KANTUNG BERWARNA EMAS
41
(Tien Kumalasari}
Bu Candra menundukkan wajahnya. Masih belum masuk
dalam angannya, saat menyadari bahwa suaminya mengetahui tentang pak Biso.
Dukun yang dimaki-makinya seharian ini karena dianggap menipu, tapi kemudian dia tak berani protes karena
takut disanthet. Karina lah yang menakut-nakutinya.
“Kamu ini sedari tadi diam, tidak mendengar pertanyaan
aku, atau tidak mau mendengar. Sekali lagi aku bertanya, siapa laki-laki
bernama Biso dan mengapa kamu menemuinya? Angkat wajahmu, jangan menunduk terus
begitu. Kamu kan tidak perlu takut kalau memang tidak bersalah, ya kan?”
Bu Candra mengangkat wajahnya, menatap suaminya dengan
pandangan ketakutan. Ia kembali menundukkan wajahnya, lalu terkejut ketika sang
suami menghardik lebih keras.
“Siapa Biso, dan kenapa kamu menemui dia?”
“Dia … bukan siapa-siapa …” jawabnya terbata.
“Kenapa kamu menemuinya?”
“Hanya karena kebetulan, pernah kenal, kebetulan
bertemu.”
“Oh ya? Mengapa kamu memberinya uang? Lalu pergi
berdua, kemana? Aku tidak peduli kalau kamu slingkuh, tapi ini lebih dari itu.”
Bu Candra semakin kaget mendengar tentang uang yang
diberikan. Kenapa dia bisa tahu?
“Jawab. Lalu kamu bohong dengan mengatakan bahwa kamu
kecopetan, ya kan?”
“Maaf.”
“Maaf untuk yang mana? Yang pura-pura kecopetan atau
yang punya maksud buruk dengan menemui dukun itu?”
Bu Candra benar-benar gemetar. Suaminya tahu semuanya.
Tentang Biso, tentang uang yang diberikan, bahkan bahwa Biso adalah dukun? Apa
dia juga tahu apa yang dilakukannya di rumah dan apa maksudnya?
“Aku tidak punya banyak waktu untuk kamu, karena
pekerjaan aku banyak. Tapi aku butuh kepastian. Untuk itu, aku minta kamu
bicara terus terang, apa yang kamu lakukan dengan menemui dukun itu. Kamu ingin
menyanthet seseorang? Ah, ya … bau tidak enak yang tercium pagi tadi, bahkan di
kamar anak-anak, apa ada hubungannya dengan Biso si dukun itu?”
Bu Candra gemetar yang benar-benar gemetar,
sampai-sampai pak Candra melihat tangan dan kakinya yang menampakkan hal itu.
“Aku hitung sampai tiga, ada dua pilihan untuk kamu.
Mengatakan terus terang tentang semuanya, atau aku lapor polisi supaya polisi
yang memaksa kamu bicara,” ancam pak Candra.
Bu Candra mengangkat wajahnya, matanya mulai digenangi
cairan bening yang nyaris tertuang membasahi pipi.
“Satu … dua …”
“Akan aku ceritakan semuanya.”
“Cepat, dan awas jangan ada yang terlewatkan, termasuk
aroma tak sedap pagi tadi, ada hubungannya atau tidak.”
“Sesungguhnya aku tidak bermaksud
jahat.”
“Oh ya? Cepat katakan.”
“Aku hanya ingin, agar Rian dan
Nurani bersatu.”
Pak Candra mengerutkan keningnya.
“Bukankah kamu pernah memintanya dan
aku tidak mau menerimanya? Pikiran macam apa itu? Oh ... ya, ini hubungannya dengan
harta bukan? Supaya harta keluarga Candra tidak jatuh ke tangan orang lain. Apa
kamu pikir, seandainya aku mau, maka anak-anak itu bersedia menjalaninya? Lalu
apa upaya kamu untuk bisa tercapai mimpi bodohmu itu.”
“Aku menemui dukun itu, untuk membuat
Rian dan Nurani melakukan hal yang bisa membawanya ke pelaminan.”
“Apa maksudmu melakukan hal yang bisa
membawanya ke pelaminan?”
“Misalnya karena lupa segalanya, lalu
_”
“Lalu kamu akan menjebaknya, dan
memaksa aku untuk menikahkannya?”
“Iya.”
“Kamu berhasil? Maksudku, apa dukun
itu berhasil?”
“Tidak.”
“Apa hubungannya dengan bau pesing
itu?”
“Aku tidak tahu. Aku juga heran.”
Lalu bu Candra menceritakan tentang
air yang diberikan, yang harus dimasukkan ke kamar kedua anaknya. Tapi ternyata
tak terjadi apa-apa.
“Mungkin karena tiba-tiba air itu
berbau pesing, entahlah. Atau memang dukun itu berbohong. Ketika pagi aku mau
membuangnya, aku terjatuh di depan kamar mandi belakang, dan air pesing itu
mengguyur seluruh tubuhku.”
Pak Candra terdiam untuk beberapa
saat, tapi matanya menyinarkan kemarahan yang sudah sampai dipuncaknya.
“Tadinya aku mengira kamu sudah
sadar, lalu mulai memperbaiki peri laku kamu. Aku hampir percaya. Tapi kemudian
aku menyesal telah menuruti permintaan Nurani, agar aku tidak menceraikanmu.
Aku salah, Nurani juga tidak peka atas sikap baik yang kemudian kamu tunjukkan.
Kamu tetap wanita jahat yang merusak ketenangan di rumah ini.”
“Maafkanlah aku,” Bu Candra benar-benar menangis, sangat memelas.
Tapi pak Candra bergeming.
“Bersiaplah, karena aku akan segera
mengurus perceraian kita.”
“Jangaan. Mohon ampunilah aku. Aku
bertobat. Sungguh.”
Pak Candra berdiri, lalu meninggalkan
bu Candra untuk kembali ke kantor.
***
Bu Candra menangis mengguguk, sambil
bersimpuh di lantai. Sebentar kemudian kakinya menendang-nendang, tanpa ada
sesuatu yang ditendang.
Sang suami tampak serius, benar-benar
akan menceraikannya. Siapa yang akan membelanya?
Lalu diambilnya ponselnya, kemudian
ditelponnya Rian. Tapi lama sekali Rian baru menjawab, itupun dengan jawaban
kesal karena pekerjaannya terganggu.
“Ada apa Bu, Rian sedang sibuk nih.”
“Rian, bapakmu mau menceraikan ibu,”
tangisnya.
Rian terkejut, tapi kemudian dia
mengerti. Pasti ibunya melakukan kesalahan lagi. Sedih sekali, ketika menyadari
bahwa ibunya tak benar-benar menyesali perbuatannya, kemudian memperbaikinya.
“Rian, kamu tak mendengar kata-kata ibu?”
“Ibu melakukan apa?”
“Sebenarnya tidak terlalu berat. Tapi
bapakmu tak mau memaafkan ibu.”
“Ya sudah, ini Rian sedang sibuk
sekali, jadi tak bisa bicara banyak. Tapi satu yang harus ibu tahu, bahwa kalau
bapak memutuskan itu, pasti ibu melakukan kesalahan. Apalagi untuk kesekian
kalinya. Pasti sulit memaafkan. Dan kalau itu benar-benar terjadi, mohon maaf,
Rian tak akan bisa membantu.”
“Riaaan,” pekiknya. Tapi Rian sudah
menutup ponselnya.
Bu Candra kembali menangis
menggerung-gerung.
Lalu ia ingat apa yang dikatakan suaminya
tadi, bahwa dulu pernah ingin menceraikannya, tapi Nurani mencegahnya. Apakah
sekarang Nurani bisa menolongnya?
Dihubunginya nomor Nurani, tapi lama
sekali tidak diangkat. Bu Candra sudah mulai putus asa. Rasanya tak ada yang
bisa dilakukannya. Kalau dia menemui Karina, lalu Karina bisa apa? Apalagi
tidak sembarang waktu bisa menemuinya.
Bu Candra sudah lelah menangis. Ia
menuju ke dapur, belanjaan yang diletakkannya di meja dapur tidak disentuhnya.
Ia hanya duduk di kursi sambil terus membayangkan kegagalannya. Tapi tak lama
kemudian ponselnya berdering. Dari Nurani. Rupanya Nurani baru bisa
menghubunginya. Harapan bu Candra timbul kembali.
“Ya nak,” jawabnya lemah.
“Ada apa Ibu menelpon? Tadi Nurani
sedang mengikuti kuliah. Sebentar lagi ujian kenaikan tingkat. Ada apa Bu?”
“Nur, tolong ibu Nur,” rintihnya.
“Memangnya Ibu kenapa?”
“Ayahmu mau menceraikan ibu,”
sekarang ucapannya diiringi isak.
Nurani terdiam. Tadi pagi seperti tak
ada celetukan apapun dari ayahnya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
“Tolong ibu Nur. Aku mohon.”
“Apa yang bisa saya lakukan Bu?”
“Bujuk ayahmu Nak, jangan sampai ibu
diceraikan. Ibu benar-benar bertobat. Ibu akan melakukan hal terbaik untuk keluarga.
