SEBUAH PESAN 24
(Tien KUmalasari)
Bu Rahman langsung masuk ke dalam dapur, berdiri diantara Raya dan bik Sarti. Wajahnya sangat keruh. Ditatapnya Raya dengan pandangan tajam.
“Kamu bicara tentang Damian? Damian bekas tukang kebun kita?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Eh, nggak tahu ,,, kalau ada Ibu,” kata Raya yang sangat kaget.
“Apa maksudmu? Jadi kamu menyembunyikannya dari ibu? Ada hubungan apa kamu sama Damian?”
Raya menunduk kelu, dadanya berdebar, tak tahu harus menjawab apa.
“Sarti!” hardiknya kepada bik Sarti.
“Ya Nyonya,” tangan bik Sarti yang sedang memegang panci gemetar dibuatnya.
“Katakan ada hubungan apa antara Raya dan Damian? Mengapa Raya bilang kepada kamu kalau mau membawa Damian kemari?”
“Saya … saya … hanya … hanya … eh, saya … tidak tahu, Nyonya,” jawab bik Sarti yang ketakutan sehingga jawabannya tidak karu-karuan.
“Raya! Kamu kan mendengar pertanyaan ibu? Kenapa diam? Kenapa kamu mau membawa Damian kemari?”
Raya mengangkat wajahnya, dengan matanya yang basah. Ia merasa sudah berdiri di depan sebuah tembok, dimana dia tak akan bisa lagi lari atau menghindar.
“Jawab!”
Raya mengusap matanya.
“Raya mencintai Damian, Bu,” katanya lirih.
“Apaaa?” teriakan bu Rahman seperti akan meruntuhkan seisi dapur. Bahkan bik Sarti gemetaran, dan tubuhnya merasa lemas.
“Maaf, Bu.”
Raya kembali menunduk, air matanya menetes ke lantai.
Bu Rahman mencengkeram lengan Raya, ditariknya dengan kasar agar masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah bu Rahman menghempaskan tubuh Raya di atas sofa.
“Kamu sadar akan apa yang kamu lakukan?” hardiknya sambil duduk di depan Raya. Matanya menyala, bagai menyemburkan api, menunjukkan bahwa kemarahan sudah berada di ubun-ubunnya.
“Maaf Bu,” Raya berbisik lirih, air matanya kembali menetes.
“Apa maksudmu minta maaf? Coba ulangi lagi kata-kata kamu tadi. Ada apa kamu dengan Damian?”
“Raya … sungguh … mencintainya Bu,” isak Raya.
“Dasar tukang kebun tak tahu diuntung. Memangnya dia itu siapa? Berani-berani berhubungan cinta dengan anakku?” teriak bu Rahman sambil meraih ponselnya.
“Bukan salah Damian bu,” kata Raya yang tak ingin ibunya memaki Damian.
Bu Rahman diam saja, ia sedang menunggu suaminya mengangkat telpon panggilannya. Lalu dia minta dengan suara tandas agar sang suami segera pulang.
“Memangnya ada apa Bu? Aku sedang rapat.”
“Pokoknya Bapak harus pulang, Sekarang. Persetan dengan rapat itu.”
“Ada apa? Ada yang sakit?” tanya pak Rahman khawatir.
“Raya yang sakit.”
“Sakit apa? Tolong bawa saja ke dokter, aku selesaikan rapat ini dulu.”
“Bukan sembarang sakit.”
“Apa maksud ibu?”
“Jiwanya yang sakit. Bapak jangan banyak pertanyaan, pokoknya pulang, agar segera tahu permasalahannya.”
Bu Rahman menutup pembicaraan itu tanpa menunggu jawaban suaminya. Didepannya, Raya sibuk mengusap air matanya.
“Bu, salahkah aku jatuh cinta pada Damian?” katanya lirih.
“Salah besar!! Bodoh! Ngawur! Kamu sadar, dia itu siapa?”
“Raya tahu dia itu siapa, dia sangat baik dan_”
“Diaaamm!”
“Bu, Raya cinta sama dia …” Raya terus mengucapkannya sambil terisak.
“Tukang kebun itu memang benar-benar kurangajar. Dia keluar supaya bisa dengan bebas merayu anakku!”
“Tidak Bu, dia sebenarnya ingin menghindari Raya.”
“Kamu tidak usah membelanya. Buktinya kamu bermaksud membawa Damian menemui orang tua kamu, jadi sudah sejauh apa sebenarnya hubungan kalian?”
“Raya sangat mencintai dia.”
“Hentikan!”
Sementara itu mobil pak Rahman sudah memasuki halaman. Tak berapa lama pak Rahman masuk ke ruang tengah dengan wajah khawatir.
“Raya sakit apa? Mengapa menangis?”
“Bapak …” isak Raya.
Pak Rahman duduk di samping Raya, memegang kening Raya.
“Kamu sakit apa?”
“Kan aku sudah bilang kalau dia sakit jiwa?” kata bu Rahman.
“Bu, jangan begitu. Anak sendiri dibilang sakit jiwa,” tegur pak Rahman sambil terus menatap Raya.
“Ada apa Ray?”
Lalu dengan berapi-api bu Rahman mengatakan bahwa Raya jatuh cinta pada Damian. Membuat pak Rahman tertegun.
“Apa benar apa yang dikatakan ibumu?” pak Rahman berkata lebih pelan.
Raya menubruk ayahnya, terisak di dadanya.
“Salahkah Raya mencintai Damian?”
“Apa yang bersama kamu saat pesta pernikahan kakak kamu itu Damian?”
“Iya.”
“Apa kamu sadar akan apa yang kamu lakukan?”
Raya masih terdiam.
“Salahkah Raya mencintai Damian?”
“Salah besar!!” sahut bu Rahman keras.
Pak Rahman menghela napas. Memang Damian sosok laki-laki gagah dan wajahnya sangat ganteng. Barangkali banyak wanita tertarik sama dia. Hanya saja, Ia tak mengira, anaknya jatuh cinta sama dia.
“Maaf Pak.”
“Sudah lama kamu pacaran sama dia?” pak Rahman masih bisa berkata halus, berbeda dengan bu Rahman yang menumpahkan kemarahannya dengan berapi-api.
“Raya tidak pacaran sama dia.”
“Lalu … apa?”
“Raya jatuh cinta sama Damian, tapi Damian ketakutan.”
“Jadi kamu tergila-gila sama gembel itu, sedangkan dia tidak? Kamu tidak tahu malu ya?” bu Rahman kembali menyemprotkan kata-kata kebenciannya.
Raya tak menjawab. Tapi kemudian pak Rahman bisa mengerti. Pastinya Damian juga suka sama Raya, tapi dia pasti tak berani mengingat kedudukannya. Mana mungkin Damian tidak suka sama Raya yang cantik dan menawan?
Tapi pak Rahman kan juga manusia biasa. Tetap saja dia harus menghitung-hitung, siapa dan seperti apa calon menantunya.
“Raya, jatuh cinta itu memang tidak salah, tapi kamu juga harus memikirkan kehidupan kamu selanjutnya,” kata pak Rahman.
“Dia ingin jadi gembel,” sahut bu Rahman, yang kemudian diam ketika pak Rahman menatapnya tajam, berisi teguran.
“Apa kalian bicara tentang pernikahan sama dia?”
“Tidak … belum …” jawab Raya lirih. Mana mungkin Damian berani bicara soal pernikahan. Setiap ketemu dia selalu minta agar semua ini dihentikan.
“Belum? Apa maksudnya belum? Berarti nanti akan ada niat untuk itu?” teriak bu Rahman lagi.
“Raya, sebaiknya kamu pikirkan lagi, agar tak ada kelanjutan dari hubungan ini,” kata pak Rahman.
“Raya tidak bisa,” Raya kembali terisak.
“Apaaa?” bu Rahman berteriak lebih keras.
“Maafkan Raya.”
“Tidak boleh, aku tidak mau menjadikan Damian sebagai keluarga.”
Raya berdiri, kemudian berlari ke kamarnya.
“Anak itu sungguh keterlaluan,” omel bu Rahman.
“Bu, memberi tahu itu tidak usah dengan berteriak. Bicara dengan lebih halus, kan malah bisa masuk ke dalam hati.”
“Siapa yang tidak marah pak, anak kita jatuh cinta sama gembel itu.”
“Jangan menyebutnya gembel lah Bu, dia juga manusia. Dia tidak bersalah.”
“Tidak bersalah apa? Dia berani memikat anakku dengan gayanya yang sok gagah sok ganteng. Memuakkan.”
“Raya sendiri bilang, Damian tidak berani menerima cinta Raya.”
“Itu kan kata Raya. Dia pasti melindungi gembel itu.”
“Jangan menyebutnya gembel!” Kata pak Rahman agak keras, membuat bu Rahman diam.
“Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan amarah. Nanti pelan-pelan kita beri pengertian dia, bahwa langkahnya salah, bahwa pilihannya kurang tepat. Dan jangan lagi Ibu berkata kasar. Aku tidak suka,” kata pak Rahman sambil berdiri.
“Bapak mau ke mana?”
“Kembali ke kantor. Masih ada urusan,” kata pak Rahman sambil berlalu, membiarkan bu Rahman menahan kesal sendirian.
***
Raya membaringkan tubuhnya di ranjang, menutupi wajahnya dengan bantal. Tangisnya belum juga berhenti. Ia sudah tahu bagaimana reaksi sang ibu yang mendengarkan sebaris kalimat yang diucapkannya pada bik Sarti. Lalu dia merasa memang seharusnya segera berterus terang. Sudah diduga, dan Damian pun tahu, bahkan Kamila sudah pernah mengatakan bahwa akan terjadi huru hara kalau orang tuanya mengetahui keadaan tersebut.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Raya tak ingin mengangkatnya, tapi dering itu tak hendak berhenti. Raya meraih ponselnya, dan melihat di layar, siapa yang menelpon. Raya mengusap air matanya, menarik napas panjang untuk mengurangi suara serak tangisnya, saat menjawab.
“Ya Mbak Mila.”
“Raya, susah sekali menelpon kamu. Kemarin juga aku menelpon, ponselmu mati. Ibu bilang, kamu sedang keluar. Kamu menemui Damian?” kata Mila bertubi-tubi.
“Iya, hanya sebentar.”
“Kenapa suaramu terdengar sengau? Kamu habis menangis?”
“Bapak sama ibu sudah tahu.”
“Sudah tahu soal apa?”
“Aku, dan Damian.”
“Ya Tuhan. Rame dong.”
“Ibu sangat marah. Bapak masih bisa berkata halus.”
“Kamu buru-buru ingin bilang sama bapak dan ibu?”
“Tidak, sebetulnya. Aku sedang omong-omong sama bik Sarti tentang Damian, ternyata ibu mendengarnya. Kepalang basah, aku bilang bahwa aku cinta sama dia.”
“Raya, kamu memang nekat. Seharusnya kamu sudah tahu bahwa orang tua kita tak akan suka.”
“Mengapa jatuh cinta harus membedakan status seseorang?”
“Memang sih, secara teori, hal itu sah-sah saja. Tapi pada kenyataannya, orang tua tidak bisa begitu saja menerima menantu pilihan anaknya. Banyak lah pertimbangan yang dipikirkannya. Bisa status, bisa asal usulnya, bisa seberapa kemampuannya untuk menghidupi anaknya. Tak ada orang tua yang ingin anaknya hidup kekurangan, bukan?”
“Tapi aku siap menjalani hidup sederhana bersama Damian. Aku akan bekerja, aku percaya semuanya akan baik-baik saja.”
“Tidak semudah itu Raya. Boleh saja kamu berangan-angan, tapi ada saatnya kamu akan menyesal.”
“Mengapa Mbak berkata begitu?”
“Kamu sudah biasa hidup berkecukupan. Makan, pakaian, dan semua keinginan akan terpenuhi. Rumah mewah, tidur nyaman. Bisakah kamu menjalani hidup sederhana yang pastilah akan berbeda jauh dengan kehidupan kamu sekarang?”
“Bagaimana kalau aku katakan bahwa aku bersedia?”
“Raya, kamu masih terbawa emosi. Kamu harus memikirkannya lagi lebih mendalam.”
Kamila menutup pembicaraan itu dan berpikir tentang kehidupannya sendiri. Hidup sederhana, tapi bahagia, dengan suami yang setia apakah lebih baik daripada dirinya, yang hidup berkecukupan dengan sederet luka karena perilaku suami yang menyakitkan.
Memang benar, Abi sudah minta maaf dan berusaha menenangkan hatinya. Tapi bayangan wanita hamil itu selalu mengganggunya. Semuanya tak cukup dengan kata maaf, dan dia belum bisa memaafkannya.
Hari-harinya dilalui dengan rasa keragu-raguan. Ia melayani suaminya seperti apa yang menjadi kewajiban seorang istri, tapi tidak dengan hatinya. Abi bukannya tak tahu bahwa ada luka di hati istrinya, dan dia selalu berusaha untuk menenangkannya dengan segala cinta yang dimilikinya.
“Kamila, sayang, jangan cemberut terus dong, aku salah, dan sudah memimnta maaf. Apa kamu tidak akan memaafkan aku selamanya?”
“Mas sudah mengaku bahwa pernah berhubungan dengan dia, tapi Mas tidak bilang bahwa Mas sudah menikahinya.”
“Benar, aku salah. Aku terpaksa menikahinya karena aku bertanggung jawab pada janin yang dikandungnya. Aku merahasiakannya sama kamu, karena aku takut kehilangan kamu. Aku harap kamu mengerti.”
Selalu itu yang dikatakan Kamila, dan selalu itu pula jawaban Abi.
Tadi dia ingin membagi kesedihannya dengan Raya, tapi Raya sendiri ternyata sedang ada masalah. Akhirnya Kamila mencoba menenangkan dirinya sendiri, walaupun teramat susah.
***
Hari itu Kamila ingin belanja keluar, karena merasa bosan di rumah. Abi pernah mengajaknya ke sebuah mal ketika mereka sedang belanja berdua. Tapi kali ini Kamila belanja sendirian.
Ada kebutuhan dapur yang ingin dibelinya. Ia juga butuh stok daging dan sayur untuk kebutuhan memasak setiap harinya.
Kamila sedang memilih-milih sayur, ketika seseorang menyapanya.
“Kamila?”
Kamila terkejut. Yang menyapa adalah Rosa, sahabatnya.
“Rosa, kamu ?”
“Kamu tinggal di sini sekarang, mengikuti suami kamu?”
“Iya, rumah kamu di mana?”
“Dekat dari sini, setelah belanja, ke rumahku ya? Aku sendirian, karena suamiku bekerja.”
“Bagus sekali, aku sedang ingin punya teman, karena aku juga sedang sendirian.”
”Kamu bawa mobil?”
“Tidak, aku naik taksi.”
“Baiklah, nanti naik mobil aku saja, setelah kita puas ngobrol, aku antarkan kamu pulang.”
“Ya, tentu. Aku selesaikan belanja aku dulu ya.”
Dan keduanya belanja sambil mengobrol, dilanjutkan di rumah Rosa setelah mereka selesai belanja.
***
Rumah Rosa tidak begitu besar, tapi indah dan nyaman, dengan perabotan modern yang menawan. Seperti dirinya, Rosa sendirian saja ketika suaminya tak ada di rumah.
“Kamu belum punya anak?” tanya Kamila.
Tiba-tiba Rosa menampakkan wajah sedih.
“Aku mandul.”
“Oh ya? Sudah periksa ke dokter?”
“Sudah, itu sebabnya aku tahu bahwa aku tak mungkin bisa mengandung.”
“Ikut prihatin ya Ros,” kata Kamila sambil memeluk sahabatnya penuh rasa empati.
“Bagaimana dengan suami kamu?” tanya Kamila.
“Untungnya dia baik, dan selalu menghibur aku, bahwa aku tak usah kecewa. Kami berencana akan mengadopsi dari panti asuhan.”
“Syukurlah kalau suami bisa mengerti.”
“Tapi ternyata dia tidak sebaik dugaan kamu.”
“Maksudnya?”
“Dia selingkuh dengan seorang perempuan bernama Juwita.”
Kamila terbelalak.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDelete*Selamat malam...*
Delete*Bunda Tien terima kasih..*
*Semoga Bunda sehat selalu...*
*Dari Sulawesi hadir..*
๐๐๐❤๐
Hallo Sulawesi, ini Rinta apa Rinto, sama kah?
DeleteHallo Bundaku Tien... Selamat pagiii...
DeleteKangen Bunda...
Semoga Bunda sehat selalu
Aamiin...
Bunda Terima kasih novel baguuus banget..
Saya hadir njih Bunda...
Berharap Kejora Pagi rame lagii
Semangat Bunda Tien..
Sampai jumpa di episode 25
Salam aduhaiiii
๐๐๐๐❤
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete๐๐พ๐๐พ๐๐พ๐๐พ
ReplyDeleteAlhamdulillah eSPe 24
sudah tayang...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
๐ฆ Salam Aduhai ๐ฆ
๐๐พ๐๐พ๐๐พ๐๐พ
Sugeng ndalu bu Tien matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah....suwun bunda Tien
ReplyDeleteYeeeees.....
ReplyDeleteAlhamdulillah.... trimakasih bu Tien , Salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ๐น๐น๐น๐น๐น
Alhamdulillah, maturnuwun Bunda
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun sampun tayang episode 24, salam sehat dan salam aduhaai untuk panjenengan, wassalam...
ReplyDeletematurnuwun bunda
ReplyDeleteTerima kasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien...
Alhamdulillah ..matur sembah nuwun mbak Tien
ReplyDeleteSehat selalu
Terimakasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah SP-24 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Lha Juwita jg wilnya suaminya Rosa..??
ReplyDeleteBlaen²...๐ฉ
Matur nuwun bunda Tien...๐๐
Suwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteSudah diduga, pasti bu Rahman marah besar mendengar pengakuan Raya. Tapi tunggu... Damian akan kuliah dulu dan menjadi pengusaha sukses.
ReplyDeleteAda penipu berotak miring rupanya. Kalau Mila dan Rosa dapat bekerja sama dengan baik, Juwita dapat masuk penjara.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah sp 24 sdh tayang ... wah tambah seru nih raya yg sdg sedih dan selingkuhan abi dan suami rosa sama.... makin penasaran. Salam hangat dan asuhai juga dari pondok gede bu tien
ReplyDeleteMatur suwun ibu Tien , semoga selalu sehat dan tetap Aduhaaiii
ReplyDeleteWaaah... apkh suami Rosa selingkuh dg Juwita yg sama dg yg pernah dtg menemui Kamila?
ReplyDeleteTambah seruu dan tambah pinisirin... tunggu bsk lg...
Tks bunda Tien..
Semoga bunda selalu sehat dan bahagia
Salam aduhai.. dr sukabumi.. ๐๐๐น❤️
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteAduhai...salam sehat selalu
Alhamdulillah SEBUAH PESAN~24 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..๐คฒ
ReplyDeleteSelamat malam bu tien, salam sehat
ReplyDeleteCeritanya tambah seru. Matur nuwun Bu Tien.....tetap sehat njih Bu....
ReplyDeleteOh Juwita lagi....
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Pada akhirnya Damian yg direndahkan ternyata jauh lebih baik daripada Abi yg diunggulkan kel.Rahman. Terima kasih, ibu Tien...sehat selalu.๐๐๐๐
ReplyDeleteTrm ksh bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun bu Tien smoga sehat slalu
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien, Kejora pagi ..oh Juwita...
ReplyDeleteJumpa sahabat ditengah masalah menyengat Kamila, ternyata ada nama yang disebut Rosa sebagai pengganggu.
ReplyDeleteApakah itu orang yang sama atau samasekali beda; ada sedikit harapan menyelamatkan keluarga kecilnya.
Menghadapi artis yang lagi naik daun rupanya.
Benarkah itu darah dagingnya Abi, ada bermacam pertanyaan dibenak Mila.
Bisa jadi Juwita pengepul dana jaminan sosial buat masa depan 'janin' yang dikandungnya; sabet sana sini, wau kรชrรจn.
Raya masih berpendirian cinta nya harus diperjuangkan, kepalang basah; uang bisa dicari dengan usaha, menaikan kasta kata orang sok gengsi.
Adakah kebijakan sang ayah mendengar penuturan Raya, ini bukan minta mainan lagi, itu anak kalau nggak kesampaian bisa sakit menahun.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang ke dua puluh empat sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien SP 23 sdh tayang.
ReplyDeleteSalam sehat selalu aduhai dan siip.
Tuhan memberkati ksrya2 ibu Tien.๐
Selamat pagii bunda..terima ksih sp nya..slm sht sll dan tetap aduhai๐๐๐น
ReplyDeleteJuwita...apa orang yg sama?
ReplyDeleteApa memang udah profesinya?
Makasih mba Tien.
Sehat selalu ,tetap semangat. Aduhai