Friday, October 31, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 11

 RUMAH kENANGA DI TENGAH BELANTARA  11

(Tien Kumalasari)

 

 

Sanusi dan Alvin terbelalak. Kesadarannya mulai pulih, walau tubuhnya sangat lemah. Melihat kera bongkok yang wajahnya sangat mengerikan, membuat bulu kuduk mereka merinding.

Mereka membuang muka, tak lagi memandangi kera itu. Tapi kera bongkok itu tak hendak pergi dari sana. Ia duduk di sebuah batu, memandangi keduanya dengan sebelah matanya, tanpa mengucapkan kata-kata.

Sanusi yang merasa tubuhnya lemas, beringsut mendekati Alvin, memberi isyarat untuk mengajaknya pergi.

Keduanya berdiri, tanpa mengacuhkan lagi si kera bongkok, sambil saling berpegangan tangan.

“Kenapa kita keluar dan sampai di sini lagi?”

“Aku juga heran, Ini sama saja kita tetap terjebak, tak bisa lolos dari tempat ini.”

“Ayo kita lari, pokoknya menjauh dari sini,” kata Sanusi yang kemudian lari sambil menarik tangan Alvin.

Tapi baru beberapa langkah mereka berlari, tiba-tiba di depan mereka tampak kera bongkok itu sudah berada di depannya, bergantungan pada sebuah dahan pohon yang berjuntai ke bawah.

Sanusi dan Alvin berhenti melangkah tiba-tiba.

“Ya Allah … Ya Allah … Ya Allah…”

“Berarti kita salah jalan.”

“Benar, perempuan itu mengatakan kita harus melewati jalan menanjak, tapi kita berjalan lurus, bukan?”

“Itu karena kita mendengar suara air. Ternyata kita bukan menjauh dari bukit Senyap, tapi mendekatinya. Aliran sungai itu menuju ke arah bukit Senyap, jadi inilah jalan terakhir yang kita temukan setelah keluar dari goa itu.”

Kera bongkok itu masih bergelantungan di dahan pohon. Alvin mengajak berjalan dengan berbelok arah.

Mereka menghadapi ranting-ranting yang terkadang berduri, tapi tak peduli. Yang penting harus pergi jauh dari tempat itu.

Tapi mereka terhenyak, kera itu tiba-tiba juga sudah ada lagi di depannya. Kali ini ia duduk di atas sebongkah batu besar. Keduanya tak berani menatap. Wajah kera bongkok itu memang sangat mengerikan. Ia tidak seperti kera pada umumnya. Matanya yang hanya satu, berwarna kemerahan seperti bara. Kalau dia meringis, giginya tampak hanya dua, Alvin dan Sanusi benar-benar tak ingin menatapnya. Ia juga tak berani berbuat apa-apa, karena kera itu teramat besar, sudah jelas seandainya harus melawan, pasti tubuhnyalah yang akan dikoyak-koyaknya.

Karena kehabisan akal, jalan ke manapun selalu dihadang, keduanya kemudian duduk di bawah sebuah pohon.

“Bagaimana ya, nasib ketiga kawan kita?” kata Alvin sedih.

“Aku menyesal meninggalkan mereka tadi.”

Mereka berbicara tanpa memandang kera bongkok yang terus menatap mereka dengan mata merah. Memikirkan ketiga temannya juga membuat mereka sedih. Kalau saja mereka tahu bahwa ketiga temannya justru selamat dan bertemu Kenanga si gadis dusun, pasti mereka tak akan segelisah itu. Tapi darimana mereka bisa tahu akan nasib ketiga temannya itu? Kalau saja mereka berjalan menuruti arahan si gadis, pasti mereka berlima bisa bertemu dan barangkali juga bisa segera pulang ke rumah masing-masing. Tapi nasib membuat mereka tertahan, di dua tempat yang berbeda.

***

 Gadis desa yang cantik itu telah kembali ke tepian sungai, dimana tiga orang yang baru saja ditolong sedang duduk menunggu di sana, seperti pesan Kenanga sebelum pergi. Mereka berharap Alvin dan Sanusi juga bisa keluar dari arus sungai yang tadi mereka lalui.

“Belum ada yang muncul?” tanya Kenanga sambil meletakkan kan tempat air dan makanan.

“Belum ada, kami juga sedang menunggu.”

“Kok lama ya? Jangan-jangan mereka keluar dari sungai yang berbeda.”

“Apa maksudnya sungai yang berbeda?”

“Ada aliran yang mengarah kemari, tapi kalau dia salah jalan, bisa sampai di bukit Senyap.”

“Celaka,” keluh mereka bersahutan.

“Semoga saja tidak, kalau mereka menuruti petunjukku.”

Matahari yang mengintip di sela dedaunan, sedikit menghangatkan tubuh mereka yang kedinginan karena memakai baju yang basah.

“Aku membawa minuman hangat, dan makanan, semoga bisa mengobati rasa lapar sampeyan semua.”

Walau masih memikirkan kedua temannya, mereka segera melahap makanan dan minuman hangat yang disediakan gadis itu. Sungguh beruntung mereka bertemu dengan Kenanga, yang semula dikira siluman.

“Sebenarnya kamu tinggal di mana?” tanya Hasto.

“Aku tinggal di sana, dekat kaki bukit.”

“Sendiri?”

“Tidak, bersama ayahku. Dia seorang dukun.”

“Dukun?” mereka membayangkan bahwa dukun adalah seorang paranormal yang bisa membantu seandainya Alvin dan Sanusi butuh pertolongan.

“Dia seorang ahli pengobatan. Tapi pengobatan tradisional. Itu sebabnya aku naik kemari. Aku sedang mencari daun-daun obat yang diperlukan oleh ayahku ketika mendengar suara dari dalam goa. Mereka dua orang, pasti teman kalian.”

“Itu goa yang aneh bukan?”

“Goa yang aneh, tapi dikenal memendam harta karun yang tak terhitung. Beberapa orang sejak puluhan tahun yang lalu berusaha mengambil harta karun itu, tapi berakhir tewas, karena terjebak oleh pintu-pintu yang rumit.”

“Ada harta karun ya? Kita tidak menemukan apa-apa kan?” tanya Rasto yang dijawab dengan anggukan oleh teman-temannya.

“Ada, sepertinya kedua teman kalian itu melihatnya. Semoga mereka tidak tergiur oleh harta itu.”

“Harta karun itu milik siapa?”

 “Puluhan tahun yang lalu, atau mungkin ratusan, seorang keluarga kerajaan yang entah kerajaan mana, melarikan diri bersama keluarganya dan banyak anak buahnya, ketika itu mereka menemukan bukit ini, lalu membangun tempat persembunyian yang rumit. Tak seorangpun bisa menemukan mereka, sampai kemudian mereka meninggal. Sebagian dari anak buahnya berhasil pergi dari goa itu dan menjadi penduduk desa sekitar. Tapi sebagian lagi tetap berada di goa itu sampai tewas. Berita tentang harta karun itu disebarkan oleh mereka yang kemudian tinggal bersama penduduk desa. Banyak yang tertarik untuk mengambil harta karun itu, tapi tak satupun dari mereka bisa keluar dari sana.”

“Kami menemukan tulang belulang manusia di sana, mungkin itu tulang-tulang orang yang meninggal karena memburu harta karun itu.”

“ Harta itu kabarnya sepeti penuh, berujud emas permata yang berkilauan, entahlah, aku hanya mendengar cerita mereka.”

“Bukan main. Kenapa kita tak melihat ada harta sepeti penuh ya?” kata Rasto

“Kalau melihat nanti kamu pasti ingin mengambilnya,” ejek teman-temannya.

“Harta itu di simpan di sebuah ruang, bersama dua peti mayat yang diduga adalah pemilik harta itu.”

“Bukit ini bersebelahan dengan bukit Senyap yang angker itu bukan?”

“Benar. Bukit senyap dihuni oleh siluman-siluman, semuanya perempuan.”

“Semuanya perempuan? Kami bertemu dua diantaranya, cantik-cantik.”

“Tiga, yang satu nenek bongkok itu.”

“Iya, benar. Tidak bertemu yang lain.”

“Kalau siang mereka menjadi kera. Kalau malam berujud manusia.”

“Kera?”

“Jadi kera yang kita lihat itu bukan kera beneran, tapi jelmaan siluman.”

“Sebenarnya mengapa kalian berlima datang ke tempat yang rumit ini?”

Lalu Hasto menceritakan asal muasalnya mereka berada di tempat itu. Semua gara-gara Alvin yang tiba-tiba menghilang.

“Siluman bukit Senyap selalu tertarik kepada perjaka ganteng. Mungkin teman kalian yang bernama Alvin itu wajahnya ganteng?”

“O, begitu ya? Tiba-tiba Alvin ingin keluar dari rombongan. Jalan-jalan sendiri dan kami kehilangan dia. Kami berempat berusaha mencarinya, dan beginilah.”

“Kabarnya para siluman tidak berani menjamah goa itu. Entah mengapa aku juga tidak tahu.”

“Bagaimana kalau Alvin dan Sanusi kembali muncul di bukit Senyap?”

Perasaan khawatir segera melingkupi hati mereka.

“Mereka tidak segera muncul,” gumam Kenanga juga dengan perasaan was-was.

Mereka sudah selesai makan, tapi rasa kenyang yang mereka rasakan, ternodai oleh rasa gelisah tentang kedua temannya yang sekarang entah berada di mana.

Kenanga dengan perasaan yang sama gelisahnya, kemudian mengangkut piring dan mangkuk bekas makan mereka, lalu membawanya turun.

“Tetaplah di sini menunggu mereka,” pesannya.

Ketiganya mengangguk dengan gelisah yang terus menggayutinya.

***

Sementara itu Alvin dan Sanusi masih duduk bersandar di bawah pohon besar. Mulutnya berkomat-kamit melantunkan doa. Ia tidak tahu bagaimana nanti nasib mereka, karena mereka merasa belum terlepas dari bahaya.

Ketika mereka melihat ke arah batu besar di depan mereka, kera bongkok itu masih duduk santai di depan mereka. Ia tiba-tiba melompat turun ketika seekor kera yang lain mendekatinya. Kera yang lebih tinggi besar, membuat Sanusi dan Alvin semakin merasa kecut.

Tiba-tiba angin kencang terdengar gemuruh. Agak aneh karena sejak menaiki bukit itu, Alvin tak pernah merasakan adanya angin bertiup.

Kedua kera itu menatap ke atas. Langit bersih tak berawan, lalu terdengar gemuruh yang lain. Kedua kera itu berjalan menjauh, lalu ada banyak kera berkumpul di sebuah area. Ada seorang laki-laki tua bersorban putih yang sedang menyebarkan buah-buahan. Ada jambu ada mangga ada pisang, yang tersebar dan menjadi rebutan kera-kera itu.

Alvin dan Sanusi berdiri dan merasa heran. Keduanya semakin heran ketika laki-laki tua itu menghampirinya, dan memberi isyarat agar keduanya mengikuti mereka.

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, October 30, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 10

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  10

(Tien Kumalasari)

 

Bagaimana dengan Sanusi dan Alvin? Mereka masih mencari jalan seperti ditunjukkan perempuan yang entah siapa itu. Ancer-ancernya adalah naik terus   dan temukan air mengalir dari atas..  

“Pastinya guyuran air itu nanti akan menghambat kita yang akan keluar dari sini,” kata Sanusi.

“Dan kita belum menemukan tangga ke atas itu lagi, padahal aku tadi melewati tangga, tapi kemudian aku belok ke kiri. Barangkali seharusnya aku terus.”

“Kalau kamu tidak belok ke kiri, kita tidak akan bertemu.”

“Benar.”

“Sekarang kita sampai di sebuah ruangan lagi, buntu.”

Titik-titik air itu tak terdengar lagi.

“Barangkali pintu masuk dan keluar selalu ditandai dengan batu bulat seperti tadi. Tapi ruangan ini gelap, tak ada sinar masuk sama sekali.”

Keduanya berjalan meraba-raba. Tak bisa saling bertatap muka kecuali hanya bayangan yang tampak.

Tapi diujung ruangan, mereka mendengar suara gemuruh.

“Apa itu?” pekik Sanusi.

“Angin kencang?”

“Sepertinya bukan.”

“Aiiirr …” teriak mereka bersama-sama.

“Benar, itu suara air. Tapi ke mana kita harus mendekatinya?”

“Jalanan naik.. jalanan naik … mana jalanan itu?”

Tiba-tiba Sanusi menabrak sesuatu.

“Aku menemukannya!” teriaknya.

“Menemukan apa?” tanya Alvin yang kemudian berjalan mendekat.

"Batu ini aneh bukan? Bukan bulat, tapi agak memanjang. Tunggu, bisakah digerakkan?”

Alvin dan Sanusi menggerak-gerakkan batu itu tapi tak ada apa-apa yang menandakan ada pintu yang bergerak, apalagi terbuka.

“Sebentar,” kata Alvin yang kemudian mencoba menarik ke atas batu itu.

“Tuh, bisa diangkat ke atas … barangkali_”

Belum selesai Alvin bicara, batu besar di depannya bergerak, dan terbuka.

“Awas jangan menginjak batu di depan pintu, biasanya akan membuat pintu tertutup kembali."

Keduanya melompat ke ruangan lain dengan perasaan lega.

Gemuruh itu semakin jelas, memang benar, gemuruh air, tapi belum jelas dari mana arah datangnya.

Hawa di ruangan itu terasa dingin. Ketika meraba dinding, ada sesuatu yang lunak.

“Dinding ini berlumut.”

“Berarti ruangan ini lembab. Sepertinya kita sudah dekat dengan saluran air itu. Kita hampir menemukan jalan keluar,” kata Alvin penuh harap.

“Tunggu, air itu menetes-netes kemari. Barangkali pintu keluar ada di dekat sini, ada celah yang meneteskan air.”

Tapi mereka tak menemukan batu yang diperkirakan sebagai kunci pintu. Baik yang bentuknya bulat atau memanjang.

Tapi ketika mereka mengitari ruangan, ia melihat bentuk-bentuk memanjang dari atas mereka.

“Ini stalaktit, hati-hati…”

“Dan stalagmit … dari bawah sini.. awas kepalamu kalau terus berjalan.”

Jalanan itu dipenuhi oleh stalaktit dan stalagmit .. tapi makin ke sana, udara tampak lebih terang.

“Kita sampai di jalan keluar,” teriak Sanusi.

“Awas, hati-hati.”

Suara gemuruh semakin jelas terdengar. Sungguh beruntung, mereka melalui goa yang sedang menunjukkan jalan ke arah luar.

Rasa dingin menggigit tulang. Di depan mereka adalah air yang mengucur deras dari atas. Ada genangan mencapai lutut ketika mereka semakin mendekati guyuran air yang gemuruh tak berhenti.

Seandainya mereka ada di seberang sana, pasti pemandangan air yang gemuruh ini menjadi sangat menarik. Tapi mereka berada di balik guyuran air yang mengucur deras, memenuhi pintu goa yang terbuka lebar.

“Apa benar ini jalan yang ditunjukkan perempuan itu? Kita sepertinya tidak berjalan menanjak.”

“Mengapa ragu? Jalan manapun yang kita lalui, kita telah menemukan jalan untuk keluar. Lihat di sana, itu adalah udara luar.”

“Tak mudah keluar dari sini. Air itu mengucur sangat deras, dan sungai berada di bawahnya. Begitu kita melompat, kita akan diterjunkan ke dalam sungai yang entah seberapa dalamnya."

“Tapi ini satu-satunya jalan keluar. Apakah kita tidak berani mencobanya?”

“Mati atau hidup adalah nasib. Mati di sini, atau mati tenggelam, akhirnya akan sama. Namanya tetap saja mati. Tapi mati karena berjuang lebih terhormat daripada mati karena menyerah,” kata Sanusi bersemangat.

“Kita berwudhu dan shalat di sini. Apapun yang akan terjadi, kita berserah pada kehendak Yang Maha Kuasa.”

“Benar. Barangkali ini shalat kita yang terakhir, entahlah. Ayo kita mulai.”

Gemuruh air bersahutan dengan untaian doa yang terucap dari hati-hati yang pasrah, Bukannya menyerah, tapi pasrah, karena sesungguhnya mati dan hidup bukanlah milik manusia.

Dengan perasaan lebih tenang, mereka mendekati guyuran air yang tak berujung. Suara gemuruhnya bukan hanya memekakkan telinga, tapi juga mengguncang dada. Keduanya bergandengan tangan. Dengan tanpa berhenti menyebut nama Tuhannya dan menahan napas, akhirnya mereka berjalan menembus guyuran air yang siap melontarkan mereka entah kemana.

***

Sarman, Rasto dan Hasto tersadar berbarengan, dengan tubuh tergolek di rerumputan.

Sejenak mereka belum menyadari keadaan mereka. Mereka merasa berada di dunia lain, karena tak yakin akan keselamatan mereka.

“Kita di neraka? Ataukah sorga?

“Kita sudah mati?”

Ia mendengar aliran sungai, dan ternyata mereka berbaring di rerumputan yang terhampar di tepi sungai.

Hasto duduk, bajunya basah kuyup, tapi wajah dan lehernya kotor oleh sesuatu.

Mereka menyadari ketika masing-masing dari mereka saling memandangi wajah mereka.

“Kenapa wajahmu?”

“Wajahmu sendiri?”

“Mengapa pada belepotan begini?”

“Ini kita hidup bukan?”

“Mengapa wajah kita berwarna hijau dan kotor begini?”

“Bukan hanya wajah, tangan kita juga.”

“Aneh, kenapa ini? Ada yang membalur kita dengan apa ini.. seperti bau daun-daun, rasanya pahit,” teriak Hasto yang tak sengaja menjilat bibirnya.

“Mana gadis itu?”

“Kamu mencarinya? Kamu ingat tadi dia mengatakan namanya siapa?”

“Kenanga kan?”

”Itu siluman yang mengganggu Alvin.”

“Ya ampun, ketemu siluman lagi? Ayo kita basuh wajah kita dan pergi dari sini. Rupanya siluman itu yang mengotori wajah dan tangan kita dengan dedaunan yang entah apa namanya ini.”

“Aku bukan siluman.”

Ketiganya terkejut. Tiba-tiba perempuan yang mengaku bernama Kenanga itu muncul. Wajahnya tampak lelah. Tapi matahari yang mengintip di sela-sela dedaunan memantulkan wajah cantik yang  kepucatan.

“Kamu?”

“Kamu bukan siluman?”

“Mana ada siluman gentayangan di pagi hari? Syukurlah kalian sudah siuman.”

“Kamu yang mengotori wajah kami?”

“Kalau aku tidak menolong kalian dengan ramuan itu, barangkali kalian sudah mati.”

“Apa? Ini ramuan apa?”

“Ramuan yang membuat kalian sadar dari pingsan. Kalian hampir kehabisan napas.”

Ketiganya saling pandang. Rasto diam-diam melirik ke arah kaki Kenanga. Kaki nan ramping itu berdiri di tanah dengan mantap, tidak melayang di atas tanah seperti orang mengatakan, bahwa siluman itu tidak menginjak tanah.

Gadis itu tertawa.

“Kalian masih curiga bahwa aku bukan manusia?”

Kenanga berjalan mengitari mereka, langkah kakinya menginjak daun-daun kering, menimbulkan suara gemerisik.

“Maaf.”

“Soalnya kami mengenal perempuan bernama Kenanga yang ternyata adalah_”

“Kalian dari bukit Senyap kan? Itu bukit siluman. Kalau malam menjadi perempuan-perempuan cantik, kalau siang menjadi kera.”

“Kera?”

Lalu mereka ingat tentang kera bongkok, ketika siang, dan malamnya ada perempuan pembantu Kenanga yang juga bongkok. Jadi kera bongkok itu juga nenek bongkok?

“Kalian boleh mencuci muka sekarang, dan mandilah. Tapi aku tidak punya baju laki-laki, sedangkan baju kalian basah semua.”

“Baiklah, terima kasih. Tapi sebenarnya kami sedang mencari dua teman kami yang_”

“Dua orang? Ya … dia juga mengatakan terpisah dengan tiga orang temannya.”

“Kamu ketemu dia? Berarti dia selamat?”

Gadis itu tampak menggelengkan kepalanya.

“Dia tidak selamat?” ketiganya berteriak berbarengan.

“Entahlah, sesungguhnya aku tidak tahu kalau kalian yang muncul. Aku sedang menunggu dia, tapi entah kenapa dia tidak muncul.”

“Di mana kamu melihat dia?”

“Aku tidak melihat dia, kami berbicara berbatas tembok batu. Aku sempat memberi dia makan dan minum, melalui celah-celah batu. Lalu aku tunjukkan jalan keluar, kalau dia tidak tersesat lagi, dia pasti muncul di situ seperti kalian, Entah kenapa dia tidak muncul.”

“Kasihan mereka. Kalau tersesat lagi, lalu bagaimana?”

“Banyak jebakan di sana, banyak jalan tertutup batu yang terkadang susah menuju dari satu ruang ke ruang yang lain. Tapi sebaiknya kalian cepat mandi dulu, bersihkan badan kalian, aku akan mengambil makanan dari rumah, tapi sebaiknya jangan pergi dari sini, agar kalau kedua temanmu muncul kalian bisa melihat lalu menolongnya.”

“Baiklah, terima kasih banyak.”

“Sekali lagi aku ingatkan, tunggu kedua teman kalian di sini, nanti akan aku ceritakan tentang bukit Senyap dan goa bersusun itu.” kata Kenanga sambil melangkah pergi.

Ketiganya kembali mengamatinya, terutama kakinya. Ada rasa belum yakin tentang gadis bernama Kenanga itu. Tapi mereka bernapas lega ketika Kenanga yang satu ini benar-benar menginjak tanah.

***

Sanusi dan Alvin menahan napas ketika tubuhnya seperti terjun ke sebuah kedalaman, kemudian timbul ke permukaan, lalu kembali tenggelam, dan itu terjadi beberapa kali. Pegangan tangan mereka sudah terlepas. Tapi sebuah kesadaran masih memenuhi pikiran mereka. Tiba-tiba mereka sudah terhanyut mengikuti aliran sungai, saling menggapai, tapi tak berhasil.

Ketika sebuah kayu terjulur, keduanya tanpa curiga memegangi kayu itu, yang kemudian menarik tubuh mereka ke tepi.

Sanusi dan Alvin terengah-engah, jatuh di tanah berlumpur di tepi sungai itu.

Mereka sadar, mereka masih hidup, tapi rasa lelah membuat mereka terus memejamkan mata. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, lalu ketika membuka matanya, ia melihat seekor kera bongkok duduk tak jauh dari mereka.

Jantung mereka serasa berhenti berdetak.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, October 29, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 09

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  09

(Tien Kumalasari)

 

Sanusi dan Alvin saling pandang. Apa itu suara manusia? Jangan-jangan suara siluman perempuan bernama Kenanga atau Widuri, yang akan kembali menjebaknya.

“Adakah orang di situ?”

Suara itu kembali menyapa.

“Kamu siapa?” tanya Sanusi yang kemudian merasa bahwa pertanyaannya jadi aneh. Kalaupun dia menjawab siapa, apa dia mengenalnya? Maksud pertanyaan sebenarnya adalah … kamu siluman atau manusia? Tapi kalau siluman, masa muncul saat malam sudah pergi?

“Aku penduduk dusun  di bawah, sedang mencari daun-daun obat.”

Jawaban itu membuat Sanusi dan Alvin merasa lega.

“Aku terjebak di dalam sini, apa kamu bisa menolong?”

“Mengapa kamu masuk ke situ? Kamu ingin mencuri harta karun?”

“Apa? Kami berlima, terjebak tidak bisa keluar..”

“Orang yang berani masuk ke situ biasanya ingin mencuri harta karun yang tersimpan di situ, tapi tak ada yang bisa keluar hidup-hidup. Itu balasan manusia serakah.”

“Kami sebelumnya tidak tahu ada harta karun di dalam sini, kami orang tersesat.”

“Tersesat? Bagaimana bisa tersesat? Tak ada jalan masuk kecuali memang berniat masuk.”

Sanusi dan Alvin merasa kesal. Perempuan desa itu menuduh yang bukan-bukan, keterangan yang dikatakannya seperti tak dipercayainya.

“Mohon jangan bicara sembarangan. Kami bukan orang seperti itu,” kata Alvin berusaha sabar, karena bukankah kalau bisa mereka ingin meminta tolong?

“Tolonglah. Di sini kami hanya berdua, sedangkan tiga orang lainnya diujung sebelah sana, jauh. Kami terperosok ke dalam lobang ketika lari dari kekuatan siluman, setelah terperosok, lobang itu kemudian tertutup batu. Kami kelaparan dan kehausan, terpisah dengan  tiga orang teman kami.”

“Ujung dari goa ini ada di bukit Senyap, itu bukit para siluman.”

“Ini bukan bagian dari bukit Senyap?”

“Ini bukit yang lain. Ceritanya panjang, tapi saya ingin menolong kalian, lebih dulu aku mau memberikan air ini, terimalah.”

Wanita itu mengulungkan sebuah botol besar berisi air. Tepatnya meluncurkan kebawah. Mereka ragu untuk meminumnya. Jangan-jangan isinya racun, atau jampi-jampi atau apalah, pokoknya dengan niat buruk.

“Kalian mencurigai aku memberikan racun? Ya sudah, terserah kalian kalau ingin mati di situ.”

Sanusi dan Alvin terdiam. Mereka minum air itu atau tidak, toh hasilnya akan sama. Seandainya mereka mati karena minum air beracun, apa bedanya dengan tidak bisa keluar dari situ? Mati juga kan? Karenanya setelah saling pandang, mereka meneguk air itu bergantian, masing-masing separuh.

Badan mereka terasa lebih nyaman. Mereka menyesal telah menuduh perempuan itu punya niat buruk.

“Kalau kalian lapar, aku juga bawa bekal, kalian makanlah,” lalu perempuan itu menurunkan sebungkus plastik melalui lobang itu, yang kemudian diterima dengan rasa terima kasih.

Makanan itu tidak banyak, karena hanya bekal perempuan itu, tapi lumayan bisa mengisi perut mereka yang kosong sejak kemarin.

“Ini ada lagi,” terdengar suara perempuan itu, yang kemudian menjatuhkan beberapa butir pisang ke bawah. Keduanya makan dengan lahap. Tapi tiba-tiba Alvin merasa sedih.

“Bagaimana dengan tiga orang teman kita yang lain?”

Lalu keduanya terdiam dalam kesedihan.

“Kita bisa makan, bagaimana dengan mereka? Lalu setelah kita kenyang, bagaimana bisa keluar dari tempat ini?” kata Sanusi sedih.

“Hei, kalian ingin keluar dari sini atau tidak?”

Keduanya terkejut. Rupanya perempuan itu masih ada di atas mereka.

“Bagaimana menemukan jalan keluar?” teriak Sanusi.

“Diujung jalan ini ada jalan menanjak, agak jauh, tapi tidak langsung bisa keluar, karena terhambat oleh sungai yang dalam, sumber air sungai itu datangnya dari atas sini.”

“Sungai? Air? Apakah suara menetes itu datangnya dari sana?” kata Alvin.

“Mungkin ada tempat yang bisa dilalui tetesan air, tapi di mana?”

“Ya sudah, berusahalah, semoga berhasil. Aku akan menunggu kalian di sungai itu.”

Lalu terdengar langkah menjauh.

“Keterangannya tidak jelas. Jalan menanjak?” Mana ada jalan menanjak? Ketika memasuki ruangan ini, ada seperti tangga, menanjak. Jalan mana yang dimaksud perempuan itu?”

“Aku juga melewati jalan menanjak sebelum masuk kemari, mari kita mencarinya lagi.”

***

Sementara itu Sarman, Rasto dan Hasto menunggu kedua temannya dengan harap-harap cemas. Kebetulan mereka tidak seberani Sanusi maupun Alvin, jadi hanya duduk menunggu. Tapi karena tak tahan, mereka bertiga beranjak dari sana bersama-sama. Suasana di dalam agak lebih terang, karena seperti Sanusi dan Alvin, mereka melihat ada celah batu di atas mereka. Hal itu membuat mereka sedikit lega. Ketika mereka lebih mendekati celah itu.. mereka mendengar denting-denting air menetes lagi lebih jelas.

“Dari celah itu, apakah kita bisa keluar?”

Mereka mendongak ke atas,

Ruangan itu sangat luas, dan suasana masih sedikit remang. Tiba-tiba Hasto kembali berteriak.

“Aaapp… pa… ini?”

Keduanya menoleh ke arah Hasto yang berjalan di depan, ada lagi kerangka manusia, tidak hanya satu, ada tiga..

Dengan gemetar Hasto berjalan menyingkir, diikuti oleh kedua temannya.

“Mengapa banyak … tulang … tulang … manusia?”

“Mungkin mereka sama seperti kita, terjebak dan tak bisa keluar, akhirnya mati,” kata Rasto enteng, membuat bulu kuduk teman-temannya merinding.

“Berarti … kita akan mati … di … sini?” Sarman mulai gemetar.

“Kita sudah lemas, apakah lama-lama tidak mati?”

“Kalau tidak bisa keluar, lalu haus dan lapar… ke mana lagi kalau tidak mati?”

“Aku tidak mau mati, ayo kita cari jalan keluar. Teruslah berdoa,” kata Rasto.

Suara denting air menetes itu terdengar semakin jelas. Tapi tidak tahu asalnya dari mana. Tiba-tiba Rasto berteriak.

“Denting-denting air itu asalnya dari sini,” kata Rasto sambil menepuk-nepuk dinding di sampingnya.

Dua orang temannya mendekat, menajamkan pendengarannya.

"Benar, dari sebelah, bagaimana masuknya? Kalau bisa masuk lumayan, kita bisa sekedar minum."

Ketiganya mencari-cari dengan meraba-raba. Tiba-tiba Hasto memegang sesuatu yang bisa berputar.

“Apa ini?” teriaknya.

Yang lain ikutan meraba. Rasto menggoyang-goyangkannya. Tak ada apa-apa.

“Coba diputar,” kata Hasto.

Sarman memutarnya, dan suara gemuruh terdengar, sebuah batu besar bergeser.

“Kita bisa masuk,” kata ketiganya yang langsung melompat masuk. Tapi tiba-tiba batu itu bergeser menutup kembali.

“Waduh, kita terkunci di sini,” kata Hasto.

Tapi mereka lebih tertarik ketika melihat sebuah kolam di sudut ruangan. Di atas kolam itu air menetes-netes dari atas. Bukan hanya satu tempat, tapi beberapa tempat di sekelilingnya.

“O, dari sini … “

Mereka berhamburan mendekat. Air di kolam itu begitu jernih. Mereka meraupnya tanpa ragu, dan meminumnya sepuas hati, sampai membuat mereka terengah-engah.

“Semoga tidak beracun.”

“Syukurlah, biarpun hanya air, tapi membuat kita hidup. Tidak beracun kok, kita tidak merasakan apa-apa kan?”

“Kita malah merasa segar.”

“Tapi aku heran, air itu tak berhenti menetes, mengapa kolam ini tak menjadi penuh, atau bahkan meluber ke sekelilingnya?”

“Iya benar, harusnya semakin penuh karena terus di isi, dan tetesan ini tidak berhenti.”

“Hanya ada satu ke mungkinan. Kolam ini mengalir keluar.”

“Berarti ada aliran keluar? Hei, apa yang kalian pikirkan?”

“Kita cari di mana letak salurannya, kita ikuti, sehingga kita bisa keluar.”

Ketiganya saling pandang. Kemungkinan itu ada, tapi di mana letak lobang salurannya?

“Biar aku mencarinya,” kata Sarman.

“Kita bersama-sama saja.”

“Baiklah, hati-hati. Berdoa dulu sebelum masuk.”

Lalu ketiganya masuk ke dalam kolam. Tidak begitu dalam, hanya sebatas perut mereka. Dimana ada saluran keluarnya ya?’

Lalu mereka menemukan sesuatu, bahwa kolam itu bukan hanya berasal dari tetesan air, tapi dari sebuah lobang yang lain.

“Air itu masuk dari sini. Aneh. Deras alirannya,” teriak Sarman.

“Ini ada lobang yang mengalirkan air keluar, tapi kecil, hanya tanganku yang bisa masuk,” teriak Hasto.

“Pasti ada saluran keluar yang lebih besar. Air itu dari sini dan deras, kalau keluar melalui saluran kecil, lama-lama akan meluap airnya.”

“Benar, jadi pasti ada saluran lain yang lebih besar.”

“Bagaimana kalau kita masuk melalui saluran yang masuk kemari?”

“Melawan arus?”

“Lebih baik mengikuti saluran yang keluar, itu lebin ringan.”

“Semoga napas kita panjang, seandainya saluran itu panjang.”

Tiba-tiba Sarman menemukannya.

“Air keluar dari sini, lihatlah.”
Mereka melihat air mengalir deras dari satu tempat.

“Ini lebar, seukuran manusia. Lebih lebar malah.”

“Kalau begitu ayo kita ikuti saja.”

”Bersiap kalian? Berenang mengikuti arus, tapi harus menahan napas, entah sampai berapa lama.”

“Apa boleh buat. Kalau memang kita harus mati karena kehabisan napas, apa bedanya kita harus mati di sini karena kelaparan?”

“Ayo berdoa dan mulai masuk ya.”

"Kalau aku mati dan kalian bisa pulang ke rumah, sampaikam maafku pada kedua orang tuaku ya," kata Hasto menahan tangis.

"Demikian juga aku," kata yang lain, yang kemudian saling berangkulan dan bertangisan.

Akhirnya setelah berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan mereka, satu persatu mereka memasuki saluran air itu.

***

Entah berapa lama mereka menyusuri aliran pada saluran air itu. Dan tanpa diduga mereka tiba dan terjun ke dalam sungai, yang merupakan pertemuan bukan dari satu tempat. Mereka terengah engah, lalu dengan heran mereka merasa ada yang menariknya satu persatu ke arah tepi.

Mereka terbaring lemas, tapi matanya bisa menatap penolongnya.

“Kkamu … manusia?” tanya Sarman terengah.

“Aku manusia seperti kamu, aku dari dusun di bawah itu, namaku Kenanga.”

Ketiganya lemas dan jatuh pingsan.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, October 28, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 08

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  08

(Tien Kumalasari)

 

Sanusi dan Alvin sama-sama terkejut dan sedikit terhibur. Mereka bisa saling mendengar walau entah bisa bertemu atau tidak. Itu karena batu penutup itu tidak sangat rapat, sehingga bisa bicara satu sama lain.

“Alviin, kamu di mana?” Teriak Sanusi.

“Ya di sini, nggak tahu aku ini ada di mana,” jawab Alvin juga berteriak.

“Ada banyak senjata di sini. Ini sepertinya gudang senjata. Bentuknya tombak, ujungnya batu.”

Mereka mencoba saling bercerita.

“Di sini banyak kotak-kotak, bentuknya panjang, entah isinya apa, aku takut.”

”Kamu sama siapa?”

“Sendiri, maksudku ingin menyusul kamu.”

“Berarti kamu berada di tempat yang tadi aku lalui. Ada batu menonjol, yang ketika aku dorong lalu pintunya terbuka, Tapi begitu aku masuk, tertutup rapat. Aku tak bisa mendorongnya lagi. Berat.”

“Batu menonjol? Maksudmu … ini?”

“Yah, mana aku tahu apa yang kamu tunjuk?”

“Aku melihat celah kecil. Hari sudah pagi. Kelihatan dari celah itu.”

“Sama, aku juga melihat celah, hanya sebesar telapak tangan. Agak terang di sini.”

“Tunggu. Batu menonjol ini tampaknya bisa berputar.”

“Bisa berputar? Tadi gelap, aku tak melihat jelas.”

“Sekarang agak terang, iya benar. Kalau aku putar, lalu apa yang terjadi ya?”

“Coba saja. Siapa tahu ada pintu terbuka, lalu kita bisa bertemu.”

“Aku coba ya.”

Dan Alvin mulai meraba batu berbentuk bulat itu, memutarnya. Ternyata tidak bisa diputar ke kanan.

“Tidak bisa, berat.” teriak Alvin.

“Coba ke arah yang berlawanan.”

Alvin memutarnya ke arah yang berlawanan, dan suara gemuruh terdengar. Batu penutup itu bergerak, dan membuka. Sanusi dengan cepat melompat ke arah di mana Alvin berada.

“Alhamdulillah,” teriak keduanya hampir bersamaan. Lalu mereka berangkulan dengan air mata berlinang. Yang aneh adalah pintu tidak menutup kembali, jadi antara ruang di mana Alvin berada dan di mana Sanusi berada, bisa terhubung dari pintu itu.

“Bagaimana teman-teman yang lain?”

“Masih di tempat yang tadi, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya kembali ke sana.”

“Kelihatannya tempat kita ini lebih tinggi. Berarti tidak berada di bawah tanah. Buktinya kita melihat dunia luar biarpun hanya sedikit. Dan itu membuat kita bernapas agak lega."

Lalu Alvin dan Sanusi mendekati peti-peti yang berjajar rapi.

“Apa ya isinya?” tanya Alvin sambil menatap sahabatnya.

“Entahlah. Kok aku takut membukanya. Ini bentuknya seperti peti mati,” kata Sanusi yang tak urung kemudian meraba salah satu peti itu.

“Eh, jangan sembarangan San, jangan-jangan berisi tengkorak manusia. Kotak ini kan bentuknya seperti peti mati.” kata Alvin khawatir.

“Berat sekali,” kata Sanusi yang mencoba mengangkat dari salah satu ujungnya.

“Tak mungkin isinya tengkorak. Tengkorak tak akan seberat ini. Aku buka saja ya, bantuin dong," lanjut Sanusi.

Karena yakin bukan berisi tulang manusia, Alvin mau membantunya. Ternyata tutupnya tak seberat yang mereka bayangkan. Dengan kekuatan keduanya, tutup itu terbuka, lalu mereka terkejut, sampai sama-sama terjengkang.

“Ya Allah .. Ya Allah,” Sanusi terengah-engah.

“Ini harta karun,” teriak Alvin.

Kemudian keduanya kembali mendekat, duduk ngelesot di bibir kotak. Sinar berkilauan memancar dari dalamnya.

“Harta. Emas dan berlian? Ini bukan milik orang sembarangan. Orang biasa tak mungkin memiliki harta sebanyak ini.”

“Ini baru satu kotak. Masih ada dua kotak lainnya.”

“Ini bukan main. Apa kita akan mengambilnya?” tanya Alvin lagi.

“Apa maksudmu? Ini bukan milik kita.”

“Ini juga bukan milik siapa-siapa,” bantah Alvin.

“Astaghfirullah … Alvin, kamu lupa kita sedang di mana. Sedangkan untuk keluar saja kita belum tentu bisa, bagaimana kamu bisa menginginkan harta yang bukan milik kita?”

“Maaf, aku hanya bercanda. Nggak jadi … nggak jadi. Nanti pemilik yang asli dan sudah jadi tengkorak, bangun lalu mengejar kita, hiiiiih…”

“Kita hanya ingin tahu. Ayo kita buka yang dua itu."

“Kamu itu, aku yang ini.” kata Alvin.

Tapi yang dua itu ternyata agak berat. Walau begitu, sambil ah uh ah uh, keduanya berhasil membuka dua kotak itu. Tapi apa yang terjadi, begitu terbuka, keduanya berteriak dan langsung menjauh. Isi dua kotak itu adalah tengkorak manusia.

“”Astaghfirullah … Astaghfirullah …”

Keduanya terengah-engah.

“Aku kira harta karun juga,” kata Alvin.

“Ayo kita tutup kembali peti-peti itu,” kata Sanusi setelah merasa lebih tenang.

“Sanusi, kalau boleh aku usul … ini kan harta yang tidak terpakai, aku kira pemiliknya adalah yang sudah menjadi belulang di kedua peti lainnya. Ya kan. Itu jelas laki-laki dan perempuan, menilik yang satu ada perhiasan di dekatnya, satunya pakaian laki-laki yang sudah tak berbentuk. Jadi, seandainya kita ambil perhiasan ini, bukan untuk kita, jangan melotot dulu, maksudku, kita bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Bagaimana? Banyak orang miskin di sekitar kita. Kita jual, lalu kita bagi-bagi.”

Sanusi tampak terdiam. Ia seperti ragu-ragu.

Tampaknya pemilik perhiasan itu adalah suami istri, yang saat meninggal di masukkan ke dalam peti, dan semua hartanya di masukkan ke sebuah peti yang lain.

“Sepantasnya kita justru harus melaporkannya kepada yang berwajib atas temuan ini.”

“Pikirkanlah, dilaporkan, atau dibagikan langsung.”

Keduanya terdiam, tapi ketika mereka sadar entah bisa keluar dari tempat itu atau tidak, maka mereka kemudian terlihat tak bersemangat.

“Kita pikirkan nanti, yang penting menemui teman-teman kita yang lain, lalu mencari jalan keluar,” kata Sanusi.

“Iya, kamu benar.”

Lalu dengan perasaan yang sulit digambarkan, keduanya menutup ketiga peti itu.

“Mereka bukan orang biasa. Mungkin orang berpangkat yang lari dari sebuah kerajaan entah kerajaan apa. Ada mahkota di kepala tengkorak itu.”

Tapi keduanya tak ingin menatap belulang itu lebih lama. Seram juga rasanya di suasana remang lalu memandangi sepasang manusia yang sudah menjadi tulang.

Lalu mereka pergi menjauhi letak kotak itu.

Suasana kembali mencekam. Masing masing memikirkan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Yang terpenting adalah menemukan kembali ketiga kawan mereka, lalu mencari jalan keluar.

“Celah itu begitu kecil. Kalau saja kita bisa menggesernya lebih lebar, maka kita pasti bisa keluar.”

“Ayo kita coba.”

“Bagaimana caranya?”

“Bukankah kamu bilang kalau di sebelah situ ada banyak senjata?”

“Ya, banyak.”

“Bagaimana kalau kita berusaha mendongkel celah itu supaya bisa menganga lebih lebar?”

“Sepertinya itu celah bebatuan. Tapi tidak apa-apa, kita bisa mencobanya,” kata Sanusi sambil kembali memasuki ruangan tempat senjata itu.

Tapi betapa terkejutnya Sanusi dan Alvin, ketika begitu menginjak ruangan itu, maka pintu batu itu menutup kembali.

“Celaka!”

“Bagaimana ini? Aduh, mengapa kita terpisah kembali?” teriak Sanusi.

Lalu Alvin teringat, bagaimana tadi dia bisa membuka pintu batu itu. Dicarinya batu bulat yang menonjol, yang bisa diputar.

“Ya Allah, semoga berhasil,” kata Alvin sambil memutar batu itu. Dan syukurlah, ternyata memang batu bulat itu yang bisa membuka pintu.

Sanusi kembali melompat ke dekat Alvin.

“Apa yang terjadi?”

“Sekarang aku mengerti. Setiap kali kita masuk, lalu menginjak sebuah batu yang ada di depan pintu itu, maka pintu akan tertutup dengan sendirinya.”

“Lalu bagaimana?”

“Supaya tidak menutup kembali, kita harus melompat agak jauh ke dalam. Jangan menginjak batu yang persis berada di depan pintu.”

”Baiklah, sekarang mari kita ambil senjata yang kira-kira bisa dipergunakan untuk mencongkel celah itu.”

“Aku saja, kamu tetap di sini, supaya nanti kalau ternyata pintu tertutup lagi maka kamu bisa membukanya.”

Alvin mengangguk dengan berdebar-debar. Lalu ia melihat Sanusi melompat keruangan itu, sehingga tidak menginjak batu di depan pintu. Maka amanlah dia.

Alvin menarik napas lega.

Tak lama kemudian Sanusi tampak membawa dua buah tombak, yang dibawa di kiri kanan tangannya. Ketika dia keluar, pintu itu tak terusik. Aneh, padahal Sanusi lupa untuk melompat. Dan tadi ketika bertemu Alvin untuk pertama kalinya dia juga menginjak batu itu kan?

“Sungguh aneh orang yang membangun rumah terowongan ini.”

“Rupanya tempat ini dijadikan tempat sembunyi, jadi kalau ada musuh mengejar, mereka akan terjebak karena bingung.”

“Mungkin. Sekarang ayo cepat kita congkel celah itu.”

“Tempatnya tinggi, kamu harus memanggulku,” kata Sanusi.

Maka dengan memanggul Sanusi, maka Sanusi bisa mencapai celah itu. Dengan tombak yang ujungnya dari batu itu ia berusaha mencongkel-congkel, berharap bisa membuat celah lebih lebar.

Tapi ternyata tidak mudah. Tanah di ujung celah runtuh ke bawah, tapi batu bercelah itu tak bergeser, jadi hanya menambah lebar celah, tapi tetap tak mungkin dilalui manusia.

“Kurang lebar,” kata Sanusi sambil melompat turun dan terengah-engah.”

“Batunya di dorong juga tak bisa?”

“Berat sekali. Batu itu sudah tertanam lama, dan bukan batu kecil, aku sudah berusaha mendorongnya, tetap bergeming."

"Bagaimana dengan celah di ruangan satunya?"

"Entahlah. Yang itu lebih sempit. Kita akan menemui kesulitan yang sama."

Keduanya duduk bersandar dinding batu dengan dada sesak. Mereka lelah. Lelah lahir batin, dan mereka juga haus dan lapar.

Mereka teringat ketika mendengar tetes-tetes air. Mengapa tetesan air itu tak terdengar lagi?

“Bagaimana ini?”

“Jangan putus asa, teruslah memohon pertolonganNya.”

TIba-tiba mereka mendengar langkah kaki dari atas sana.

