CINTAKU BUKAN EMPEDU
02
(Tien Kumalasari)
Aliyah sungguh ketakutan. Ia berada di dalam kamar
yang tidak begitu besar, tapi kamar seorang laki-laki, dan tampaknya pemilik
kamar itu ingin melakukan sesuatu padanya. Pastilah sesuatu yang buruk. Aliyah
sudah siap berteriak ketika kemudian laki-laki itu mundur kembali sampai mepet
ke pintu.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya laki-laki itu sambil
tersenyum. Ia sadar, gadis yang ditolongnya ketakutan
“Apa yang akan kamu … lakukan?” Aliyah ganti bertanya,
dengan suara gemetar.
Laki-laki itu tertawa, menampakkan sederet giginya
yang putih. Matanya tampak teduh, membuat rasa takut di hati Aliyah kemudian
luluh.
“Kamu tidak perlu takut. Aku yang membawamu ke mari,
saat kamu hampir pingsan di depan rumah makan itu.”
Aliyah memutar ingatannya, saat dia tak
merasa apa-apa, ketika kemudian ia sadar semuanya menjadi gelap. Dalam setengah
sadar, seseorang memapahnya berjalan, lalu entah bagaimana, kemudian
saat dia sadar, dia sudah berada di kamar itu.
“Kamu … menolong aku?”
“Kamu tampak pucat, aku tidak membawa kamu ke dokter,
ini rumah dimana aku menyewa sebuah kamar, untuk diri aku sendiri. Tapi kalau
kamu merasa sakit, aku akan mengantarkan kamu ke dokter.”
“Tidak … tidak, aku tidak sakit,” kata Aliyah yang
kemudian turun lagi dari tempat tidur.
“Sekarang apa yang kamu inginkan? Di mana rumahmu?”
“Aku … sebenarnya … lapar,” kata Aliyah lirih, lalu
kehilangan rasa malu karena perutnya benar-benar ingin diisi.
Laki-laki itu tertawa lebar. Aliyah menatapnya, dan
mengakui bahwa laki-laki itu ganteng dan berwajah ramah. Rasa takut sudah
hilang, ketika kemudian laki-laki itu menghilang dibalik pintu. Aliyah masih
merasa lemas, tapi dengan beberapa teguk air, rasa lemas itu sudah berkurang.
Ia ingin keluar dari kamar itu, tapi hampir saja dia menabrak laki-laki tadi,
yang tiba-tiba masuk ke dalam.
“Uff, kamu mau ke mana?”
“Pulang,
biarkan aku pergi,” katanya pelan.
“Kembalilah duduk, aku membawa makanan untuk kamu,”
kata laki-laki itu sambil meletakkan bungkusan yang sudah berada di atas
piring.
Aliyah mundur, lalu duduk di kursi. Satu-satunya
kursi yang ada di kamar itu.
“Makanlah, jangan takut, aku tidak akan mengganggu
kamu,” kata laki-laki itu sambil beranjak keluar kamar. Tapi kemudian dia membalikkan
tubuhnya.
“Oh ya, namaku Pinto. Namamu siapa? Kita kan belum
berkenalan?”
“Aliyah,” katanya sambil melirik ke arah bungkusan
yang entah apa isinya.
“Aliyah, sekarang makanlah, aku menunggu di luar,”
kata Pinto yang kemudian benar-benar keluar dari kamar.
Aliyah bersyukur, ternyata laki-laki bernama Pinto itu
bukan orang jahat, atau laki-laki yang ingin memanfaatkan keadaannya saat tidak
sadar. Ia sudah memeriksa semua pakaian yang dikenakannya, yang masih utuh tak
terusik. Syukurlah.
Ia memutar duduknya, menghadap ke arah meja, lalu
membuka bungkusan yang diletakkan Pinto. Nasi berikut lauknya. Aliyah
menggerak-gerakkan cuping hidungnya, ini enak sekali. Nasi dan daging rendang?
