BUNGA TAMAN HATIKU 23
(Tien Kumalasari)
“Kamu ingin bicara sama dia?” kata Satria lebih mengejutkan Nijah.
“Tidak … tidak…”
“Kalau begitu, aku saja yang bicara,” kata Satria yang kemudian membuka pintu mobilnya.
“Tuaan.” Nijah menatapnya khawatir.
Tapi Satria tetap saja turun. Nijah terpaku di tempat duduknya.
Satria melangkah mendekati Bowo yang masih nangkring di atas sepeda motornya.
Bowo terkejut, menyadari bahwa laki-laki yang bersama Nijah sedang menuju ke arahnya. Ia kemudian turun dari atas motornya.
“Mas Bowo ya?” kata Satria ramah.
Bowo mengulurkan tangannya karena Satria juga melakukannya. Mereka bersalaman dengan hangat.
“Kita belum pernah berkenalan, tapi saya sudah tahu bahwa Anda adalah teman sekolahnya Nijah di masa SD,” kata Satria tak mengurangi sikap ramahnya.
“Benar, ini … mas Satria bukan?”
“Senang sekali, ternyata mas Bowo mengenali saya juga.”
“Nijah pernah mengatakannya. Bibik juga.”
“Oh ya, mas Bowo sudah pernah bertemu bibik juga. Bagus sekali, kita bisa menjadi sahabat. Mau masuk ke rumah?”
“Terima kasih, saya sebenarnya hanya ingin ketemu Nijah. Nggak enak jika harus masuk juga.”
“Oh, begitu, mau bicara di sini? Saya akan memanggil Nijah. Kami baru saja pulang dari belanja.”
“Terima kasih.”
Satria kembali ke mobilnya. Membuka pintu di samping Nijah.
“Temuilah dia.”
“Tt … tapi …”
“Temui saja, biar aku masuk. Aku minta dia masuk ke rumah, tapi tidak mau. Ayo keluarlah. Dia mau bicara sama kamu.”
Nijah melangkah keluar dari mobil dengan ragu.
“Tidak apa-apa, kasihan dia menunggu.”
Satria menutupkan kembali pintu mobilnya, lalu menuju ke arah kemudi, naik ke dalamnya dan menjalankan mobilnya masuk ke halaman. Ketika melewati Bowo yang masih berdiri termangu, Satria membuka kaca mobilnya dan melambaikan tangannya, dibalas anggukan kaku oleh Bowo.
“Bowo, apa yang kamu lakukan?” tegur Nijah yang sebenarnya merasa takut.
“Aku ingin bertemu kamu, Nijah.”
“Aku kan sudah bilang, besok saja. Aku sedang memikirkan waktu yang tepat.”
“Tapi aku merasa sangat gelisah. Besok sore aku harus kembali, Jadi kalau besok waktunya mepet, aku bisa ketinggalan pesawat.”
“Apakah ada hal penting yang ingin kamu sampaikan?”
“Nijah, aku merasa sikapmu aneh akhir-akhir ini. Kamu selalu tergesa-gesa ketika aku mengajak kamu bicara, seperti enggan atau mungkin bosan, atau mungkin ada yang lain, sehingga_”
“Tidak Bowo, aku tidak bosan. Kamu adalah sahabat terbaikku. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, tapi setiap aku ingin mengatakannya, mulutku serasa terkunci, jadi belum jadi mengatakannya.”
“Ada apa?”
“Sebenarnya aku akan menikah.”
Bowo terbelalak. Bumi yang dipijaknya seakan bergoyang. Ia mendekat ke arah tembok pagar rumah, dan menyandarkan tubuhnya.
“Kamu bercanda?” tanyanya bergetar.
“Aku mengatakan yang sesungguhnya. Minggu depan aku menikah.”
“Begitu tiba-tiba? Sama siapa?”
“Tuan Satria,” kata Nijah lirih, sambil menahan tetes air matanya.
Beruntung Bowo bisa bersandar di tembok, kalau tidak, barangkali dia akan jatuh karena kakinya terasa lemas.
“Nijah?”
“Maaf aku baru bisa mengatakannya Bowo. Maafkan aku, karena …”
“Bukankah Satria sudah punya istri?”
“Istrinya tidak bisa melahirkan, keluarga ini ingin memiliki keturunan.” semakin lirih Nijah mengatakannya. Ia berharap Bowo bisa mengerti akan apa yang dilakukannya.
“Mengapa kamu? Mengapa harus kamu?” suara Bowo sekarang agak berteriak, seakan tak terima bunga kekasihnya hanya akan dijadikan mesin pencetak anak.
