Wednesday, December 24, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 21

 HANYA BAYANG-BAYANG  21

(Tien Kumalasari)

 

Puspa menatap bik Supi yang seperti orang ketakutan. Sekilas Puspa menemukan jawabannya, tapi ia harus memastikannya. Siapa tahu pembantu setia itu justru pernah menemukan atau mencurigai sesuatu, atau bahkan sudah dengan jelas mengetahui dan sangat diyakininya. Tentang ibunya? Puspa tak harus melindungi sang ibu kalau ternyata sudah ada yang mengetahuinya. Untuk apa kalau sudah ada yang mengintip tabir perselingkuhan itu dan melihat semuanya.

Puspa menarik tangan bibik, dimintanya agar duduk di depannya.

“Non, saya siapkan makan ya.”

“Tidak, Bibik harus menjawab pertanyaanku. Percayalah, betapapun buruk apa yang akan  Bibik katakan, aku tidak akan marah. Sungguh.”

Mata bik Supi berkedip-kedip, menatap wajah cantik nona majikannya, yang penuh ketulusan.

“Benarkah Non Puspa tidak akan marah kalau bibik mengatakannya?”

Puspa menggelengkan kepalanya.

“Sebenarnya … sebenarnya … tapi … Non, saya sebelumnya minta maaf. Sungguh Non, saya minta maaf. Bukannya saya ingin merendahkan Nona, bukannya saya ini ingin berbuat jahat kepada seseorang. Saya, hanyalah manusia biasa … yang kalau melihat sesuatu yang tidak wajar, selalu nyeletuk mengeluarkan isi hati.”

“Yang kecanduan itu, Bibik anggap adalah sesuatu yang tidak wajar?” Puspa memancing ucapan bibik, yang tampaknya masih ragu berterus terang.

Bibik mengangguk, tapi kemudian menatap ke arah lain.

“Aku kan sudah mengatakan kalau tidak akan marah? Baiklah, biarkan aku menebaknya. Apakah yang Bibik maksud itu ibuku?”
Bik Supi menatap nona majikannya dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Mengapa non Puspa mengucapkan itu dengan ringan? Apakah sang anak sudah tahu perbuatan ibunya?

“Begitukah, Bik?”

“Non Puspa, saya sungguh minta maaf. Saya tidak bermaksud mengomeli nyonya, entah mengapa mulut saya ini jadi sangat lancang.”

“Bibik tidak usah merasa bersalah. Bibik tidak bersalah, yang bersalah adalah orang yang melakukan tindakan tidak terpuji dan sangat rendah. Apakah itu ibuku?”

“Non Puspa, maafkanlah saya,” lalu tiba-tiba bibik menangis terisak.

“Sudah lama Bibik mengetahuinya?”

Bik Supi mengangguk pelan.

“Jangan takut mengatakannya.”

“Apakah Nona sudah mengetahuinya?”

Bik Supi dan Puspa seperti sudah saling mengerti apa yang mereka bayangkan. Tapi Puspa ingin mengetahui lebih banyak.

“Bik, sudah lamakah hal itu terjadi?”

“Bertahun-tahun lalu, ketika bibik baru saja bekerja di sini.”

Puspa terperanjat. Bertahun-tahun lalu?

“Pada awalnya saya heran, apakah Priyadi saudara nyonya? Tapi kemudian saya sering melihat Priyadi keluar masuk kamar nyonya.”

“Apa?”

“Maaf Non.”

“Dan itu sudah bertahun-tahun lalu?”

“Mohon Non memaafkan saya. Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya ingin menyimpannya saja, toh saya hanya pembantu. Tapi kemudian non Puspa mendesak saya, jadi saya terpaksa mengatakannya. Maaf Non.”

“Bibik tidak usah berkali-kali minta maaf. Bibik tidak bersalah, Bibik hanya mengatakan apa yang Bibik lihat dan saksikan.”

“Kalau sampai nyonya tahu bahwa saya mengatakan ini pada Non, entah apa yang akan terjadi pada bibik. Mungkin bibik langsung dipecat. Tapi bibik masih membutuhkan uang. Nugi belum selesai,” kata bibik sendu.

“Bibik jangan khawatir. Aku juga belum ingin membuka semua ini. Kata mbak Sekar, aku harus menyelesaikan dulu kuliah aku, kejadian itu jangan sampai mengganggu.”

“Terima kasih banyak non. Non sungguh baik kepada saya. Saya doakan agar Non bahagia dan yang penting selalulah berjalan dalam kebenaran.”

“Terima kasih Bik.”

“Sekarang non Puspa makan ya?”

“Ya, sedikit saja. Bagaimanapun hal ini sangat mengganggu aku. Itu pula sebabnya aku sering berada di rumah mbak Sekar. Aku tidak suka melihat Priyadi yang kebaikannya dan kesetiaannya kepada bapak adalah palsu. Dia bersama ibu bersekongkol menyakiti hati bapak.”

“Saya juga kasihan pada tuan. Tuan sangat baik, tapi dikhianati.”

“Ya sudah, ayo makan Bik, temani aku.”

“Tidak Non, bibik duduk di pojok seperti biasanya saja, melayani non Puspa makan.”

“Jangan Bik, aku yakin Bibik belum makan, ayo makan bersama-sama.”

Agak canggung bik Supi ketika Puspa mengajaknya makan semeja. Sebentar-sebentar ia melongok ke arah depan.

“Mengapa Bibik seperti tidak tenang begitu?”

“Kalau nyonya pulang dan melihat saya duduk di sini, bisa dibunuh saya Non.”

Tak urung Puspa tersenyum mendengar perkataan bik Supi.

“Kalau ibu pulang, pasti terdengar suara mobilnya. Ibu naik mobilnya sendiri ya? Aku tidak melihatnya di garasi.”

“Iya Non, tadinya mau pergi bersama Priyadi, tapi tiba-tiba tuan menelpon, menyuruh Priyadi kembali ke kantor. Pastinya pekerjaan di kantor sedang banyak.”

“Ya sudah, makan yang enak, setelah ini aku mau mengambil beberapa baju, nanti mau tidur di rumah mbak Sekar lagi.”

“Mengapa Non tidak tidur di rumah sini saja?”

“Kan aku sudah bilang, aku tidak ingin melihat Priyadi, bahkan ibu.”

“Ya ampun Non, saya juga kasihan pada Non.”

“Tidak apa-apa Bik, aku sudah mengatakan semuanya pada mbak Sekar, dan ternyata Bibik juga sudah tahu, entah mengapa perasaanku terasa lebih ringan."

“Bibik akan berdoa, semoga semuanya segera berlalu.”

“Aku masih harus bersabar Bik, demi kuliah aku.”

“Semoga cepat selesai ya Non. Tapi nanti setelah Nugi bekerja, bibik dilarang bekerja lagi oleh Nugi.”

“Iya, aku mengerti Bik.”

***

Suwondo, suami Sekar sangat prihatin mendengar semuanya. Dugaan-dugaannya selama ini, yang sebenarnya masih samar, sekarang sudah benar-benar adalah kenyataan.

“Kata bik Supi, ia melihatnya sejak pertama kali dia bekerja di rumah bapak.”

“Berarti sudah bertahun-tahun. Bibik bekerja di sana sudah sekitar tujuh atau delapan tahunan kan?”

“Malah sudah ada sepuluh tahunan Mas.”

“Bukan main. Sebegitu jahatnya ibu Srikanti. Sudah berapa banyak dia menghisap harta bapak untuk bersenang-senang dengan Priyadi. Lalu rumah yang kamu melihat ibu masuk ke sana itu rumah siapa?”

Pastinya rumah mereka berdua, ibu yang membelinya, atau mengontrak, entahlah, kalau senggang aku ingin mencari tahu. Aku juga ingin bicara dengan bapak. Tapi di kantor.”

“Kamu ingin mengatakan tentang perselingkuhan itu? Katanya Puspa tidak berani mengatakannya pada bapak, demi kesehatan bapak.”

“Bukan masalah itu. Aku ingin mengingatkan bapak tentang Nilam.”

“Oh iya. Nilam anaknya Priyadi?”

“Iya, aku khawatir dia berbuat yang tidak baik, atau punya maksud yang tidak baik. Aku hanya ingin mengingatkan bapak agar bapak berhati-hati.”

“Bukankah katamu dia menjadi pembantu sekretaris bapak? Berarti dia sering berada di dekat bapak. Bagaimana kamu bisa berbicara tanpa dia mendengarnya?”

“Gampang, nanti aku ajak bapak makan siang di luar. Aku juga kangen jalan-jalan sama bapak.”

“Lakukan dengan hati-hati, agar bapak tidak curiga.”

“Baiklah. Aku akan melakukannya hati-hati.”

“Kasihan Puspa, dia harus mengungsi di sini gara-gara enggan bertemu mereka.”

“Dia merasa bisa bekerja lebih tenang di sini, biarkan saja.”

***

Malam itu, tuan Sanjoyo menelpon Puspa, karena berhari-hari tidak ketemu.

“Ada apa Pak, kangen ya sama Puspa?” canda Puspa.

“Apa kamu merasa bisa bekerja lebih baik ketika di rumah kakakmu?”

“Iya Pak, soalnya rumah mbak Sekar kalau siang sepi, jadi Puspa bisa lebih fokus bekerja.”

“Di rumah sendiri berisik ya?”

“Bukan begitu, hanya merasa lebih nyaman saja. Terus kalau mbak Sekar sudah pulang, bisa ngobrol sambil istirahat.”

“Baiklah, terserah kamu saja, yang penting kamu nyaman dan aman.”

“Bapak sehat-sehat saja kan?”

“Tentu saja, bapak merasa sehat, hanya kaki bapak masih sedikit lemas. Sesekali bapak ingin belajar berjalan dengan walker. Kalau duduk terus justru tidak dilatih gerak.”

“Mengapa tidak dari dulu bapak mempergunakan walker itu, kan mas Roto yang membelikannya.”

“Ibumu sangat khawatir kalau aku latihan berjalan, lebih baik kursi roda saja, begitu katanya.”

“Kenapa khawatir?”

“Ibumu itu karena saking sayangnya pada bapak, jadi melarang bapak menggunakan alat jalan itu.”

Dari seberang, Puspa mencibir. Saking sayangnya? Atau jangan-jangan malah ibunya tak ingin suaminya sembuh dan bisa berjalan dengan normal.

“Bapak harus mencobanya.”

“Baiklah, mulai besok bapak akan mencobanya.”

Ketika meletakkan ponsel, Puspa baru berpikir tentang alat pembantu jalan itu, yang tidak pernah dipakai oleh sang ayah, dengan alasan dilarang oleh ibunya. Mengapa bukan sejak kemarin-kemarin Puspa meminta ayahnya agar latihan berjalan dengan walker? Iya sih, kan ketemunya kalau sore saja. Jadi Puspa tidak begitu perhatian. Sekarang dia harus lebih perhatian dan sering mengingatkan.

***

“Anak itu keras kepala, memang keras kepala,” omel Srikanti setelah sang suami selesai menelpon Puspa.

“Tidak apa-apa, dia merasa nyaman dengan kakaknya, apa tidak boleh?” jawab tuan Sanjoyo.

“Di rumah apa tidak bisa, dia juga punya kamar sendiri.”

“Dia sedang mengerjakan tugas akhir, barangkali dia membutuhkan tempat yang nyaman. Biarkan saja. Kamu seperti kehilangan anak kecil saja.”

“Akhir-akhir ini Puspa memang jarang ngomong sama aku.”

“Dia juga jarang di rumah kan?”

“Ya sudah, terserah dia saja. Semakin besar jadi semakin membuat jengkel.”

“Anak kalau sudah besar, apalagi dewasa, pasti sudah punya kemauan sendiri. Tidak usah kamu pikirkan, yang penting tidak melakukan hal buruk.”

Tapi sebenarnya Srikanti kurang suka Puspa dekat-dekat  dengan kakak tirinya. Jangan-jangan Sekar yang mengajari Puspa untuk berani menentang dirinya.

***

Siang hari itu di kantor tuan Sanjoyo bersiap untuk beristirahat. Biasanya dia suruhan OB untuk membeli makan siang. Tapi ketika ia akan memanggil OB, Sekar muncul.

“Sekar? Ayo sini, duduk. Kebetulan saat istirahat.”

“Bapak akan Sekar ajak makan siang di luar.”

“Benarkah?”

“Benar, tentu saja.”

“Aku panggil dulu Priyadi, sebelum dia pergi, biasanya kalau jam makan begini dia keluar.”

“Tidak usah Pak, aku kan membawa mobil sendiri.”

“Kamu bisa, mengawal bapak dengan kursi roda?”

“Bisa dong Pak, masuk ke mobil Sekar bisa membantu. Melipat kursi roda dan memasukkannya ke bagasi, Sekar bisa.”

“Baiklah, ayo kita berangkat,” kata pak Sanjoyo dengan gembira.

***

“Sekar baru tahu, ternyata Nilam itu anaknya Priyadi?” tanya Sekar saat makan bersama sang ayah.

“Iya, kasihan, ibunya baru meninggal, dia butuh pekerjaan.”

“Bagaimana pekerjaan dia? Baguskah?”

“Dia kan baru sebulan lebih, masih harus banyak  belajar.”

“Mengapa ditempatkan di kantor Bapak?”

“Dia kan pembantu sekretaris. Dia masih harus banyak belajar.”

“Seharusnya ditempatkan di gudang, atau di bagian ekspedisi saja. Kan dia baru belajar.”

“Ibumu yang minta.”

“Mengapa harus tergantung ibu?”

“Kata ibumu, kasihan pada Nilam.”

“Kasihan itu kan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Nilam sudah diberi pekerjaan, harusnya bersyukur.”

“Mengapa kamu mengingatkan bapak tentang Nilam?”

“Hanya minta agar Bapak ber hati-hati, di ruangan Bapak terdapat banyak rahasia perusahaan di mana hanya orang tertentu yang boleh mengetahuinya. Sedangkan Nilam itu orang baru. Kita tidak tahu bagaimana dia kan?”

“Masa aku harus tidak percaya pada anaknya Priyadi?”

“Pak, Sekar kan juga seorang pengusaha, walau kecil-kecilan. Tapi terhadap pegawai baru yang kita tidak tahu seperti apa, Sekar harus berhati-hati. Bapak kan tidak tahu Nilam itu bagaimana? Hanya karena anak Priyadi, lalu Bapak percaya begitu saja. Harusnya tidak langsung berdekatan dengan Bapak, sebelum Bapak benar-benar tahu dia itu bagaimana. Apalagi dia masih harus belajar.”

“Jadi sebaiknya bagaimana?”

“Misalnya di gudang, mencatat keluar masuknya barang, atau di bagian ekspedisi, atau apa. Kan banyak ruang untuk belajar. Bukan apa-apa, Bapak sudah sepuh, anak-anak belum ada yang siap mengganti, kabarnya Puspa juga ingin berusaha sendiri, jadi Sekar kira Bapak harus ber hati-hati. Maaf kalau Sekar terkesan mengajari.”

***

Besok lagi ya.

44 comments:

  1. πŸŽπŸŽ‹πŸŽπŸŽ‹πŸŽπŸŽ‹πŸŽπŸŽ‹
    Alhamdulillah πŸ™πŸ¦‹
    Cerbung HaBeBe_21
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien dan
    keluarga sehat terus,
    banyak berkah dan
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🀲.Salam seroja 😍
    πŸŽπŸŽ‹πŸŽπŸŽ‹πŸŽπŸŽ‹πŸŽπŸŽ‹

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah HaBeBe _21 sudah tayang
    Matur sembah nuwun Mbak Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah Cerbung HBB 21 sampun tayang .... maturnuwun bu Tien, semoga ibu sekeluarga selalu sehat dan bahagia .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ©·πŸŒΉπŸŒΉ

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai

      Delete
  4. Alhamdulillah, nuwun bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, nuwun bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  6. Kapokmu kapan..wpi para penjahat : Priyadi, Nilam dan Srikantil...jatuhnya kalian akan sangat sakit....gedubraakk

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah "Hanya Bayang-Bayang 21" sdh tayang. Matur nuwun Bu Tien, sugeng dalu πŸ™

    ReplyDelete
  8. Yerima ksih bunda HBB nya..slmt mlm dan slmt isyrhat..salam seroja dan aduhai sll unk bunda bersm kelgπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbak Tien-ku Hanya Bayang-Bayang telah tayang

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat bahagia bersama keluarga tercinta
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  11. Alhamdulilah
    Sehat selalu Bunda.
    Betul Sekar. Bapak mu terlalu percaya. Atas bujukan Srikanti...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
      Matur nuwun bapak E.ndang

      Delete
  12. Alhamdulillah, HANYA BAYANG-BAYANG (HBB) 21 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " HANYA BAYANG BAYANG ~ 21 " πŸ‘πŸŒΉ
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  14. Terima kasih Bunda, serial cerbung : Hanya Bayang Bayang 21 sampun tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin

    Mantab ..anak2 tuan Sanjoyo..sudah bangun dari tidur lama.

    Sekar menasehati ayah nya.
    Puspa menjauhi ibu nya, tdk mau bicara dan tdk mau pulang ke rumah..klu ada ibunya...😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  15. Alhamdulillah, matur nuwun Bunda Tien,
    Semoga Bunda, Pak Tom dan keluarga selalu sehat wal'afiat, bahagia, aamiin ,,

    ReplyDelete

  16. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *HANYA BAYANG BAYANG 21* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia
    bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  17. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  19. Mks bun HBB 21 sdh tayang,.....aelamat malam , smg bunda seklerg selalu sehat sll dlm lindungan Allah Ta'ala...aamiin yraπŸ™πŸ€²

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete
  20. Tindakan Sekar memang luar biasa...
    Tapi kenapa kok Sanjoyo tak firasat apa-apa tentang istrinya padahal dia seorang pengusaha? Pengusaha itu biasanya mempunyai kecurigaan tunggi terhadap orang baru ..
    Saya permisi dulu mau ketemu Rahman...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah HANYA BAYANG-BAYANG ~21 telah hadir.
    Maturnuwun Bu Tien πŸ™
    Semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga, serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🀲

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien, pinter sekali Bu Tien,sehat2 dan bahagia bersama Kel tercinta...

    ReplyDelete

HANYA BAYANG-BAYANG 21

  HANYA BAYANG-BAYANG  21 (Tien Kumalasari)   Puspa menatap bik Supi yang seperti orang ketakutan. Sekilas Puspa menemukan jawabannya, tapi ...