BUNGA TAMAN HATIKU 09
(Tien Kumalasar
Satria berhenti sejenak. Ia masih memegang gelas berisi air putih yang sudah diteguknya setengah. Tadinya ia mengira bahwa Nijah sedang mengigau, tapi masa mengigau begitu lama, seperti orang sedang berbicara. Terkadang ada tawa lirih Nijah terdengar. Penasaran, Satria mendekat ke pintu, menempelkan telinganya di pintu itu.
“Tidak, mereka sungguh baik, kecuali menantu keluarga ini, yang entah kenapa, selalu bersikap kasar sama aku. Tidak … aku tidak pernah … ooh… ya ampuun … (Nijah tertawa lirih) memangnya aku ini siapa sih, hanya orang kampung yang tidak menarik … Oh … hanya kamu yang bilang aku cantik … terima kasih banyak … aku pasti akan berhati-hati. Terima kasih Bowo, aku akan selalu mengingatnya. Baiklah, aku akan tidur, ini sudah lewat tengah malam. Kamu juga harus tidur … baik … jangan khawatir … “
Satria melangkah menjauh ketika kemudian tidak lagi mendengar Nijah berbicara. Sudah jelas Nijah sedang berbicara, dengan seseorang bernama Bowo. Hm, kenapa Satria menjadi tak senang? Ia meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja di ruang tengah, kemudian naik ke atas, masuk ke kamarnya. Ristia masih tergolek nyenyak, ada dengkur halus terdengar. Satria merasa beruntung Ristia tidak terbangun, kalau terbangun, pasti akan banyak pertanyaan dilontarkannya. Kamu kemana … kok lama … apa yang kamu lakukan … Tiba-tiba Satria merasa kesal kepada istrinya, yang terlalu menguasainya. Terlalu minta dituruti semua kemauannya. Terlalu manja. Terlalu berlebihan sikap bencinya kepada Nijah yang baru dikenalnya. Kemudian banyak sekali ‘terlalu’ yang mengusik perasaannya. Kemudian pula ia bertanya kepada dirinya, mengapa dia sangat mencintai istrinya, sehingga apapun yang dilakukan sang istri selalu benar menurutnya.
Satria merebahkan tubuhnya di samping istrinya, tapi kemudian terngiang suara Nijah ketika menyebut nama seorang laki-laki bernama Bowo. Ya Tuhan, gadis itu baru sehari di rumah ini, mengapa begitu cepat merebut perhatiannya? Hanya gadis kampung, yang pastinya tidak berpendidikan. Mengapa dirinya harus begitu memperhatikan? Satria memarahi dirinya sendiri, yang begitu saja gampang tertarik kepada kecantikan seseorang. O, tidak. Satria tidak gampang tertarik. Banyak temannya yang cantik. Teman waktu kuliah, karyawan di kantornya, banyak yang cantik, tapi ia tak begitu mudah tertarik. Saat hatinya terpaut pada Ristia kemudian ia tak pernah berpaling, karena hanya Ristia yang dicintainya. Tapi mengapa gadis kampung itu begitu menyita perhatiannya?
Satria tak bisa terlelap hampir menjelang pagi, dan terbangun ketika alarm di ponselnya nyaring berbunyi. Ia melompat dari tempat tidur, dan melihat ke arah Ristia yang tidak terusik oleh bunyi alarm yang berisik. Saatnya bersiap pergi ke kantor.
***
Ketika duduk di meja makan, Satria dengan leluasa bisa menatap Nijah yang melayaninya tanpa rasa kikuk. Bibik telah mengajarinya cara melayani majikan, baik sedang bersantai untuk minum-minum atapun sedang makan. Nijah memahaminya dengan sangat baik. Dia dengan cekatan mengambilkan apa yang diminta majikan.
“Tolong, tuangkan jus ke gelasku,” perintah Satria kepada Nijah, yang kemudian dengan cepat menuangkan jus di dalam kan besar, ke dalam gelas yang sudah di sediakan. Ketika ia meletakkannya di samping piring Satria, tiba-tiba Satria memegang gelas itu sehingga tangan mereka bersentuhan. Nijah terkejut, segera menarik tangannya agar tak terlalu lama bersentuhan.
Nijah mundur dan kembali duduk di kursi kecil di dekat meja makan, diam menunggu perintah. Satria selalu mencuri pandang. Kearah gelung rambutnya, ke arah leher jenjangnya. Mengapa gadis itu begitu luwes bersikap tanpa menonjolkan dandanan yang mencolok. Bahkan tak kelihatan dia berbedak, apa lagi bergincu atau berlipstik.
“Hari ini bapak tidak ke kantor. Nanti akan ada tamu yang akan berbicara tentang sebuah kerja sama. Dia dari ….”
Pak Sardono berhenti bicara, karena Satria tampak tidak mendengarkan apa yang dibicarakan. Entah dia sedang menatap apa. Dan pak Sardono heran ketika melihat tatapan anaknya tertuju kepada Nijah yang sedang menundukkan wajahnya.
“Satria.”
Satria terkejut, lalu menatap ayahnya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?”
“Apa Pak? Satria tidak memikirkan apa-apa.”
“Kamu dengar tidak, tadi bapak bicara apa?”
“Bapak bicara apa? Satria tidak mendengarnya.”
“Hmh. Pikiran kamu lari ke mana-mana.”
“Maaf. Padahal Satria tidak memikirkan apa-apa.”
“Kamu menatap Nijah terus menerus.”
Perkataan pak Sardono tidak hanya membuat Satria terkejut, tapi juga Nijah. Benarkah tuan muda ganteng itu menatapnya terus menerus? Nijah memalingkan wajahnya, pura-pura tidak mendengar, tapi wajahnya menjadi bersemu merah.
“Bapak ada-ada saja. Satria hanya melihatnya sekilas, soalnya belum lama dia berada di sini. Biasanya yang duduk di kursi itu adalah bibik,” kata Satria memberi alasan.
“Bapak tadi bilang, tidak akan datang ke kantor. Nanti ada tamu yang akan membicarakan masalah kerja sama, kamu yang harus menanganinya. Bapak sudah membicarakan sebelumnya. Jadi tinggal melanjutkan. Kalau dia setuju persyaratan yang bapak ajukan, oke lah, lanjutkan saja. Tapi kalau masih ada selisih pendapat, kamu bisa menelpon bapak, nanti bapak ke kantor.”
“Mengapa Bapak tidak ke kantor saja sekalian, sehingga pembicaraan bisa langsung selesai,” kata Satria.
“Tidak. Bapak terlalu lelah. Tidak bisa setiap hari ke kantor.”
“Lagi pula ini jadwal ayahmu kontrol ke dokter. Tekanan darah agak naik beberapa hari terakhir ini,” sambung ibunya.
“Baiklah, nanti akan Satria tangani sendiri.”
Acara makan pagi itu selesai dan Satria bersiap berangkat ke kantor. Ia masuk dulu ke kamar untuk berpamit kepada istrinya yang masih tergolek di ranjang seperti boneka yang saat di baringkan matanya merem, dan terbuka matanya saat didudukkan.
Ia hanya melambaikan tangannya, bahkan sang suami yang mencium tangan itu, karena mata bonekanya masih terpejam.
Satria keluar dari kamar, tanpa beban, karena sudah terbiasa dengan perangai sang istri.
***
Nijah sedang makan pagi di bangku dapur, bersama bibik, ketika bu Sardono datang mendekat.
“Oh, sedang pada sarapan ya?”
“Ya, Nyonya. Apa yang Nyonya inginkan?” bibik langsung berdiri.
“Tidak … tidak, lanjutkan saja, aku hanya ingin bicara sama Nijah,” kata bu Sardono masih dengan berdiri di dekat pintu.
“Nijah, apakah kamu bisa memasak sayur lodeh?”
“Tentu saja bisa, Nyonya.”
“Baiklah, Bik, nanti masak sayur lodeh sama urap sayuran, goreng bandeng presto ya.”
“Baiklah Nyonya.”
“Sayur lodehnya biar Nijah yang masak. Kalian mau ke pasar?”
“Baik Nyonya, nanti saya ajak Nijah ke pasar dekat situ, sayuran untuk lodeh harus beli yang segar. Keluwih sama daun so, ya Nyonya.”
“Ya. Uang belanja masih ada?”
“Masih cukup Nyonya.”
“Hari ini aku mau mengantarkan tuan kontrol ke rumah sakit. Kalau mau pergi, hati-hati, pintu harus dikunci.
“Baik, Nyonya.”
Bu Sardono segera meninggalkan dapur, membiarkan kedua pembantunya menyelesaikan makan paginya.
“Nijah, habis ini kamu mandi ya, kita akan ke pasar sebentar.”
“Jauhkah pasarnya?”
“Tidak. Kita berangkatnya bisa jalan kaki, pulangnya baru naik becak saja.”
“Baiklah.”
Bibik dan Nijah baru membersihkan dapur dan mencuci peralatan, ketika sebuah teriakan terdengar.
“Bibiiik, minumku mana?”
Bibik tak menjawab, tapi segera menyiapkan minuman untuk sang nyonya muda, dan menyiapkan roti bakar kesukaannya setiap sarapan.
Ketika kemudian Nijah mengantarkan kopi susu ke ruang makan, Ristia menatap Nijah dengan wajah keruh.
“Ini kamu, yang buat?”
“Bukan, Non, bibik yang membuat.”
“Ya sudah, jangan sampai kamu. Mana bisa kamu membuat minuman enak,” katanya seenaknya. Nijah diam, ia beranjak ke belakang, lalu setelah bibik selesai membakar roti dengan selai kacang, Nijah mengantarkannya kembali.
“Ini apa?”
“Roti bakar selai kacang, Non.”
“Aku tidak mau, aku mau selai coklat.”
“Baiklah.”
“Jangan kamu, biar bibik yang membuat,” teriaknya terdengar sebelum Nijah memasuki dapur. Bibik sudah mendengarnya, segera ia menyiapkan roti selai coklat dan membakarnya, dengan menggeleng-gelengkan kepala.
“Biar aku saja yang membawa, tolong selesaikan cuci piringnya,” kata bibik kesal.
Nijah menurut, dan memang dia ingin tak usah melihat wajah keruh itu lagi, setelah mendengar suara tak enak sebelumnya.
“Ini Non, roti bakar selai coklat.”
“Yang selai kacang tadi biar aku bawa saja. Siapkan di wadah yang bersih. Aku mau main tennis dengan teman-teman aku.”
“Roti selai kacangnya saja, yang akan Non bawa?”
“Ya, ini biar aku makan sekarang.”
Bibik beranjak ke belakang, tapi sebelum sampai di pintu, Ristia kembali menghentikannya.
“Kok sepi, mama pergi ke mana?”
“Mengantarkan Tuan, ke rumah sakit untuk kontrol,” jawab bibik yang kemudian melanjutkan langkahnya.
“Selalu merepotkan,” gerutu bibik sambil meletakkan dua sisir roti bakar selai kacang ke dalam wadah. Nijah tak menanggapinya. Ia hanya sibuk menyelesaikan pekerjaannya, mencuci piring dan perabotan, sebelum mandi, kemudian ikut bibik pergi ke pasar.
***
Bibik dan Nijah berangkat ke pasar, setelah lebih dulu Ristia pergi, yang katanya mau main tennis bersama teman-temannya. Tak ada yang mengacuhkan, Ristia mau ke mana, karena setiap hari dia memang pergi. Ada saja alasannya untuk pergi.
Nijah senang bisa berjalan-jalan ke pasar yang lebih besar dari pasar di kampungnya. Bibik hanya membeli beberapa sayur segar yang bisa awet kalau di simpan di kulkas, lalu bahan lodeh seperti tadi dipesan nyonya majikan.
“Bibik jangan lupa beli kelapa yang agak muda, karena tadi nyonya juga ingin urap sayur,” Nijah mengingatkan.
“Iya, kamu benar. Kita harus beli sayuran untuk urap, kecambah, dan mentimun. Dengan mentimun rasa urapnya lebih segar.”
Setelah cukup berbelanja, mereka keluar dari pasar dengan membawa belanjaan yang cukup banyak. Bibik melambaikan tangannya ke arah becak yang mangkal di depan pasar. Nijah membantu menaikkan belanjaan ke atas becak, ketika tiba-tiba seseorang memegang lengannya.
“Jah.”
Nijah dan bibik menoleh, lalu wajah bibik berubah kesal melihat siapa yang mendekat.
“Jah, apa kamu punya uang?” kata Biran tanpa malu.
“Apa?” Nijah merasa sungkan. Padahal bibik sudah tahu bagaimana kelakuan ayah tirinya. Nyonya majikan sering membicarakan kelakuan Biran ketika sedang ngobrol di dapur.
