Saturday, April 6, 2024

M E L A T I 15

 M E L A T I    15

(Tien Kumalasari)

 

Harjo tertawa lucu, menatap Melati yang tampak gugup. Melati memang benar-benar gugup. Minuman itu, yang dibuatnya dengan dibubuhi obat tidur, dimaksudkan agar diminum Harjo. Tapi tanpa di nyana, malah dirinya yang disuruh minum. Tentu saja Melati gugup.

“Aku senang sekali melihat wajahmu yang seperti ketakutan itu. Memangnya menurutmu aku ini hantu?” kata Harjo masih dengan tertawa.

“Tuan, ss … saya membuatnya khusus untuk Tuan, agar tuan merasa segar. Mengapa Tuan tidak mau meminumnya? Tentu saja hal itu membuat saya kecewa.”

“Ohoo, Melati, kan aku sudah bilang bahwa aku tidak tahan minum jeruk, lambungku bermasalah. Ya sudahlah, kamu minum saja, ayo, minumlah. Kamu kan bisa mewakili aku minum, sehingga aku harus berterima kasih atas kebaikanmu,” kata Harjo sambil meraih gelas jus itu, dan mengulurkannya pada Melati.

Melati menerimanya, dan Harjo tersenyum melihat tangan Melati yang gemetar.

“Minumlah, kamu bilang bisa membuat segar kan? Minum, ayo minumlah, aku menemanimu minum,” Kata Harjo sambil duduk, lalu memberi isyarat kepada Melati agar duduk di depannya.

“Tu … Tuan, saya juga … tidak tahan minuman asam ….”

“Jangan bohong, aku tahu kamu hanya sungkan. Ayo minum. Jangan menolaknya, pokoknya minum. Ini perintah,” kata Harjo tandas, dengan mata yang menatapnya tajam.

Melati ketakutan. Pada kata-kata keras itu, juga pada mata tajam yang seperti mata serigala kelaparan. Melati hampir menangis.

“Cepat minum.”

Gemetar tangan Melati yang masih memegang gelas itu.

“Ayo minum, aku mau mandi dan ganti pakaian.”

“Silakan tuan mandi, baju ganti sudah saya … saya siapkan … “ kata Melati yang berharap Harjo segera pergi, lalu ia akan membuang minuman itu.

“Tidak, aku mau melihat kamu minum dulu, baru aku mau mandi.”

Melati semakin ketakutan.

“Minumlah, nanti kalau sampai perut kamu sakit, aku panggilkan dokter langganan untuk datang kemari. Cepaaat!” kali ini Harjo setengah berteriak.

Melati tidak mengerti, mengapa Harjo begitu ingin melihatnya minum jus jeruk itu. Atau … jangan-jangan ia tahu bahwa ada obat dimasukkan kedalamnya? Tapi dari mana dia tahu, bukankah ia membuatnya ketika Harjo belum pulang? Melati lupa bahwa di setiap sudut rumah itu terpasang CCTV, sehingga apapun yang dilakukan oleh si penghuni rumah akan terpantau sepenuhnya.

Itu sebabnya Harjo tidak mau meminumnya, dan sekarang memaksa Melati agar meminumnya di depan matanya.

“Melati, ada apa denganmu? Aku perintahkan kamu minum jus jeruk itu. Kamu belum tuli kan?” kata-kata itu halus, tapi terasa kasar dan memaksa.

Melati mendekatkan gelas itu kemulutnya. Dalam hati dia berdoa, bahwa dia akan berserah apapun yang akan terjadi pada hidupnya. Ia sudah bersedia menjalani pekerjaan itu demi hutang ayahnya, jadi segala resiko memang harus diterimanya.

“Ya Allah, selamatkanlah hamba,” bisiknya dalam hati, sebelum kemudian meneguk isi gelas itu.

“Kurang sedikit, habiskan saja.”

Melati akhirnya menghabiskan seluruh isi gelas, lalu meletakkannya dengan kasar di meja.

