BUNGA TAMAN HATIKU 22
(Tien Kumalasari)
Sudah sore ketika kemudian Nijah memasuki kamarnya. Ia segera membersihkan diri dan berganti pakaian rumahan. Kemudian ia keluar dari kamar dan bergegas memasuki dapur.
“Bibik, maaf ya. Mana yang bisa aku bantu?”
“Sudah selesai Jah, sebentar lagi masak untuk makan malam. Duduk saja di situ, kamu pasti capek.”
“Nggak capek, cuma duduk saja di mobil.”
“Hanya muter-muter?”
“Iya, mampir ke sebuah apa tuh namanya, seperti rumah makan, terus minum es buah, lalu pulang.”
“Cuma gitu saja?”
“Non Ristia omong-omong sama pemilik restoran itu, yang ternyata temannya. Dia memperkenalkan aku sebagai calon madu. Malu aku Bik.”
“Ya nggak usah malu, memang itu kenyataannya.”
Bibik meletakkan secangkir teh panas ke hadapan Nijah.
“Minum ini dulu, anget-anget, kan enak.”
“Ya ampun Bik, kenapa aku dilayani sih? Aku kan bisa mengambil sendiri?”
“Ya tidak apa-apa. Sebentar lagi kamu kan sudah jadi nyonya muda. Jadi aku juga berkewajiban melayani,” kata bibik sambil mengelus bahu Nijah.
“Bukan begitu Bik, biarkan semuanya seperti semula. Aku nggak mau merubah apapun. Bibik tetaplah menjadi ibuku. Tidak ada nyonya muda, yang ada hanyalah Nijah, anak perempuan bibik.”
“Tapi kenyataannya kan berbeda. Kurang dari seminggu lagi kamu sudah menjadi istri tuan Satria. Dari tadi nyonya sudah bersiap-siap.”
“Bukankah tidak akan ada perjamuan Bik? Kami hanya akan menikah, itupun di rumah sini.”
“Iya, benar. Tapi tetap saja semuanya akan berbeda.”
“Aku nggak mau berbeda,” kata Nijah sambil memanyunkan bibirnya.
“Ya sudah, itu di minum dulu, ada jagung rebus nih, enak dan masih hangat,” kata bibik sambil duduk di depan Nijah, lalu menyentuh bibirnya yang manyun.
“Jangan begini, jelek. Ayo senyum.”
“Habisnya … bibik membuat aku sedih.”
“Mengapa harus sedih. Kamu anak baik, dan Allah akan mengganjar kebaikan kamu dengan bahagia yang melingkupi hidup kamu.”
“Aamiin. Aku hanya ingin, tak akan ada yang berubah dalam hubungan kita. Bibik tetaplah ibuku,” kata Nijah sambil meraih cangkirnya.
“Aku juga akan tetap melakukan apapun untuk membantu bibik, seperti hari-hari sebelumnya,” lanjut Nijah sambil meraih sepotong jagung rebus buatan bibik.
“Manis kan?”
Nijah mengangguk sambil mengunyah nikmat jagung itu.
“Oh iya Bik, besok itu non Ristia ingin mengajak aku lagi.”
“Jalan-jalan lagi?”
“Katanya akan membelikan hadiah untuk aku, aku nggak enak sebenarnya.”
“Ya tidak apa-apa, diberi hadiah itu kan rejeki.”
“Tapi non Ristia mengajak perginya pagi. Padahal kan itu saatnya kita memasak.”
“Tidak apa-apa Jah, biar aku sendiri saja. Ini memang waktunya melengkapi semua kebutuhan pengantin kamu. Pergilah.”
“Tapi aku belum bilang sama Nyonya.”
“Bilang saja, tidak apa-apa."
“Nijah, aku minta minum dong,” tiba-tiba terdengar teriakan dari arah ruang makan.
“Tuan muda sudah datang.”
“Kan non Ristia sudah ada, mengapa aku?” kata Nijah pelan.
“Hei, belajar melayani suami dong,” bibik mengulaskan senyum nakal.
“Ih, Bibik.”