“Uang Jah. Lihat, kakiku terkilir, aku harus mencari tukang pijit,” kata Biran sambil menunjukkan kakinya yang dibalut perban. Entah kapan Biran membalutnya, atau memang benar terkilir, entahlah. Nijah pasti tidak tahu. Biran juga menunjukkan bagaimana ia berjalan terpincang-pincang.
“Aku tidak punya uang Pak. Baru bekerja dua tiga hari ini. Bapak jangan membuat Nijah malu dong.”
“Kenapa malu? Kamu itu anakku. Orang tua minta uang sama anaknya, mengapa harus malu,” kata Biran yang memang benar-benar tidak tahu malu.
“Biran, anakmu memang belum punya uang, kira-kira dong kalau minta uang. Nih, aku punya, hanya duapuluh lima ribu, ambillah. Kami harus buru-buru,” kata bibik sambil mengulurkan uang, kemudian naik ke atas becak, dan menarik lengan Nijah supaya segera ikut naik.
Bibik memberi isyarat kepada pengemudi becak agar segera pergi dari tempat itu. Biran meringis sambil menatap lembaran uang ditangannya.
“Lumayan, biar hanya duapuluh lima ribu,” desisnya sambil meringis, menunjukkan giginya yang kekuningan.
***
Bibik meletakkan belanjaannya di atas meja dapur. Ia memilah-milah mana sayur yang akan di masak hari itu, dan yang harus disimpan di kulkas terlebih dulu.
“Ganti dulu baju kamu dengan baju rumahan, sayang kalau terkena kotoran,” kata bibik.
Nijah memang memakai pakaian yang dibelikan Bowo, karena ketika Nijah tetap memakai baju bekas pemberian nyonya majikan, bibik mencelanya.
“Itu pakaian rumah, jangan dipakai keluar. Kalau nyonya tahu, pasti ditegur kamu.”
Nijah tersenyum. Beruntung dia punya baju bagus pemberian Bowo, jadi bisa dipakainya untuk belanja, yang sempat dipuji oleh bibik sebelum berangkat.
“Baju kamu bagus, Jah.”
“Oh, ini pemberian teman saya, Bik. Saya punya empat buah baju yang lumayan bagus, bagi saya.”
“Memang itu bagus. Kamu bertambah cantik memakainya,” puji bibik.
“Bibik terus memuji.”
Nijah masih tersenyum ketika mengganti bajunya dengan baju rumahan, pemberian nyonya majikan, lalu setelah mencuci kaki dan tangannya, dia membantu bibik di dapur.
“Jah, nyonya meminta kamu yang memasak sayur lodeh, jadi masaklah, aku buat bumbu urap nya saja.”
“Baik, Bik.”
Mereka memasak hampir tanpa bicara, padahal Nijah sudah menduga bibik akan membicarakan lagi ulah bapaknya tadi. Ternyata tidak. Rupanya kelakuan Biran sudah tidak lagi menjadikan bahan pergunjingan karena sudah biasa meminta atau meminjam uang.
Ketika selesai memasak, Nijah membantu menatanya di meja makan.
Saat sedang sibuk menata itu, tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkannya.
“Masak apa nih? Baunya sedap.”
Nijah menoleh, dan sepasang mata menatapnya dengan tajam.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien
ReplyDeleteKetika selesai memasak, Nijah membantu menatanya di meja makan.
ReplyDeleteSaat sedang sibuk menata itu, tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkannya.
“Masak apa nih? Baunya sedap.”
Nijah menoleh, dan sepasang mata menatapnya dengan tajam.
*****
_#Bersambung ke_10_
Siapa hayo yang datang ????
DeleteApkh Satria?? Tp kok sdh pulang ya?? Nebak aja pakde hehe..
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien
Salam sehat selalu...
Trmksh
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteHooree.... Dirgahayu NKRI
ReplyDeleteAlhamdulillah...terimakasih Bunda
ReplyDeleteMatur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang sudah tayang episode antaranya,, salam kangen dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteAlamdulillah akung Latief Sragentina sdh jaga gawang dadi bisa juara, coba jika gak dijaga pasti kancrit semua...
ReplyDeleteMatur nuhun bu Tien BeTeHa_9 sdh ditayangkan di hari Proklamasi ke 78 Kemerdekaan Indonesia. Dirgahayu Negriku, Jaya & sejahteralah Bangsaku.
Merdekaaaa !!! Terima kasih bunda tien ..smg tetap jaya dan melaju cerbung bth nya
ReplyDeleteππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 09
telah tayang.
Matur nuwun Bu Tien
Sehat2 trs nggih Bu
Salam Aduhai π¦π
ππππππππ
Sugeng ndalu bu Tien matur nuwun
ReplyDeleteIni tanda bahwa juragan muda kangen dengan pembantunya. Satria ya yang pulang saat jam kerja..
ReplyDeleteBahkan hatinya mulai terusik, istrinya memang banyak kekurangannya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Mgkn Satria skrg br menyadarinya..
DeleteKlo istrinya berkarakter aneh"...
Ingin tahu apa yang dilakukan Ristia diluar sana..
DeleteSatria yang baik mulai terbuka hatinya.... serruuu
ReplyDeleteterima kasih Mbu Tien... sehat sllu bersama keluarga tercinta
Alhamdulillaah tayang, makasih bunda
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien senantiasa diberikan kesehatan & bimbingan dari Allah SWT .... aamiin
Alhamdulillah BTH-09 sdh hadir
ReplyDeleteSatria kah yg datang?
Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
alhamdulillah
ReplyDeleteAphamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Terima kasih Bunda, eh tapi siapa kira " yang datang ? Satria kah ?
ReplyDeleteSaya kok nggak disebut ya...
ReplyDeletePadahal selalu hadir menikmati, walau tidak selalu nulis comment π€π€π€
Matur nuwun, mbak Tien.
Matur nuwun Bu Tien BTH 09 sampun tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteHamdallah BTH 09 telah tayang. Matur nuwun nggih Bu Tien semoga Ibu beserta Keluarga tetap Sehat wal Afiat dan bahagia selalu, Aamiin
ReplyDelete*Merdeka!!!*
Satria mulai tertarik pada gadis kampung.
Mau makan tak enak, mau tidur tak nyenyak, ke kantor pikiran tak bisa vokus. ππBayangan Nijah selalu mengusik dirinya.
Inilah kata Kata mutiara yang sering Ibu Tien sampaikan dalam setiap Cerbung nya. Note: Bunda Tien mhn ijin mengutip ππ
"Cinta tak pernah datang dengan permisi. Ia datang begitu saja, saat ingin datang, lalu menguasai hati dan jiwa, menjanjikan rasa bahagia". πΉπΉ( Ttd Tien Komalasari )
Satria oh Satria hati mu sedang di landa cinta. π
*Salam Merdeka dari Jatinegara - Jakarta*
Halo
ReplyDeletepara crigizer dapat salam untuk para crigizer semua.
Sehat sehat semuanya ya.
Malah ketahuan punya hapΓ© kan.
Diperjalanan kontrol kesehatan sang juragan, pak Sardono nyeletuk peristiwa pagi tadi.
Satria malah dicurigai bapaknya; diem diem Satria gerilya, rupanya mulai tertarik sama Nijah.
Lha belum jam istirahat cah bagus Satria balik kucing, langsung merasa lapar sampai dirumah, bau masakan yang menggugah selera, sambil menatap Nijah barusan naruh sayur lodeh dan menata di meja makan, mulai terusik rasa yang aneh, dipikiran Satria, penasaran; tanya Bowo tuh pacarmu ya..
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga taman hatiku yang ke sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat selalu π€π₯°
Hati2 ya Satria ,, jgn main api π€
Siapa yang datang tu?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Ceritanya makin asyik ya.
ReplyDeleteSatria terpanah asmara. Dapatkah dia mengontrolnya?
Ruwet2,tapi mengasikkan?
Sampai jumpa di episode yang akan datang.
Salam hangat selalu, sampai jumpa besok malam.
Knp Satria terpesona sm Nijah?
DeleteApkh krn di rmh selalu pke baju rumahan bekas ibunya??
Alasan klasik ya mb Rosie..
pdhl sdh terpanah asmara ππ
Terimakasih Bu Yien semoga sehat selalu Cerita Bunga Taman Hatiku semakin Aduhai
ReplyDeleteMakasih bu.. ceritanya jadi penasaran..salam dari negeri kincir angin
ReplyDelete