Sungguh, aku bersumpah.”
“Saya tidak mengerti apa yang
terjadi, Bu.”
“Ibu hanya ingin menyatukan kamu dan
Rian, cara ibu salah," lanjutnya.
“Bu, saya tidak bisa bicara banyak,
nanti Nur akan bicara sama bapak, setelah pulang kuliah. Ini sedang ada kelas.
Maaf Bu.”
“Nur, tapi kamu mau menolong ibu kan?”
Tapi Nurani sudah mematikan
ponselnya.
Bu Candra menjatuhkan kepalanya di
meja dapur. Nurani berjanji akan bicara sama ayahnya, tapi apakah kali ini akan
berhasil? Mulut bu Candra berkomat-kamit melantunkan doa. Tapi apa semuanya belum
terlambat? Sudah lama dia melupakan Tuhan.
***
Pak Candra terkejut ketika tiba-tiba Nurani muncul di
kantor.
“Ada apa kamu ke sini?”
Nurani duduk di kursi depan ayahnya. Pak Candra
menghentikan kesibukannya.
“Apa yang terjadi?” tanya Nur.
“Apa yang kamu tanyakan?”
“Bapak mau menceraikan ibu?”
Pak Candra menyandarkan tubuhnya, menatap tajam
Nurani.
“Jangan bilang bahwa kamu mau mencgah keinginan bapak.
Kali ini tidak, dan tidak.”
“Ada apa?”
Di sudut sana, Andre menatap punggung Nurani, gadis
luar biasa yang sangat dikaguminya. Apakah dia akan merayu ayahnya kembali agar
mengurungkan niatnya menceraikan sang istri? Hatinya penuh rasa maaf. Terkadang
membuat kesal juga kan.
“Dia hampir saja mencelakai kamu dan Rian.”
“Nurani dan Rian? Bukankah mas Rian itu anak
kandungnya? Dicelakai?”
Lalu dengan gamblang pak Candra menceritakan semuanya,
bahkan apa yang sudah diakui oleh ibunya. Dan hubungannya dengan bau pesing yang
semalam memenuhi kamarnya.
“Sekarang kamu mengerti? Dia tak pernah bisa
memperbaiki tingkah lakunya. Tidak, dan kamu tidak usah mencegah bapak. Surat
cerai sudah diurus hari ini juga,” kata pak Candra tandas.
Nurani terdiam lemas. Bukan karena tak berhasil
mencegah kemauan ayahnya, tapi membayangkan kalau dia dan Rian sampai melakukan
hal terkutuk karena jebakan seorang dukun. Lalu terpikir olehnya, betapa
susahnya meluruskan hati yang bengkok.
***
“Hei, mau ikut tidak?” Nurani terkejut ketika ayahnya
mengacak kepalanya.
Rupanya dia masih termenung di sofa kantor ayahnya,
sedangkan Andre dan ayahnya sudah berdiri menunggunya. Dia sungguh tak
mendengar ketika sang ayah dan Andre mengajak makan siang diluar.
“Ke … mana?” jawabnya gugup.
“Kamu tadi ketiduran?” tanya ayahnya sambil tertawa.
“Iya, eh … tidak Pak,” jawab Nurani tersipu.
“Mau makan tidak?”
“Oh iya, lapar,” katanya sambil berdiri.
Andre dan pak Candra tertawa.
“Kamu jangan terlalu memikirkan orang jahat itu. Mulai
sekarang dia bukan ibumu. Ada kalanya orang harus bersabar, harus mengerti,
tapi semua kan ada batasnya. Apa tidak kasihan pada ayahmu ini. Capek, tahu.
Dihari tua seperti ini, harus banyak pikiran, harus khawatir setiap saat, bahkan
marah-marah tanpa bisa dicegah,” kata pak Candra sambil melangkah keluar kantor
bersama-sama.
Nurani mengangguk.
“Kamu bisa mengerti kan?”
“Iya, Nurani mengerti.”
“Nah, sekarang saatnya bapak memikirkan pernikahan
Rian, kemudian kamu.”
“Aaap …pa?”
“Kamu sudah cukup dewasa, dan aku yakin Andre akan
tetap mengijinkan kamu meneruskan kuliah, walaupun kamu sudah menjadi
istrinya.”
Nurani berdebar. Berarti akan ada pemaksaan kehendak
nih. Harus segera menikah, walau sambil kuliah. Bisakah Nurani menjalaninya?
***
“Rian, aku minta maaf,” kata pak Candra sore itu
ketika Rian pulang dari bekerja.
“Iya Pak, Bapak sudah menceritakan semuanya, dan saya
mengerti.”
“Aku akan memberikan rumah kecil untuk ibumu, dan uang
belanja ala kadarnya, setelah kami berpisah. Ini sudah aku pikirkan. Apa kamu
bisa mengerti atas keputusan bapak ini? Aku tahu, kamu pasti sedih, tapi ini
hal terbaik yang harus bapak lakukan. Bapak sudah tua dan lelah, tidak
seharusnya banyak memikir hal yang berat. Misalnya selalu khawatir dan selalu
marah-marah.”
“Saya mengerti Pak.”
“Kamu tetap anakku. Katakan kapan harus melamar gadis
itu, dan tentukan hari pernikahan kalian. Bapak tidak akan mengingkari
kewajiban bapak sebagai orang tua kamu.”
“Terima kasih Pak,” kata Rian yang bagaimanapun tak
bisa menyalahkan ayah sambungnya.
***
Hari berjalan sangat cepat. Amirah sudah pergi dari
rumah ketika Rian melamar Siswati. Amirah bahkan tak hadir ketika Rian menikah.
Walau begitu, pak Candra meminta agar Rian dan calon istrinya tetap mendatangi
ibunya dan meminta restunya. Perilaku buruk tidak akan menghilangkan status
seseorang, antara ibu dan anak. Rian anak baik, ia tetap menghormati ibunya.
Siswati juga anak baik, yang tetap menganggap Amirah sebagai mertuanya.
***
“Ibu, ini Nurani.” Kata Andre sambil mengajak Nurani
mendekati ibunya yang hadir pada hari pernikahan Rian. Nurani mengulurkan
tangannya, disambut calon mertuanya dengan wajah berbinar. Lalu Nurani menciumnya
lembut. Ia dengan pakaian Jawa yang anggun, tampak seperti putri dari atas
angin, yang melenggang bak bidadari. Senyumnya adalah sinar yang menerangi jiwa
setiap yang menatapnya.
“Nurani, kamu cantik sekali,” puji calon mertuanya.
“Terima kasih Bu,” lalu Nurani duduk di sampingnya,
menemani menikmati acara pesta yang diadakan pak Candra dengan sangat meriah.
Andre menatap dua wanita yang dicintainya itu dengan
tatapan bahagia. Akhirnya Nurani sadar, Andre adalah laki-laki baik yang pantas
menjadi pendampingnya. Akhirnya Nurani sadar, bahwa debar dadanya setiap
berdekatan dengannya adalah isyarat sebuah cinta.
“Kapan aku boleh melamar kamu?” bisik Andre di dekat
telinga Nurani.
Nurani menatapnya lembut.
“Dengan satu syarat,” kata Nurani.
“Aku ijinkan kamu menyelesaikan study kamu. Mengapa
tidak?”
Nurani mengangguk bahagia. Alangkah sederhana
munculnya sebuah cinta yang tersembunyi di relung hati.
Namun ketika ia memeluk Rian sebagai ucapan selamat,
ada juga sendu yang melintas.
“Nur, kamu tidak akan kehilangan aku,” kata Rian.
“Aku yang akan selalu menjaganya,” sambung Andre
bahagia.
Dan kedua laki-laki yang disayangi Nurani walau
dengan makna yang berbeda itu berpelukan erat.
***
T
A M A T
Dua laki-laki tampan berhadapan dengan tatapan tajam.
Masing-masing merasa benar, dan berhak memiliki.
“Aku mencintainya.”
“Aku lebih dulu mencintainya. Jangan sampai ada darah
menetes diantara kita,” yang satu menjawab, disertai ancaman.
Ada kisah mengharukan di sini. SETANGKAI BUNGAKU. Tungguin.
Yes
ReplyDeleteMb Isti Juara 1...horeee
DeleteSudah tamat, Alhamdulillah
DeleteKita tunggu cerbung barunya bunda Tien
Salam Aduhai ah 😍
Juara baruu...
DeleteSelamat utk mbak Isti
Salam aduhai.. 👍👍👏👏
Alhamdulillah matur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang
ReplyDeleteAsyik
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteMatur suwun bundaaa..KBE nya cpt tayang..slmt mlm minggu bersm keluarga..slm seroja dan aduhaai dri sukabumi🙏😍🌹❤️
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTks bunda Tien.. Nurani sdh tayang gasik
ReplyDeleteSemoga bunda sehat walafiat dan bahagia selalu..
