KEMBANG CANTIKKU
12
(Tien Kumalasari)
“Qila … itu kan Qila … Qila adalah nyata …” gumamnya
perlahan.
“Yudi, ada apa ?
“Qila …” katanya lemas sambil menunjuk ke arah
perginya mobil yang membawa gadis kecil yang dikenalinya dalam mimpi-mimpinya.
“Kamu Qila .. Qila terus..” tegur Nano.
“Itu benar, gadis kecil dalam mimpiku, aku yakin dia
Qila. Qila itu nyata. Qila itu nyata,” gumamnya terus menerus.
“Bukankah dia digendong oleh seorang wanita cantik?”
“Benar …”
“Kamu mengenali wanita itu?”
“Aku lupa … tapi sepertinya tidak asing …”
“Jangan-jangan istri kamu?”
“Tidak. Ada pria gagah yang membawa mobil itu.
Pastinya dia suaminya. Aku juga seperti mengenalinya,” kata Wahyudi sambil
memijit-mijit kepalanya.
“Aduh, sayang sekali dia pergi begitu saja. Seandainya
mereka melihat kamu, mungkin akan ada titik terang mengenai siapa dirimu.”
“Entahlah, kepalaku sangat pusing.”
“Baiklah, ayo duduk di kursi itu dulu, biar aku ke
loket pendaftaran,” kata Nano sambil menuntun Wahyudi lalu mendudukkannya di
sebuah kursi.
Wahyudi masih memijit-mijit kepalanya sambil terus
membisikkan nama gadis kecil itu.
“Qila … Qila … Qila … siapa kamu sebenarnya Qila?”
Wahyudi menyandarkan kepalanya, sambil terus
memijit-mijitnya. Semakin dia mengingatnya, semakin terasa pusingnya.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi pada diriku ini … Tunjukkanlah
jalan terang agar hamba bisa mengingat semuanya … “ doanya dalam hati.
“Qila … aku sangat mengenal nama itu, gadis kecil
berkepang dua itu … tapi siapakah kamu, dan siapa pula diriku? Mengapa tadi aku
hanya bengong dan tidak segera memanggil namanya?” gumamnya terus menerus.
“Kepala kamu pusing?” tanya Nano sambil mendekat. Dia
telah selesai mendaftarkan Wahyudi.
“Sangat pusing, karena semuanya terasa gelap,”
keluhnya.
“Baiklah, ayo ke sana, aku sudah mendaftarkan kamu. Kita
harus menunggu,” kata Nano sambil membantu Wahyudi berdiri, dan menuntunnya ke
arah ruang dokter, dimana Wahyudi akan diperiksa.
***
“Pak Udi nana … ? Pak Udi nana …” Mila
berteriak-teriak sambil berlarian ke sana kemari begitu bangun tidur di siang
hari itu.
“Mila, pak Udi sedang ke rumah sakit,” kata bu
Kartiko yang kemudian mendekati cucunya.
“Akit ?”
“Ke rumah sakit. Ya, sayang, pak Udi sakit.”
Mila berlari lagi mendekati Tinah yang sedang menyiapkan
makan untuk Mila.
“Pak Udi … akit,” katanya kepada Tinah.
“Iya, pak Udi sakit. Ayo .. kita ke taman sambil makan
ya?” ajak Tinah sambil menggandeng tangan Mila.
Siang itu seperti janjinya, Qila dan Wisnu datang ke
rumah untuk makan siang. Sudah seminggu hal itu dilakukannya, tapi Qila tak pernah
menemukan cara untuk bisa mendekati Wahyudi. Perasaan gemas selalu ditahannya,
karena Wahyudi selalu acuh terhadapnya. Namun Qila menganggapnya bahwa Wahyudi
hanya takut kepada majikannya, apalagi kepada suaminya yang selalu
mengantarnya.
“Dia memendam rasa sukanya kepadaku, dan menahannya.
Kasihan. Tenanglah Wahyudi, aku pasti akan menemukan cara agar kita saling
mengungkapkan isi hati. Aku tak tahan lagi Wahyudi, aku menyukai kamu. Bukankah
kamu juga?” kata batin Qila yang menganggap Wahyudi sebenarnya juga
menyukainya, tapi takut kepada keluarga suaminya.
“Qila, kami sudah siap, mau kemana kamu?” seru bu
Kartiko ketika melihat Qila tidak segera duduk bersama suami dan kedua
mertuanya di kursi makan.
“Mau mencari Mila di taman dulu Bu.”
“Mila sudah bersama Tinah, nanti saja, ayo makan dulu,”
kata ibu mertuanya.
Mau tak mau Qila terpaksa kembali ke arah meja makan,
dari yang semula ingin mencari Wahyudi, karena ia tak melihat Wahyudi duduk di
dekat ayah mertuanya.
Qila duduk, menahan pertanyaan yang ingin dilontarkannya
karena sungkan.
“Kemana si ganteng itu? Kenapa tidak melayani ayah
mertuaku?” bisik batinnya.
“Wahyudi kemana?”
Qila mengangkat wajahnya karena suaminya mewakilinya
bertanya tanpa diminta.
“Wahyudi sedang ke rumah sakit,” kata pak Kartiko.
“Sakit?”
“Ya sakit ingatannya itu. Kasihan dia, sampai sekarang
belum mengingat semuanya,” kata pak Kartiko lagi.
“Kenapa tidak dipasang iklan saja, siapa kehilangan
anggauta keluarganya, lalu sertakan foto Wahyudi, gitu,” usul Wisnu.
“Pernah ada pemikiran begitu, tapi Nano bilang,
Wahyudi tidak mau. Ia ingin, ia mengingat sendiri semuanya, baru mencari
keluarganya.”
“Kok aneh, apa alasannya?”
“Dia akan tetap seperti anak hilang, saat keluarganya
menemukannya, sedangkan dia sendiri belum mengingat apapun. Ya kita harus menghormati
keinginannya itu, sambil membantunya. Misalnya dengan membawanya ke dokter,
begitu.”
“Kalau di sini dia sudah senang, biar saja begitu,
tidak usah kembali ke keluarganya tidak apa-apa kan?” kata Qila yang punya
pemikiran lain.
“Apa maksudmu? Tentu saja dia tidak akan senang.
Mengingat-ingat tanpa bisa ingat, pastilah akan menyiksa sekali,” tegur Wisnu.
“Benar. Bagaimanapun dia harus bisa mengingatnya, dan kalau
kemudian dia harus kembali kepada keluarganya, biarkan saja. Kita harus merasa
senang karena bisa membantunya. Ya kan?”
“Benar kata Bapak. Dia anak baik. Aku yakin dia juga
berasal dari keluarga baik-baik,” sambung bu Kartiko.
“Lama ya ke rumah sakitnya?” tanya Qila yang penasaran
kalau hari itu tidak bisa melihat Wahyudi.
“Pasti dia harus melewati beberapa pemeriksaan.
Biarkan saya, yang penting ada usaha untuk mengembalikan ingatannya, semoga
berhasil,” kata pak Kartiko.
“Aamiin,” kata Wisnu.
Siang itu Qila makan tanpa bisa menikmati rasanya. Pikirannya
hanya kepada Wahyudi. Tidak melihat sehari saja akan membuatnya resah. Karena
hanya saat makan siang saja dia bisa bertemu atau tepatnya melihat Wahyudi
lebih lama, menikmati getar-getar dihatinya yang sedang dimabuk cinta.. Saat
sore, belum tentu bisa bertemu, karena Wisnu pasti sudah menunggunya di mobil,
dan Tinah juga sudah siap menunggu di teras. Mana mungkin dia akan masuk ke
dalam dan mencari keberadaan Wahyudi.
***
Siang itu mbok Tukiyo sudah siap pulang karena sayur
yang dibawanya sudah hampir habis, hanya tinggal seikat dua ikat daun pepaya
yang akan dibawanya pulang untuk lauk makan bersama suami dan anaknya.
Tino mendekatinya, karena ada yang ingin dikatakannya.
“Mbok, jangan pulang dulu,” katanya.
“Ada apa No?”
“Nanti saya boncengkan saja pulangnya, soalnya saya
mau mengajak Sunthi belanja.”
“Siang ini?”
“Iya, kapan lagi. Saat hari pernikahan seperti di
katakan bapak, kan tidak lama lagi, saya akan membelikan cincin untuk Sunthi.”
“O, bagus lah kalau begitu. Kamu masih mau jualan ?”
“Tidak Mbok, daganganku sudah habis, tinggal pulang.”
“Wah, laris manis ya le?”
“Iya, atas doa simbok kan? Itu sebabnya saya sudah
siap menjadikan Sunthi sebagai istri.”
“Syukurlah, aku senang Sunthi akhirnya mendapatkan
jodoh seorang laki-laki yang baik seperti kamu.”
“Biasa saja Mbok, sebagai laki-laki kan saya harus
bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Jadi bukan karena saya baik. Saya hanya
melakukan apa yang harus saya lakukan sebagai laki-laki yang ingin memiliki
istri.”
“Iya, aku tahu. Dan aku suka sama kamu juga karena
kamu sangat baik dan rendah hati. Tidak sombong meskipun kamu banyak uang.”
“Kalau banyak sih tidak Mbok, tapi cukuplah kalau
hanya untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak saya kelak.”
“Iya, simbok senang mendengarnya.”
“Sekarang simbok tunggu dulu di sini, saya akan
mengambil sepeda motor saya dulu.”
“Baiklah, aku tunggu di sini, kamu tidak lama kan?
Soalnya bapaknya Sunthi pasti sudah menunggu, dia tidak mau makan kalau simbok
belum datang. Terkadang dia pulang lebih dulu, setelah menyetor ikan di pasar
timur.”
“Iya Mbok, nanti saya bawakan bakso beberapa bungkus
untuk simbok makan sama bapak. Kalau Sunti nanti biar makan bareng saya saja, setelah
belanja akan saya ajak makan di warung.”
“Baiklah kalau begitu.”
***
Tukiyo berkali-kali melongok ke arah jalan, karena
istrinya belum tampak pulang.
“Bapak kalau sudah lapar, makan saja dulu, sudah saya
siapkan,” kata Sunthi yang melihat kegelisahan bapaknya.
“Bukan karena bapak lapar, biasanya simbokmu kan
sampai di rumah lebih dulu, dan kalaupun aku sampai duluan, selisihnya pasti
tidak lama dengan kedatangan simbokmu.”
“Mungkin simbok sambil belanja, atau beli beras,
biasanya di warung langganan simbok itu selalu antre pembeli, soalnya di situ
paling murah harga barang-barangnya.”
Tukiyo hampir masuk ke dalam rumah ketika mendengar
sepeda motor memasuki halaman.
“Lha itu simbok, sama mas Tino.”
Wajah Tukiyo berseri, ketika melihat istrinya datang
bersama calon menantunya. Memang, hampir sebulan lalu Tino sudah resmi melamar,
dan Tukiyo merasa lega. Bayangan bahwa Sunthi tergila-gila sama Wahyudi sirna
sudah, karena Wahyudi adalah sosok yang belum jelas asal usulnya, dan banyak
kemungkinan buruk terjadi seandainya benar dia menjadi menantunya.
“Ternyata bareng sama kamu ?” sapanya ketika Tino
datang dan mencium tangannya.
“Iya Pak, tadi aku disuruh menunggu dia, katanya juga
mau ke sini, mau mengajak Sunthi belanja,” sambung mbok Tukiyo.
“O, ya sudah, ayo masuk, diajak makan dulu kan mbokne?”
“Tidak Pak, saya mau mengajak Sunthi belanja, sekalian
makan nanti.”
“Ini, Tino membawakan kita bakso untuk makan kita Pak.”
“Wah, bagus kalau begitu,” kata Tukiyo senang.
“Sunthi, segera ganti bajumu, kasihan calon suami kamu
kalau kelamaan menunggu,” kata mbok Tukiyo.
Sunthi tersenyum, melirik sekilas ke arah Tino, lalu
masuk ke dalam kamarnya.
“Duduk dulu No.”
“Iya Mbok.”
***
“Mas, aku mau keluar sebentar ya,” kata Qila kepada
suaminya saat mereka sudah sampai kembali di kantor.
“Mau kemana?”
“Aku mau beli ponsel lagi.”
“Beli ponsel lagi? Bukankah belum lama ini kamu sudah beli
ponsel baru?”
“Kemarin jatuh, kayaknya ada yang retak. Jelek banget,
pengin beli baru.”
“Kenapa tidak tadi sekalian mampir?”
“Membeli ponsel kan tidak bisa sebentar, nanti kamu
marah kalau aku kelamaan.”
“Ya sudah terserah kamu saja. Tapi nggak pakai lama
ya?”
“Iya, cuma beli saja, lalu kembali, nggak lama kok.”
“Minta sopir kantor agar mengantar kamu.”
“Nggak usah Mas, aku sendiri saja, cuma beli ponsel
kenapa harus diantar sopir?” kata Qila sambil mengambil kunci mobil di meja
suaminya.
Qila bergegas keluar, diikuti pandangan masam
suaminya.
“Akhir-akhir ini kenapa Qila seperti berbeda ya? Hanya
perasaanku saja, atau memang ada sesuatu yang membuatnya berbeda? Ah, tidak,
mengapa aku memikirkan yang bukna-bukan. Selama ini dia selalu bersikap baik
dan patuh. Kecuali satu, dia sering menghindari aku dengan alasan lelah. Ya
sudah, aku harus bisa mengerti. Memang punya istri cantik harus sabar. Begitukah?
Kata batin Wisnu sambil tersenyum tipis. Ia bangga punya istri cantik dan
pintar, walau terkadang mengesalkan juga karena banyak permintaan, dan terlalu
boros. Tapi apa sih artinya uang bagi keluarga sekaya anak pak Kartiko?
***
Mungkin Qila tidak waras, atau gila, atau sedang
tergila-gila. Dia memasuki halaman rumah sakit, hanya untuk melihat apakah
mobil ayah mertuanya masih ada di antara deretan mobil yang diparkir. Ada
ratusan mobil disana, dan dia kemudian yakin bahwa mobil itu tak ada.
“Berarti Nano sudah membawa Wahyudi pulang. Sayang
sekali. Sebenarnya aku ingin membelikan ponsel untuk Wahyudi. Hanya ini
satu-satunya jalan agar aku bisa berhubungan dengan Wahyudi. Tapi kalau ada
Nano bagaimana? Ah, gampang, aku beri Nano uang untuk tutup mulut, itu tidak
susah kan?
Ah iya juga sih, mana ponselnya, kan aku belum beli.
Seandainya dia masih di rumah sakitpun kan aku belum membawa ponselnya?
“Ya sudah, itu gampang, yang penting aku sudah beli
dan kalau ada kesempatan aku akan melakukannya dengan mudah,” kata batin Qila
sambil tersenyum, kemudian memutar mobilnya untuk kembali keluar dari area
parkir rumah sakit itu.
***
Wahyudi memang merasa lelah. Ada beberapa tahap
pemeriksaan yang tadi dilaluinya. Ia bersyukur uangnya masih cukup. Ia juga
sudah membeli obat dari resep yang diberikan dokter di apotik luar, karena
kalau di rumah sakit akan terlalu lama.
“Aku hanya memikirkan tugas aku, pasti bapak sudah
makan.”
“Maksudnya tugas melayani bapak dan menyiapkan
obat-obatnya?”
“Iya.”
“Ibu sudah mengijinkan kita pergi, berarti ibu juga
sudah siap melayani sendiri suaminya, kamu tidak usah terlalu memikirkannya.”
“Iya juga sih, tapi nanti aku harus meminta maaf.”
“Kamu itu sangat perasa sekali,” kata Nano sambil
tersenyum’
“Semoga obatnya bisa membantu, dan pemeriksaan tadi
juga bisa mendorong ingatanku agar bisa kembali normal.”
“Semoga kamu segera pulih.”
“Aamiin, terima kasih Nano.”
Tapi ketika itu, tiba-tiba Wahyudi melihat sesuatu.
Seorang gadis yang dikenalnya.
“Tolong berhentilah. Itu kan Sunthi.”
Nano memperlambat laju mobilnya.
“Sunthi. Calon istriku. Mengapa dia digandeng seorang
laki-laki? Berhentilah agak di dekat mereka. Apa maksudnya ini?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU ~12 sudah hadir.. maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien 🙏😍
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah terimakasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteSugeng Dalu mb Tien.... Sehat2 njiih ... Matur Nuwun KC 12nya
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien semoga selalu sehat
ReplyDeleteTerima kasih
ReplyDeleteTerimakasih
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung.
ReplyDeleteWah makin ruwet Wahyudi, masih terpengaruh kata Sunthi.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdullilah sdh tayang KC 12, terima kasih mbak Tien, sehat dan bahagia selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang KC 12
ReplyDeleteTerimakasih Cerbung nya bunda Tien Kumalasari
Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua aamiin
Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 12 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
ReplyDeleteAlhamdulillaah dah tayang makasih bunda
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sehat selalu bund... Terimakasih
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 12 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah KC 12 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien sayang.
Semoga bunda Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan dan keberkahanNya...
Aamiin 🤲🤲🤲
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Soga selalu sehat
Dan Semangat
Alhamdulillah
ReplyDeleteCeritanya semakin seru...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah ..Terimakasih ya bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDelete.Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
Alhamdulilah,...trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun, sehat wal'afiat selalu bunda Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima ksihvbunda
ReplyDelete