Tuesday, November 12, 2019

DALAM BENING MATAMU 44

DALAM BENING MATAMU  44

(Tien Kumalasari)

 

Mirna memegang kepalanya yang berdenyut.

"Aaa... di pesta pernikahan Ayud, anda menemukan anakku lagi nangis? Hahaaa... kok bisa kebetulan bertemu disini. Masih pusing?"

"Nggak mbak, terimakasih banyak, ma'af sudah merepotkan. "

"Dik.. temannya Ayud? Atau Adhit ?"

"Mm.. ya.. teman... teman saja.." Mirna bingung, tapi tak ingin mengatakan hubungannya dengan perusahaan Adhitama. Takutnya pembicaraan jadi panjang. Ia ingin cepat-cepat kenbali ke meja tempat dia makan.

"mBak, saya mau kesana dulu, barangkali ayah saya sedang menunggu." katanya sambil masih memegangi kepalanya.

"Hati-hati dik," pesan Dewi ramah, kemudian ia masuk kedalam toilet karena memang ingin buang air kecil tadi. Tapi tiba-tiba ia ingat nama gadis yang baru saja ditolongnya. Kalau nggak salah namanya Mirna. Haa.. Mirna... 

"Tapi tak mungkin Mirna isterinya Aji, nama Mirna kan banyak.." desis Dewi sambil mengunci kamar mandi.

Sesampai di mejanya, dilihatnya ayahnya sudah duduk disana, sambil sesekali menoleh kesana kemari. Rupanya ia mencari cari Mirna yang tak ada dimejanya, sementara tas dan belanjaannya masih terletak disana.

"Bapak.." panggih Mirna sambil duduk dihadapan bapaknya.

"Ya ampun nduk, bapak mencari kamu tadi. Dari kamar mandi? Wajahmu pucat sekali."

"Iya pak, sempat muntah-muntah tadi, tapi sekarang sudah enakan."

"Ini obat pusing yang tadi bapak beli, minumlah dulu. Tapi kamu belum menghabiskan makananmu."

"Iya, rasanya mual, biar Mirna makan dulu sesendok dua sendok sebelum minum obatnya."

"Ya, itu lebih baik...  itu nasimu hampir belum kamu makan.."

"Sudah sedikit tadi," kata Mirna sambil menyendok lagi nasinya. Perutnya agak enakan setelah isinya dikeluarkan sampai habis.

"Habiskan saja, kan cuma sedikit..." kata Kadir yang melihat Mirna mulai menyendok nasinya beberapa kali.

"Takut nanti mual lagi pak, mana obatnya, biar Mirna minum sekarang.

Pak Kadir menyodorkan satu strip obat pusing, yang kemudian diminum Mirna satu tablet dengan seteguk air.

"Sebaiknya nanti sore kamu ke dokter. Wajahmu pucat sekali nduk."

"Kalau sampai sore masih pusing saya mau ke dokter pak."

"Nanti tilponlah suamimu.. biar bisa oulang lebih awal dan mengantar kamu ke dokter."

"Nggak usah pak, nanti Mirna ke dokter saja sendiri, eh.. sama bapak saja.. lebih baik."

"Lha dia kan suamimu, wajib diberi tau keadaanmu dong nduk."

"Jangan pak, nanti merepotkan saja."

"Kamu itu aneh.. biar nanti bapak saja yang menelpon dia," kata Kadir yang kurang suka melihat sikap anaknya.

Mirna tak menjawab. Ia menghabiskan sisa minumannya, kemudian mengangkat ponselnya untuk memanggil taksi.

"Kita pulang ya pak,"

"Ya, itu lebih baik, supaya kamu bisa segera beristrrahat."

***

"Dhit, kamu tau nggak, tadi aku menolong seorang gadis yang sakit disebuah rumah makan, dan gadis itu namanya Mirna. Tapi pasti bukan Mirna isteri Aji itu, soalnya dia makan disitu bersama ayahnya. " kata Dewi dalam pembicaraan melalui telpon disore itu.

"Oh ya, orangnya bagaimana?"

"Aku tuh ketemu  dia sekali, waktu pesta pernikahan Ayud itu."

"Oh, pernah ketemu?"

"Iya, kan dia yang menolong Bima ketika dia menangis mencari aku."

"Oh...begitu?"

"Katanya dia teman kamu.."

"Teman aku?" tanya Adhit masih pura-pura tak tau, padahal dia yakin kalau Mirna yang dimaksud pasti Mirna bekas sekretarisnya. Selama ini Adhit merasa lebih suka bersikap tidak mengenal Mirna yang dimaksud Dewi.

"Iya, teman kamu atau teman Ayud, gitu.. oh ya, waktu datang itu sepertinya dia juga bersama ayahnya.."

"Yah, teman aku kan banyak, agak lupa aku. Dia datang pada pesta prnikahan Ayud ya? "Mungkin teman Ayud, atau teman Dinda, entahlah.."

"Aku belum menemukan berita tentang Aji, geregetan aku, sebetulnya aku pengin mengajukan gugatani  cerai saja, tapi aku ingin membalas perlakuannya dengan mempermalukannya didepan isterinya."

"Nanti aku bantu kamu mencari informasi tentang dia Wi, sabar ya."

"Baiklah Dhit, aku percaya kamu masih temanku."

"Iya ;ah Wi.. selamanya kita akan berteman."

Letika pembicaraan itu selesai, Adhit tetap yakin bahwa Mirna yang ditemui Dewi itu memang Mirna yang dimaksud.  Sesungguhnya dia heran, mengapa Mirna merahasiakan hubungannya dengan Aji. Kalau saja dia mau berterus terang pasti Adhit bisa mencegahnya.Tapi kalau sekarang, bagaimana mungkin mencegahnya? Kan mereka sudah jadi suami isteri.. sebulan lebih teah berlalu.. jangan-jangan malah sudah hamil..Wadhuh... keluh Adhit.

***

Tapi sore itu ternyata Aji belum jga pulang kerumah. Mirna masih merasakan mual dan pusing, dan bermaksud pergi ke dokter sendiri. Tapi ayahnya menyuruhnya menunggu, karena ia baru saja menelpon Aji.

"Sabarlah nduk, suamimu bilang akan segera pulang. Kalau kamu berangkat sendiri nanti apa dia nggak akan tersinggung."

"Sebenarnya kan Mirna bisa ke dokter sendiri bapak, tidak harus bersama mas Aji."

"Tapi dia itu kan suamimu, jadi dia harus tau kan nduk."

Mirna terdiam, sesungguhnya cinta yang kata ayahnya bisa tumbuh dengan berjalannya waktu itu belum juga dirasakannya. Jadi dia lebih suka kalau pergi kemanapun tanpa suaminya.

"Lebih baik kamu ber siap-siap, jadi kalau suamimu datang nanti bisa langsung berangkat."

Mirna pergi kebelakang, bermaksud berganti pakaian seperti saran ayahnya. Tapi didalam kamar rasa mual kembali menyerangnya. Ia telah melepas pakaiannya, dan belum sempat mengenakannya ketika kemudian ia harus lari kekamar mandi dan muntah-muntah sepuasnya.

"Apakah aku hamil?" bisik Mirna sambil meraih minyak gosok yang ada dimeja, lalu menggosokkannya ke ulu hatinya, dan disekitar perutnya. Ia masih belum mengenakan pakaian ketika kemudian berbaring ditempat tidur. Ketika ia sedang menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, tiba-tiba pintu terbuka dan Aji muncul disana. Cepat-cepat Mirna membuka selimut dan menutupkannya pada tubuhnya, tapi Aji menariknya perlahan. Sejenak mereka berebut selimut, yang satu ingin mengenakannya, yang satu ingin membuangnya, dan ternyata Aji yang menang.

"Mengapa Mirna? Aku kan suamimu? Ane kalau kamu merasa malu ketika suamimu melihat tubuhmu yang elok ini," kata Aji sambil memeluk Mirna. Mirna meronta ketika tubuh suaminya menindih tubuhnya. Sepasang tangannya mendorong tubuh suaminya.

"Sakit mas... tolong.." rintihnya..

"Oh ya, kata bapak kamu sakit...hm... baiklah, masih banyak waktu, apa kita harus berangkat sekarang? Tapi kamu belum mengenakan pakaian kamu, ini membuat aku...."

"Tolong keluarlah sebentar, aku mau berganti pakaian," pinta Mirna memelas.

Aji turun dari ranjang, tapi dia tak ingin keluar dari kamar.

"Aku akan tetap disini, menunggui kamu berpakaian," kata Aji tegas. Mirna terpaksa bangun dan berjalan kearah almari. Ia mengibaskan tangan Aji ketika Aji ingin memeluknya lagi.

"Tolong mas, aku benar-benar sakit," pintanya lemah.

Aji kecewa, tapi ditahannya semua hasrat dan keinginannya. Ia  membiarkan Mirna mengambil baju dan mengenakannya. Mata tajamnya nyalang memandangi tubuh itu, beruntung  ia berhasil  menahannya ketika mengingat isterinya sedang sakit.

 ***

 Mirna duduk disamping Aji, diruang tunggu dokter. Wajahnya pucat, dan tampak tak bersemangat. Beberapa pertanyaan Aji dijawabnya singkat. Terkadang dia tidk menjawabnya, dan hanya memejamkan matanya.

"Pusing sekali?" tanya Aji.

Mirna hanya mengangguk. Perutnya kembali terasa mual. DIambilnya minyak gosok dari dalam tasnya, dan dihirupnya aroma segar dari botolnya, untuk menenangkan rasa mualnya.

"Jangan-jangan kamu hamil," celetuk Aji dan membuat Mirna terkejut.

Mirna mengelus perutnya yang masih rata. Belum ada dua bulan ia menikah, dan kini ia hamil? Mirna merasa sedih. Entah mengapa ia benar-benar sedih.

"Disini ada beberapa dokter ahli, kita langsung ke dokter kandungan saja," kata Aji yang kemudian mengajak Mirna berdiri. Dengan langkah gontai Mirna mengikuti kemana Aji membawanya. Deretan dokter-dokter praktek ada disana. Ruang dokter kandungan terletak paling ujung diruangan itu.

Aji menyuruh Mirna duduk diruangan tunggu, dan dia sendiri menuju tempat pendaftaran. Mirna diam, masih tetap meletakkan ujung botol minyak anginnya di hidung, dn menghirupnya dalam-dalam. Dengan begitu rasa mualnya berkurang. Disandarkannya kepalanya dan dipejamkannya matanya.

Ada beberapa perempuan muda duduk menunggu dikursi yang berderet didepannya, tapi Mirna tak memperhatikannya. Benarkah aku hamil? Ridaak, aku tak ingin mengandung anak dari laki-laki yang tidak aku cintai, bisik Mirna dalam hati. Tiba-tiba berlinanglah air matanya. Ia merasa bahwa hidupnya tak pernah beruntung. Sejak kecil.. dan hidup serba kekurangan bersama Widi, lalu menemukan kebahagiaan ketika bisa bertemu ayahnya.. tapi kemudian ia harus berkorban demi kebahagiaan ayahnya, hidup menjadi isteri laki-laki pilihan ayahnya, yang sama sekali tak pernah dicintainya. Ini membuatnya sedih, dan merasa sengsara. Diambilnya tissue dari dalam tasnya untuk mengusap air matanya sebelum titik dan meleleh dipipinya.

Lalu terbayang wajah ganteng yang dipujanya, yang tak akan pernah menjadi miliknya. Hatinya bergetar tiba-tiba, rasa itu tak hendak lenyap dari hatinya. Ya Tuhan... apa aku jatuh cinta padanya?

Matanya terpejam, dan tangannya masih memegangi botol minyak angin yang menempel dihidungnya,, ketika tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggilnya, suara perempuan yang sangat dikenalnya.

"Mirna?"

Mirna membuka matanya, dan terkejut tiba-tiba.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

"

 


5 comments:

  1. Makasih mbak....duh semakin penasaran....semakin seruuu... Ditunggu episode selanjutnya mbakkk......

    ReplyDelete
  2. Alhamdullilah ...akhir nya mas Adhit nya dtg juga....maturnuwun

    ReplyDelete
  3. Mudah-mudahan cepet up nya lanjutan mirna

    ReplyDelete
  4. Terima kasih m'ba Tien
    Ditunggu lanjutannya

    ReplyDelete
  5. Terima kasih m'ba Tien
    Ditunggu lanjutannya

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...