Harjo menyeringai puas.

“Nah, segar rasanya bukan? Sebenarnya aku suka jeruk, hanya hari ini lambungku terasa kurang nyaman. Terima kasih telah menggantikan aku merasakan segarnya jus jeruk buatan kamu.”

Melati berdiri, meraih gelas kosong itu dan beranjak ke dapur.

“Sekarang aku mau mandi,” kata Harjo sambil tertawa puas, lalu masuk ke dalam kamarnya.

“Kamu sendiri yang menginginkannya, bukan?” katanya sambil terbahak-bahak.

***

Karti menjahit, walau hari mulai remang. Di rumahnya memang terang benderang, karena Melati ingin agar ibunya bisa menjahit dengan nyaman kalau penerangan cukup terang seandainya sang ibu ingin menjahit malam.

Karti belum mengantuk, dia tak ingin selalu terbebani dengan pikiran-pikiran buruk, sehingga menghabiskan waktunya sambil menjahit.

Kepergian Melati untuk bekerja di rumah Harjo, tentu saja amat mengganggunya, walaupun tadi pagi Melati mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Melati juga selalu mengatakan bahwa ibunya tak usah menghawatirkannya. Mereka harus berserah diri atas apa yang akan terjadi pada hidup mereka. Karena itulah Karti juga mencoba menenangkan hatinya, dengan terus berdoa untuk keselamatan anaknya.

Saat menjahit itu, ia teringat pada baju Melati yang modelnya sama dengan model yang dikehendaki pelanggannya. Karti ingin memasang pernik-pernik bordir yang sama pada baju Melati.

Lalu ia menuju ke kamar Melati untuk mengambil baju tersebut, hanya untuk meniru kembangan-kembangan yang ada di sana.

Tapi ketika ia menarik baju yang terlipat, tiba-tiba sesuatu jatuh, selembar kertas. Karti memungutnya, lalu wajahnya berubah muram.

“Melati bekerja sangat keras. Ia bahkan tak takut menerjang bahaya yang setiap saat mengancam kehormatannya. Lintah darat ini begitu royal membayar anakku, hanya dalam satu malam setengah juta. Mungkinkah dia tidak melakukan apa-apa dengan uang setengah juta yang dikeluarkannya? Apakah Melati menutupinya dariku?”

Air mata Karti bercucuran. Melati tidak dengan jelas mengatakan perjanjian pekerjaan dengan Harjo, dan selalu mengatakan baik-baik saja. Apakah benar Melati baik-baik saja?

Hanya itu satu-satunya jalan, karena jalan yang satunya tak mungkin terpenuhi. Miris hati Karti, membayangkan hal buruk yang menimpa anaknya.

“Mungkinkah tua bangka itu tak melakukan hal terkutuk pada anakku? Mungkinkah? Dengan uang sebanyak itu?” lirihnya sambil bercucuran air mata.

Tiba-tiba ia mendengar ponsel berdering, bukan ponselnya. Ia menoleh ke arah meja di samping tempat tidur Melati. Rupanya Melati lupa membawa ponselnya.

Karti mendekat, dan melihat siapa yang menelpon.

“Pak Samiaji? Mengapa malam-malam menelpon Melati? Jangan-jangan uang yang diberikan kepada Melati memang kebanyakan. Waduh, padahal sudah diberikan kepada lintah darat itu. Bagaimana ini?” desis Karti, tapi ia tetap mengangkat panggilan itu.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam, ini bukan Melati?”

“Bukan Pak, saya ibunya. Melati sedang keluar.”

“Oh, ibunya ya?”

“Iya. Apakah ada yang ingin Bapak sampaikan?”

“Tidak penting, hanya ingin bertanya pada Melati, sudah belanja apa dengan uang yang saya berikan itu?”

“Oh, itt … tuuu … saya tidak tahu Pak.”

“Tidak apa-apa, hanya ingin omong-omong saja sama Melati. Tapi kalau dia tidak ada di rumah, ya besok saja saya menelpon lagi.”

“Baiklah Pak.”

Pembicaraan itu berhenti, dan Karti masih saja bertanya-tanya. Dengan maksud apa pak Samiaji menanyakan tentang belanja apa Melati dengan uang itu? Apa benar-benar uangnya kebanyakan? Atau … kalau masih ada sisanya setelah dibelanjakan, maka sisanya akan diminta? Karti sangat gelisah memikirkannya. Ia meletakkan ponsel kembali ketempatnya, lalu keluar untuk melanjutkan pekerjaannya. Tapi pikirannya yang kacau balau membuatnya tak bisa berkonsentrasi. Beberapa kali dia salah menyambungkan jahitan, dan harus membukanya kembali. Lalu ia menyerah. Memilih berhenti sambil menenangkan pikirannya. Ketika terdengar azan isya, ia segera mengambil wudhu dan bersujud. Dengan tangis terisak-isak ia mengadu kepada Tuhannya, memohon ampun dan pertolongannya atas beban yang menimpa keluarganya.

***

Baskoro melongok keluar, melihat Daniel sedang duduk dibawah pohon sambil melamun. Ia melangkah mendekati.

“Nak Daniel, saya kira sudah tidur, ternyata masih duduk di situ,” katanya sambil duduk di sampingnya.

“Gerah sekali Pak, terpaksa duduk di luar, mencari angin.”

“Sepertinya sedang memikirkan sesuatu, Nak?”

Daniel tersenyum.

“Pak Bas bisa saja.”

“Anak muda seperti nak Daniel ini, kalau sedang melamun, yang dipikirkan pasti pacar. Ya kan?”

Daniel tertawa lirih.

“Nak Daniel sedang jatuh cinta?”

Daniel menepuk paha Baskoro.

“Apa kelihatan, kalau saya sedang jatuh cinta?”

“Seperti yang tadi saya katakan. Anak muda seperti nak Daniel ini memikirkan apa lagi kalau bukan memikirkan soal cinta?”

“Sedang tertarik, tapi ragu-ragu, apakah dia mau sama saya, atau tidak?”

“Masa sih, nggak mau? Nak Daniel kan ganteng, baik hati.”

“Saya seorang duda. Saya juga tidak kaya.”

“Terkadang cinta itu tidak memikirkan kaya atau miskin. Kalau seseorang tertarik karena harta, itu bukan cinta namanya.”

Baskoro diam-diam membayangkan dirinya yang dulu menggilai perempuan harena hartanya, tapi dia menyadari bahwa itu bukanlah cinta. Semua itu nafsu. Nafsu mencari kepuasan badani dan duniawi. Baskoro sudah menebusnya dengan hidup papa selama bertahun-tahun. Kini ia menyesalinya.

“Apakah dia mau menerimanya?”

“Sebenarnya siapa yang membuat nak Daniel jatuh cinta?”

“Seorang gadis, sederhana. Saya khawatir dia sudah punya pacar. Pastinya dia memilih yang masih perjaka ting-ting, saya kan duda tong-tong,” katanya sambil tersenyum.

“Daripada dipakai buat melamun, langsung tembak saja toh, apapun jawabnya, akan lebih membuat beban menjadi ringan. Artinya, kalau diterima  ya syukur, kalau nggak ya tidak usah menjadi beban pikiran lagi, kan?”

“Iya juga sih.”

“Ya sudah, segera!” kata Baskoro sambil menepuk bahu Daniel, kemudian beranjak masuk ke rumah.

“Selamat istirahat Pak.”

“Nak Daniel juga harus segera tidur, malam sudah larut.”

***

Bibik pembantu di keluarga Harjo sedang mau menutup pintu, tapi ia melihat Melati tergolek di sofa, tidur sangat nyenyak. Ia mendekat, ingin membangunkannya.

“Mbak, kenapa tidur di sini? Mbak Melati …”

Berulang kali si bibik memanggil, tapi Melati bergeming. Bibik ke belakang, bermaksud mengambil minum hangat untuk Melati, setelah memaksanya bangun. Di kamar kerja Harjo, lampu masih menyala, berarti sang tuan masih bekerja di ruangannya. Bibik kembali ke tempat Melati terbaring sambil membawa minuman hangat.

“Mbak, bangunlah Mbak, ini, saya buatkan minum hangat. Lalu tidurlah di kamar.”

Bibik ingin menggoyangnya lagi, tapi tiba-tiba Harjo muncul.

“Biarkan saja aku yang memindahkannya.”

Bibik berdiri dan beranjak pergi. Tak ada kemauan sang tuan yang bisa dibantahnya. Jadi dia membiarkannya. Ia melanjutkan mengunci pintu-pintu, kemudian kembali ke kamarnya.

Harjo menyeringai senang. Ia mendekat ke arah Melati berbaring, duduk berlama-lama menatap wajahnya.

“Kamu bodoh Melati. Aku melihat ketika kamu memasukkan obat itu. Mana mungkin aku mau meminumnya? Rasakan sekarang. Kamu sendiri yang menantangku. Sekarang  akan aku bawa kamu ke kamarku.”

Harjo mendekat, ia mengangkat tubuh Melati. Tapi bagi si tua itu, Melati terlalu berat baginya. Ia terhuyung-huyung. Kamarnya masih agak lumayan jauh, jadi dia membawa Melati masuk ke sebuah kamar yang lain, lalu melemparkan begitu saja tubuhnya ke atas ranjang.

“Uuh ….”

Melati hanya melenguh, tapi matanya masih rapat terpejam.

Harjo terkekeh.

“Semua ini karena ulahmu, ya kan? Ini maumu, padahal sebenarnya aku masih ingin bersabar beberapa hari mendatang, sampai hatimu melunak dan mengakui bahwa aku adalah laki-laki yang baik. Biar tua, tapi baik. Bukankah yang baik itu yang penting?” Harjo terus terkekeh, sambil melepas baju luarnya. Tubuhnya mulai merasa gerah.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Harjo mengumpat, tapi ia tetap merogohnya.

“Yaa, apa kamu gila? Ini sudah malam. Masalah apa lagi? Mana Kabul? Terluka? Kabul terluka? Bodoh … bodoh … bodoh. Cepat singkirkan Kabul, jangan sampai kedahuluan yang berwajib, lalu dia diinterogasi. Apa? Apa kamu tidak mendengar perintahku? Mengapa aku harus datang? Polisi sudah datang? Siapa sebenarnya mereka? Sudah kabur? Jawab seperti yang sudah-sudah. Aku akan ke sana satu jam lagi. Apa? Kelamaan? Bodoh … bodoh … bodoh…!”

Sambil mengumpat, Harjo mengenakan kembali bajunya, bersiap untuk pergi. Nyala api yang semula sudah berkobar, surut seketika. Persoalan tawur antara penjudi selalu saja ada. Tapi Kabul sampai terluka, membuat Harjo terheran-heran. Siapa orang yang bisa mengalahkan Kabul?

Harjo keluar rumah setelah menutupkan kembali kamar di mana Melati terbaring lelap.

“Tunggu aku, Melati. Aku pasti akan membuatmu tak akan bisa lari dariku setelah ini. Masih banyak kesempatan untuk melakukannya,” katanya sambil bergegas keluar.

***

Malam sudah larut, Melati masih terlelap. Terkadang dia mengeluh kepala pusing, tapi kemudian matanya kembali terpejam. Apakah dia terlalu banyak mencampurkan obatnya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan seseorang berteriak.

“Heiii! Siapa kamu??”

***

Besok lagi ya.

