Monday, July 4, 2022

KEMBANG CANTIKKU 12

 

KEMBANG CANTIKKU  12

(Tien Kumalasari)

 

“Qila … itu kan Qila … Qila adalah nyata …” gumamnya perlahan.

“Yudi, ada apa ?

“Qila …” katanya lemas sambil menunjuk ke arah perginya mobil yang membawa gadis kecil yang dikenalinya dalam mimpi-mimpinya.

“Kamu Qila .. Qila terus..” tegur Nano.

“Itu benar, gadis kecil dalam mimpiku, aku yakin dia Qila. Qila itu nyata. Qila itu nyata,” gumamnya terus menerus.

“Bukankah dia digendong oleh seorang wanita cantik?”

“Benar …”

“Kamu mengenali wanita itu?”

“Aku lupa … tapi sepertinya tidak asing …”

“Jangan-jangan istri kamu?”

“Tidak. Ada pria gagah yang membawa mobil itu. Pastinya dia suaminya. Aku juga seperti mengenalinya,” kata Wahyudi sambil memijit-mijit kepalanya.

“Aduh, sayang sekali dia pergi begitu saja. Seandainya mereka melihat kamu, mungkin akan ada titik terang mengenai siapa dirimu.”

“Entahlah, kepalaku sangat pusing.”

“Baiklah, ayo duduk di kursi itu dulu, biar aku ke loket pendaftaran,” kata Nano sambil menuntun Wahyudi lalu mendudukkannya di sebuah kursi.

Wahyudi masih memijit-mijit kepalanya sambil terus membisikkan nama gadis kecil itu.

“Qila … Qila … Qila … siapa kamu sebenarnya Qila?”

Wahyudi menyandarkan kepalanya, sambil terus memijit-mijitnya. Semakin dia mengingatnya, semakin terasa pusingnya.

“Ya Tuhan, apa yang terjadi pada diriku ini … Tunjukkanlah jalan terang agar hamba bisa mengingat semuanya … “ doanya dalam hati.

“Qila … aku sangat mengenal nama itu, gadis kecil berkepang dua itu … tapi siapakah kamu, dan siapa pula diriku? Mengapa tadi aku hanya bengong dan tidak segera memanggil namanya?” gumamnya terus menerus.

“Kepala kamu pusing?” tanya Nano sambil mendekat. Dia telah selesai mendaftarkan Wahyudi.

“Sangat pusing, karena semuanya terasa gelap,” keluhnya.

“Baiklah, ayo ke sana, aku sudah mendaftarkan kamu. Kita harus menunggu,” kata Nano sambil membantu Wahyudi berdiri, dan menuntunnya ke arah ruang dokter, dimana Wahyudi akan diperiksa.

***

“Pak Udi nana … ? Pak Udi nana …” Mila berteriak-teriak sambil berlarian ke sana kemari begitu bangun tidur di siang hari itu.

“Mila, pak Udi sedang ke rumah sakit,” kata bu Kartiko yang kemudian mendekati cucunya.

“Akit ?”

“Ke rumah sakit. Ya, sayang, pak Udi sakit.”

Mila berlari lagi mendekati Tinah yang sedang menyiapkan makan untuk Mila.

“Pak Udi … akit,” katanya kepada Tinah.

“Iya, pak Udi sakit. Ayo .. kita ke taman sambil makan ya?” ajak Tinah sambil menggandeng tangan Mila.

Siang itu seperti janjinya, Qila dan Wisnu datang ke rumah untuk makan siang. Sudah seminggu hal itu dilakukannya, tapi Qila tak pernah menemukan cara untuk bisa mendekati Wahyudi. Perasaan gemas selalu ditahannya, karena Wahyudi selalu acuh terhadapnya. Namun Qila menganggapnya bahwa Wahyudi hanya takut kepada majikannya, apalagi kepada suaminya yang selalu mengantarnya.

“Dia memendam rasa sukanya kepadaku, dan menahannya. Kasihan. Tenanglah Wahyudi, aku pasti akan menemukan cara agar kita saling mengungkapkan isi hati. Aku tak tahan lagi Wahyudi, aku menyukai kamu. Bukankah kamu juga?” kata batin Qila yang menganggap Wahyudi sebenarnya juga menyukainya, tapi takut kepada keluarga suaminya.

“Qila, kami sudah siap, mau kemana kamu?” seru bu Kartiko ketika melihat Qila tidak segera duduk bersama suami dan kedua mertuanya di kursi makan.