Aamiin.. 🙏🙏🥰🌹
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,
Matur suwun bunda Tien ..Kantung berwarna emas sudah tamat ....sehat selalu kagem bunda dan keluarga 🙏💗
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletematur nuwun
ReplyDeleteAlhmdllh... sdh tamat... trma kaih Mbu tien... cerpen yg sllu luar biasa..... sehat² trs... kami akan sllu menunggu nasihat² kehidupan dlm cerpen² yg Luar biasa
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteApa ada boncap nya mba Tien
Boncap itu apa?
DeleteAlhamdulillah tamat dg happy end🌹
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien , semoga kita selalu sehat Aamiin 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~41 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Matur nuwun bunda Tien tayang gasik, salam sehat selalu kagem bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah tamat. Matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah berakhir dengan bahagia..Rian dan Siswati..semoga diikuti Andre dan Nurani
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMalem minggu gasik
Matur nuwun bu
alhamdulillah maturnuwun
ReplyDeleteTiada kata yg bisa ku untai hanya rasa bersyukur dan bersyukur atas Rahmat Allah SWT yg tiada henti hentinya selalu melimpahkan Rahmat Nya pada kita semua. Teriring Do'a untuk mbak Tien Kumalasari semoga selalu dlm lindungan Nya sehat berlimpah Rahmat. Aamiin YRA 🤲
ReplyDeleteKutunggu dan kutunggu *SETANGKAI BUNGAKU*
ReplyDelete🌸🍃🌸 Alhamdulillah KBE 41 telah hadir...dan TAMAT dg Happy Ending...👍👏😍. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋🌸
ReplyDeleteWaawww tamat gening, yang baru ku tunggu
ReplyDeleteMaturnuwun sanget.akhir yg bahagia semoga Mbak Tien seklrg pinaringan Sehat wal afiat serta Sejahtera Aamiin
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien, akhir yang bahagia
ReplyDeleteKita selalu menunggu karya bunda selanjutnya
Matur suwun salam Tahes Ulales
Terima kasih mbak Tien,akhirnya tamat jg kantung berwarna Emas dengan happy ending.
ReplyDeleteDitunggu Setangkai bungaku.Salam seroja dari Tegal.
Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 41telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Endingnya bagus banget....saluut....
ReplyDeleteBênêr bênêr sudah lelah dan Amirah di eks komunikasi masuk rumah kecil, kandang satpam.
ReplyDeleteSampai nggak berani menampakan diri.
Bakalan untuk berdua dengan Karina, petualangan mu sudah selesai, merenung dengan dana pensiun mantan madam perusahaan.
Begitulah bunyinya; sementara Rian tinggal di wisma pondok mertua indah, tinggal giliran Nurani dan Andre, bakal di resmikan nantinya.
Kebahagiaan itupun ada dan hadir diantara mereka
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke empat puluh satu dan ternyata tamat .
dinanti judul baru berikutnya
Setangkai bungaku.
Terimakasih banyak banyak Bu Tien
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih KBE nya bu Tien, kami tunggu SETANGKAI BUNGAKU.
Salam sehat selalu Bu Tien yang makin aduhai
Alhamdulillah....akhir yg bahagia 🥰
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..🙏
Selalu setia menunggu cerita berikutnya..
Terima kasih bu tien ..alhamdulilah tamat dg bahagia ..salam sehat bu tien .
ReplyDeleteAlhamdulillah.... terimakasih bunda, cerita yg sangat bagus
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatur suwun ibu
Wah kalau KBE nya dilanjut kinten2 seru mboten bu?
🙏
Heheee...
DeleteAlhamdulillah, terimakasih mbakyu... Tammat sudah... Sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE sudah tamat...terimakasih bunda Tien, ditunggu cerbung terbaru.
ReplyDeleteWaah...tayang awal, kejutan nih...baru mau saya tebak hampir tamat, ternyata oh ternyata berakhir hari ini...terima kasih, ibu Tien...ditunggu karya selanjutnya ya...semoga sehat selalu. Amin.🙏😀
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAduh lagi2 salah bu Chandra ..trima kasih bu Chandra
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteTrims Bu Tien cerita udah tamat....menanti cerita baru lagi....sehat2 terus Bu tien
ReplyDeleteTerimakasih, mbak Tien .. cerita yg indah , memukau ada sdikit tambahan irasionalnya .. hihihi, salam sehat bahagia, ditunggu cerita menarik, ngangeni lainnya
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Tamat ,meauuuw bahagianya mereka 🌿🌹
Alhamdulillah,matursuwun bu Tien, selalu menunggu cerbung selanjutnya. Salam sehat selalu
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien... Sehat selalu...
ReplyDeleteMaturnuwun ... salam sehat kagem bu Tien dalah keluarga.
ReplyDelete