HANYA BAYANG-BAYANG 16
(Tien Kumalasari)
Bik Supi ketakutan, Puspa malu karena beberapa orang kemudian menatap mereka dengan tatapan aneh.
Walau Puspa sudah menegurnya, Srikanti tidak surut dalam memarahi mereka.
“Puspa, kamu itu tidak tahu malu ya, kamu itu putra orang terkenal, kaya raya, dihormati siapapun, bagaimana kamu bisa makan di tempat buruk seperti ini? Ini gara-gara pembantu tak tahu diri ini kan?”
“Bu, maaf ya. Bukankah Ibu yang tak tahu malu dengan berteriak di tempat umum seperti ini?” kata Puspa pelan, nyaris berbisik di telinga sang ibu. Tapi Srikanti benar-benar asli orang yang sesungguhnya bukan dari kalangan orang yang bertata krama.
“Kamu yang tidak tahu malu! Gara-gara kamu aku dan ayahmu itu jadi malu!” katanya sambil menunjuk sang ayah yang duduk di atas kursi roda, agak jauh dari tempat mereka bersitegang.
Bibik kemudian setengah berlari mendekati sang tuan majikan yang menatap tak mengerti karena tiba-tiba ditinggalkan istrinya dipinggir jalan.
“Tuan, saya dorong Tuan ke pinggir ya,” kata bik Supi sambil mendorong sang tuan lebih ke pinggir.
“Ada apa mereka?”
“Nyonya marah karena non Puspa mengajak saya makan di warung pinggir jalan.”
“Mengapa nyonya marah?”
“Katanya, nyonya malu.”
“Bukankah bukan dia? Ayo, bawa aku ke sana,” kata tuan Sanjoyo sambil mendorong kursi rodanya sendiri, tapi kemudian bik Supi melakukannya. Ia benar-benar ketakutan mendengar sang nyonya marah, dan sepertinya justru menyalahkan dirinya.
“Ada apa?” tanya tuan Sanjoyo setelah dekat.
“Ini Mas, anak ini tidak tahu malu. Masa makan di warung pinggir jalan itu?” jawabnya sambil menunjuk ke arah warung dengan tenda kain, yang dipenuhi pembeli karena memang saatnya makan siang.
“Mengapa kamu ribut? Biarkan saja. Itu kemauan Puspa kan?”
“Ini gara-gara pembantu bodoh itu,” katanya sambil menunjuk ke arah hidung Bik Supi.
“Bukan saya, Nyonya.”
“Bukan bik Supi yang minta, tapi aku sendiri yang ingin,” jawab Puspa sambil mendekati bik Supi yang masih memegangi kursi roda tuannya.
“Kamu sekarang pintar sekali menjawab apa yang ibu katakan.”
“Sri, kamu yang tidak tahu malu, marah-marah di jalanan begini. Antarkan aku ke mobil, aku tidak jadi makan,” kata tuan Sanjoyo sambil memutar kursi rodanya. Tapi kemudian Srikanti mengibaskan tangan bik Supi yang masih memegang kursi roda sang tuan dan bermaksud mendorongnya. Bik Supi mundur ke belakang, sementara kemudian Srikanti mendorongnya menjauh.
Ketika Srikanti mendorong ke arah rumah makan besar, tuan Sanjoyo menolaknya.
“Kita pulang, aku tidak jadi makan.”
“Tapi kita belum makan.”
“Kita pulang!” tegas kata tuan Sanjoyo.
“Bukannya Mas ingin makan di luar?”
“Sekarang tidak. Kita pulang,” kata tuan Sanjoyo tandas.
Srikanti terpaksa menurutinya, membantu tuan Sanjoyo naik ke dalam mobil, kemudian melipat dan memasukkan kursi rodanya ke dalam bagasi. Hal yang sudah sering dilakukannya.
Srikanti masuk ke dalam mobil dan membawa mobilnya pergi.
***
Puspa menarik tangan bik Supi, diajaknya masuk lagi ke warung yang tadi membuat sang ibu berteriak.
“Non, mengapa Non masih nekat masuk kemari? Tadi nyonya sudah marah-marah kan?”
“Tidak apa-apa. Aku ingin makan dengan makanan sederhana yang ada di warung ini. Duduklah. Kalau kamu tetap berdiri nanti menarik perhatian orang-orang lagi.”
Bik Supi menurut. Wajahnya masih pucat.
“Bu, minta teh panas dua ya,” kata Puspa kepada penjaga warung.
“Baik Non. Tadi kenapa ibunya marah-marah?”
“Tidak apa-apa, memang sedang ingin marah. Maaf ya Bu, tadi lumayan mengganggu.”
“Tidak apa-apa. Kemarin juga ada orang gila mengamuk di warung saya.”
“Orang gila?”
“Iya Non, tapi setelah saya beri makan, dia langsung pergi. Saya pikir yang berteriak tadi dia lagi.”
Ada perasaan tak enak di hati Puspa mendengar tukang warung menyamakan ibunya dengan orang gila yang kemarin datang kemari. Tapi bukan salah tukang warung itu. Ia tahu ibunya memang keterlaluan.
“Ini minumnya,” kata pelayan yang menyajikan dua gelas teh hangat ke depan Puspa dan bik Supi.
“Terima kasih.”
“Non mau pesan apa?”
“Aku mau nasi oseng. Ini oseng apa bu?”
”Itu oseng daun kates, ini oseng pare.”
“Ya, saya nasi, kasih oseng daun kates, sama telur ceplok dan kerupuk. Bibik apa?”
“Terserah Non saja,” kata bibik yang masih belum berselera makan.
“Pesan saja. Ada nasi dengan kuah juga, ya kan Bu,” kata Puspa yang melihat juga panci berisi kuah.
“Sama dengan Non saja,” kata bik Supi.
“Baiklah, nasinya sama, dua ya Bu.”
Nyatanya mereka makan dengan lahap. Nasi dengan lauk sederhana yang belum pernah dimakan Puspa sebelumnya, ternyata habis dilahapnya.
“Ternyata enak, pahit-pahit pedas,” kata Puspa yang segera meneguk minumannya karena kepedasan.
“Non, nanti sampai di rumah, Nyonya pasti masih melanjutkan marahnya,” kata bik Supi pelan.
“Nggak apa-apa. Nanti aku yang akan menjawabnya. Lagi pula bapak juga pasti akan membela kita.”
“Bibik takut Non.”
“Jangan takut Bik, kan ada aku?”
Tiba-tiba Puspa membayangkan kalau seandainya ibunya mengetahui hubungannya dengan Nugi, kalau saja mereka jadian. Pasti akan terjadi gempa di rumah. Puspa heran, mengapa ibunya tidak bisa menghilangkan sifat kasarnya walau sudah bertahun-tahun hidup dilingkungan orang-orang terpandang seperti ayahnya.
“Non tidak takut?”
“Tidak. Kita tidak salah, mengapa takut?”
“Belum kalau nanti Nyonya tahu ketika Non membelikan bibik baju, juga untuk anak bibik.”
“Tidak apa-apa. Bibik tidak usah takut.”
Walau begitu bibik menghabiskan minumannya masih dengan wajah sedikit pucat.
***
Di sepanjang jalan pulang, tuan Sanjoyo hanya diam. Kali ini tuan Sanjoyo benar-benar kesal kepada sang istri. Ia melihat bagaimana istrinya berteriak sambil menuding-nuding, tanpa malu dilihat orang-orang lewat.
“Jadi Mas benar-benar nggak jadi makan? Nanti di rumah makan apa?”
Tuan Sanjoyo diam.
“Kalau begitu nanti berhenti di penjual ayam goreng saja. Makan dengan ayam goreng saja pasti juga nikmat.”
Tuan Sanjoyo sama sekali tidak merespon perkataan sang istri.
“Mas jangan marah. Tadi aku hanya memarahi Puspa karena makan di pinggir jalan. Itu kan tidak pantas? Masa putri tuan Sanjoyo makan di pinggir jalan begitu? Mana pembelinya orang-orang yang berpakaian kumuh dan kelihatan kalau orang-orang biasa.”
“Memangnya kenapa kalau makan di warung?” akhirnya tak tahan, tuan Sanjoyo merespon juga perkataan istrinya.
“Mas, dia itu kan putri Mas. Apa ya pantas makan di tempat seperti itu?”
“Lha kamu itu, istri seorang pengusaha, mencak-mencak di pinggir jalan seperti orang tak bertata susila.”
“Lho, kok Mas malah memarahi aku sih? Aku ini membela kehormatan Mas.”
“Dengan sikap seperti yang kamu lakukan tadi, kamu tidak membela kehormatan siapa-siapa, tapi justru menghancurkan nama baik keluarga Sanjoyo. Itu kalau kamu mengaku sebagai istri aku.”
“Mas jangan salah sangka. Kalau Puspa tidak diberi pelajaran, dia tidak akan tahu mana yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan.”
“Puspa anak sekolahan. Dia pasti lebih mengerti tata krama.”
“Jadi Mas mengatakan bahwa aku ini orang yang bukan orang sekolahan? Memangnya sejak dulu Mas kan tahu bahwa aku ini hanya orang kampung?” kata Srikanti yang kemudian sambil mewek dan terisak-isak.
Tuan Sanjoyo diam saja.
“Aku ini orang bodoh, orang kampung, tidak pernah sekolah tinggi, tapi kan Mas tahu bagaimana pengorbanan aku dan kasih sayang aku pada Mas selama ini?”
“Ini bukan masalah kamu yang orang bodoh dan tidak pernah sekolah tinggi. Kamu larinya ke situ? Kamu ternyata tidak mengerti apa maksudku. Kamu marah-marah di jalanan, itu namanya tak tahu malu.”
Srikanti diam, dia menyetir sambil menangis terisak-isak. Tapi tuan Sanjoyo mendiamkannya. Ia merasa lelah telah berdebat dengan sang istri yang ternyata tidak mengerti.
