Saturday, December 6, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 06

 HANYA BAYANG-BAYANG  06

(Tien Kumalasari)

 

Puspa melangkah ringan, tanpa sadar sang ibu sedang menunggunya di teras dengan pandangan penuh amarah.

“Bapak belum pulang, Bu?” tanya Puspa tanpa sadar apa yang tampak di wajah ibunya.

“Mengapa kamu beri dia uang?” Srikanti menghardik, tanpa peduli pada pertanyaan sang anak.

“Uang apa?”

“Itu tadi, pengemis bau itu, mengapa kamu beri dia uang?”

“O, itu. Iya, kasihan, melihat ibu memarah-marahinya, lalu Puspa beri dia uang.”

“Kenapa sih kamu ini? Memberi uang pada pengemis hanya membuat mereka malas. Enak saja, tinggal menadahkan tangan, lalu dapat uang. Uang itu harus didapat dengan bekerja, tidak hanya dengan menadahkan tangan.”

“Mengapa ibu ini. Tahukah ibu, hanya dengan selembar uang yang Puspa berikan, Puspa mendapat doa baik dari dia.”

“Apa maksudmu?”

“Setelah Puspa beri dia uang, dia mengucapkan terima kasih lalu mengucapkan doa, agar Puspa sehat, agar Puspa panjang umur. Bukankah itu bagus?”

"Mengapa kalau kamu membutuhkan doa harus menunggu diucapkan oleh seorang pengemis?”

“Doa orang teraniaya itu didengarkan oleh Allah,” kata Puspa sambil melangkah masuk, tanpa peduli pada ibunya yang masih marah-marah.

“Siapa yang menyuruhmu bersikap seperti itu? Dulu ketika ada pengemis kamu juga marah-marah, mengusirnya , malah dengan memegang gagang sapu. Bagaimana mungkin sekarang kamu bisa berubah?”

Puspa sudah masuk ke dalam kamarnya.

“Memberi satu lembaran kecil uang, tidak akan membuat kita miskin kan bu?” gumam Puspa sambil menutup pintu kamarnya, sehingga omelan sang ibu tak terdengar lagi.

Puspa memang sudah berubah, hanya dalam beberapa hari setelah dia dekat dengan Nugi. Nugi juga bilang waktu itu, doa orang papa dan teraniaya itu akan didengarkan Allah. Dengan memberi sekeping atau selembar uang, kita tak akan menjadi miskin. Kita justru menjadi kaya.

Puspa masuk ke kamar mandi dengan perasaan ringan. Mengapa juga hanya memberi sedikit uang kepada peminta-minta maka hatinya terasa lebih senang dan nyaman? Nugi memang luar biasa. Ia memberikan dampak yang tak terduga bagi Puspa, si anak manja yang serba tak kekurangan karena ayahnya orang yang kaya raya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Sambil berdendang Puspa masuk ke kamar mandi.

***

Mobil tuan Sanjoyo memasuki halaman, Srikanti menekan kekesalannya pada Puspa, membuat wajahnya berseri dan senyumnya merekah. Ketika Priyadi menurunkan majikannya dan mendudukkannya di kursi roda, Srikanti mendekatinya dan mendorong kursi roda itu masuk ke dalam rumah.

Tuan Sanjoyo merasa bahagia menjadikan Srikanti istrinya. Menurutnya, sang istri adalah wanita yang baik. Istri yang benar-benar menjadi idaman setiap suami. Pintar melayani, pintar menyenangkan, pintar membuat bahagia, dan juga walau sebagai istri muda, dia menyayangi anak-anak tirinya.

“Puspa sudah pulang?”

“Sudah. Datang-datang dia membuat aku kesal.”

“Kenapa?”

“Aku tuh kan benci banget pada yang namanya peminta-minta. Aku anggap mereka itu pemalas, mau mencari uang dengan tinggal menadahkan tangan. Maksudku itu, bekerjalah, gitu lhoh.”

“Kamu kesal pada pengemis, mengapa kamu juga kesal pada Puspa?”

“Ketika aku mengusir pengemis itu, kebetulan Puspa datang. Ee, tanpa tanya sesuatu, dia turun lalu memberi pengemis itu uang. Aku saja memarahi dan mengusirnya, mengapa dengan enak Puspa malah memberinya uang. Coba Bapak bayangkan, membuat kesal kan itu?”

“Kalau memang Puspa ingin memberi uang pada pengemis, ya biarkan saja, itu justru baik. Kan namanya membantu orang tak punya.”

“Membantu orang malas,” sergah Srikanti.

“O iya Sri, besok kantor sudah tidak begitu sibuk, kalau kamu butuh bepergian, kamu telpon saja Priyadi, pastinya dia sudah bisa mengantarkan kamu sebelum dia menjemput aku pulang.”

Mendengar hal itu, wajah Srikanti mendadak menjadi berseri-seri. Walaupun umur sudah hampir setengah abad, tapi Srikanti masih genit dan bisa kemayu. Ia juga masih membutuhkan saat bersenang-senang seperti halnya anak-anak muda, sementara suaminya sudah tidak mampu membuatnya puas. Karenanya ketika mendengar Priyadi besok bisa dipanggil pulang, Srikanti senang bukan main.

“Oh iya, besok paling hanya ke pasar sebentar, kalau tidak ya di rumah saja, aku suruh bantu bersih-bersih.”

“Bibik kan juga bisa kalau cuma bersih-bersih.”

“Tidak Mas, yang di atas almari kan harus laki-laki. Kalau bibik aku takut. Bagaimana kalau nanti dia jatuh?”

“Ya sudah terserah kamu saja. Sekarang aku mau langsung mandi saja.”

“Baiklah kalau begitu, aku antarkan Mas ke kamar mandi.”

***

Puspa sedang duduk di bangku dapur, menghirup coklat panas yang dibuatkan bibik. Di depannya ada sepiring jagung bakar yang kemudian dicomotnya satu.

“Mengapa Non duduk di situ? Biar saya bawakan minum dan jagungnya ke ruang tengah ya."

“Biar saja Bik, aku sedang pengin minum dan ngemil di sini.”

“Non itu ada-ada saja, nanti kalau nyonya tahu, dimarahi lhoh Non.”

“Ya enggak, masa cuma minum di dapur saja dimarahi. Biarin saja. Lha itu minum buat siapa Bik?”

“Ini buat Priyadi.”

“Oh, mana dia?”

“Sedang mencuci mobil. Begitu datang langsung cuci mobil, habis itu minum, kalau mau makan ya makan, baru dia pulang.”

“Kalau begitu aku ke ruang tengah saja, nanti pak Priyadi sungkan kalau ada aku.”

“Non sih, dikasih tahu nggak mau dengar.”

“Sebetulnya pengin dengar Bibik ngobrol.”

Bik Supi tertawa lucu.

“Bibik bisa ngobrol apa? Yang ada malah non Puspa yang cerita-cerita, bibik mendengarkan.”

“Pengin nanya-nanya saja tentang keluarga Bibik.”

“Walah, keluarga bibik hanya orang kampung, apa yang bisa bibik ceritakan? Orang kampung itu ya orang yang biasa saja, apa yang ingin Non ketahui?”

“Anak bibik di kampung sama siapa?”

“Sama neneknya Non, sudah agak tua juga. Walau begitu neneknya sangat menyayangi cucunya. Wong itu cucu satu-satunya lhoh Non. Dan karena neneknya sayang, maka bibik tega meninggalkan dia untuk bekerja.”