 

 

55 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  2. 🌸🌼🌸🌼🌸🌼🌸🌼
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MELATI 15 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tienkuuh.
    Doaku smoga Bu Tien
    selalu sehat & bahagia
    bersama kelg tercinta.
    Salam aduhai...😍🤩
    🌸🌼🌸🌼🌸🌼🌸🌼

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Terima kasih ibu Sari

      Delete
  3. Alhamdulillah
    Melati sdh hadir kembali
    Matur sembah nuwun Mbak Tien
    Sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Terima kasih jeng Djoko

      Delete
  4. Alhamdulillah melati dah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah Melati 15 sudah tayang, terima kasih bunda Tien Kumalasari, bu Tien sudah sehat? Jangan capek capek ya bun.... semoga ibu Tien sll sehat, bahagia dan dalam lindungan Allah SWT, aamiin yra 🤲🏻🤲🏻 salam hangat dan aduhai bun....🩷🩷🌹🌹

    Siapakah yg masuk ke kmr melati?

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillaah, mbak Tien sdh sehat? Jangan dipaksakan mbak, mtrnwn

    ReplyDelete
  7. Sudah lumayan, jeng dokter. Doyan makan, meskipun bukan nasi tapi lontong tok tanpa lauk.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah bu Tien sampun miyos... semangat sehat ibuu... maturnuwun nggih.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah mbak Tien sudah sehat.
    Langkah pertama justru 'senjata makan tuan'. Melati harus makin hati-hati. Belajar dulu mengenali lingkungan.
    Ada tawuran di tempat judi. Sudah melibatkan polisi. Apa merembet sampai kepada Harjo ya...
    Melati tidur di kamar tidur pembantu lain apa kamar Kabul, semoga aman-aman saja.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah MELATI~15 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲.

    ReplyDelete
  11. Terima kasih bu Tien ... Melati ke15 sdh tayang ... Jadi deg2an lihat nasib Melati ... Smg bu Tien dan kelrg sehat2 dan bahagia sll ... Salam Aduhai .

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah Bunda sudah sehat semoga tetap Sehat wal afiat..Melati pasti kabut kelam akan sirna .Maturnuwun

    ReplyDelete
  13. alhamdulillah, maturnuwun bunda
    semoga semakin sehat

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah bunda Tien sdh sehat, smg sllu sehat dan penuh semangat...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillaah ,matur nuwun Bu Tien
    Sdh sehat wal'afiat & kembali berkarya
    🤗🥰

    Siapa kira2 ya,, yg dtg ke kamar & mau apa,
    Penasaran...🙄🤩

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah Bu Tien sehat kembali. Mtr nwn Melati sdh tayang lagi. Semangkin deg2an.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah melati 15 sudah tayang
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  18. Aamiin Allahumma Aamiin
    Sami2 ibu Anik

    ReplyDelete
  19. Aamiin Allahumma Aamiin
    Sami2 pak Latief

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah ...
    Syukron nggih Mbak Tien .
    Mugi tansah sehat wal afiat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah...
    Bu Tien sudah sehat
    Nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, MELATI 15 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  23. Matur nuwun Bu Tien, alhamdulillah Ibu sdh sehat....

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah mba Tien sudah sehat.
    Makasih mba Tien.
    Tetap semangat,selalu aduhai.

    ReplyDelete
  25. Matur nuwun bunda Tien..🙏
    Semoga bunda sehat wal alfiat njih.

    ReplyDelete
  26. Bersyukur ibu Tien sudah lanjut berkarya...semoga makin sehat ya, bu...terima kasih atas karyanya.🙏

    Melati kurang waspada...keberuntunganlah yg menyelamatkannya...dengan pertolongan Yang Di Atas tentunya.🙏😀

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah Melati sdh hadir kembali
    Semoga BuTien selalu sehat dan semangat

    ReplyDelete
  28. Mungkin maksud Bu Tien pak Arif ya...

    ReplyDelete
  29. Ikut deg- degan apa yg terjadi selanjutnya.
    Terimakasih.. Bu Tien Semoga sehat dan semangat selalu

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...