***
Puspa sampai di rumah lebih dulu. Bik Supi segera berganti pakaian dan menyibukkan diri di dapur. Entah mengapa, dia melanjutkan keinginannya memasak yang gagal pagi tadi karena Puspa mengajaknya jalan-jalan. Tapi sebelum itu ia menyimpan baju pemberian Puspa, untuk dirinya dan juga untuk Nugi. Bik Supi senang, nanti dia bukan hanya akan memberinya uang gajinya, tapi juga baju untuk anaknya. Baju yang menurutnya sangat bagus. Sambil tersenyum ketika itu, karena membayangkan anaknya yang ganteng memakai baju baru yang warnanya bagus. Seandainya bik Supi bisa melihatnya ketika anaknya memakai baju baru itu ... alangkah senangnya.
“Bibik mau ngapain?”
“Memasak saja Non, tadi kan belum jadi masak. Kalau tidak dimakan siang ya nanti bisa untuk makan malam kan?”
“Aku bantuin Bik.”
“Tidak usah Non, nanti nyonya pulang, malah marah-marah lagi.”
“Tidak apa-apa Bik, ayo kita masak, aku kan juga ingin belajar masak, supaya besok bisa memasak untuk suami aku.”
Bik Supi tersenyum. Akhirnya dia memasak dengan dibantu Puspa.
“Bik, besok Bibik masak oseng-daun pepaya seperti yang kita makan tadi, bisa?”
“Ya bisa Non, itu makanan orang kampung. Tapi kalau bibik masak seperti itu, nanti nyonya pasti marah-marah.”
“Tidak, disimpan di dapur saja, nanti aku yang makan.”
“Kalau oseng daun kates itu, cocoknya dimasak dengan ikan asin.”
“Kalau begitu besok bibik belanja ikan asin juga ya.”
“Non itu ada-ada saja.”
“Bik, aku sudah sering makan makanan enak. Aku ingin merasakan makanan yang biasa-biasa saja, bukan seperti masakan di restoran.”
“Ya sudah, terserah Non, tapi nanti kalau nyonya marah jangan salahin bibik lho ya.”
“Tentu saja tidak. Biar saja ibu marahnya sama aku.”
***
Akhirnya Srikanti menghentikan mobilnya di warung ayam goreng. Tuan Sanjoyo mendiamkannya. Ia memang agak kesal dengan perilaku istrinya tadi. Bagaimana mungkin sang istri bisa mencak-mencak di pinggir jalan dan jadi tontonan?
Rasa lapar yang tadi dirasakannya, menghilang tiba-tiba. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing.
Srikanti masuk ke warung ayam itu, dan memesan satu ekor, minta yang baru digoreng sehingga masih panas. Karenanya ia menunggu di sebuah kursi yang disediakan. Bau gurih ayam menusuk hidungnya, menyentuh perutnya yang sebenarnya memang lapar. Agak kesal sebenarnya ketika sang suami menolak makan di restoran gara-gara marah pada dirinya.
Tiba-tiba Srikanti melihat sepasang laki-laki dan perempuan makan di dalam warung itu. Duduknya berdekatan, sekali-sekali kepala si perempuan bersandar dengan manja di bahu laki-laki itu. Srikanti mengucek matanya, takut penglihatannya salah.
“Bukankah itu Priyadi dan Nilam?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteπππ²πͺ΄π²ππ
ReplyDeleteAlhamdulillahi Robbil'alamiin....
HaBeBe_16 sudah tayang.
Matur nuwun mBak Tien, salam sehat penuh semangat.
Rahman dan Ana beli coklat...
π€π€π
πππ²πͺ΄π²ππ
Trmksh mb Tien, smg sht sll π
ReplyDeleteπ»ππ»ππ»ππ»π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung HaBeBe_16
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
ππ»ππ»ππ»ππ»
Alhamdullilah..terima ksih bunda HBB nya..slmt mlm dan slm sehat sll unk bunda bersm pak Tomππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Hanya Bayang-Bayang telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " HANYA BAYANG BAYANG ~ 16 " ππΉ
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Maturnuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai hai hai bun ...❤️❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah HBB 16 sudah tayang, maturnuwun Bu Tien,πmakin seru juga nih critanya, lama2 priyadi juga berpaling kepada kekasihnya.....semoga Bu Tien tetap sehat semangat bahagia bersama Kel tercinta.
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih Bunda.
Salam Seroja.
Alhamdulillah "Hanya Bayang-Bayang 16" sdh tayang. Matur nuwun Bu Tien, sugeng dalu π
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda ..sudah hadir
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulillah mksh Bu Tien smg sekeluarga sehat sll
ReplyDeleteWaduh srikanti cemburu niye, mks bun srikanti sdh hadir sambil mencak" dipinggir jln....selamat mlm sehat", ya bun
ReplyDeleteππ
ReplyDeleteAlhamdulillah, HANYA BAYANG-BAYANG (HBB) 16 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteSiap-siap bsk ada perang dunia....π
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat.