Friday, December 13, 2019

DALAM BENING MATAMU 65

DALAM BENING MATAMU  65

(Tien Kumalasari)

 

Mata bening itu masih digenangi titik-titik air. Adhit meraih tissue diatas meja dan mengulurkannya pada Anggi. Anggi mengusap air matanya, lalu meneguk lagi minumannya. Ia merasa Adhit sedang mengajaknya bercanda. Ia tak menanggapinya, lalu mempermainkan lagi sendok di gelasnya.

"Anggi.."

Ditatapnya Adhit yang sedang memandanginya lekat.

"Kamu tidak mendengar omonganku?"

Anggi menghela nafas.

"Itu bercanda kan?"

"Aku serius. Sangat serius."

"Tidak, jangan menggangguku mas, aku memang harus sendiri, seperti ini."

"Tidak Anggi, kamu butuh teman, yang bisa ber sama-sama mengarungi hidup ini."

"Adakah orang yang mau dikecewakan?Tapi.. tunggu.. Dinda sudah mengatakan semuanya kan?Lalu mas Adhit iba.. lalu..."

"Aku serius.. aku ingin menemani kamu."

"Jangan mas.. " 

"Anggi... besok kedua orang tuaku akan datang, aku akan memperkenalkanmu pada mereka."

"Mas.. nanti mas akan kecewa, keluarga mas juga akan kecewa."

"Apakah dalam berumah tangga semua menginginkan kehadiran seorang anak?"

"Ya, pastinya..."

"Kiya bisa mengasihi anak orang lain, memungutnya dan menjadikannya anak kita. Apakah itu berbeda?"

"Mas tau kan, bahwa itu berbeda.."

"Dalam hal mengasihi, itu sama.. tak masalah anak itu dilahirkan oleh kita atau orang lain."

Anggi terdiam.

"Besok sore kami akan kerumah kamu. Kamu harus menyiapkan jawaban, akan menerima aku atau menolak."

"Mas... mas.. tolong mas..." tiba-tiba Dinada mendekat sambl memegangi perutnya.

"Ada apa kamu Din?" Anggi dan Adhit memandangnya dengan wajah khawatir.

"Perutku mendadak sakit, aku mau pulang duluan," kata Anggi sambil mengambil tasnya kemudian bersiap melangkah pergi. Tapi Adhit memegang tangannya.

"Kami sudah selesai, tunggu sebentar aku antar kamu."

"Tapi.."

Adhit memanggil pelayan, meletakkan sejumlah uang dan mengangguk kearah Anggi, sebegai isyarat mengajaknya pergi.

***

Tapi setelah mengantarkan Anggi kerumahnya, Dinda kelihatan baik-baik saja.

"Perut kamu masih sakit?"

"Nggak, mas itu bagaimana, aku tadi mau pulang duluan supaya mas lebih lama berbicara sama Anggi.

"Kamu tuh ya, dari dulu nggak juga berubah, suka bikin orang bingung, ternyata pura-pura."

Dinfa tertawa sambil menutup mulutnya.

"Kok mas bilang sudah selesai tadi?"

"Memang sudah selesai..."

"Mas jadi melamarnya?"

"Sudah.."

"Diterima?"

"Belum..."

"Kan Dinda sudah bilang, cari gadis lain saja, nanti mas kecewa."

"Aku suka sama dia.."

"Bohong kan??

"Benar..."

"Mas cuma kasihan sama dia. Itu akan membuat dia menderita.. karena mas hanya ber pura-pura suka."

"Kamu sok menasehati orang tua... kayak nenek-nenek saja,,"

"Ini masalah hidup mas.. kalau suatu hari nanti mas kecewa... kasihan dia."

"Ya, sudah mas fikirkan, kamu jangan khawatir...besok mas akan melamarnya.. dan percayalah..  masmu ini akan bahagia.."

Dinda terdiam. Sungguh dalam hati ia tak sepaham dengan Adhit. Ia tau Adhit penuh belas .. tapi mempertaruhkan hidup untuk sesuatu yang belum pasti.. membuatnya was-was.

*** 

Ayud terkejut ketika malam hari itu tiba-tiba Dinda datang kerumah.

"Heii... ngapain kamu malam-malam datang kemari?" tanya Ayud.

"Aku mau tidur disini malam ini,boleh kan?"

"Ya boleh dong, tapi kok nggak bilang0bilang, kalau kamu bilang, mas Raka pasti bisa nyamperin kamu."

"Nggak apa-apa.. aku kan sudah besar.. kata mas Raka harus bisa melakukan semuanya sendiri. Ya kan mas?" kata Dinda sambil melihat kearah Raka yang baru muncul dipintu depan."

"Bagus lah... tapi kayaknya ada sesuatu deh.."

"Ya benar, aku mau cerita sesuatu, tapi aku lapar nih, boleh minta makan nggak?"

"Ya boleh dong, tuh.. memang sa'atnya makan malam, sudah mbak Ayud siapkan semuanya dimeja."

"Asyik dong.. 

Selesai makan, Dinda langsung menceritakan keinginan Adhit untuk melamar Anggi. Ayud terkejut mengetahui bahwa Anggi tak akan bisa melahirkan karena rahimnya sudah diangkat.

"Gimana tuh mas, kok mas Adhit tiba-tiba nekat begitu ?" kata Ayud kepada Raka suaminya.

"Kamu kan tau, sejak dulu, kalau dia punya keinginan, tak seorangpun bisa mencegahnya kan?"

"Tapi apa benar-benar ini sudah dipikirkan ? Coba besok mas bicara sama dia."

"Bicara apa lagi, kalau itu sudah kemauannya, aku tak akan bisa menghentikannya. Nah, besok bapak ibu datang ke Solo kan? Pasti dia juga sudah akan bilang sama mereka."

"Iya ya, besok kita ramai ramai menjemput ka bandara ya?"

"Horeee.. aku ikut.."

"Kamu nggak kuliah?"

"Nggak ada kuliah besok, makanya aku mau tidur disini."

"Mas bisa nganter kan?"

"Iya, aku jga lagi nggak ngajar paginya, jadi bisa ikut menjemput."

"Baguslah kalau begitu. Tapi masalah Anggi itu kok aku jadi kepikiran. Coba Din, aku mau lihat fotonya." kata Ayud kepada Dinda.

"Oh belum tau ya, cantik sih. Sebentar ... nih.. baru Dinda cari nih... naah.. ini dia..."

Ayud memandangi foto Anggi di ponsel Dinda. Raka ikutan melongok, lalu berdecak kagum.

"Cantik banget sih.." kata Raka yang membuat Ayud mencibir.

"Ayo... jangan lama-lama ngeliatnya...," kata Ayud sambil mendorong tubuh Raka agar menjauh.

"Hm.. gitu aja cemburu.."

"Habis, kamu ngeliatnya sampai melotot begitu."

Dinda hanya tertawa melihat ulah kakak dan isterinya.

"Cemburu itu kan tandanga cinta.. ya kan mas?"

"Tapi ada miripnya sama kamu ya Din?"

"Berarti aku cantik dong."

"Iya, siapa bilang kamu nggak cantik. Tapi ya itu, kenapa ya mas Adhit tiba-tiba suka, lalu mau melamarnya?"

"Menurut aku, mas Adhit itu cuma kasihan."

"Ya sudah, aku kira kita nggak usah terlalu memikirkannya. Tidak semua kebahagiaan itu terletak pada lahirnya seorang anak dari rahim kita. Banyak yang tidak punya anak tapi mereka bahagia. Ya kan?"

Ayud hanya mengangguk  Tapi dalam hati ia berharap kakaknya mau mengurungkan niyatnya.

***

"Adhit, apa kamu sudah memikirkan masak-masak tentang keinginan kamu itu?" kata Galang ketika mereka sudah sampai dirumah. 

"Jangan karena bapak sama ibu sudah ingin sekali punya menantu, lalu kamu memilih gadis sekenanya."

"Bukan ibu, ini sudah Adhit pikirkan masak-masak."

"Yakin, besok kamu mau mengajak kedua orang tuamu ini melamar dia?"

"Yakin, bapak, Adhit mohon.. ini sudah keputusan Adhit."

Tak seorangpun bisa menghalanginya. Keinginan Adhit begitu kuat, tekatnya sudah bulat. Apa boleh buat, semoga Adhit bahagia, itu harapan mereka semua.

Adhit merasa lega ketika bapak dan ibunya bersedia melamar Anggi besok harinya. Memang semua itu bukan lantaran cinta. Mungkin benar kata Dinda bahwa Adhit hanya kasihan, tapi salahkah mengasihani derita orang lain? Alangkah sedihnya ketika hidup tak berteman, karena tak seorangpun mau mendampinginya. Dan tekat Adhit sudah benar-benar bulat. Maka ditelponnya Anggi.

"Ya mas.." sapa Anggi dari seberang sana.

"Apa kamu sudah memikirkannya?"

"Memikirkan apa?"

"Lamaran aku kemarin."

"Oh, apakah itu benar?"

"Anggi, aku serius, bapak ibuku sudah disini, dan besok kami sekeluarga akan melamar kamu."

"Mas, apakah itu tidak terlalu ter gesa-gesa?"

"Tidak, aku harus membuktikan bahwa aku serius dengan kata-kata aku."

"Apakah mas mencintai aku?"

"Anggi, haruskah aku mengatakannya setelah apa yang akan aku lakukan ini? Tolong bilang kepada mama kamu bahwa kami akan datang."

Adhit tak membutuhkan jawaban Anggi lebih jauh, dan segera menutup ponselnya.

Seluruh keluarga mendengarnya, Galang, Putri, bu Broto, Ayud, Raka, Dinda.. dan mereka sepakat besok akan datang ber sama-sama.

***

"Mirna, banyak sekali, ini belanjaan bu Susan?" Kata Dewi begitu pulang dari pasar.

"Iya mbak, nggak seperti biasanya, belanjaannya banyak sekali, tampaknya ada arisan dirumahnya."

"Mungkin..."

Dewi menghentikan bicaranya karena ponselnya berdering.

"Adhit? Tumben pagi-pagi menelpon.

Mirna menghentikan kegiatannya mengecek barang-barang ketika mendengar Dewi menyebut nama Adhit.

"Kamu lagi dirumah kan?"

"Ya, memangnya kenapa?"

"Nanti sore aku aakan nyamperin kamu."

"Eh, mau kamu ajak kemana aku ?"

"Melamar Anggi.."

Dewi terkejut.

"Melamar Anggi? Kamu serius? Ini beneran ?"

Tiba-tiba terdengar suara berdenting, suara gelas pecah.

"Eh, Mirna, ada apa?"

"Mmm... ma'af mbak... gelas.. eh.. botol.. sirup... terjatuh..."

"Oh, ya udah, nggak apa-apa, suruh pembantu membersihkan.."

"Hallo..." suara Adhit dari seberang...

"Ada apa Wi?"

"Itu, Mirna menjatuhkan botol sirup, nggak apa-apa.. eh.. kamu tadi bilang apa? Mau mengajak aku ?"

"Iya, maksudku aku minta ikut bersama keluarga aku, Bisa nggak?"

"Ya, coba nanti deh.. kalau nggak ada acara boleh saja.."

"Oke, pokoknya nanti aku samperin kamu ."

Dewi termenung begitu pembicaraan itu selesai. Ia tak menyangka Adhit mau melamarnya. 

"Oh, awas mbak," dan teriakan pembantunya itu sekarang mengejutkan Dewi, dilihatnya tangan Mirna berdarah darah.

"Mirna, kenapa kamu ini?" katanya sambil mendekat, dilihatnya wajah Mirna pucat, darah terus mengucur dari jari tangannya.

"Aduuh, lukanya dalam sekali, coba kemari, berdirilah Mirna, aduh.. baju\mu kena darah semua. Nggak bisa ini, harus dibawa ke klinik dan dijahit... tunggu sebentar, ini perban dan tekan kuat-kuat supaya darahnya tidak terus mengalir.

Dewi bergegas mengantarkan Mirna kerumah sakit. Mirna tak mampu ber kata-kata, wajahnya pucat, bukan cuma tangannya yang ber darah-darah, tapi juga hatinya.

*** 

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


10 comments:

  1. Cerita luar biasa ,sumber inspirasi

    ReplyDelete
  2. Bagus sekali alur ceritanya bu tien..... Aku suka.... Dan selalu tak sabar menunggu kelanjutannya.... Makasih...

    ReplyDelete
  3. Ceritanya bagus banget....dan gak sabar nunggu sambungannya....
    Ditunggu ceritanya bu tien...Terimakasih

    ReplyDelete
  4. Ceritanya jempol bingit ...sampai nggak sabar aku menanti kelanjutannya...mtr nwn jeng kumalasari....semoga kita selalu sehat

    ReplyDelete
  5. bagus sekali alur ceritannya....segera ingin tau endingnya...

    ReplyDelete
  6. Keren ceritanya...ditunggu ending nya

    ReplyDelete
  7. Ceritanya bagus, peran masing masing kuat, Terima kasih di beri kesempatan membaca

    ReplyDelete
  8. aku yow slalu nunggu lanjutan' ne lhoo........ mbok yo dicepet ke😃

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 31

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  31 (Tien Kumalasari)   Sinah terkejut. Pandangan mata simboknya sangat terasa menghujam di dadanya. Ia tah...