Nijah segera beranjak menyiapkan kopi susu untuk Satria, lalu membawanya ke ruang makan.
“Terima kasih, Nijah,” kata Satria dengan mata berbinar ketika menatap calon istri mudanya.
“Ada non Ristia, kan?” kata Nijah seperti protes, kenapa tidak minta Ristia agar melayaninya.
“Kamu saja, dia tidur di kamar.”
Nijah ingin berlalu, tapi Satria menghentikannya.
“Tadi ke mana saja?”
“Hanya jalan-jalan saja.”
“Duduklah di situ, temani aku minum.”
“Saya mau membantu bibik memasak.”
“Duduklah dulu,” kata Satria setengah memaksa. Nijah menurut, duduk di depan Satria.
“Ambil minum kamu juga.”
“Saya sudah minum di dapur.”
”Mengapa kamu selalu menundukkan wajah kamu? Kamu masih takut sama calon suami kamu sendiri?”
Nijah mengangguk, membuat Satria tertawa keras.
“Aku bukan hantu kan? Lihat, wajahku tampan lhoh, apa yang membuatmu takut?”
Pertanyaan itu membuat wajah Nijah bersemu merah. Tuan muda ini benar-benar tahu diri. Maksudnya, tahu bahwa wajahnya ganteng.
“Beberapa hari lagi kamu akan menikah denganku, apa kamu sudah siap?”
Nijah semakin menundukkan wajahnya. Ia kembali merasa seperti terbang di awang-awang, lalu merasa ngeri ketika melihat ke arah bawah. Bulu kuduknya terasa merinding, tangannya berkeringat.
“Heeii, kamu kenapa?”
Nijah bukanlah Ristia, yang begitu pintar membuat laki-laki tergila-gila. Cara dia memandang, cara dia berbicara, gerakan bibir dan matanya, begitu memikat dan memesona. Tapi Nijah adalah gadis kampung yang lugu. Semakin dipandang, wajahnya semakin menunduk. Ia bahkan tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Tangan yang disembunyikan di bawah meja, sedang berkeringat dan gemetaran.
Satria tersenyum. Keluguan itu membuatnya terpana. Nijah seperti sebuah gunung tinggi dengan kehijauan yang memikat, dan menantang apakah ada yang berani mendaki ke puncaknya. Nijah bukan dengan murah hati menyodorkan keindahan yang dimilikinya, tapi membuat Satria menjadi seperti kucing yang melihat tikus ketakutan, dan bersembunyi disebuah lubang dalam yang sulit dijangkaunya. Kucing tampan itu sedang menunggu, kapan si tikus terlena dan dia akan siap menerkamnya.
“Jah, tolong dong ambilkan jagung rebus bibik, aku tadi melihat kamu sedang makan jagung rebus itu,” kata Satria berusaha melepaskan belenggu ketakutan di wajah Nijah.
Nijah mengangkat wajahnya dan berdiri tergesa-gesa. Tapi sebelum dia beranjak ke belakang, bibik sudah menyodorkan sepiring jagung rebus yang masih hangat.
“Haaa, bibik benar-benar penuh pengertian,” serunya.
Nijah ingin beranjak pergi, tapi sekali lagi Satria menahannya dengan perintah.
“Nijah, kupasin dong, jagungnya.”
Nijah menyembunyikan kekesalannya, lalu kembali duduk. Ia tahu sang tuan muda ingin berlama-lama bersamanya. Ia mengambil sebuah jagung, lalu mengupasnya perlahan. Telapak tangannya yang dingin menjadi hangat oleh jagung yang masih panas itu.
Satria menatap tangan lentik itu dan membatin, bagaimana gadis kampung ini bisa memiliki jari-jari lentik yang begitu indah. Tiba-tiba ia meraih jagung yang telah dikupas tapi masih melekat di bonggolnya, mengambil begitu saja dari tangan Nijah.
“Masih hangat.”
Kemudian ia menggigitnya dengan rakus.
“Oh ya, aku ingin membelikan sesuatu untuk kamu. Nanti setelah mandi kamu ikut aku ya?”
Nijah mengangkat wajahnya.
“Tuan tidak usah memberi apapun untuk saya,” katanya lirih.
“Kamu calon istri aku, tidak salah kalau aku memberi sesuatu untuk kamu. Bahkan kalau kamu memintanya sekalipun. Tapi aku yakin kamu tidak akan memintanya.”
“Tuan, saya_”
“Pergilah ke belakang dan mandi, lalu ikut aku. Setelah maghrib kita pergi,” titah sang majikan muda dengan tatapan tajam.
“Saya akan membantu bibik memasak.”
“Mandi dan bersiap untuk ikut denganku. Sebentar lagi maghrib.”
Satria membiarkan Nijah pergi ke belakang, sementara dia menghabiskan jagung manis yang masih digenggamnya.
***
Bibik melihat wajah Nijah yang kemerahan. Ia tahu, sang tuan muda pasti mengganggunya. Sudah sering ia melakukan itu pada Nijah, sehingga membuat Nijah tersipu dan salah tingkah.
“Bik, maaf ya ….”
Bibik menatap wajah Nijah.
“Rasanya aku tak bisa membantu memasak lagi. Tuan Satria mengajak aku pergi.”
“Oh ya? Tidak apa-apa. Aku memasak tidak banyak, hanya membuat asem-asem daging dan goreng ikan.”
“Tapi ….”
“Kenapa kamu ini Jah? Seperti orang ketakutan begitu. Bukankah kamu sudah pernah pergi bersama tuan Satria?”
“Dan berakhir menangis di kamar,” bisik Nijah sambil menghabiskan tehnya yang sudah dingin.
Bibik tertawa pelan.
“Kali ini tuan Satria pasti akan membuat kamu tersenyum.”
“Sebenarnya aku tidak ingin apa-apa, tapi ….”
“Sudah selayaknya kalau calon suami ingin membeli sesuatu untuk calon istrinya. Kamu jangan seperti orang ketakutan begitu. Hanya diajak pergi saja ketakutan. Lain kali akan ada ajakan yang kamu akan menyukainya,” goda bibik sambil menjauh, takut Nijah mencubitnya karena dilihatnya Nijah sudah mengangkat tangannya.
“Cepat mandi sana.” tiba-tiba Satria melongok ke dapur dan mengulangi perintahnya.
Nijah tak berdaya,
***
Ristia menggeliat ketika Satria sibuk berdandan. Ia memakai celana jean dan kaos warna biru muda dengan garis-garis putih di tepinya. Aroma wangi menguar di seluruh kamar.
Ristia membuka matanya lebar-lebar.
“Mas, mau ke mana? Maaf aku ketiduran. Lelah seharian putar-putar kota sama Nijah. Sekarang masih mengantuk.”
“Tidur saja, aku mau pergi sebentar. Tapi aku ingatkan kamu, maghrib sudah bertalu.
Ristia bangkit dan menguap.
“Mas mau ke mana?”
“Mau pergi sama Nijah,” katanya sambil keluar dari kamar.
Ristia berusaha mengendapkan darahnya yang mulai mendidih. Suaminya baru akan pergi berdua bersama Nijah, dan belum tidur bersama, kepalanya sudah seperti mengepulkan asap kemarahan.
Ia meneguk air putih yang kebetulan belum diminumnya, berusaha menenangkan hatinya. Ia berharap, kalau ia keluar dan melihat Nijah nanti, ia bisa menyunggingkan senyum manis tanpa rasa sakit.
Ristia bangkit, merapikan rambutnya dan keluar. Dilihatnya Satria melangkah ke belakang, berhenti di depan kamar Nijah.
“Nijah, kamu sudah selesai?” seru Satria sambil mengetuk pintu.
“Sudah.” Nijah menjawab dari dalam, lalu segera membuka pintu. Wajah lugu itu sudah memakai pakaian rapi dan kerudung yang serasi. Satria terpana sejenak, tapi kemudian dia melangkah ke arah depan, hampir bertubrukan dengan Ristia.
“Ya ampun Mas, hampir saja aku jatuh,” pekiknya.
