar, kenapa menolak?”
***
Besok lagi ya,
Alhamdulillah tayang *MELATI* ke dua puluh tujuh
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa Rabbal'alamiin
Kedisikan spinterku.....
DeleteAlhamdulillah Melati eps 27 sdh tayang.
Matur nuwun Budhe Tien....
Tetap ADUHAI.....
Sami2 mas Kakek
DeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Suwun bu
ReplyDeleteSami2 pak Wirasaba
DeleteHamdallah...cerbung Melati 27 telah tayang
ReplyDeleteTaqaballahu Minna Wa Minkum
Terima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda dan bahagia bersama Keluarga di Sala.
Aamiin
Nurina..parah...di candain Nilam, klu Daniel sdh punya anak. Weleh
..weleh
..mau hanya Daniel seorang, tetapi tdk mau anak nya. Ternyata cinta nya hanya, setengah...setengah...tdk benar nih..😁😁
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Delete🌸🌹🌸🌹🌸🌹🌸🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 27 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh.
Doaku smoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam aduhai...😍🤩
🌸🌹🌸🌹🌸🌹🌸🌹
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Kalah cepet dg bu Iin ...☺️
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat,waduh Nuril jadi nekat 😡
ReplyDeleteMaturnuwun🌷🌻🙏🙏👍
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillaah dah tayang makasih hunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteMaturnuwun Bu Tien ... Semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Atiek
DeleteAlhamdulillah sudah tayang. Berita baik Daniel sudah dibolehkan pulang, tapi koq ya Nurin yang njemput.. koq ya pas ada kesempatan. Semoga cinta Daniel ke Melati diimbangi, aamiin. Nuwun bu Tien, salam semangat berkarya dan salam sehat selalu. aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Noor
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Daniel sudah sembuh, tapi yang mengantar pulang Nurin. Nah.. sampai di rumah tidak ada Nugi, jadi ketahuan Daniel belum punya anak.
ReplyDeleteMengapa Ramon dan Raisa repot" ke rumah Melati, pasti ada hal yang penting.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah .... terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Uchu
Nutul nutul sejak sore kok sulit yas
ReplyDeletePuji Tuhan matur nuwun jeng Tien salam sehat
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiik
DeleteSalam sehat aduhai deh
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillaah, Daniel sdh sembuh, tp Nurin buat kesal ,, sabar ya
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien 🤗🥰
Sehat wal'afiat semua ya
Salam Aduhaiii
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Terimakasih... Bunda Tien... Sehat walafiat ya?
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Alhamdulillah MELATI~27 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat semangat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 27* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat selalu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat selalu...tetep semangat nggih Bu... A D U HA I💖
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Daniel hebat semangatnya karena jatuh cinta sama Melati, jadi cepat sembuh...padahal kan terluka parah. Sejak awal dirawat sudah langsung banyak ngobrol.😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏😘😘😀
Sami2 ibu Nana
ReplyDeleteSalam sehat juga
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Matur nuwun bunda Tien..🙏🙏
ReplyDeleteSehat selalu kagem hunda..🤲🤲
Alhamdulillah Melati-27 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteDaniel sudah cinta mati sama Melati, tidak akan mau dengan Nurin, pak Baskoro kurang tanggap.. Terimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai selalu
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu