SEBUAH PESAN 42
(Tien Kumalasari)
Bu Rahman diam terpaku, ponsel masih digenggamnya. Hari masih pagi ketika itu, dan sebelum acara, para wisudawan harus sudah siap di lokasi. Pak Rahman yang juga sudah selesai melihat istrinya masih menggenggam ponsel dan tampak diam terpaku. Dari seberang, Raya setengah berteriak.
“Ibu, apa Ibu masih di situ? Raya harus segera berangkat.”
Karena ibunya diam, Raya langsung menutup ponselnya.
Pak Rahman heran melihat istrinya masih terdiam, apa sedang ada yang berbicara dan dia sedang mendengarkan?
“Bu, Ibu telpon sama siapa?”
Bu Rahman baru sadar kalau Raya sudah menutup pembicaraan mereka. Ia menatap suaminya dan melihatnya sudah rapi.
“Ibu telpon sama siapa sih?”
“Oh, itu … Raya. Menanyakan apa dia sudah siap,” katanya berbohong, sambil menutup ponselnya.
“Ibu menawarkan untuk nyamperin mereka tidak?”
“Tidak tuh.”
“Ibu bagaimana. Kalau mereka mau, kita samperin saja mereka, aku kira masih belum terlambat.”
“Bapak saja telpon sana, ibu mau menyelesaikan dandanan dulu.”
“Ya ampun, dari tadi belum selesai?” kata pak Rahman sambil memutar nomor ponsel Raya.”
“Ya Bapak?”
“Kamu belum berangkat? Bapak samperin ya, ini sudah mau berangkat.”
“Nggak usah Pak, mas Damian sudah memanggil taksi, tuh sudah datang taksinya.”
“Oh, kenapa tadi nggak bilang. Ya sudah, berangkat sana.”
Pak Rahman beranjak keluar kamar, melihat sopir sudah menunggu. Ia segera berteriak memanggil istrinya.
“Ayo Bu, buruan.”
“Iya, ini sudah selesai.”
***
Pak Rahman tampak bersemangat menghadiri wisuda Raya. Apapun yang terjadi, ia sudah bisa mengentaskan anak bungsunya dari perguruan tinggi. Dulu pernah terbersit untuk menyekolahkannya lagi ke jenjang yang lebih tinggi, tapi kemudian terbentur keinginannya segera menikahkan Raya, karena Raya sudah punya pacar.
“Pak, apa Bapak pernah mendengar, bahwa Damian itu punya kerabat di luar negeri?” kata bu Rahman tiba-tiba.
“Apa?” tanya pak Rahman terkejut.
“Itu, si Damian, atau Timan … punya kerabat di luar negeri kah? Jangan-jangan bule yang kita lihat di rumah makan itu.”
“Kata siapa?”
“Raya sendiri mengatakannya. Katanya perhiasan yang dipakai waktu makan malam itu memang mutiara dan emas murni.”
“Kok ibu masih memikirkan perhiasan yang dipakai sih? Seperti kurang kerjaan saja. Itu urusan yang nggak penting,” gerutu pak Rahman.
“Bukan begitu, ibu hanya menanyakan tadi, pakai perhiasan sendiri saja, jangan yang imitasi, ini kan acara istimewa buat dia.”
“Lalu Ibu mengatakan bahwa kalung yang dipakainya dan dilihat Ibu waktu itu adalah imitasi?”
“Ibu hanya meyakinkan, kalau imitasi jangan dipakai. Raya bilang, itu semua asli. Emas dan mutiara murni, hadiah dari kerabat Damian yang ada di Amerika atau mana, gitu, pokoknya luar negeri.”
“Karena Ibu suka usil, jadi malu kan, mengira imitasi ternyata murni?”
“Itu benar atau tidak sih?”
“Apanya? Masalah murni dan imitasi itu? Apa itu penting?”
“Bukan itu, masalah kerabat Damian itu. Apa kita pernah mendengar bahwa Damian punya kerabat orang bule?”
Pak Rahman diam sejenak.
“Kalau dipikir-pikir, mungkin juga ada keturunan bule, si Damian itu. Wajahnya yang ganteng, mancung hidungnya, tubuhnya tinggi besar. Kan beda dengan almarhum Timan yang kecil walaupun badannya tinggi. Yang mirip Timan hanya matanya. Tajam, menunjukkan bahwa dia pekerja keras.”
“Kok bisa ya.”
“Kenapa nggak bisa. Mungkin saja Timan itu punya keturunan Belanda atau orang Eropa, entahlah, atau istrinya. Kita belum pernah tahu seperti apa istri Timan. Katanya meninggal setelah melahirkan Damian.”
“Tidak disangka, keturunan bule?”
“Mungkin saja. Nama Damian itu juga bukan nama orang Indonesia asli kan?”
“Kalau nama sih, semua orang boleh saja memberi nama anaknya seperti anak orang bule. Biar keren.”
“Ya sudah, nanti kalau ketemu saja ditanyakan. Kita kan sebenarnya belum pernah berbincang secara mendalam tentang keluarga Damian. Tahunya hanya, bahwa Damian itu anaknya Timan, ibunya sudah meninggal. Sudah.”
“Apa benar ya?” bu Rahman masih bergumam.
“Ibu kenapa masih berpikir soal itu? Biar saja Damian itu keturunan siapa, yang jelas sudah menjadi suami Raya, menjadi menantu kita, dan sekaligus menjadi keluarga kita kan?”
“Tapi kenapa ya, dia miskin?”
“Ah, Ibu bicaranya semakin ngelantur. Sudah diam, kita hampir sampai.” kesal pak Rahman
***
Ketika mereka sampai di area kampus, tempat acara wisuda digelar, sudah tampak tamu undangan yang hadir. Raya juga sudah duduk berjajar dengan wisudawan lainnya di tempat yang sudah di sediakan.
Tiba-tiba bu Rahman melihat Damian yang tampak gagah dengan setelah jas biru pekat seperti yang dipakai saat menikah, berdiri dan berbincang dengan seseorang.
Damian tampak gagah dan menawan. Sebenarnya bu Rahman mengakui kalau menantunya itu sekilas tidak mengecewakan, tapi bagaimana kehidupan mereka sehari-hari, sangat membuatnya prihatin mengingat Damian hanyalah bekas tukang kebun yang tidak punya. Ia mengabaikan soal kerabat Damian yang ada di luar negeri. Memangnya kenapa kalau kerabatnya di luar negeri? Nyatanya hidupnya seperti kekurangan.
“Pak, ayo duduk. Bapak sedang melihat siapa?”
“Itu, Damian, Bapak mau memanggilnya agar duduk di dekat kita, tapi dia sedang berbincang dengan pak Rio. Kok bisa kenal ya?”
“Siapa, pak Rio?”
“Itu guru besar di sebuah Universitas Negri. Dia juga dosen Kamila.”
“Kok Damian bisa kenal dengan seorang dosen?” tanya bu Rahman yang ikut memandangi mereka. Lalu tampak dosen itu menepuk pundak Damian, entah berkata apa, kemudian dia berlalu ke arah depan. Damian mengangguk sambil merapatkan kedua telapak tangannya.
“Seperti kenal akrab,” gumam pak Rahman, yang kemudian melambaikan tangannya ke arah Damian, yang kebetulan sedang memandang ke arahnya.
“Bapak, kenapa harus memanggil dia?” omel bu Rahman.
Tapi kemudian Damian sudah bergegas mendekati, dan menyalami kedua mertuanya dengan penuh hormat.
“Dam, ayo duduklah di dekat kami,” ajak pak Rahman.
Damian mengangguk, padahal sebenarnya agak kurang nyaman berada di dekat bu Rahman, yang pasti nanti akan mengatakan sesuatu yang membuat telinganya sakit.
Mereka duduk berjajar, di baris kursi yang agak ke depan.
“Sebenarnya tadi kami mau nyamperin ke rumah kamu.” kata pak Rahman.
“Oh, kami naik taksi.”
“Senang akhirnya Raya sudah wisuda.”
“Kalau saja suaminya juga punya embel-embel sarjana,” celetuk bu Rahman, walau pelan tapi terdengar oleh telinga Damian.
Tuh kan, baru saja duduk sudah ada suara menyakitkan.
Pak Rahman menoleh ke arah istrinya, menatap tak senang. Bu Rahman pura-pura tak tahu.
“Dam, kamu tadi bicara sama pak Rio? Kamu kenal? Seperti sudah sangat akrab.”
“Oh … itu Pak, beliau itu … beliau itu … langganan bengkel,” jawab Damian sekenanya, padahal Damian adalah salah seorang mahasiswa yang menonjol di mata pak Rio, karena cerdas dan pintar.
“Ooh, langganan bengkel. Bukan teman, atau mahasiswanya,” bu Rahman nyeletuk lagi.
“Pak Rio itu dulu dosennya Kamila.
“Oh, iya Pak.”
“Dia ramah bukan? Sama kamu kelihatan sudah akrab. Pasti langganan bengkel yang sudah lama.”
“Iya, benar.” jawab Damian yang selalu singkat.
“Oh ya Dam, beberapa malam yang lalu, saat aku sama ibumu makan di sebuah restoran, melihat kamu dan Raya, bersama seorang laki-laki bule.”
“Oh, itu paman saya. Tepatnya, kakak dari ibu saya.”
“Oh, ibumu itu keturunan bule?”
“Ibu saya asli Amerika, tapi sudah meninggal saat melahirkan saya.”
“Ya, itu aku sudah pernah mendengar dari almarhum ayah kamu. Tapi bahwa ibumu orang Amerika, aku baru tahu.”
“Iya Pak.”
“Dia ke sini menengok kamu?”
“Ya, setelah saya mengabari bahwa saya sudah menikah.”
“Sekarang sudah kembali ke sana?”
“Hanya dua hari di sini, ada urusan.”
“Kamu tidak ingin pergi ke sana?”
Damian hanya tertawa pelan, sementara ia mendengar bu Rahman mendengus sinis.
Pembicaraan itu berhenti karena acara sudah dimulai. Ada sambutan-sambutan, diantaranya dari pak Rio, sebagai tamu kehormatan dari salah satu perguruan tinggi lainnya.
Damian sangat bangga melihat sang istri yang mengenakan toga, naik ke atas panggung, berjajar dengan wisudawan lainnya.
Bu Rahman bertepuk tangan keras sekali.
“Raya sangat membanggakan, harusnya …”
Bu Rahman urung melanjutkan kata-katanya karena pak Rahman menginjak sepatunya.
“Aduh ,.. Bapak nih.”
Ketika selesai, Raya setengah berlari mendekati suaminya, memeluknya erat dengan linangan air mata.
“Maafkan aku, tidak bisa sejajar sama kamu. Tapi aku bangga, bisa memiliki kamu, Ray,” bisik Damian, yang sengaja diperdengarkan pada ibu mertuanya.
“Tentu saja,” bisik bu Rahman sambil menunggu dipeluk putri bungsunya, yang berlama-lama berpelukan dengan suami tercintanya.
“Apapun dan siapapun kamu, aku tetap cinta sama kamu, Dam,” kata Raya yang masih bergayut di leher suaminya, dan mendengar ibunya kembali mendengus.
Ketika kemudian Raya memeluk ibunya, sang ibu menatap kalung bertahtakan butir-butir mutiara itu dengan seksama.
“Indah sekali, tapi bukan suaminya yang membelikan, mana dia punya uang yang cukup untuk membelinya?” kata batin bu Rahman, yang kemudian mencium pipi putri bungsunya.Tetap dengan pikiran buruk mengenai menantunya.
***
Walaupun masih mendengar suara sumbang yang menyakitkan dari ibu mertuanya, tapi Damian tak pernah merasakan sakit itu berkepanjangan. Ia hanya berharap, suatu saat sang ibu mertua akan benar-benar menurunkan restu bagi anak bungsunya. Hal itu pasti akan melengkapi kebahagian Damian dan istrinya.
“Maafkan ibu ya Dam. Masih saja dia berucap yang menyakitkan untuk kamu,” kata Raya saat sudah berada di rumah.
Damian memeluk istrinya.
“Aku tidak merasa sakit hati. Bukankah yang diucapkan adalah kenyataan?”
“Harusnya ibu tidak berkata begitu.”
“Sudah, jangan dipikirkan. Bagiku, yang terpenting adalah kamu. Asalkan kamu selalu ada didekatku, dan selalu mencintai aku, maka itulah karunia dan kebahagiaan bagiku.”
“Terima kasih Damian.”
“Raya, kenapa kamu cantik sekali sih?”
“Cantik dong, masa aku ganteng, Yang ganteng itu kan kamu.”
Keduanya terkekeh bahagia, saling mengungkapkan cinta mereka dengan manis.
Tiba-tiba ponsel mereka berdering, Raya yang semula merasa kesal karena dering itu mengganggu suasana manis mereka, segera wajahnya berseri ketika melihat siapa yang menelpon.
“Mbak Mila? Apa kabar Mbak?”
“Aku baik. Maaf ya, aku nggak bisa menghadiri acara wisuda kamu. Pasti sudah selesai dari tadi kan? Selamat ya Ray.”
“Terima kasih Mbak, nggak apa-apa, kasihan juga kalau Mbak datang, sementara ada adik bayi yang harus dijaga.”
“Iya benar, itu juga pertimbangan kami.”
“Oh ya Mbak, bagaimana kabar wanita bernama Juwita itu?”
“Oh iya, aku lupa mengatakannya, sudah teratasi kok. Kebetulan Rosa memang menginginkan seorang anak, jadi mereka sudah bisa bertemu dan bicara.”
“Tetap bayar tiga ratus juta?”
“Tidak, jauh dari tiga ratus juta. Mas Rama kan bisa menekan dia, dengan ancaman yang membuat dia takut. Kan dia penipu. Ya menipu mas Rama, ya menipu mas Abi. Aku pernah cerita sama kamu kan?”
“Iya. Syukurlah kalau begitu. Nanti aku akan mengabarkan Sari tentang hal itu, soalnya dia kelihatan sekali sangat perhatian. Kasihan bayi yang dikandung itu.”
“Siapa Sari? O, yang memberi kamu informasi tentang Juwita?”
“Iya, sebenarnya tetangga sebelah, tapi sekarang ikut suaminya di kampung. Nanti aku telpon dia.”
“Ya sudah, aku cuma ingin memberi selamat sama kamu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?”
“Entahlah. Pengin kerja, tapi dibolehin nggak ya sama Damian? Aku belum bicara apa-apa sama dia.”
“Lakukan yang terbaik, dan yang pasti harus seijin suami.”
“Iya, aku tahu.”
“Ya sudah, salam dari kami untuk Damian juga ya.”
“Wa’alaikum salam.”
***
Pagi hari itu Raya sedang bersih-bersih rumah, setelah Damian berangkat bekerja. Ia tak pernah memasuki satu kamar lain di rumah itu, yang katanya kamar almarhum ayah Damian. Bukan apa-apa, Damian mengatakan bahwa kamar itu biar Damian saja yang melakukannya. Karena dengan pertimbangan supaya tidak merusak tatanan di kamar itu, Raya menurut. Tapi pagi itu ia membuka kamar pak Timan, karena pintunya tidak terkunci dan setengah terbuka.
Raya melongok ke dalam, dan melihat ada setumpuk buku di atas meja.
“Kok ada buku-buku bertumpuk di situ?”
Raya membuka lebar pintunya, dan masuk ke dalamnya.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang
ReplyDeleteMakasih dah tayang bunda
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH PESAN~42 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..🤲
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteMaturnuwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Espe_42 sdh ditayangkan,
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, salam sehat dan sehat selalu.
Selamat jeng Sari Oesman juara 1 jam 19.38 WIB, disusul :
1. Kung Lati Sragentina;
2. Uti Engkas Kurniasih (mantan anggota);
3. Jeng Mimiet Cimahi, selebihnya lewat satu menit.
Sabar ya Damian..... toke wae olehe ngenyek morotuwamu wedok...... Sesuk Raya ajaken jalan-jalan nang Amrik????
Matur nuwun buuu
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien ...🙏
ReplyDeleteSehat selalu... 💪
Bahagia bersama keluarga tercinta ❤️
Salam Aduhai...😇
Berkah Dalem Gusti 🙏🛐
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Selamat malam bu tien, terima kasih cerbungnya, salam sehat dan tetap semangat
ReplyDeleteTrimakasih Bu Tien... alhamdulillah sdh tayang ... Salam sehat selalu
ReplyDeleteKerreeen,,, terima kasih Mbu Tien... semoga gak Raya gk kecewa dg niat baik Damian untuk memeberikan kejutan nya,,,,,,
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien
Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga
Alhamdulillah...
ReplyDeleteKetika Raya buka buka tumpukan buku, terseliplah buku tabungan (ayah) Damian. Lihat saldonya dan difoto, dikirim kpd ibunya. Maka terkejutlah bu Rahman dan.....
ReplyDeletePak Rahman kebetulan bertemu pak Rio dan dari beliaulah pak Rahman tahu, Damian termasuk mahasiswa brilian.
He he he he...ngarang sendiri untuk menghibur diri, dari pada sewot mikirin bu Rahman yang suka nyinyir.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Setuju 100%
DeleteBisa juga ketika membuka buka buku, Raya berkesimpulan bahwa Damian sedang kuliah.
DeleteAlhamdulillah SP-41 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulilah..