“Nggak tahu kalau kamu ada di belakang aku,” jawab Satria yang terus melangkah ke arah depan.
“Aduh, Nijah … kamu itu tidak usah berdandan, tapi selalu kelihatan cantik,” seru iblis cantik yang melihat Nijah berpamit pada bibik.
Nijah tersipu.
“Non nggak ikut? Ikut yuk,” kata Nijah, berharap ada yang menemaninya.
“Nggak bisa Jah, aku belum mandi. Lagian, mas Satria sudah siap begitu, nanti marah kalau menunggu kelamaan.”
“Ayo Jah!” teriak Satria dari depan.
“Tuh, dia nggak sabaran Jah, kamu harus tahu itu.”
“Saya pamit nyonya dulu.”
“Mama sedang di kamar, nanti aku pamitkan. Sudah sana.” kata Ristia sambil mendorong bahu Nijah pelsn.
Begitu Satria membawa mobilnya keluar halaman, dengan Nijah di sampingnya, Ristia membalikkan badannya. Setengah berlari dia naik ke ruang atas, lalu masuk ke kamarnya, menangis tersedu di sana.
“Awas kamu Jah! Aku yakin, kamu tak akan bisa menikmati malam bersama suami aku. Akan aku lenyapkan kamu dari keluarga ini. Dasar perempuan kampung bodoh, bau! Bisa-bisanya kamu meluruhkan hati suamiku, merebut cintaku dan kebahagiaanku.”
Ristia mengusap air matanya, lalu mengambil ponselnya. Diputarnya sebuah nomor, lalu hanya beberapa detik berselang, sudah ada sambutan dari seberang sana.
“Hallo, cantik, cintaku, malam-malam menelpon, apa suamimu tidak ada?”
“Andri … aku tak tahan lagi.”
“Kenapa? Mau segera melancarkan rencana kita?”
“Kamu tahu Ndri, baru saja suami aku pergi bersama Nijah. Pergi begitu saja, tanpa mengacuhkan aku. Sakit, tahu, Ndri.”
”Sabar sedikit Ristia, kamu bisa sekali lagi mengajak Nijah jalan-jalan, supaya kelihatan akrab. Dengan begitu tak akan ada yang mencurigai kamu.”
“Aku tak sabar Ndri… aku sakit, aku benci.”
“Kalau begitu kemarilah, aku juga sedang sedih. KIta habiskan malam ini bersama yuk Ris. Aku juga ingin melampiaskan kekesalan ini.”
“Ini masih sore, kalau aku pergi juga tak apa-apa.”
“Bagus, kalau begitu kemarilah. Tak lama lagi aku akan menikah, aku benci ibuku yang memaksa aku menikah.”
“Apakah gadis itu tidak cantik?”
“Entahlah, saat dipertemukan aku sama sekali tak melihat ke arahnya. Kata ibuku dia gadis yatim piatu, anak sahabat ayahku almarhum. Dia baik, dan pastinya aku akan bahagia. Mana mungkin aku bahagia Ris, aku hanya mau sama kamu.”
“Kamu tidak menolaknya?”
“Aku sudah menolaknya, tapi ibuku mengancam aku. Dia sakit jantung, katanya kalau aku menolak, dia bisa mati. Coba Ris, aku harus bagaimana?”
“Ya sudah, aku mau ke tempatmu saja sekarang.”
“Datang ke cafe saja, lalu kita pergi dan bersenang-senang.”
“Baiklah, kalau itu bisa mengobati kesedihan kita bersama.”
Ristia mandi kilat, lalu berganti pakaian. Ketika keluar, ayah dan ibu mertuanya sudah duduk di ruang tengah.
“Pa, Ma, Ristia mau pergi sebentar ya.”
“Mau kemana malam-malam?”
“Teman Ristia ada yang sakit, Ristia mau menjenguknya.”
“Kenapa tadi tidak bareng Satria saja?”
“Beritanya baru saja Ma, Ristia pergi dulu ya Ma, Pa,” Ristia berlalu begitu saja. Bu Sardono agak heran, Ristia lupa mencium tangan kedua mertuanya, padahal beberapa hari terakhir ini sudah selalu melakukannya.