“Mau mencari Mila di taman dulu Bu.”

“Mila sudah bersama Tinah, nanti saja, ayo makan dulu,” kata ibu mertuanya.

Mau tak mau Qila terpaksa kembali ke arah meja makan, dari yang semula ingin mencari Wahyudi, karena ia tak melihat Wahyudi duduk di dekat ayah mertuanya.

Qila duduk, menahan pertanyaan yang ingin dilontarkannya karena sungkan.

“Kemana si ganteng itu? Kenapa tidak melayani ayah mertuaku?” bisik batinnya.

“Wahyudi kemana?”

Qila mengangkat wajahnya karena suaminya mewakilinya bertanya tanpa diminta.

“Wahyudi sedang ke rumah sakit,” kata pak Kartiko.

“Sakit?”

“Ya sakit ingatannya itu. Kasihan dia, sampai sekarang belum mengingat semuanya,” kata pak Kartiko lagi.

“Kenapa tidak dipasang iklan saja, siapa kehilangan anggauta keluarganya, lalu sertakan foto Wahyudi, gitu,” usul Wisnu.

“Pernah ada pemikiran begitu, tapi Nano bilang, Wahyudi tidak mau. Ia ingin, ia mengingat sendiri semuanya, baru mencari keluarganya.”

“Kok aneh, apa alasannya?”

“Dia akan tetap seperti anak hilang, saat keluarganya menemukannya, sedangkan dia sendiri belum mengingat apapun. Ya kita harus menghormati keinginannya itu, sambil membantunya. Misalnya dengan membawanya ke dokter, begitu.”

“Kalau di sini dia sudah senang, biar saja begitu, tidak usah kembali ke keluarganya tidak apa-apa kan?” kata Qila yang punya pemikiran lain.

“Apa maksudmu? Tentu saja dia tidak akan senang. Mengingat-ingat tanpa bisa ingat, pastilah akan menyiksa sekali,” tegur Wisnu.

“Benar. Bagaimanapun dia harus bisa mengingatnya, dan kalau kemudian dia harus kembali kepada keluarganya, biarkan saja. Kita harus merasa senang karena bisa membantunya. Ya kan?”

“Benar kata Bapak. Dia anak baik. Aku yakin dia juga berasal dari keluarga baik-baik,” sambung bu Kartiko.

“Lama ya ke rumah sakitnya?” tanya Qila yang penasaran kalau hari itu tidak bisa melihat Wahyudi.

“Pasti dia harus melewati beberapa pemeriksaan. Biarkan saya, yang penting ada usaha untuk mengembalikan ingatannya, semoga berhasil,” kata pak Kartiko.

“Aamiin,” kata Wisnu.

Siang itu Qila makan tanpa bisa menikmati rasanya. Pikirannya hanya kepada Wahyudi. Tidak melihat sehari saja akan membuatnya resah. Karena hanya saat makan siang saja dia bisa bertemu atau tepatnya melihat Wahyudi lebih lama, menikmati getar-getar dihatinya yang sedang dimabuk cinta.. Saat sore, belum tentu bisa bertemu, karena Wisnu pasti sudah menunggunya di mobil, dan Tinah juga sudah siap menunggu di teras. Mana mungkin dia akan masuk ke dalam dan mencari keberadaan Wahyudi.

***

Siang itu mbok Tukiyo sudah siap pulang karena sayur yang dibawanya sudah hampir habis, hanya tinggal seikat dua ikat daun pepaya yang akan dibawanya pulang untuk lauk makan bersama suami dan anaknya.

Tino mendekatinya, karena ada yang ingin dikatakannya.

“Mbok, jangan pulang dulu,” katanya.

“Ada apa No?”

“Nanti saya boncengkan saja pulangnya, soalnya saya mau mengajak Sunthi belanja.”

“Siang ini?”

“Iya, kapan lagi. Saat hari pernikahan seperti di katakan bapak, kan tidak lama lagi, saya akan membelikan cincin untuk Sunthi.”

“O, bagus lah kalau begitu. Kamu masih mau jualan ?”

“Tidak Mbok, daganganku sudah habis, tinggal pulang.”

“Wah, laris manis ya le?”

“Iya, atas doa simbok kan? Itu sebabnya saya sudah siap menjadikan Sunthi sebagai istri.”

“Syukurlah, aku senang Sunthi akhirnya mendapatkan jodoh seorang laki-laki yang baik seperti kamu.”

“Biasa saja Mbok, sebagai laki-laki kan saya harus bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Jadi bukan karena saya baik. Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan sebagai laki-laki yang ingin memiliki istri.”

“Iya, aku tahu. Dan aku suka sama kamu juga karena kamu sangat baik dan rendah hati. Tidak sombong meskipun kamu banyak uang.”

“Kalau banyak sih tidak Mbok, tapi cukuplah kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak saya kelak.”

“Iya, simbok senang mendengarnya.”

“Sekarang simbok tunggu dulu di sini, saya akan mengambil sepeda motor saya dulu.”

“Baiklah, aku tunggu di sini, kamu tidak lama kan? Soalnya bapaknya Sunthi pasti sudah menunggu, dia tidak mau makan kalau simbok belum datang. Terkadang dia pulang lebih dulu, setelah menyetor ikan di pasar timur.”

“Iya Mbok, nanti saya bawakan bakso beberapa bungkus untuk simbok makan sama bapak. Kalau Sunti nanti biar makan bareng saya saja, setelah  belanja akan saya ajak makan di warung.”

“Baiklah kalau begitu.”

***

Tukiyo berkali-kali melongok ke arah jalan, karena istrinya belum tampak pulang.

“Bapak kalau sudah lapar, makan saja dulu, sudah saya siapkan,” kata Sunthi yang melihat kegelisahan bapaknya.

“Bukan karena bapak lapar, biasanya simbokmu kan sampai di rumah lebih dulu, dan kalaupun aku sampai duluan, selisihnya  pasti tidak lama dengan kedatangan simbokmu.”

“Mungkin simbok sambil belanja, atau beli beras, biasanya di warung langganan simbok itu selalu antre pembeli, soalnya di situ paling murah harga barang-barangnya.”

Tukiyo hampir masuk ke dalam rumah ketika mendengar sepeda motor memasuki halaman.

“Lha itu simbok, sama mas Tino.”

Wajah Tukiyo berseri, ketika melihat istrinya datang bersama calon menantunya. Memang, hampir sebulan lalu Tino sudah resmi melamar, dan Tukiyo merasa lega. Bayangan bahwa Sunthi tergila-gila sama Wahyudi sirna sudah, karena Wahyudi adalah sosok yang belum jelas asal usulnya, dan banyak kemungkinan buruk terjadi seandainya benar dia menjadi menantunya.

“Ternyata bareng sama kamu ?” sapanya ketika Tino datang dan mencium tangannya.

“Iya Pak, tadi aku disuruh menunggu dia, katanya juga mau ke sini, mau mengajak Sunthi belanja,” sambung mbok Tukiyo.

“O, ya sudah, ayo masuk, diajak makan dulu kan mbokne?”

“Tidak Pak, saya mau mengajak Sunthi belanja, sekalian makan nanti.”

“Ini, Tino membawakan kita bakso untuk makan kita Pak.”

“Wah, bagus kalau begitu,” kata Tukiyo senang.

“Sunthi, segera ganti bajumu, kasihan calon suami kamu kalau kelamaan menunggu,” kata mbok Tukiyo.

Sunthi tersenyum, melirik sekilas ke arah Tino, lalu masuk ke dalam kamarnya.

“Duduk dulu No.”

“Iya Mbok.”

***

“Mas, aku mau keluar sebentar ya,” kata Qila kepada suaminya saat mereka sudah sampai kembali di kantor.

“Mau kemana?”

“Aku mau beli ponsel lagi.”

“Beli ponsel lagi? Bukankah belum lama ini kamu sudah beli ponsel baru?”

“Kemarin jatuh, kayaknya ada yang retak. Jelek banget, pengin beli baru.”

“Kenapa tidak tadi sekalian mampir?”

“Membeli ponsel kan tidak bisa sebentar, nanti kamu marah kalau aku kelamaan.”

“Ya sudah terserah kamu saja. Tapi nggak pakai lama ya?”

“Iya, cuma beli saja, lalu kembali, nggak lama kok.”

“Minta sopir kantor agar mengantar kamu.”

“Nggak usah Mas, aku sendiri saja, cuma beli ponsel kenapa harus diantar sopir?” kata Qila sambil mengambil kunci mobil di meja suaminya.

Qila bergegas keluar, diikuti pandangan masam suaminya.

“Akhir-akhir ini kenapa Qila seperti berbeda ya? Hanya perasaanku saja, atau memang ada sesuatu yang membuatnya berbeda? Ah, tidak, mengapa aku memikirkan yang bukna-bukan. Selama ini dia selalu bersikap baik dan patuh. Kecuali satu, dia sering menghindari aku dengan alasan lelah. Ya sudah, aku harus bisa mengerti. Memang punya istri cantik harus sabar. Begitukah? Kata batin Wisnu sambil tersenyum tipis. Ia bangga punya istri cantik dan pintar, walau terkadang mengesalkan juga karena banyak permintaan, dan terlalu boros. Tapi apa sih artinya uang bagi keluarga sekaya anak pak Kartiko?

***

Mungkin Qila tidak waras, atau gila, atau sedang tergila-gila. Dia memasuki halaman rumah sakit, hanya untuk melihat apakah mobil ayah mertuanya masih ada di antara deretan mobil yang diparkir. Ada ratusan mobil disana, dan dia kemudian yakin bahwa mobil itu tak ada.

“Berarti Nano sudah membawa Wahyudi pulang. Sayang sekali. Sebenarnya aku ingin membelikan ponsel untuk Wahyudi. Hanya ini satu-satunya jalan agar aku bisa berhubungan dengan Wahyudi. Tapi kalau ada Nano bagaimana? Ah, gampang, aku beri Nano uang untuk tutup mulut, itu tidak susah kan?

Ah iya juga sih, mana ponselnya, kan aku belum beli. Seandainya dia masih di rumah sakitpun kan aku belum membawa ponselnya?

“Ya sudah, itu gampang, yang penting aku sudah beli dan kalau ada kesempatan aku akan melakukannya dengan mudah,” kata batin Qila sambil tersenyum, kemudian memutar mobilnya untuk kembali keluar dari area parkir rumah sakit itu.

***

Wahyudi memang merasa lelah. Ada beberapa tahap pemeriksaan yang tadi dilaluinya. Ia bersyukur uangnya masih cukup. Ia juga sudah membeli obat dari resep yang diberikan dokter di apotik luar, karena kalau di rumah sakit akan terlalu lama.

“Aku hanya memikirkan tugas aku, pasti bapak sudah makan.”

“Maksudnya tugas melayani bapak dan menyiapkan obat-obatnya?”

“Iya.”

“Ibu sudah mengijinkan kita pergi, berarti ibu juga sudah siap melayani sendiri suaminya, kamu tidak usah terlalu memikirkannya.”

“Iya juga sih, tapi nanti aku harus meminta maaf.”

“Kamu itu sangat perasa sekali,” kata Nano sambil tersenyum’

“Semoga obatnya bisa membantu, dan pemeriksaan tadi juga bisa mendorong ingatanku agar bisa kembali normal.”

“Semoga kamu segera pulih.”

“Aamiin, terima kasih Nano.”

Tapi ketika itu, tiba-tiba Wahyudi melihat sesuatu. Seorang gadis yang dikenalnya.

“Tolong berhentilah. Itu kan Sunthi.”

Nano memperlambat laju mobilnya.

“Sunthi. Calon istriku. Mengapa dia digandeng seorang laki-laki? Berhentilah agak di dekat mereka. Apa maksudnya ini?”

***

Besok lagi ya.

 

 

32 comments:

  1. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU ~12 sudah hadir.. maturnuwun bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah terimakasih bunda

    ReplyDelete
  4. Sugeng Dalu mb Tien.... Sehat2 njiih ... Matur Nuwun KC 12nya

    ReplyDelete
  5. Trimakasih bu Tien semoga selalu sehat

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung.
    Wah makin ruwet Wahyudi, masih terpengaruh kata Sunthi.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  7. Alhamdullilah sdh tayang KC 12, terima kasih mbak Tien, sehat dan bahagia selalu

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah sudah tayang KC 12
    Terimakasih Cerbung nya bunda Tien Kumalasari
    Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua aamiin

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 12 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillaah dah tayang makasih bunda

    ReplyDelete
  11. Sehat selalu bund... Terimakasih

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 12 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah KC 12 sudah tayang.
    Matur nuwun bunda Tien sayang.
    Semoga bunda Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan dan keberkahanNya...
    Aamiin 🤲🤲🤲

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Soga selalu sehat
    Dan Semangat

    ReplyDelete
  15. Ceritanya semakin seru...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah ..Terimakasih ya bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat wal'afiat selalu bunda Tien.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 36

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  36 (Tien Kumalasari)   Satria memandang sungkan kepada dosen yang ada di depannya. Menurutnya Listyo kelew...