“Besok saja cerita lagi ya Bik, aku ke depan dulu.”

“Saya bawakan minumnya ke depan, sama jagungnya juga.”

“Jagungnya buat pak Pri saja, aku sudah,” katanya sambil berlalu.

Bibik membawakan sisa minum Puspa sambil berpikir tentang perubahan sikap Puspa akhir-akhir ini. Puspa juga jarang pulang telat. Biasanya menjelang maghrib baru pulang.

“Kamu itu makan apa Puspa?”

“Ini, bibik membakar jagung. Enak, Bapak mau?” kata Puspa.

“Nggak ah, gigi bapak sudah tidak kuat menggigit jagung.”

“Enak lho.”

“Bapak tanya sekarang, sekolahmu bagaimana?”

“Sebentar lagi mau ngerjain tugas akhir, baru siap-siap nih.”

“Berarti nanti kalau kamu sudah selesai harus memegang perusahaan bapak lho Pus, bapak sudah harus istirahat,” sambung Srikanti.

“Apa? Aku tidak mau menggantikan bapak, atau meneruskan usaha bapak,” kata Puspa sambil masih menikmati jagung bakarnya.

“Apa maksudmu?” kata Srikanti marah.

“Pokoknya tidak mau. Puspa ingin berhasil tanpa bayang-bayang usaha bapak. Ya Pak, Bapak setuju kan? Seperti mbak Sekar, mas Roto, semua punya usaha sendiri. Masa aku harus bergantung pada usaha Bapak?”

“Bagus sekali kalau kamu punya semangat untuk maju tanpa campur tangan bapak,” kata tuan Sanjoyo sambil tersenyum/

“Kamu itu sangat bodoh. Mengapa memilih susah-susah usaha sendiri sedangkan kalau kamu bekerja di kantor bapak maka semuanya akan menjadi mudah,” Srikanti masih memaksa.

“Pokoknya nggak mau, aku nggak suka,” katanya sambil berdiri dan pergi ke belakang untuk mencuci tangannya.

“Dasar bandel. Aku tidak mengira dia akan sebandel itu, diberi kedudukan enak, malah mencari jalan susah,” omel Srikanti, yang berharap anak kandungnya bisa menguasai bisnis tuan Sanjoyo, tapi kelihatannya sang anak tidak mendukung. Srikanti berjanji akan merayunya lagi nanti.

***

Sore hari itu Puspa pamit keluar, katanya kangen sama Sekar, kakaknya karena lama tidak bertemu. Mendengar itu bibik juga mengatakan, kalau non Puspa mau dijewer sama non Sekar karena setiap kali datang tidak pernah ketamu non Puspa.

“Nanti aku mau minta dijewer mbak Sekar,” katanya sambil tertawa.

“Pulangnya jangan malam-malam, nanti ibu mau bicara,” kata Srikanti yang mengantarkan Puspa sampai ke mobilnya.

“Bicara tentang apa? Kalau tentang aku harus bekerja di kantor bapak, aku sudah mengatakan kalau tidak mau.”

“Mengapa kamu begitu bodoh, Puspa?”

“Justru karena aku pintar, maka aku tidak mau nebeng pada bapak,” kata Puspa sambil masuk ke dalam mobil.

“Hari ini kamu benar-benar membuat ibu kesal!” omel Srikanti sambil masuk ke dalam rumah.

***

Sekar heran melihat Puspa datang. Biasanya ia tak pernah dekat dengan saudara-saudara lain ibu. Merasa bahwa ibunya sangat disayang sang ayah, jadi dia menjadi kelewat manja.

“Tumben kamu datang kemari?”

“Kata bibik, mbak Sekar mau menjewer kuping aku, nih … sudah Puspa bawakan kuping Puspa nih.”

Sekar tertawa.

“Kamu itu setiap mbak datang ke rumah, kamu selalu tidak ada. Selalu belum pulang. Mbok ya jangan sering main, kamu kan mau ujian juga?”

“Sekarang sudah nggak. Beberapa hari ini pulang sore lhoh.”

“Yang benar?”

“Benar, lah. Coba saja tanya bibik.”

“Baguslah kalau begitu. Lalu kenapa kamu datang kemari?”

“Nggak boleh ya, kangen sama kakaknya?”

“Oh, kamu kangen? Sini, mbak peluk,” kata Sekar. Puspa benar-benar mendekati kakaknya dan mereka berpelukan.

“Hari ini mbak merasa ada sesuatu yang berubah dari kamu. Biasanya mana peduli kamu sama kakak kamu ini.”

“Bukannya nggak peduli Mbak, sibuk … sibuk … sibuk,” kata Puspa sambil tertawa.

“Sibuk pacaran? Kamu sudah punya pacar?”

“Pacar itu seperti apa? Teman Puspa banyak.”

“Bukan berarti semua jadi pacar kamu kan?”

“Ya bukan. Tak satupun.”

“Masa?”

"Tapi sepertinya kali ini Puspa jatuh cinta deh Mbak.”

“Haaaa, tuh kan? Teman kuliah?”

“Mbak, jatuh cinta itu seperti apa? Aku baru dekat selama beberapa hari terakhir ini.”

“Kamu merasa bagaimana?”

“Ada yang lain, pokoknya berbeda. Tadinya sih biasa saja.”

“Ya sudah, tidak apa-apa, kamu sudah dewasa, jatuh cinta itu hal biasa, asalkan tidak mengganggu kuliah kamu, dan mengerti batasan-batasan yang tidak sampai kamu berdua melanggarnya.”

“Tapi dia itu bukan orang yang sederajat dengan kita.”

“Apa maksudmu tidak sederajat?”

“Dia anak orang biasa.”

“Memangnya ada orang yang tidak biasa? Kita punya tanduk? Punya ekor? Sedangkan dia tidak? Serem dong kita,” kata Sekar sambil tertawa. Lalu Puspa mencubitnya pelan.

“Mbak Sekar tuh. Malah bercanda. Aku minta dukungan Mbak nih.”

“O, kamu takut kalau sampai bapak atau ibu menolak punya menantu orang biasa?”

“Kemungkinan besar … ya.”

“Ya sudah, begini, kamu selesaikan dulu kuliah kamu, jangan memikirkan cinta sekarang ini. Nanti kalau kalian sudah selesai, bekerja yang baik, pasti lebih mudah menundukkan hati orang tua.”

“Mbak Sekar dukung aku ya?”

“InsyaaAllah.”

“Ya sudah, sekarang aku lapar mbak Sekar masak apa?”

“Aku nggak pernah masak. Adanya mie instan, telur, sosis, ada di kulkas semua.”

“Okey, aku masak sendiri ya,” kata Puspa riang sambil langsung pergi ke dapur.

***

Keesokan harinya Puspa pulang dengan perasaan gelisah. Di kampus dia tidak ketemu Nugi. Kata teman yang rumahnya dekat Nugi, Nugi sakit. Nugi anak bik Supi, bagaimana ia harus memberi tahu bik Supi? Ia kan masih menyembunyikan tentang Nugi yang sebenarnya adalah teman kuliahnya.

Turun dari mobil, ia langsung pergi ke dapur. Bik Supi sedang mencuci beras.

Puspa membuka kulkas dan minum segelas air putih. Lalu ia menemukan cara untuk memberi tahu bik Supi tentang Nugi, hanya saja dia tidak mengatakan namanya.

“Bik, tadi diluar ada yang mencari bik Supi.”

“Siapa Non?”

“Nggak tahu aku, orangnya naik sepeda kayuh, tapi tergesa-gesa pergi.”

“Siapa dia?”

“Dia tidak mengatakan namanya, hanya ingin memberi tahu bibik, bahwa anak bibik sedang sakit."

“Nugi sakit?” bibik hampir memekik kaget.

***

Besok lagi ya.

Friday, December 5, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 05

 HANYA BAYANG-BAYANG  05

(Tien Kumalasari)

 

Puspa dan Nugi sudah menyelesaikan makannya. Puspa akan membayar semua makanan dan minuman itu, tapi Nugi sudah mendahuluinya.

“Nugi, biar aku saja.”

“Tidak pantas seorang gadis mentraktir teman laki-lakinya.”

“Nugi, bukankah aku yang mengajakmu, jadi sudah selayaknya aku yang membayarnya?”

“Tidak apa-apa, masih ada sisa uang saku yang aku simpan. Sekali-sekali mentraktir gadis kaya kan tidak apa-apa?”

“Nugi!”

Tukang soto tersenyum, sambil menyerahkan pengembalian uang kepada Nugi.

“Ayo kita kembali ke kampus.”

Kata Nugi sambil melangkah meninggalkan tukang soto yang menatap mereka sambil senyum-senyum sendiri. Barangkali dia teringat saat muda dan berpacaran dengan teman sedesanya.

“Nugi, kamu keterlaluan.”

“Kenapa?”

“Tadi itu, yang mengajak aku, masa kamu yang membayar?”

“Memangnya kenapa kalau aku yang membayar? Tidak boleh ya, orang miskin mentraktir orang kaya?”

“Nugi, kamu salah sangka. Ini bukan masalah miskin dan kaya. Ini masalah_”

“Sssst, diamlah. Dari jauh kita kelihatan seperti pasangan yang sedang bertengkar.”

“Nugi!”

“Ayo masuk, sebelum terlambat.”

Puspa mengikuti Nugi dengan mulut cemberut, Nugi hanya tersenyum-senyum menanggapinya. Walau begitu entah mengapa Puspa merasa senang. Makan bersama seorang pemuda ganteng di pinggir jalan, hanya soto murahan dengan kerupuk seharga duaribuan, dan tempe goreng seharga sama, bukan main. Puspa belum pernah merasakan makanan senikmat itu. Barangkali bukan masakan itu yang kelewat enak, tapi suasana hatinya yang entah mengapa tiba-tiba terasa riang,

***

Begitu pulang dari kuliah di siang hari itu, Puspa langsung menuju dapur untuk menemui bibik.

“Bibik masak apa hari ini?”

“Baru saja matang Non, lodeh keluwih dengan goreng bandeng presto. Mau makan sekarang?”

“Bik, besok Bibik masak soto ya?”

“Soto, Non?”

“Iya, soto.”

“Soto daging atau soto ayam, Non?”

“Soto ayam, kasih taburan keripik kentang.”

“Baik Non, besok akan saya buat.”

"Terima kasih, Bik.”

Ketika Puspa masuk ke kamarnya, Bibik menatapnya dengan heran. Bebarapa hari terakhir ini bibik merasa bahwa sikap Puspa sangat berubah.

Banyak bicara, banyak berkomunikasi dengan dirinya, dan ini sangat aneh. Walau begitu bibik merasa senang. Ia bukan hanya sekedar alat untuk bersih-bersih rumah, memasak, disuruh-suruh, tapi ia juga menjadi teman berbincang, terutama oleh nona majikan yang biasanya sangat acuh dan tak pernah memperhatikannya.

***

Pagi harinya, Srikanti heran karena sarapan paginya adalah soto ayam dengan taburan keripik kentang di atasnya.

“Kamu kan tahu aku tidak suka sayuran yang bening-bening begini Bik, mengapa kamu membuat soto untuk sarapan?”

“Maaf Nyonya, kemarin non Puspa yang minta.”

“Puspa? Masa dia minta sayur beginian?”

“Iya Bu, aku pengin sekali makan nasi soto ayam.”

“Tumben.”

“Bu, aku makan dulu ya, soalnya ada kuliah pagi,” kata Puspa yang langsung duduk di kursi makan.

“Bik, tolong bawakan juga nasi soto untuk aku bawa ke kampus.”

“Apa? Kamu ke kampus mau membawa bekal nasi?”

“Iya, lagi pengin, untuk makan siang nanti.”

“Nanti siang dingin dong Pus, mana enak makan soto dingin?”

“Nyonya, ada termos nasi dan termos untuk sayur. Kalau non Puspa mau akan saya siapkan sekarang.”

“Iya Bik, siapkan saja, yang agak banyak, mau makan bersama temanku. Bawakan juga dua mangkuk kosong dan sendok. Pokoknya perlengkapan makan lengkap. Taruh juga bersama makanan itu, dua botol minuman dari kulkas.”

“Apa? Kamu itu seperti orang nggak punya uang saja, harus ke kampus bawa bekal segala.”

“Lagi pengin. Ingat waktu masih SD dulu, ibu suka membawakan aku bekal kan?”

“Ketika SD kan kamu masih kecil, harus bawa bekal. Tapi sekarang kamu kan bisa keluar untuk mencari rumah makan dan makan di sana?”

“Sudahlah Bu, aku lagi pengin,” kata Puspa sambil terus menyendok makanannya.

“Masakan bibik enak sekali. Lebih enak dari masakan tukang soto yang mangkal dekat kampus.”

“Apa? Kamu makan di warung dekat kampus? Itu kan warung murahan? Memalukan sekali.,” omel sang ibu.

“Apa sarapan untuk kami pagi ini Bik?” tiba-tiba tuan Sanjoyo sudah berada di ruang makan.

“Bibik masak soto ayam,” kata Srikanti, karena bibik sedang menyiapkan bekal seperti yang diminta Puspa.

“Soto ayam? Lama sekali aku tidak makan lauk soto. Bagus sekali, aku suka.”

“Bapak suka? Biasanya kan nggak suka?” kata Srikanti sambil mendorong kursi roda tuan Sanjoyo ke depan meja makan.

“Aku sebenarnya suka, tapi kamu sendiri yang selalu minta sayur kental dengan santan. Soto itu segar.”

“Pak, maaf ya, Puspa makan duluan, soalnya ada kuliah pagi. Takut terlambat, dosennya galak sekali.”

“Tidak apa-apa, lanjutkan makannya, bapak kan bisa berangkat agak siang.”

Srikanti segera melayani suaminya, yang lebih dulu mengemil kerupuk dari toples.

“Baunya sedap. Soto masakan bibik pasti enak,” kata tuan Sanjoyo.

Puspa sudah selesai makan. Bibik keluar sambil menenteng rantang berisi makanan pesanan Puspa.

“Ini Non, sudah bibik siapkan. Sayurnya ada di dalam termos, supaya tidak menjadi dingin.”

“Terima kasih Bik, taruh di mobil, aku segera ke sana.”

“Puspa membawa bekal makan?” tanya pak Sanjoyo heran.

“Iya Pak, lagi pengin bawa bekal,” kata Puspa sambil mengusap mulutnya dengan sebet makan, kemudian meneguk minumannya sebelum berdiri.

“Maaf Pak, Puspa mau berangkat.”

Puspa bergegas ke depan, setelah mencium tangan ayah dan ibunya.

“Hati-hati di jalan.”

“Baiklah.”

Tak lama kemudian terdengar mobil menjauh, keluar dari halaman.

“Sotonya enak Bik.”

“Terima kasih, Tuan. Ini tadi sebenarnya pesanan non Puspa, katanya ingin makan soto ayam dengan taburan keripik kentang.”

“Oh ya? Tumben Puspa peduli pada lauk makannya. Tapi ini enak, sesekali buatlah masakan berkuah bening.”

“Baik Tuan.”

“Kalau aku tidak suka kuah bening. Yang enak itu yang bersantan, kental, banyak potongan dagingnya.”

“Tidak apa sesekali sayur berkuah.”

“Bik, jangan lupa Priyadi juga siapkan sarapannya, sebentar lagi tuan berangkat ke kantor.”

“Baik,” jawab bibik. Dan lagi-lagi dalam hati bibik menggerutu. Bertahun-tahun selalu disiapkan, tapi nyonya selalu saja masih mengingatkan. Maklumlah, sopir istimewa.

***

Ada bangku dan meja kecil di bawah pohon rindang di kampus itu. Biasanya saat istirahat, para mahasiswa duduk-duduk di sana. Puspa meletakkan rantang yang dibawanya diatas meja, dan sebungkus keresek berisi mangkuk kosong, sendok dan minuman dalam botol. Puspa tersenyum, kemudian matanya mencari-cari.

Tadi ia melihat Nugi keluar lebih dulu dari kelas, tapi mana dia?

Ia melongok lagi ke kelas, kosong. Lalu ia bertanya pada seorang temannya.

“Lihat Nugi?”

“Nugi kan kutu buku, lihat tuh, di perpus.”

“Oh, ya, terima kasih.”

Setengah berlari Puspa menuju perpustakaan. Begitu masuk ia melihat Nugi sedang memilih-milih buku.

Ia terkejut ketika mendengar orang memanggil namanya.

“Aku mencarimu ke mana-mana,” kata Puspa sambil mendekat.

“Ada apa?”

“Ayuk makan.”

“Makan lagi? Aku belum lapar.”

“Nugi, aku membawa nasi dan soto ayam untuk kita makan bersama.”

“Apa?”

“Nasi dan soto ayam. Ayuk ikut aku,” kata Puspa yang tanpa sungkan lalu menarik tangan Nugi.

Nugi heran ketika di atas meja tempat mahasiswa istirahat ada rantang dan bungkusan yang entah isinya apa..

“Ini apa?”

“Ayuk makan, ini sudah siang, jangan sampai kita kelaparan. Hari ini kuliah sampai sore.”

Puspa membuka tutup rantang dan meletakkan mangkuk-mangkuk yang memang sudah disiapkan bibik.

Nugi duduk sambil terbelalak melihat apa yang dilakukan Puspa.

“Kamu sedang piknik?” canda Nugi.

Puspa terkekeh. Ia meletakkan mangkuk-mangkuk di hadapan mereka berdua, mengambilkan sepotong paha ayam menaruh sayur kecambah dan soun, lalu menyiraminya dengan kuah yang masih panas. Oh ya, terakhir ditaburinya soto itu dengan  keripik kentang. Puspa senang, tanpa diperintah bibik sudah menyiapkan, semuanya lengkap, bahkan sambal kecap dalam botol kecil juga ada.

"Kamu ini kenapa?”

“Sudah, jangan banyak komentar. Pembantu di rumah aku sangat pintar memasak. Pagi ini dia masak soto ayam, lalu aku ingat bahwa kamu suka soto ayam, jadi aku minta bibik membawakannya untuk kita,” Puspa terus berceloteh sambil membubuhkan sambal dimangkuknya.

“Ayo di makan.”

“Heiii! Kalian lagi piknik?” teriak salah seorang temannya.

Puspa mengacungkan ibu jarinya sebagai jawaban.

Nugi terpaksa mengikuti kemauan Puspa, walau sebenarnya sungkan diledek teman-temannya.

“Diamkan saja mereka, kalau mau akan aku suruh saja makan bersama kita.”

“Enakkah?” lanjut Puspa.

“Enak. Ini mirip masakan ibu saya.”

Puspa terkejut. Ia ingin mengatakan kalau soto itu memang masakan ibunya tapi diurungkannya.

“Ibumu suka masak soto?”

“Dulu, waktu ibuku belum bekerja. Masakan ibu selalu enak. Kata orang, masakan yang dibuat dengan kasih sayang itu pasti enak.”

“Benarkah? Berarti pembantuku juga memasak dengan kasih sayang.”

Nugi diam saja. Tiba-tiba ia sangat merindukan masakan ibunya. Semenjak bekerja, ibunya jarang sekali pulang. Belum tentu sebulan sekali bisa pulang. Kata sang ibu, majikannya tidak suka kalau ibunya sering pamit pulang. Gajinya sih lumayan, tapi pekerjaannya juga banyak. Tidak hanya memasak, tapi juga bersih-bersih rumah dan terkadang juga belanja.

Nugi sama sekali tidak mengira kalau Puspa adalah anak majikan sang ibu.

“Besok lagi jangan lakukan ini. Sungkan dilihat teman-teman. Kelihatan aneh, makan di halaman kampus.”

“Biarkan saja, apa kita mengganggu mereka?”

“Bukan karena mengganggu. Melakukan hal yang tidak biasa akan kelihatan aneh.”

“Memangnya kenapa kalau aneh?”

“Menjadi perhatian itu tidak enak.”

“Nugi, kamu itu terlalu perasa. Hal-hal seperti itu tidak usah kamu hiraukan. Biar saja orang ngomong, yang penting tidak mengganggu. Ya kan?”

“Menjadi pembicaraan itu tidak baik, dan juga tidak nyaman.”

“Nugi, kamu aneh sekali. Tapi baiklah, aku akan memperhatikan apa yang kamu katakan. Soalnya aku itu sudah menjadi kebiasaan, suka bertindak semau sendiri, yang penting tidak mengganggu.”

“Aku mengerti. Kehidupan kamu dan kehidupan aku itu berbeda. Aku ini mungkin benar seperti yang kamu katakan, terlalu perasa, terlalu gampang merasa sungkan. Tapi semua itu ada segi baik dan buruknya. Asalkan tidak mengganggu, baiklah, kamu benar.”

“Sepertinya akan banyak yang harus aku pelajari dari kamu Nug. Bertindak semaunya itu barangkali juga kurang baik.”

Nugi tertawa.

“Belajar dari aku apanya? Jangan berlebihan, aku memiliki banyak kekurangan.”

“Kamu juga selalu merasa rendah diri. Nah, rendah diri itu tidak baik lhoh,”

“Aku merasa biasa saja. Kenyataannya memang aku tidak sama dengan yang lainnya.”

“Tidak Nugi, kita itu sama.”

“Hanya kamu yang berkata begitu.”

“Perasaan kamu saja yang terlalu perasa.”

“Ya sudah, aku bantu membereskan mangkuk kosong dan lain-lain ya. Kita harus masuk lagi, hari ini kita pulang sore setelah beberapa hari pulang agak siang.”

“Biarkan aku saja yang bereskan. Tenang saja.”

“Terima kasih makan siangnya.”

Puspa tersenyum. Ia senang Nugi tidak menolaknya.

***

Sore hari itu ketika pulang dari kampus, Puspa melihat ibunya sedang marah-marah di teras. Ada seorang pengemis yang kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan ibunya. Puspa turun dari mobil dan menghentikan pengemis itu, lalu memberinya selembar uang lima ribuan. Pengemis itu berkali-kali mengucapkan terima kasih. Puspa mendengar ucapan terakhir pengemis itu yang berupa doa.

“Terima kasih Non, semoga Non sehat dan panjang umur,” katanya sambil berlalu.

Puspa merasa nyaman. Dulu dia tidak peduli pada peminta-minta, tapi kata Nugi, selembar uang bisa menciptakan sebuah doa. Dan itu benar.

Dari teras, sang ibu menatapnya marah.

***

Besok lagi ya.

Thursday, December 4, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 04

 HANYA BAYANG-BAYANG  04

(Tien Kumalasari)

 

Ketika Puspa memasuki ruang kuliah, Nugi sudah duduk di barisan paling depan. Dosen yang ditunggu belum tampak batang hidungnya.

“Kamu dari mana?” tanya Nugi kepada Puspa.

“Ke belakang dulu tadi," jawab Puspa sambil tersenyum, kemudian duduk di samping Nugi.

Ketika duduk itu Puspa terus berpikir tentang Nugi dan bik Supi. Sama sekali Puspa tak menduga bahwa bik Supi punya anak secakap dan sepintar Nugi. Ya ampuun, Nugi yang aku kagumi, ternyata anak bik Supi?

“Hei, mengapa melamun?”

Puspa terkejut, ia memang sedang melamun. Ditatapnya laki-laki di sebelahnya sambil tersenyum. Bagitu tampan, begitu tenang dan sederhana. Ia laki-laki yang luar biasa. Sayangnya, dia hanya anak bik Supi.

“Mengapa menatap aku seperti itu?”

“Nugi, aku … hanya ingin bilang … nanti aku pinjam bahan kuliah hari ini ya, aku agak pusing, mau pulang dulu.”

“Apa? Aku ambilkan obat di klinik dulu,” kata Nugi yang langsung berdiri.

“Nugi, tidak … jangan … tidak usah,” teriak Puspa.

Tapi Nugi tetap melangkah, Puspa mengejarnya. Ketika sudah terkejar, Puspa menarik tangannya untuk menghentikan langkahnya.

“Tidak usah Nugi, hanya pusing sedikit. Aku tidak mau sedikit-sedikit minum obat.”

“Kamu bagaimana sih? Bener, tidak apa-apa. Aku takut kamu benar-benar sakit, lalu pingsan di dalam kelas. Entah aku akan kuat menggendong kamu atau tidak,” canda Nugi. Puspa terpana melihat senyumnya. Lalu ia memarahi dirinya sendiri. Dasar, tak tahu malu, mengapa aku tergila-gila padanya? Pada anak bik Supi? Kata batinnya.

“Kalau tidak mau minum obat ayo kembali ke kelas, jangan sampai kedahuluan dosennya.”

Puspa mengangguk, lalu melangkah kembali ke kelas.

“Oh iya, aku mengantongi obat gosok ternyata, ini, gosokkan di pelipis, juga di leher bagian belakang, pasti berkurang pusingnya,” kata Nugi sambil mengulurkan botol obat gosok kecil.

“Terima kasih Nugi, kamu baik sekali.”

Selama dosen memberi kuliah itu memang hati Puspa terasa tidak tenang. Ia benar-benar tak bisa menerima apa yang dikatakan sang dosen. Dan ketika pulang, Nugi memberikan catatannya kepada Puspa.

“Ini, bawa saja. Aku lihat kamu memang tidak konsentrasi sejak tadi.”

Puspa menerimanya sambil tersenyum.

“Terima kasih Nugi, kamu baik sekali.”

“Cuma begitu saja dibilang baik. Kamu tadi memang tidak konsentrasi sama sekali.”

“Aku benar-benar pusing.”

“Untunglah sudah saatnya pulang. Kamu setir sendiri ya?”

“Iya.”

“Hati-hati. Jam segini jalanan pasti ramai.”

“Terima kasih Nugi.”

***

Puspa mengendarai mobilnya sambil terus memikirkan Nugi. Ia sudah berteman sejak awal masuk kuliah, mengapa baru sekarang dia memikirkannya? Baru sekarang dia merasa terganggu karena tak bisa mengibaskan bayangan Nugi di benaknya? Apa karena mendengar bahwa Nugi anak pembantunya? Dan karena itu maka dia terus memikirkannya, lalu menyadari banyak kelebihan yang dimilikinya? Dia pintar, dan itu disadarinya sejak lama. Tapi dia tampan, penuh perhatian, Puspa baru menyadarinya.

“Sayangnya dia anak bik Supi,” gumamnya berkali-kali, yang kemudian dibantahnya. Memangnya kenapa kalau dia anak bik Supi? Apa aku tadinya menyukainya? Lalu bagaimana setelah mengetahui siapa dia sebenarnya?

Ketika sudah memasukkan mobilnya ke garasi dan masuk ke kamarnya, ia masih terus memikirkannya. Apakah aku jatuh cinta? Ini gila. Pikirnya.

Setelah membersihkan kaki tangannya dan berganti pakaian, ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang, dan menutup wajahnya dengan bantal. Ia berharap bayangan Nugi akan lenyap dari benaknya.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar.

“Non? Tidur?”

“Oh, masuklah Bik.”

“Bibik hanya ingin menanyakan, apakah Non tidak mau makan dulu?”

Puspa bangkit, lalu menatap bibik sambil tersenyum. Ia benar-benar menatap pembantunya itu, dan mencari pada wajahnya, mana atau apanya yang mirip Nugi. Ah ya, hidungnya yang mancung, matanya yang tajam, dan bibir tipisnya, mirip sekali dengan Nugi.

“Non, mengapa Non menatap bibik seperti itu?”

Puspa tersenyum lebar.

“Bibik itu diwaktu mudanya pasti cantik sekali.”

“Eh, Non ada-ada saja. Mengapa tiba-tiba berpikir begitu? Bibik setiap hari bergelut di dapur, bersih-bersih rumah, mana bisa dibilang cantik?”

“Apa bibik bekerja di sini sejak masih muda?”

“Tidak muda sekali. Setelah anak bibik berumur lima tahun, lalu suami bibik meninggal, barulah bibik bekerja di sini. Siang ini non Puspa bicara yang aneh-aneh sih? Silakan makan dulu, bibik sudah menyiapkan semuanya di meja.”

“Apa ibu sudah makan?”

“Sudah, tapi kemudian masuk kembali ke kamar, kelihatannya lelah, dari pagi ada di kamar, hanya keluar untuk makan.”

“Sebentar lagi bapak pulang, aku menunggu bapak saja makannya.”

“Tuan biasanya sudah makan di kantor. Makan di rumah nanti malam. Tumben juga non Puspa pulang agak siang hari ini.”

“Memang kuliahnya hanya sampai siang. Ayuk, kalau begitu temani aku makan,” kata Puspa sambil turun dari ranjang, lalu langsung ke kamar makan. Gara-gara memikirkan Nugi, Puspa yang biasanya makan bersama teman-temannya langsung pulang ke rumah, dan mengikuti saran bik Supi untuk makan.

***

“Bibik tidak makan? Makanlah, temani aku,” kata Puspa di sela-sela makan.

“Bibik sudah makan Non, bibik temani non saja sambil duduk di sini."

“Anak Bibik tinggal  di kampung?”

“Iya Non, bersama neneknya.”

“Dia sekolah?”

“Bibik suruh dia sekolah, supaya jadi orang pintar. Kalau tidak makan sekolahan, jadinya kan seperti bibik ini, hanya jadi pembantu.”

Puspa tersenyum. Ia ingin bicara tentang Nugi, dan mengatakan bahwa ia adalah teman kuliah Nugi, tapi diurungkannya. Lebih baik ia pura-pura tidak tahu, dan menyimpannya di dalam hati saja. Ia khawatir bibik jadi merasa sungkan kalau dia mengatakannya. Tapi ia benar-benar mengacungkan jempolnya untuk bibik. Ia hanya pembantu, tapi ingin agar anaknya pintar. Dibela-belain setiap bulan mengirimkan uang gajinya agar biaya kuliah anaknya tercukupi.

Bibik yang duduk agak jauh dari meja makan, sedang berpikir tentang non Puspa. Hari ini sikapnya sepertinya berbeda. Biasanya sikapnya acuh, tak banyak bicara, tapi kali ini ada saja yang ditanyakan Puspa. Tentang anaknya, tentang sekolah atau tidaknya. Tapi bibik tak mau mengatakan bahwa anaknya sudah kuliah dan hampir selesai. Bibik tak ingin dikira sombong, jadi dia hanya menjawab kalau anaknya sekolah, begitu saja.

***

Mendengar suara mobil suaminya memasuki halaman, Srikanti keluar dari kamarnya, setelah membenahi tatanan rambutnya. Ia selalu berpenampilan rapi, agar suaminya tetap menyayanginya. Bukan rasa sayang itu yang terpenting sebenarnya, tapi kalau suaminya senang kan dia bisa minta apa saja sesuka hatinya, dan sang suami pasti memberikannya, karena rasa sayang itu bisa membuat hati suaminya buta. Ya kan?.

Ia segera melangkah ke arah depan. Priyadi yang sudah membantu tuannya duduk di kursi roda, segera mendorongnya menuju rumah. Srikanti yang baru keluar kemudian buru-buru mendekat dan menggantikannya mendorong kursi roda itu masuk ke rumah.

“Kelihatannya Puspa sudah pulang?”

“Iya Mas, aku mendengar tadi dia sedang ada di ruang makan sama bibik.”

“Tumben lebih dulu dia dari aku, pulangnya.”

“Mungkin kuliahnya selesai agak siang.”

Srikanti segera mendorongnya ke kamar, membantu sang suami berganti pakaian.

“Capek ya Mas?” tanyanya lembut sambil memijit-mijit bahu suaminya.

“Enggak, sudah biasa begini. Apalagi kalau kamu sudah memijit-mijit bahuku begini."

Ketika duduk di ruang tengah, bibik sudah menghidangkan minuman hangat untuk tuan dan nyonya majikannya.

“Bik, jangan lupa juga minuman untuk Priyadi,” kata sang nyonya.

“Sudah saya buatkan nyonya.”

“Kalau ada cemilan juga, berikan. Setelah itu kan dia mau pulang.”

“Baik.”

Bibik melangkah ke belakang sambil mengeluh dalam hati.

Biasanya sudah selalu siap di meja dapur, tapi setiap kali sang nyonya selalu mengingatkan.

Setelah berbincang beberapa saat lamanya, Priyadi tampak mendekat dan pamit pulang.

“Pulang sekarang Pri?” tanya tuan Sanjoyo.

“Iya, Tuan.”

“Kapan kamu mau mengambil tempat tidur yang katanya untuk ibumu itu?”

“Iya Tuan, nanti kalau sudah ada waktu.”

"Katanya tempat tidur ibumu sudah lapuk kayunya, bawa saja yang di gudang itu, nanti keburu ambrol sementara ibumu lagi tidur.”

“Iya Tuan, secepatnya.”

“Pinjam pickup kantor untuk membawa dan minta tolong orang kantor untuk mengangkatnya. Itu kayu bagus, berat. Nggak akan kuat kalau diangkat dua orang saja," tanpa sadar kalau dibohongi, tuan Sanjoyo masih teringat bahwa ibu Priyadi membutuhkan ranjang baru.

“Baik, Tuan.”

Priyadi mengundurkan diri setelah membungkuk berkali-kali.

***

Pagi hari itu entah mengapa, Puspa berangkat kuliah pagi-pagi sekali. Setelah memarkir mobilnya, matanya menatap ke sekeliling. Ada yang dicarinya, tapi belum tampak. Hari masih pagi. Kuliah baru akan dimulai satu jam lagi. Ia tidak makan pagi di rumah, karena ingin mengajak Nugi makan pagi di tempat yang enak menurutnya.

Baru seperempat jam kemudian, tampaklah Nugi memasuki halaman dengan sepeda motor bututnya. Suara mesinnya yang keras dan agak kasar sudah ditandai oleh teman-temannya. Pokoknya kalau ada suara sepeda motor yang suaranya terdengar aneh, sudah dapat dipastikan kalau yang datang adalah Nugi.

Puspa berdiri dari tempat duduknya di bangku dekat pohon trembesi, lalu mendekati Nugi yang sedang memarkir motornya.

“Nugi, yuk temani aku.”

“Temani ke mana?”

“Aku tadi belum sarapan, bisa kelaparan kalau nggak sarapan dulu.”

“Biasanya kan sudah sarapan?”

“Tadi takut terlambat, ternyata masih ada waktu.”

“Tapi aku sudah sarapan.”

“Temani aku saja, nggak enak makan sendiri. Tungguin, aku ambil mobilku dulu.”

“Banyak warung di depan, mengapa harus naik mobil?”

“Tapi ….”

“Jalan saja, ayuk,” kata Nugi sambil mendahului berjalan. Puspa mengikutinya. Tadi ia bermaksud mengajak Nugi naik mobil, supaya Nugi bisa merasakan bagaimana enaknya naik mobil dan makan di restoran. Tapi ternyata Nugi menolak. Keduanya berjalan menyusuri jalanan.

“Mana? Nggak ada restoran enak di sini?”

“Mengapa harus makan di restoran. Tuh, ada tukang soto pakai gerobag. Ayo makan di situ saja. Kalau itu aku mau.”

“Apa? Lalu kita makan di bangku yang berjajar di pinggir jalan?”

“Memangnya kenapa? Itu enak.”

Nugi dengan enaknya kemudian duduk di depan gerobag tukang soto itu. Puspa mengikuti dengan ragu-ragu.

“Soto dua ya Pak,” tanpa bertanya Nugi langsung memesan.

“Teh panasnya dua,” lanjutnya.

Puspa mengerutkan kening. Ia menatap Nugi yang menunggu pesanan dengan gembira.

“Aku tadi sebenarnya sudah sarapan, tapi soto adalah makanan kesukaan aku.”

Ketika soto dihidangkan, Nugi mendahului menyendoknya sedikit, harus pelan-pelan, soalnya masih panas.

“Ayo, segera dimakan, terlambat lho nanti.”

Mau tak mau Puspa mengikuti ajakan Nugi. Ia menyendok soto dan mengecap-ngecapnya. Kok enak?

Nugi tersenyum melihat Puspa makan dengan lahap. Entah dia kelaparan, atau entah karena sotonya enak. Pokoknya Nugi senang. Ia tahu Puspa anak orang kaya, tadi karena dipaksa ikut menemani makan, Nugi mencoba mengajak Puspa makan makanan di pinggir jalan.

“Bagaimana?”

“Enak. Boleh nambah?”

“Boleh dong.”

Dan Puspa memang menghabiskan dua mangkuk soto, yang enaknya sangat menyengat di lidah.

Tiba-tiba seorang peminta-minta mendekat sambil mengacungkan tangannya.

Puspa merengut, merasa bahwa peminta-minta itu mengganggunya. Tapi Nugi merogoh saku bajunya dan memberikan selembar uang ribuan, yang diterima tukang minta-minta itu dengan berkali-kali mengucapkan terima kasih, bahkan diakhir ucapannya diselipkan juga sebuah doa.

“Semoga sehat dan selalu rukun ya Mas,” katanya kemudian pergi.

Puspa tersedak mendengar doa pengemis itu. Selalu rukun? Pasti pengemis itu mengira mereka suami istri.

“Tuh kan, hanya selembar uang ribuan kita mendapat serangkaian doa bagus.”

Puspa terpana. Pagi ini ia mendapat dua pelajaran.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, December 3, 2025

HANYA BAYANG-BAYANG 03

 HANYA BAYANG-BAYANG  03

(Tien Kumalasari)

 

Sekar menatap suaminya dengan heran.

“Kok nggak turun-turun mas?”

Sang suami tidak menjawab. Dengan isyarat ia menyuruh istrinya menatap ke arah samping rumah. Srikanti masih asyik bercanda dengan Priyadi, yang sedang mencuci mobil.

Sekar mengerutkan keningnya.

“Ibu kok gitu? Masa seorang nyonya besar bercanda dengan sopir sampai sebegitunya?”

“Ya sudah, ayo turun, nanti dia sungkan,” katanya sambil turun dari mobil. Tapi ketika mendengar pintu mobil tertutup, Srikanti menoleh dan tampak terkejut, tapi Suwondo dan istrinya yang sudah turun dari mobil pura-pura tidak menggubris.

“Ada tamu? Nak Wondo, lama tidak kelihatan?" katanya sambil tergopoh menyambut anak dan menantu tirinya.

“Ibu sedang apa?” tanya Sekar.

“Itu, sedang memarahi Priyadi, mobilnya kurang bersih,” jawabnya. Jawaban yang aneh, dan tentu saja berbohong. Ia tak tahu kalau sang putri dan menantu tiri sempat melihat adegan tak pantas itu. Begitu ya cara memarahi? Tapi mereka seakan tak peduli. Hanya saja sikap aneh itu mereka catat dalam hati.

“Bapak tidur?”

“Tidur, baru saja, sebentar aku bangunkan. Ayo masuklah,” katanya tetap ramah. Hal yang selalu diperlihatkan kepada anak-anak Sanjoyo.

“Tidak usah dibangunkan Bu, biar saja bapak istirahat.”

“Tidak apa-apa, nanti kalau tidak dibangunkan malah marah. Bapak juga sudah pernah bilang, kangen sama nak Wondo, katanya.”

“Iya Bu, minggu kemarin memang tidak pulang, soalnya ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan.”

“Menantu ibu yang satu ini rajin sekali,” puji Srikanti sambil masuk ke kamar suaminya.

Sekar beranjak ke belakang, menghampiri bibik yang sedang membuat minuman.

“Sedang buat apa Bik?”

“Ini, membuat minuman buat Non Sekar.”

“Puspa nggak kelihatan sih Bik? Di kamarnya ? Tapi mobilnya juga tidak kelihatan.”

“Non Puspa jarang di rumah kalau libur. Biasanya pulang nanti sore.”

“Setiap kali datang kemari aku belum pernah ketemu dia.”

“Iya Non, setiap hari kuliah, kalau libur pasti jalan ke mana, gitu. Jadi jarang ada di rumah.”

“Pengin jewer telinganya nanti kalau ketemu.”

“Minumnya bibik bawa ke depan, Non.”

“Iya Bik, terima kasih ya.”

Ketika bibik sampai di depan, tuan Sanjoyo sudah duduk berbincang dengan menantunya.

“Bapak sehat?” tanya Sekar sambil duduk di dekatnya.

“Ya begini ini, sehatnya orang tua. Seminggu yang lalu kontrol, katanya semua baik. Tapi bapak masih belum bisa berjalan tegak. Bisanya ya dengan kursi roda ini.”

“Sabar ya Pak, lama-lama nanti pasti juga bisa pulih.”

“Aamiin. Kalian ini ke mana-mana berdua saja, kapan punya momongan?”

“Iya, Sekar, jangan pacaran terus, pikirkan punya momongan. Bapak sudah pengin gendong cucu dari putri sulungnya. Ya kan Mas?” sambung Srikanti.

“Iya, pengin. Roto sudah punya satu, kamu yang kakaknya malah belum.”

“Namanya belum dikasih sama Allah, ya harus sabar dulu. Bapak doakan agar kami segera mempunyai anak.”

“Kalian ini terlalu sibuk, coba sekali-sekali liburan berdua, santai, tidak memikirkan pekerjaan.”

“Tadi Sekar malah usul, pengin mengajak Bapak jalan-jalan, nanti sama mas Roto juga,” kata Suwondo.

“Jalan-jalan? Ke mana?”

“Ke mana saja, pokoknya ke tempat yang menyenangkan. Ke pantai, atau ke taman-taman hiburan. Mau ya Pak? Nanti Sekar kabari Roto juga,” sambung Sekar.

“Kapan ya?”

“Itu usul yang bagus Mas, Harus disisihkan waktu untuk bersenang-senang.”

“Terserah kalian saja, tapi jangan minggu depan ini, kantor sedang banyak urusan, minggu depannya saja.”

“Baiklah, yang penting Bapak mau, nanti kita atur bersama-sama, mau ke mana.. Kalau bisa harus menginap, jadi Bapak tidak kecapekan.”

“Ya, atur saja oleh kalian. Kabari adikmu, dia itu juga jarang datang kemari.”

“Nanti Sekar akan menelpon dia.”

***

Pagi hari itu tuan Sanjoyo mau berangkat ke kantor. Priyadi sudah membantunya duduk di dalam mobil, dan meletakkan kursi roda di bagasi.

Walau begitu tuan Sanjoyo masih mengingat kebutuhan sang istri, kalau-kalau dia mau bepergian.

“Sri, hari ini di kantor banyak pekerjaan, pastinya melibatkan Priyadi untuk mengantar staf yang akan tugas luar. Jadi tidak bisa pulang. Kamu tidak apa-apa kan?”

“Ya tidak apa-apa Mas, aku kan bisa setir sendiri.”

“Sebenarnya aku lebih suka kalau kamu diantar sopir. Tapi kantor sedang sibuk.

"Tidak apa-apa. Jangan mengkhawatirkan aku.”

“Apa harus cari sopir lagi khusus untuk kamu?”

“Tidak … tidak, mengapa harus cari sopir lagi, buang-buang uang saja.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Nanti uang belanja untuk kamu aku transfer dari kantor.”

“Iya Mas, uangku juga hampir habis, soalnya aku juga harus menyumbang ke anak-anak yatim, panti jompo, dan lain-lain. Jadi kalau uang Mas cepat habis jangan marah ya?”

“Ya tidak, aku sudah tahu kalau istriku baik hati. Lakukan apa yang kamu suka, kalau masih kurang boleh minta lagi.”

“Iya, aku tahu. Sudah sana Pri, antar tuanmu, nanti kalau aku butuh bepergian bisa sendiri kok.”

“Ya, Nyonya,” kata Priyadi sopan, lalu membawa mobilnya keluar dari halaman.

***

Srikanti melenggang masuk ke rumah. Ia merasa sejauh ini semuanya aman-aman saja. Bertahun-tahun ia menyimpan uang dari suaminya, sehingga bisa dibelikan rumah, lalu masih akan merenovasi sehingga menjadi hunian yang dirasa nyaman untuk dirinya dan Priyadi, tentunya.

Kemudian dia duduk sambil menyilangkan kaki, lalu memberi perintah-perintah kepada mandor bangunan yang dipercaya untuk membangun rumahnya.

Bibik pembantu merasa heran. Diam-diam dia mendengarkan apa yang dibicarakan sang nyonya majikan.

“O, nyonya besar sedang membangun rumah? Rumah siapa ya? Apa tuan membuat rumah baru? Tidak, aku tidak pernah mendengar tuan dan nyonya membicarakan tentang membangun rumah. Jadi itu pasti rumah dia sendiri. Hm, bagus ya, bisa hidup mewah, bisa membangun rumah. Pintar sekali nyonya mengambil hati suami, sehingga minta apapun diberikan. Padahal di belakang tuan, dia ada main dengan sopirnya. Duh Gusti, apa yang nanti akan menimpanya, ada orang sejahat itu.”

“Bik, kamu lagi ngelamunin apa? Kok duduk di meja dapur sambil berpangku tangan.”

Bibik terkejut. Memang dia sedang melamun, sehingga tak tahu kalau nyonya majikan sudah ada didekatnya. Untunglah dari mulutnya tidak sampai meluncurkan kata-kata yang mencurigakan.

“Eh, Nyonya … saya sedang memikirkan, hari ini enaknya masak apa?”

“Bukankah aku sudah memberi tahu kamu tadi malam, kalau besok masak ikan bakar, sambal yang pedes, lalapan … sayurnya terserah kamu.”

“Oh iya, bodoh … bodoh … bodoh … Bagaimana saya bisa lupa?”

“Kamu itu belum tua benar, gampang sekali lupa.”

“Maaf, Nyonya, baiklah, saya akan mulai memasak sekarang. Ikannya sudah siap di kulkas,” kata bibik sambil meninggalkan sang nyonya.

“Hari ini aku capek sekali. Jadi mau tidur sebentar, jangan ada yang mengganggu ya Bik.”

“Baik, Nyonya. Tapi saya mau ke warung sebentar, ada bumbu yang kurang.”

“Ibu!” tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkan Srikanti.

“Kamu itu belum berangkat kuliah?”

“Puspa baru bangun, trus mandi, ini mau berangkat.”

“Makan pagi dulu sana.”

“Nggak usah, sudah kesiangan, nanti makan di kampus saja.”

“Ya sudah, berangkat sana.”

“Tapi bensinku habis.”

“Uang saku masih ada kan?”

“Habis juga.”

“Jangan terlalu boros,” kata Srikanti sambil memberikan beberapa lebar uang ratusan ribu.

“Puspa berangkat dulu,” kata Puspa sambil bergegas keluar, menuju ke arah garasi untuk mengambil mobilnya.

***

Siang hari itu seorang mahasiswa ganteng sedang duduk sendirian di lobi kampus. Ia merangkul tas kuliahnya, sambil melamun. Anak muda itu adalah Nugi, mahasiswa jurusan ekonomi yang sudah senior, teman seangkatan Puspa. Tiba-tiba seseorang mengejutkannya.

“Nugi!”

“Eh, kamu Puspa.”

“Kok ngelamun di sini? Ngelamunin siapa?”

“Tidak ada. Sedang menunggu seseorang.”

“Pacar?”

Nugi tertawa.

“Nggak punya pacar.”

“Kalau begitu pacaran sama aku saja,” canda Puspa.

“Kamu ada-ada saja. Mana ada, anak orang kaya mau pacaran sama orang miskin seperti aku?”

“Memangnya cinta itu mengenal kaya dan miskin?”

“Biasanya kan begitu.”

“Tapi ini sedang tidak biasa.”

“Kamu ada-ada saja. Ya sudah sana, aku mau keluar sebentar.”

“Kita kan ada kelas? Kok malah keluar?”

“Masih setengah jam lagi, aku sedang ada perlu,” kata Nugi sambil bergegas keluar. Puspa menatap punggung tegap itu dengan mata penuh pesona. Nugi teman kuliahnya yang pintar, tapi sangat sederhana tapi sangat rendah diri. Ia selalu merasa tak pantas bergaul dengan teman-teman lainnya, dengan alasan tidak selevel. Tapi sikap itu membuat Puspa sangat kagum. Kekayaan dia sudah punya, mengapa berteman harus memilih orang kaya? Diam-diam Puspa mengikuti Nugi dari arah jauh. Nugi berdiri dipinggir jalan, seperti menunggu seseorang. Puspa tak ingin mendekat lalu penantian Nugi jadi terganggu. Ia hanya mengawasinya dari jauh. Tak lama kemudian ia melihat becak berhenti di dekat Nugi. Tanpa penumpang, apakah Nugi mau bepergian dengan naik becak? Tapi tidak, tukang becak itu memberikan sesuatu. Sepertinya sebuah amplop. Puspa heran. Apa yang sebenarnya diberikan tukang becak itu?

Puspa bersembunyi di balik pagar, membiarkan Nugi lewat dan kembali masuk. Puspa yang menasaran segera keluar dan memanggil tukang becak itu. Dengan gembira tukang becak berhenti, merasa akan mendapat penumpang. Tapi Puspa hanya menanyakan sesuatu. Tapi sebelumnya dia mengulurkan selembar uang.

“Non mau naik? Kemana? Belum-belum saya sudah dapat bayaran?”

“Itu untuk Bapak saja, saya cuma mau bertanya, tadi Bapaknya ketemu Nugi ya?”

“Itu tadi? Benar, namanya Nugi.”

“Itu anak Bapak?”

“Bukan, mana kuat saya membiayai anak saya kuliah. Itu tadi titipan dari bik Supi.”

“Bik Supi?”

"Bik Supi itu pembantu di rumah orang kaya yang namanya tuan Sanjoyo. Anaknya kuliah di sini. Setiap bulan di tanggal lima, dia menyuruh saya menemui anaknya dan memberikan uang untuk biaya kuliahnya.”

“Bik Supi? Bukankah itu pembantu di rumahnya? Jadi Nugi itu anak bik Supi?" gumam Puspa sambil melangkah kembali ke dalam.

***

Besok lagi ya.

HANYA BAYANG-BAYANG 06

  HANYA BAYANG-BAYANG  06 (Tien Kumalasari)   Puspa melangkah ringan, tanpa sadar sang ibu sedang menunggunya di teras dengan pandangan penu...