***
Nijah terkejut ketika di sebuah toko perhiasan, Satria memilih gelang dan kalung yang kemudian dia harus mencobanya.
“Cobalah. Ini untuk kamu.”
“Tuan, tidak usah, saya tidak pernah memakainya.”
“Sekarang kamu harus memakainya, karena kamu itu istri aku. Atau … kamu nggak suka yang ini? Ayolah, kamu boleh memilih yang lain.”
“Tuan …”
“Menurutku ini bagus. Coba, mana tanganmu. Oh ya mbak, sekalian cincinnya, biar dicoba dulu, yang modelnya sama,” perintahnya kemudian kepada pelayan toko.
Pelayan itu mengeluarkan lagi sebentuk cincin bermata berlian, yang sama dengan leontin dan gelang yang sudah dipilih Satria.
“Ayolah Jah. Sini, mana tanganmu, biar aku memakaikannya.”
“Baiklah, biar saya saja,” kata Nijah menurut, ketika Satria ingin meraih tangannya.
“Nah, bagus kan. Cocok dengan warna kulit kamu. Indah sekali. Kalau cincinnya? Sini, jari kamu.”
Lagi-lagi Nijah menarik tangannya ketika Satria ingin memasang cincin di jarinya, lalu dipakainya sendiri.
“Bagus sekali. Bagus kan Mbak?” katanya kepada pelayan toko emas itu.
“Sangat pas, bagus sekali Mbak.”
“Tuh kan, baiklah, saya ambil ini semua. Berapa?”
Nijah gemetar, harga perhiasan itu berjuta-juta. Satria membayarnya dengan sebuah kartu.
“Setelah ini, beli baju ya.”
“Sudah Tuan, ini sudah malam.”
“Baiklah, bapak sama ibu juga pasti menunggu kita makan. Besok lagi saja kita pergi lagi.
Satria memberikan tas kecil berisi perhiasan itu kepada Nijah.
Ini untuk kamu, simpan baik-baik. Saat menikah nanti, aku pasangkan cincinnya ke jari kamu.”
Nijah tak menjawab. Semakin diingatkan hari di mana dia akan menikah, semakin berdebar rasa di dadanya.
Mobil Satria sudah sampai di sebelah rumah, beberapa meter lagi akan memasuki halaman. Tapi tiba-tiba Satria melihat seseorang nangkring di atas sepeda motornya. Ia merasa pernah mengenal laki-laki itu, karena jalanan terang benderang dengan lampu di kanan kirinya.
Satria menghentikan mobilnya.
“Ada apa Tuan?”
“Lihat, bukankah kamu mengenal dia?”
Nijah terkejut bukan alang kepalang.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDelete🌷💝🌷💝🌷💝🌷💝
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 22
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien
Sehat2 trs nggih Bu..
Salam Aduhai 🦋💐
🌷💝🌷💝🌷💝🌷💝
Alhamdulilah BTH 22 sdh tayang , Terima kasih bu Tien ,smg bu tien selalu sehat dan bahagia
ReplyDeleteCinta bowo yg tulus dan cinta Nijah yg ada rintangan dari Ristia...bgm ahirnya .. tunggu ya.. yg jelas ada air mata dan kekejaman yg menyakitkan
salam hangat dan aduhai untuk bu Tien...🙏🙏
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah....suwun bunda Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteSalam seroja dari Jogja 🙏
Apakah Wibowo akan pupus harapan untuk memiliki Nijah.dan Ristia juga akan ditinggal Andri.hanya Bu Tien yang bisa......Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien..sehat selalu..🙏
Matur Nuwun Bu Tien , Bowo kasian menunggu Nijah , semoga bisa ngobrol berdua , jadi deh degan
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Yg ditunggu sdh tayang...
Semoga bunda sehat selalu.. 🙏🙏🥰
alhamdulillah
ReplyDeleteSuwun
ReplyDeleteBowo...
ReplyDelete.😭😭😭😭😭😭😢😢
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Terima kasih bu Tien.
ReplyDeleteMakin seru, yg di motor itu pasti Bowo.... Apa yg akan terjadi ya.
Ristia dan Andri kebablasan gak ya bersenang-senang..
Salam sehat selalu bu Tien
Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH-21 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien BTH 22
Pasti Bowo nunggu Nijah...
ReplyDeleteSabaar ya Bowo..
Klo tdk jodoh gpp, semoga dpt gantinya..
Sblm janur kuning melengkung msh ada harapan..
Aduhai Nijah pasti galau..
Tambah penasaran nih...
Terima kasih bu Tien ... BTH ke 22 sdh hadir ... Mau baca dulu ah ... Smg bu Tien n kelrg bahagi n sehat sll ... Salam Aduhai buat semua PCTK
ReplyDeleteMalah Bowo yang ketahuan oleh Satria, saya kira Ristia yang ketahuan mengatur strategi untuk menghabisi Nijah.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah, mohon maaf Bu Tien gak tuntas tugasku.... Pusing juga menthelengi HP diatas goncangan mobil...,
ReplyDeleteAlhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Aduhaaii,, knp Bowo ada di situ ya
Semakin seru nih ,, msh ada besok ya
Salam aduhaaii
Alhamdulilah.. BTH22 sdh terbit, bikin penasaran.. Trm ksh bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Bowo membawa berita tentang rencana jahat Ristia.
ReplyDeleteTerima kasih bu tien cerbungnya. Salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih Bunda ...sudah hadir cerbung nya,dengan semangat trus ya bunda dan sehat selalu..
ReplyDeleteSampai rumah;
ReplyDeleteDihadang biker mau apa nich, kelihatannya Bowo tuh.
Lho Bowo nekat tuh, susah sekali mau nemuin Nijah sebentar saja sekedar meluapkan rasa rindu, jadi ingat andri yang cinta mati sama Ristia.
Rupanya dia juga merangkap citizen jurnalism, kok angèlmen tå, wartawan partikelir ngono waé simbah malah paham.
Tadi cuma muter-muter ke kafe terus pulang, tadi mobil aku ikutin lagi; pergi ketempat kafe yang sama èh aku lihat yang mengajak kamu berangkat sendiri, malah kini pergi berdua sama bos kafe masuk ke hotel berdua. Stycasion kata nya, orang lobi.
Wow
Berita itu didengar Satria, setelah tahu dirumah nggak ada, kata emaknya; kalian pergi terus Ristia ikutan keluar.
Gègèr gênjik; nyusul balik menurut berita yang disampaikan Bowo.
Kena dèh.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga taman hatiku yang ke dua puluh dua sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah...terimakasih Bunda
ReplyDeleteDuh kasihan Bowo.....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat njih Bu...
Alhamdulillah Bunga Taman Hatiku 22 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
Cerita ini semakin menarik dan menggemaskan, hanya ibu Tien yg tahu bagaimana akhir cerita ini. Selamat malam, marilah kita nikmati cerita selanjutnya.
ReplyDeleteHamdallah BTH ke 22 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Sehat wal Afiat dan selalu Semangat dalam berkarya. Aamiin.
ReplyDeleteKasihan Bowo, menunggu dan menanti di bawah pohon Kamboja.. datang lah... kekasih yang ku Cinta...😁😁
Sabar ya Bowo, Selama Janur blm melengkung, kamu msh punya kesempatan memiliki Nijah, apalagi saat ini Nijah lagi galau...😁😁
Klu bsk pagi Ristia jadi ngajak Nijah jalan jalan lagi...itu adalah kesempatan mu jadi Pahlawan...krn Ristia punya rencana akan menyingkirkan Nijah.
Siap siap jadi Pahlawan ya Bowo..😁😁
Salam hangat nan aduhai dari Jakarta
Waduh...memang ada y iblis yg cantik??🤣🤣
ReplyDeleteMatur nuwun hunda Tien.
Salam sehat selalu kagem bunda...
Kuatkan hatimu Bowo...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Terimakasih Bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Aduhai
Matur nuwun Bu Tien..,
ReplyDeleteMohon ma'af belum Pernah juara 1......