Aliyah mulai menyuap nasi itu, menikmatinya dengan
mata berkejap-kejap. Dia tidak pernah makan seenak itu. Oh ya, pernah, ketika
majikan neneknya sedang mengadakan selamatan, lalu sang nenek membawa pulang sekotak nasi, berisi lauk telur
dan daging yang entah dimasak apa, pokoknya enak. Aliyah kembali mengusap
matanya yang tiba-tiba berembun. Ingatan tentang sang nenek selalu membuatnya
sedih.
Ia menghabiskan sebungkus nasinya, lalu meneguk
minuman yang tersisa di meja itu. Ia lupa menanyakan, apakah minuman itu memang
untuknya, padahal tadi sudah menghabiskannya separo.
Laki-laki itu tiba-tiba melongok ke dalam kamar,
tersenyum senang, melihat Aliyah sudah menghabiskan makanannya.
“Apa kamu masih lapar?”
“Tidak … tidak …” kata Aliyah sambil
menggoyang-goyangkan tangannya.
“Kalau mau, masih ada sebungkus, ada di luar.”
“Tidak, sungguh. Apakah minuman ini milik kamu?”
tanyanya kemudian sambil menunjuk ke arah gelas yang isinya sudah diteguknya
habis.
“Iya, itu untuk kamu. Mau lagi?”
“Tidak, sudah cukup. Aku mau pulang.”
“Sebenarnya rumahmu di mana? Dan mau ke mana?”
“Aku … sedang mencari pekerjaan. Tapi … tidak tahu caranya,”
kata Aliyah malu-malu.
“O, kamu mau mencari pekerjaan? Kamu sekolah apa?”
“Aku … hanya lulusan SMP,” jawab Aliyah tersipu.
“Wah, SMP ya?”
“Iya, susah
“Ya? Tapi jadi pelayan atau jadi tukang bersih-bersih
aku juga mau. Yang penting aku bisa bekerja.”
“Rumahmu di mana?”
“Tidak jauh dari tempat aku jatuh tadi.”
“Kamu sebenarnya tidak jatuh. Hampir jatuh, lalu aku
membawamu ke tempat kamar kost aku. Dekat, hanya masuk gang sedikit.”
“Ooh ….”
Aliyah berdiri, setelah memasukkan bungkus bekas
nasinya ke dalam plastik tempat bungkusan yang berisi nasi, lalu siap
membawanya keluar.
“Biar di situ saja, nanti aku yang buang. Kamu sudah
merasa kuat?”
“Sudah, terima kasih banyak sudah menolong aku, Mas
Pinto,” kata Aliyah sambil tersenyum. Tapi Pinto melihat bekas sembab penuh
duka yang tampak di wajah Aliyah, membuatnya trenyuh.
“Ayuk, aku antar. Kebetulan aku sedang off, sore ini,”
kata Pinto.
“Off itu apa?” tanya Aliyah polos.
“Maksudku sedang libur setelah bertugas siang tadi,”
jawab Pinto sambil tersenyum.
Aliyah mengangguk, tersipu. Lalu dia melangkah keluar.
“Tidak usah diantar, aku pulang sendiri saja.”
“Tidak, ini sudah malam.”
“Malam?” tanya Aliyah terkejut.
“Jam delapan malam lebih sedikit.”
“Ya Tuhan,” Aliyah bergegas keluar, melewati sebuah
ruang kecil, seperti dapur atau apa, lalu ada kamar mandi, kemudian keluar, ada
dua buah kursi tamu.
“Gelap kan? Aku akan mengantar kamu.”
Aliyah tak bisa menolak, karena sebenarnya dia tak
pernah pergi malam-malam. Ada rasa takut, entah karena apa.
***
“Belum datang juga, Bu?”
“Belum. Bu Waskito sudah membatalkannya. Dia sudah dapat pembantu dari kampung,” kata bu RT menjawab pertanyaan suaminya.
“Waduh, sayang sekali. Kamu sudah ketemu bu Waskito?”
“Dari rumah Aliyah, aku langsung ke sana, mengatakan
kalau belum bertemu Aliyah. Tapi saat aku datang itu dia bilang sudah mendapat pembantu.”
“Kasihan Aliyah.”
“Belum jodohnya. Semoga segera dapat ganti pekerjaan
yang lain.”
“Nanti coba aku tanyakan ke Rusdi, yang bekerja di
rumah makan Padang itu. Barangkali butuh pembantu.”
“Iya, kan Bapak sudah janji mau mencarikannya di rumah
makan itu.”
“Dari tadi belum ketemu, malah ada bu Waskito cari
pembantu, tapi nyatanya nggak jodoh sama Aliyah.”
“Masih ada banyak waktu, semoga Aliyah segera mendapat
keberuntungan.”
“Nanti kalau belum ada waktu, kamu kan bisa menyuruh
dia bantu-bantu Bu, supaya bisa memberi dia sekedar makan, tapi tidak cuma-cuma.
Kalau cuma-cuma pasti dia tidak mau.”
“Ya nggak apa-apa Pak, misalnya aku suruh belanja atau
apa, gitu, hanya sekedar membantu memberi dia makan.”
“Syukurlah Bu, senang kalau bisa meringankan beban
orang lain.”
“Iya, itu benar.”
***
Aliyah sudah sampai di luar pagar rumahnya, lalu
berhenti.
“Mengapa berhenti?” tanya Pinto.
“Sudah sampai, sebaiknya Mas pulang, sekali lagi
terima kasih atas semuanya.”
“Rumahmu yang mana?”
“Itu,” Aliyah menunjuk ke arah rumahnya yang gelap. Ia
tidak menyalakan lampu ketika mau pergi.
“Kok gelap begitu?”
“Iya. Aku pergi sejak pagi, jadi tidak menyalakan
lampu.”
“Kamu sendirian di rumah itu?”
“Iya, tadinya bersama nenek, tapi baru kemarin nenek
meninggal,” kata Aliyah, sedih.
“Oh, aku ikut berduka untuk nenek. Semoga wafat dalam keadaan husnul khotimah.”
“Aamiin, terima kasih.”
“Masuklah dulu, aku tidak tega meninggalkan kamu,
sebelum masuk rumah.”
Aliyah tersenyum senang. Pinto ternyata laki-laki yang
baik. Ia melanjutkan langkahnya, Pinto mengikutinya dari belakang.
Perlahan Aliyah memasuki serambi yang sempit, lalu
tangannya meraba-raba. Tombol lambu sudah terpegang. Klik. Kok tidak menyala?
Diulangnya berkali-kali, tetap tidak menyala.
“Kok mati?”
“Bohlam nya putus, tahu begitu tadi beli di sana.”
Aliyah meraba gagang pintu, membuka kuncinya. Gelap di
dalam, tapi Pinto tak berani mengikutinya masuk.
Aliyah kembali meraba-raba tembok, mencari tombol
lampu. Nah, untunglah lampu kemudian menyala. Redup sih, tapi cukup memberi
penerangan.
Lalu Aliyah keluar.
“Mas boleh meninggalkan aku.”
“Bagaimana dengan lampu ini?”
“Besok saja aku beli.”
“Baiklah, kamu harus segera beristirahat.”
Tak banyak yang diketahui Pinto tentang gadis bernama
Aliyah itu, tapi yang jelas dia merasa iba.
***
Aliyah ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu mengganti bajunya dengan baju rumahan, lalu ke dapur untuk mengambil air minum. Ia meneguknya beberapa teguk, lalu masuk ke dalam kamarnya. Ia membaringkan tubuhnya yang tiba-tiba terasa sangat penat. Dilaluinya dalam angan, pengalamannya seharian, sejak pagi sampai dia membaringkan tubuhnya sekarang ini, terbayang kembali. Ia ingat laki-laki bernama Pinto yang menolongnya, bahkan mengantarkannya sampai ke rumah. Apakah Pinto mau membantunya mencari pekerjaan? Tadi ia sudah mengatakan keinginannya untuk bekerja, tapi setelah dia mengatakan bahwa dia hanya lulus SMP, dia tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan tidak menjanjikan akan mencarikannya. Padahal dia rela walau hanya menjadi tukang bersih-bersih saja. Oh iya, bukankah pak RT juga berjanji akan mengusahakannya? Siapa tahu nanti pak RT yang bisa membantunya.