“Bowo, maafkan aku.”
“Kamu bisa menolaknya kan?”
“Keluarga ini sangat baik.”
“Kamu bisa dimusuhi oleh istrinya. Mana ada wanita mau berbagi suami? Ingat itu Nijah, kamu tidak akan merasa tenang. Bukan karena aku kecewa, atau sakit hati karena akan kamu tinggalkan. Aku hanya tak ingin kamu mengalami kehidupan yang susah dan tertekan,” kata Bowo bersungguh-sungguh.
“Istrinya juga sangat baik. Dia memahami bahwa memang tak bisa melahirkan anak. Jadi dia ikhlas suaminya menikahi aku.”
Bowo mengusap wajahnya kasar. Ada air mata mengambang, yang ditahannya agar tak sampai keluar.
“Mengapa harus kamu, Nijah. Mengapa harus kamu,” sekarang suara Bowo lebih mirip seperti rintihan.
Nijah merasa iba. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Kebaikan keluarga Sardono mengungkung jiwanya. Menurutnya ini adalah pilihan terbaik, sementara kalau dia menunggu Bowo, ia tidak tahu apa dan bagaimana sikap keluarganya.
“Aku berusaha segera menyelesaikan kuliah aku, mencari pekerjaan kemudian menjemputmu. Kamu tidak sabar menunggu aku,” katanya pilu.
“Maaf Bowo. Aku takut menghadapi kehidupan susah ketika menyadari siapa diriku dan siapa keluargamu. Aku yakin mereka akan menentang kamu. Aku hanya seorang pembantu.”
“Kamu berbicara seolah kamu sudah tahu.”
“Gambaran itu sudah jelas Bowo. Kamu pintar, terhormat. Yang pantas mendampingi kamu juga harus gadis yang terhormat. Tolong mengertilah. Buat hidup kamu nyaman, Bowo. Bahagia itu bukan hanya kalau kamu memiliki aku. Dunia begitu luas, bunga cantik ada di mana-mana.”
“Aku sudah punya bunga di taman hatiku, bukan di mana-mana,” katanya tandas.
Nijah mengusap air matanya.
“Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaan kamu, Bowo,” kata Nijah yang kemudian berlalu sambil mengusap air matanya.
Bowo terpana. Apakah Nijah mengira bahwa Bowo tak bisa menitikkan air mata? Sambil naik kembali ke atas sepeda motornya, Bowo pun sibuk mengusap air matanya.
***
Nijah terkejut, ketika mau memasuki rumah dari samping, dilihatnya Satria duduk di teras, kemudian melambaikan tangannya, meminta Nijah datang kepadanya.
Nijah mengusap sisa air matanya, lalu melangkah mendekati tuan muda ganteng yang duduk sambil menyilangkan kakinya.
“Duduklah di sini dulu, Jah.” katanya sambil menurunkan kakinya.
Nijah duduk di depan Satria, wajahnya terlihat pucat.
“Kamu menangis?”
Nijah menggeleng, walau sisa air mata itu masih tampak menggenang dipelupuknya.
“Apa kamu mencintai dia?” tanyanya tiba-tiba.
“Apa?” Nijah mengangkat wajahnya.
“Tampaknya kalian saling mencintai.”
Nijah menggeleng.
“Benarkah? Dengar Nijah, kalau memang kamu mencintai dia, kita bisa membatalkan pernikahan ini. Aku tak ingin merusak hubungan kalian. Tak bisa aku bayangkan, bagaimana sakitnya ditinggalkan kekasih yang akan menikahi orang lain,” kata Satria bersungguh-sungguh.
NIjah menggelengkan kepalanya.
“Kami hanya bersahabat.”
“Dia begitu ingin ketemu kamu, bahkan menunggu kamu saat malam hari, yang pastinya dia merasa yakin bahwa di malam hari pekerjaan kamu sudah selesai. Dia ingin bertemu tapi tak ingin mengganggu. Aku melihat dia laki-laki yang baik.”
Nijah mengangguk.
"Kita batalkan pernikahan kita?”
Nijah menggeleng.
“Aku bersungguh-sungguh Jah, kalau kamu mencintai dia, menikahlah dengannya.”
Nijah menatap Satria, melihat kesungguhan di mata bening bak sepasang bintang yang menatapnya tajam.
“Saya bersedia menjadi istri Tuan.”
“Benar?”
“Saya sudah berjanji dan saya akan menepati. Bowo hanyalah sahabat terbaik saya. Saya tidak pernah bermimpi untuk bisa menjadi istrinya.”
“Sungguh?”
Nijah mengangguk.
“Kamu mencintai aku?”
Cinta? Nijah tak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Tapi bahwa setiap dekat dengan tuan mudanya, ada debar aneh yang tidak dimengertinya, itu benar.
Nijah hanya menatap Satria tak berkedip. Kali ini tak menundukkan wajahnya, membiarkan mata mereka bertatapan, membiarkan api memercik dari tatapan itu, sampai kemudian Nijah menundukkan kepalanya lagi.
“Apa dia tinggal di sini?”
“Dia sedang liburan, besok sudah kembali ke Jakarta.”
“Tanyakan padanya, jam berapa dia pergi, kita akan mengantarkannya.”
Nijah menatap tak percaya, tapi Satria mengangguk dengan senyumnya.
“Tuan, ditunggu Tuan besar dan nyonya di ruang makan,” tiba-tiba bibik keluar, membuyarkan suasana hangat yang menyelimuti hati keduanya.
Keduanya berdiri.
“Tapi non Ristia pergi, dan belum kembali.”
“Ke mana?”
“Kata nyonya, menjenguk temannya yang sakit.”
***
Tapi Ristia bukan menjenguk temannya yang sakit. Ia menemui Andri, sebagai sepasang manusia yang sama-sama sakit. Sakit hati dan jiwanya, karena kegagalannya dalam meraih cinta.
Andri membawa Ristia ke sebuah vila yang jauh dari kota. Vila itu milik keluarganya. Kata sang ibu, setelah menikah Andri harus menempati vila itu untuk berbulan madu. Andri tersenyum pahit.
Keduanya memasuki vila yang tertata rapi dan tanpa penghuni. Pembantu keluarga Andri membersihkan vila itu setiap seminggu sekali.
“Bagus sekali tempat ini. Tenang dan nyaman,” kata Ristia sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
“Ada kamar yang nyaman, kamu boleh tiduran di sana,” kata Andri sambil berjalan ke arah sebuah kamar yang cukup besar.
“Bagus sekali,” kata Ristia yang kemudian melompat ke atas kasur empuk yang tertata rapi dan wangi, karena baru kemarin tempat itu dibersihkan.
“Ristia, ini sudah malam, apa suami kamu tidak menanyakan di mana kamu berada?”
“Aku mematikan ponsel aku,” jawab Ristia ringan.
“Lalu kamu bilang apa ketika berpamit?” tanya Andri yang tiba-tiba sudah ikutan berbaring di samping Ristia. Ristia tidak menolaknya. Tiba-tiba dia merasa nyaman berada di dekat Andri.
“Aku bilang pada mertua aku, bahwa aku akan menjenguk temanku yang lagi sakit.”
“Kamu benar, aku lagi sakit, tapi kan kita sama-sama sakit?”
Ristia terseyum.
"Setelah perasaan kita tenang, kita akan bicara tentang rencana kita selanjutnya, aku benar-benar ingin segera bisa melenyapkan perempuan kampung busuk itu.” geram Ristia.
Andri menenangkannya dengan mengelus kepalanya. Tubuh mereka sangat berdekatan, bahkan hampir bersentuhan, dan Andri menyentuhnya tanpa sungkan, karena Ristia tidak menolaknya. Ditatapnya Andri yang wajahnya begitu dekat dengan dirinya. Andri sangat tampan, tapi wajah itu terlalu lembut. Berbeda dengan suaminya yang tampak garang dan benar-benar jantan. Ristia tersenyum, membuat Andri berdebar sangat kencang. Walaupun dia sangat mencintai Ristia, tapi ia belum pernah berada didekat Ristia sedekat itu. Dingin AC yang memenuhi kamar itu, tiba-tiba membuatnya menggigil. Lalu ia merapatkan tubuhnya. Ristia pun juga tidak menolak.
Udara dingin membuat kedekatan mereka menjadi nyaman. Tapi ada sampingan yang menyertainya. Barangkali setan sedang mengipasinya, atau memang hal itu sudah pernah mereka impikan, tapi yang terjadi adalah langkah sesat tanpa martabat yang menggulung tubuh dan jiwa mereka kedalam kenikmatan menuju neraka. Siapa yang melarang? Kamar dan isinya membisu, jam dinding yang terus berdetak juga hanya terus-terusan berdetak. Dingin menyengat bukan lagi membuat tubuh mengigil tapi berkeringat. Ayolah, iblis dan setan sedang bertepuk tangan, dalam aroma terlena yang memenuhi suasana.
***
Suasana makan malam itu seperti tak berubah, walau Ristia tak ada diantara mereka. Bu Sardono bahkan berpikir, menantunya adalah orang yang sangat baik hati, karena peduli kepada temannya yang sakit.