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah akhirnya bisa masuk dari tadi error terus
ReplyDeleteAlhamdulillah.... terimakasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah SP~42 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..🤲
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteCeritanya menarik, Mbak Tien memang luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien....
Ceritanya aduhai, membuat penasaran. Terima kasih mbak Tien Kumalasari smg sehat²
ReplyDeleteMulai terbuka rahasia Damian, sedikit demi sedikit, lama lama menjadi nyedit.
ReplyDeleteTernyata buku literatur yang diperlukan bagi mahasiswa yang kuliah, antara ingin tahu tapi takut ketahuan karena melanggar larangan; wis konangan bojoné kåyå joko tarup nyimpen rahasia mencurigakan, apa itu artinya Damian kuliah?!
Nggak tahu apalagi yang ditemukan Raya.
Tadi pak Rahman juga menanyakan, katanya cuma langganan di bengkel.
Pakai disortir lagi assesoris yang dipakai Raya. Tuh maknya mesthi rajin menelisik, buat bahan mencibir tukang bengkel; nggak peduli perasaan anaknya, bisa malah membuat jadi penyakit, karena memendam permasalahan yang nggak penting tapi selalu di usik maknya.
Saking asyiknya lupa ngabari Sari; kalau masalah Juwita sudah bisa diatasi.
Dan
Saking asyiknya sampai lupa waktu.
Ternyata kamar bapaknya buat bungker pendêlikan jati diri Damian
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang ke empat puluh dua sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Apa itu pendelikan yaaaaa.....
DeleteLain dengan mendelik yaaa...
DeleteBèn melu mendêlik tå yå.
DeleteMakin asyik nih.....
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sampun tayang gasik epsd 42, cerita yg membuat gemes sama si ibu Rahman hehehe...Salam sehat dan tetep semangat inggih, dariku di Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteAlhamdulillah SP 42 sudah hadir...
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda Tien cantik.
Semoga sehat selalu 🌹🌹🌹
Terima kasih bu tien , sp 42 sdh tayang ... salam sehat dan aduhai bunda tien.... makin penisirin kelanjutannya...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien. Hehe....Bu Rahman kok njelehi banget to Bu....
ReplyDeleteSugeng Ndalu Bu Tien Komalasari... Selamat ber Malam Jumat nggeh. Mature Nuwun SP ke 41 telah tayang. Semoga Ibu
ReplyDeletebeserta Keluarga di Solo selalu di Rahmat ti Allah SWT. Aamiin.
X ini Bu Rahman kena shock therapy.. hanya bisa diam dan tak bisa bicara, ternyata Perhiasan yang Raya pake adalah Asli alias bukan Imitasi.
Sebenar nya Bu Rahman mengakui klu Mantu nya tdk mengecewakan ( tampan dan gagah), tetapi sifat Arogan nya yng blm mau menerima.
Mungkin nnt klu Damian sdh selesai, berpura pura jadi orang miskin, bisa jadi mau terima.
Salam hangat dan Aduhai dari Jakarta
Terima kasih Bu Tienku
ReplyDeleteAlhamdulillah....matur nuwun Bu Tien Damian sampun tayang..
ReplyDeleteSalam sehat sll
Mb Tien ....
ReplyDeleteAku gemeeeeees banget karo bu Rahman ....
Maturnuwun mbak SPnya ....
Seruuuuuuuuuu banget critane ...
Waduh masa sudah konangan klo Damian mau kuliah...?😚😁
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..
🙏🙏
Sehat selalu kagem bunda Tien...
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin seru ceritanya.
Akhirnya Raya tau kalau Damian mahasiswa.
Salam hangat selalu. Aduhai
Alhamdulillah bisa kunikmati lebih awal SP 42 yang semakin buat penasaran. Terimakasih Mbak Tien, semoga selalu sehat dan salam literasi dari Ira Isvandrya di Purwokerto.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhandulillah, matur nwn bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAkhirnya Raya akan tahu Damian kuliah .... terimakasih Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, salam sehat selalu...
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, SP 42 sudah hadir...
ReplyDeletesehat selalu ...
Bahagia bersama keluarga tercinta...
Aduhai selalu ...
Berkah Dalem Gusti ...
Menanti... menanti SP 43
ReplyDeleteDatangmu..kekasih yang kucinta
ReplyDeleteNgintip2 blm muncul juga
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien semoga selalu sehat, juga semua sahabat PCTK dimana saja berada!
ReplyDelete