Aliyah menghela napas panjang, lalu menghembuskannya kasar.
“Baru sehari aku berusaha, barangkali aku harus bersabar,” gumamnya sambil menarik selimutnya, selembar kain tipis bekas jarik neneknya.
Aliyah terlelap dalam letih dan lelahnya.
***
Ia terbangun ketika mendengar kokok ayam tetangga. Ada jam butut diatas mejanya yang setelah dilihatnya, menunjukkan waktu jam tiga pagi.
Aliyah melempar selimutnya. Ia ingat, seharian kemarin dia lupa untuk bersujud. Kalau neneknya masih ada, pasti dia akan mendapat marah.
Ia bersujud setelah berwudhu, kemudian keluar kamar dan bersih-bersih rumah. Ia masuk ke dalam kamar naneknya, mengambil baju-baju kotor dan alas tidur neneknya, membawanya ke belakang untuk dicuci. Tapi kemudian Aliyah ingat, bahwa sabun cucinya telah habis. Jadi dia hanya memasukkan semua baju-baju kotor ke dalam ember, lalu menunggu subuh, baru setelahnya dia keluar rumah, menuju warung langganannya.
Tapi ketika dia melewati rumah pak RT, bu RT memanggilnya.
“Aliyah.”
Aliyah berhenti, lalu mendekati bu RT.
“Kemarin kamu ke mana? Seharian tak di rumah?”
“Iya Bu, saya hanya jalan-jalan saja.”
“Dasar kamu itu belum beruntung. Kemarin ada orang mencari pembantu.”
“Di mana Bu? Saya mau,” katanya bersemangat.
“Aku kan bilang bahwa kamu belum beruntung.”
“Maksudnya?” kegirangan Aliyah surut.
“Namanya bu Waskito, tetangga kampung sebelah. Tapi dia inginnya hari itu juga. Aku sama bapak, bolak balik ke rumah kamu, tapi kamu tidak ada.”
“Iya Bu, sekarang saya ke rumahnya?”
“Tidak. Bu Waskito sudah dapat pembantu. Soalnya dia harus mendapat kepastian kemarin itu. Lha kamu tidak ada, ya sudah. Bukan keberuntungan kamu.”
“Oh, ya ampun. Nggak jadi dapat pekerjaan ya?”
“Mau bagaimana lagi, kamu harus bersabar.”
“Ya sudah Bu, tidak apa-apa,” kata Aliyah lemas.”
“Kamu mau ke mana?”
“Mau beli sabun Bu, untuk mencuci baju-baju nenek yang kotor.”
“Ya sudah, sana. Nanti kalau sewaktu-waktu aku butuh bantuan kamu, kamu bisa kan?”
“Bantuan apa Bu?”
“Ya kalau belum mendapat pekerjaan, barangkali aku kerepotan di rumah, gitu.”
O, iya Bu, bisa saja. Sekarang saya ke warung dulu.”
Aliyah membalikkan tubuhnya, melangkah ke warung dengan lemas. Gagal mendapat pekerjaan gara-gara dia pergi tanpa arah.
“Memang aku belum beruntung, baiklah. Aku memang harus bersabar.”
***
Hari itu Aliyah hanya bersih-bersih rumah. Membenahi barang-barang neneknya yang tidak seberapa, memasukkannya ke dalam almari tua milik neneknya, dan membiarkan kamar neneknya kosong. Ada rasa teriris setiap kali dia masuk ke dalamnya.
Hari sudah sore. Aliyah tidak memasak seperti biasanya. Ia sudah membeli nasi dan lauknya, untuk sarapan tadi, dan untuk makan siang.
Setelah mandi, dia berjalan ke serambi, lalu teringat bahwa lampu serambi rumahnya mati. Hal ini tak boleh dibiarkan. Ia harus membeli bohlam, agar rumahnya tidak gelap gulita.
Ia masuk untuk mengambil uang. Tapi ketika dia keluar, dilihatnya Pinto datang.
“Mau apa lagi dia?” pikir Aliyah.
“Aliyah, mau ke mana?”
“Mau … membeli … itu … lupa kalau lampunya mati.”
“Ini, sudah aku bawakan,” kata Pinto sambil mengulurkan sebuah bungkusan.
“Apa? Aduh, kenapa Mas repot-repot untuk saya?”
“Tidak apa-apa. Aku yakin kamu harus memanjat kursi juga untuk memasangnya bukan, jadi sekalian aku beli, lalu aku pasangkan juga.”
Pinto langsung menuju ke arah lampu, menarik kursi, dan menggantikan bohlam yang sudah mati dengan yang baru.
“Sudah Yah, nyalakan, coba.”
Aliyah memencet tombol lampu, dan benar, sekarang sudah menyala. Tapi hari masih terang, jadi Aliyah mematikannya lagi.
“Aliyah, tadi aku bertanya kepada kepala pelayan di tempat aku bekerja, barangkali mau menerima kamu bekerja di sana.”
Mata Aliyah berbinar.
“Tapi sayang, kami belum membutuhkannya saat ini, jadi kamu harus bersabar, ya.”
Harapan Aliyah luruh berkeping. Tapi tiba-tiba didengarnya seseorang memanggilnya dari jauh.
“Aliyah!”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah CeBeE_02 sdh tayang.....
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien.
Sugeng dalu, sugeng aso salira..... Tetep semangat.
Dan ADUHAI....
Hooooreeee.... trm ksh bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien, salam sehat selalu...
Mtrnwn mbak
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
🍒🍃🍒🍃🦋🍃🍒🍃🍒
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 02 telah
hadir.Matur nuwun Bu Tien.
Semoga sehat selalu &
tetap smangaats.
Salam Aduhai...
🍒🍃🍒🍃🦋🍃🍒🍃🍒
Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSalam Sehat Selalu njih bun...
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteCintaku sdh datang
Matur nuwun bu Tien
Terima kasih mbak Tien. Ceritanya melancholis sekali, salam sehat selalu utk mbak Tien dan keluar.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteBegitu susahnya cari pekerjaan, apalagi lulusan SMP. Jadi harus sabar ya Aliyah, belum ada yang membutuhkan tenagamu.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteCBE sdh datang
Matur nuwun bu Tien
Alhamdulillah maturnuwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah CBE 2 sdh tayang tks bu tien.... salam sehat
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien , slmt menjalankan shaum dibln ramadhan,sg istirahat, salam sehat selalu.
ReplyDeleteKagem kakek Hasbi, selamat selalu terdepannih.
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeletesehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Aliyah sabar ya...
Matur.nuwun Bunda Tien Kumalasari,
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~02 sudah hadir, terimakasih salam sehat kagem bu Tien.. 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah Cintaku Bukan Empedu Eps. 02 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSugeng shaum dan salam sehat selalu.
Terima kasih, ibu Tien...siap menunggu Aliyah di-upgrade pendidikannya dengan berbagai cara, ibu Tien pakarnya...😀
ReplyDeleteHatur nhn..... Bu Tien.
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, kasihan Aliyah semoga cepat dapat pekerjaan. Salam sehat selalu dan aduhai..
ReplyDeleteTerima ksih bunda KCB nya..slm sht sll dan tetap aduhai..🙏😘🌹
ReplyDeleteAlhamdulilah sdh tayang..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..
🙏🙏🙏
Alhamdulillah CBE-02 sdh hadir
ReplyDeleteCari kerja memang susah2 gampang, apalagi lulusan SMP, mending jualan sayur saja spt Pratiwi.
Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteCeritanya selalu menarik.
Aduhai
Dipanggil temen lama ya
ReplyDelete