“Siapa yang sakit itu? Dia tidak mengatakannya?”
“Sayangnya tidak, ibu juga tidak bertanya lebih jauh, karena dia berangkat seperti tergesa-gesa. Ia bahkan lupa mencium tangan kedua mertuanya,” kata bu Sardono.
“Kenapa kamu tidak menelponnya?” tegur pak Sardono.
“Sudah, ponselnya mati.”
“Ya sudah, tungguin saja. Kalau nanti dia pulang dan kelaparan, pasti dia akan minta pada bibik,” kata bu Sardono santai.
Satria juga tidak membicarakannya, toh nanti kalau pulang, Ristia juga akan mengatakan, siapa temannya yang sakit itu.
“Mulai besok, Satria akan cuti, sampai pernikahan selesai,” kata Satria tiba-tiba.
“Apakah ada yang ingin kamu persiapkan? Biar nanti ibu mengurusnya.”
“Tidak Bu, besok saya sama Nijah akan pergi untuk membelinya. Pastinya Nijah juga berhak memilih apa yang diinginkannya.”
“Tuan, saya tidak menginginkan apapun,” kata Nijah sambil mengangkat wajahnya.
“Kamu itu selalu begitu. Pokoknya besok ikut aku. Tidak apa-apa kan Bik, Nijah pergi sejak pagi?” tanyanya kemudian kepada bibik, yang duduk di kursi kecil seperti biasanya.
“Tentu saja tidak, Tuan. Bibik biasa mengerjakan semuanya sendiri,” sahut bibik.
“Tuh, jangan lagi pakai alasan membantu bibik ketika aku mengajak kamu,” kata Satria sambil tersenyum menatap calon istrinya.
Pak Sardono dan bu Sardono saling tatap, lalu tersenyum lucu. Nijah bukan gadis biasa. Dia pemalu, dan sangat sederhana. Mana mungkin dia menginginkan sesuatu dari calon suaminya?
“Tuan sudah membelikan saya perhiasan yang mahal,” katanya pelan.
“Sudah, diam. Lanjutkan makan dan istirahat. Besok kita berangkat pagi.”
Nijah cemberut.
“Jangan lupa menanyakan sama dia, jam berapa dia pulang dan naik apa,” kali ini Satria berbisik pelan, sehingga hanya Nijah yang mendengarnya.
Wajah Nijah seketika menjadi sendu, teringat pada Bowo yang pastinya terluka. Tapi Nijah senang, Satria bersikap sangat baik padanya.
***
Menjelang pagi, Ristia baru pulang. Wajahnya pucat dan tampak lelah, matanya sudah setengah terpejam ketika dia memasuki kamar lalu langsung berbaring di tempat tidur.
Satria terkejut, dan terpaksa membuka matanya.
“Kamu baru pulang?”
“Hm…”
“Ini hampir pagi.”
“Hm…”
“Siapa yang sakit?”
“Silvi,” Ristia menyebut sembarang nama.
“Siapa dia? Aku kan mengenal hampir semua teman kamu.”
“Biarkan aku tidur dulu, aku sangat lelah.”
Satria membiarkannya, lalu kembali merebahkan kepalanya. Tapi ia mencium bau tak sedap dari tubuh istrinya. Satria berguling menjauh, dan membelakangi istrinya, untuk kembali tidur.
^^^
Besok lagi ya
Alhamdulillah
ReplyDeleteSelamat mbak Ika juara 1
DeleteJaga gawang ya...
Terima kasih bu Tien....
DeleteApa yg akan dikatakan Satria bila bertemu Bowo, apakah pernikahan Satria dan Nijah akan berlanjut.
Semoga penyelewengan Ristia ada yg mengetahui, namanya bangkai pasti akan tercium juga..
Salam sehat selalu bu Tien
Mantab mbk Ika jyada
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDeleteTrmksh
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYes tayang
ReplyDeleteMusang berbulu domba.semoga Sang Sutradara Bunda Tien K..membuang Ristia iblis cantik ke ........Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteEps 23 sdh tayang.....
Terima kasih bu Tien
Salam ADUHAI
Sugeng dalu mbak Tien..... Dag... Dig... Dug...Seeer... Gèk diapakno si Nijah iku
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
🌸☘️🌸☘️🌸☘️🌸☘️
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 23
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien
Sehat2 trs nggih Bu..
Salam Aduhai 🦋💐
🌸☘️🌸☘️🌸☘️🌸☘️
Alhamdulillah..... Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulilah...
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Alhamdulillah.... terimakasih
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteWealah....Ristia selingkuh...
ReplyDeleteApakah perbuatan Ristia akan ketahuan Satria?
Kasihan Bowo, cintanya kandas , Semoga Bowo dapat pengganti Nijah
Matur suwun ibu Tien
Salam tahes ulales 🙏❤️
Satria memang kereen.... Ristia mulai kteahuan... semoga bisa terkuak.... terima kasih Mbu Tien... tetap bahagia dan sehat bersama keluarga tercinta
ReplyDeleteSalam Aduhai
ReplyDeleteBunga Taman Hatiku ..
ReplyDelete.. ternyata Nijah di hati Bowo..
Semoga bsk Nijah dan Satria bs mengantarkan Bowo ke bandara..
Semoga rencana jahat Ristia bs digagalkan oleh Satria atau oleh siapapun..
Ristia sdh selingkuh.. Tdk perlu dikasih hati lg
Tks bunda Tien.. Semoga sehat selalu
Salam cinta matur nuwun dr ibu2 nogotirto pecinta bu Tin....tolong tetep dg bowo ya bu nijahnya
ReplyDeleteYang namanya Satria memang berwatak ksatria. Dia bersedia membatalkan pernikahan dengan Nijah bila memang Nijah sudah punya pacar.
ReplyDeleteBiasanya barang busuk akan ketahuan juga pada akhirnya. Tidak terkecuali terhadap Ristia.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Mengapa harus kamu, Nijah. Mengapa harus kamu,” sekarang suara Bowo lebih mirip seperti rintihan...
ReplyDeleteAch kasihannya dirimu Bowo...😭😭
Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
Alhamdulillah BTH-23 sdh hadir
ReplyDeleteKasihan Bowo..
Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Bowo jgn bersedih ya.... In syaa Allaah bu Tien akan cari ganti nya ya atau mmang berjodoh dg Nijah 🤭
Knp Ristia bingung ya ,, sm dg Nijah donk
Salam aduhaaii ,, makin ashik & seru nih 😊
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien
Sugeng Dalu, salam sehat selalu
Makasih Bu Tien BTH 23 dah tayang
ReplyDeleteAduh...
ReplyDeleteKok Nijah tega mengecewakan Bowo. Meskipun tak ada kata² ikatan dari Nijah tapi hati tak bisa didustai. Bowo juga mengatakan bahwa Nijah akan tertekan hidupnya bukan karena telah mengecewakannya. Saya malah jadi ingat pesan Zainuddin pada Hayati dalam novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck", jangan pernah terlintas di hatimu Hayati bahwa ada kebahagiaan lain di luar kebahagiaan cinta...
Terimakasih Mbak Tien...
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga senantiasa sehat...aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah, Bunga Taman Hatiku 23 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
Hamdallah BTH ke 23 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Sehat wal Afiat dan selalu Semangat dalam berkarya. Aamiin.
ReplyDeleteNijah sebenarnya tdk tega menyakiti hati Bowo, krn dia laki2 yang baik.. tetapi lebih berat ke Satria, krn Keluarga Pak Sardono baik hati, mau menerima Nijah sbg calon menantu.
Dan itu berarti rintangan yang akan di lalui Nijah lebih berat lagi, krn hrs menghadapi Ristia, yng sebenarnya tdk mau di madu.
Akankah Bowo bisa memiliki Bunga Taman kebahagian hati nya.
Kita ikutin apa kehendak sang Sutradara. Semoga Bowo bisa memenangkan kompetisi ini dengan membawa Bunga Taman Hati nya, yng telah pergi
Salam hangat nan Aduhai dari Jakarta
Ristia sdh lepas kendali.... Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteInilah keunikan karya2 ibu Tien.
ReplyDeleteApa yg dikawatirkan Nijah mengenai kel.Bowo juga ada benernya. Paling tidak kel.Sardono mau menerima dia apa adanya. Sayang mereka belum mengetahui keburukan Ristia. Bagaimana rencana buruk mrk terbongkar, hanya ibu Tien yg akan menjabarksnnya. Aksn says tunggu dg sabar, tapi deg degkan. Sampai jumpa di episode yg selanjutnya.
🥰🌹🌺🪻🌻
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien bth 23 tlh hadir
Ristia kamu telah melakukan yg terlarang, sdh tidak pantas menginjakkan kaki di rumah kelg sardono
Akankah satria mengetahui tabiat istrinya yg penuh noda ?
Monggo kita tunggu eps selanjutnya
Salam hangat yg aduhai dari bumi mojopahit
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan bahagia selalu
Agak dingin
ReplyDelete