“Ada orang di dalam?”

Sanusi dan Alvin terkejut. Itu suara perempuan.

***

Besok lagi ya.

Monday, October 27, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 07

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  07

(Tien Kumalasari)

 

“Benarkah kita akan menemukan jalan keluar?” tanya Hasto penuh harap.

“Suara angin yang terdengar menunjukkan bahwa ada lobang terhubung ke ruangan ini.”

“Semoga saja begitu.”

“Ruangan ini kalau tidak salah berada di bawah tanah. Mana mungkin ada lobang angin?”

“Bisa jadi ada, justru diujung ruangan, yang semoga adalah jalan keluar.”

Mereka berandai-andai.

Walau demikian, mereka tetap tak berani beranjak. Suasana masih mencekam. Mereka berusaha memejamkan mata, berharap bisa tidur, tapi tak bisa. Bagaimana bisa tidur kalau ketakutan masih terasa mencengkeram? Lampu minyak yang berkebat kebit itu juga membuat suasana semakin seram. Kalau tak ada angin, mengapa nyala lampu itu bergoyang-goyang seperti ada yang meniupnya?

Lalu suara denting seperti tetesan air itu terdengar lagi. Hati mereka semakin ciut.

“Mungkin di dalam sini ada air, aku akan mencari asal suara itu,” kata Sanusi tiba-tiba.

“Jangan. Kamu mencari mati?” cegah teman-temannya.

“Tidak, aku mencari hidup,” jawab Sanusi enteng. Baginya, daripada duduk diam dalam ketakutan, lebih baik dia berjalan, mencari di mana ada sumber air, dan di mana air itu menetes-netes.

“Nekat dia,” keluh Alvin.

Sanusi berjalan menyusuri ruangan, yang ternyata adalah ruangan panjang. Sinar lampu minyak itu sedikit menerangi ruangan, sehingga dia tidak menabrak sesuatu.

Tapi tidak, saat berjalan, tiba-tiba ia melihat sebuah pintu menganga. Sanusi berdebar, apakah itu pintu keluar? Ia melangkah masuk, dan tanpa diduga pintu itu tiba-tiba menutup.

Sanusi terkejut bukan alang kepalang. Penutup ruangan itu adalah sebuah batu besar. Sanusi mendekat dan berusaha mendorong atau menggesernya, tapi tak berhasil.

“Celaka, aku terjebak di sini?” keluh Sanusi.

***

Sementara itu keempat temannya yang menunggu mulai gelisah. Sanusi pergi lama sekali. Tak tampak bayangannya di dalam ruangan itu,

“Ke mana dia?” pertanyaan demi pertanyaan muncul bersahutan.

Tiba-tiba Alvin berdiri.

“Aku akan mencarinya.”

“Jangan Alvin, kita tunggu saja dia,” kata teman-temannya. Tapi Alviin nekat berjalan meninggalkan teman-temannya.

“Bagaimana kalau dia tak kembali?”

Teman-temannya mulai khawatir.

“Tetap di sini, jangan ikutan mereka, nanti kita malah tercerai berai lagi,”  kata Rasto.

Dan itu ada benarnya, karena Alvin ternyata tidak menemukan Sanusi. Ia menengok ke sana kemari, suasana hanya remang.

Ketika dia akan kembali kepada teman-temannya yang lain, ia melihat sebuah ruangan lain, yang kemudian dimasukinya. Ia mengira Sanusi masuk ke dalam situ. Tapi seperti Sanusi, Alvin terkejut ketika tiba-tiba pintu tertutup. Ia membalikkan tubuhnya, ingin kembali keluar, tapi pintu itu tertutup oleh sebuah batu besar yang sangat kuat. Susah payah dan sekuat tenaga dia mendorongnya, tanpa hasil. Gelap di dalam ruangan itu, sehingga ia tak melihat apa-apa. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, membiasakan matanya agar bisa melihat sesuatu. Tiba-tiba kakinya menyandung sesuatu, membuatnya terjerembab.

Tangannya tidak menyentuh tanah. Ada sesuatu yang aneh, Alvin memegangnya dan mengamatinya dengan seksama, dan ternyata ada tulang belulang.

“Teng … korak manusia? Dan tidak hanya satu?”

Alvin bangun dan mundur beberapa tindak ke belakang. Ia menyesal tidak membawa korek api yang dibawa Rasto. Tapi matanya yang sudah biasa melihat gelap, melihat bahwa tulang-tulang manusia berserakan di sana. Alvin menjerit sekuat-kuatnya.

“Tol lloooong ….tol…looong…..”

Tapi suaranya hanya bergema di dalam ruangan. Alvin bukan penakut, tapi bagaimanapun juga berada ditengah tulang belulang manusia yang berserakan, tetap saja merasa ngeri.

Ia mencoba mengitari ruangan, tak ada celah. Tapi tidak, di sudut ruangan ada celah, dan Alvin menemukan sebuah jalan yang menanjak. Gelap yang menguasai seluruh ruang membuatnya meraba-raba, tapi ia berusaha memasuki celah itu, yang hanya cukup untuk berjalan miring.

Tak ada jalan lain, Alvin beranjak keluar dari sana, daripada berada diantara tulang belulang manusia.

Ia terus berjalan miring, dan terus menanjak.

Tiba-tiba terdengar suara angin, menderu dan gemuruh. Alvin berhenti melangkah. Tubuhnya bergoyang-goyang karena kerasnya angin. Tapi tiba-tiba tangannya menyentuk tempat kosong, jalan itu berbelok ke arah kiri.  Mau tak mau Alvin menapaki jalan itu, yang ternyata lebih lebar.

Entah akan menuju ke mana, Alvin terus melangkah dan melangkah. Suara angin tak terdengar lagi. Hati Alvin semakin ciut. Ia terpisah dengan teman-temannya dan tak menemukan jalan ke arah mereka. Ia tak tahu sekarang sedang berada di mana.

***

Sementara itu Sanusi mengalami nasib yang hampir sama. Ia tidak menemukan tengkorak-tengkorak manusia, tapi beberapa kotak yang berjajar-jajar. Sanusi sama sekali tak berani menyentuh kotak itu. Ia justru menjauh, dengan mengikuti tembok batu yang melingkar. Tiba-tiba ia menyentuh sesuatu yang dingin, menonjol. Sanusi merabanya, seperti sebongkah besi. Atau juga batu yang sangat halus. Tak sengaja Sanusi mendorongnya, dan tiba-tiba ia melihat anak tangga yang menuju ke sebuah ruangan lain. Ia harus menaiki tangga yang agak banyak ketika melangkah ke sana.

“Ya ampun, banyak ruangan aneh di sini. Tempat apa ini sebenarnya?” bisik Sanusi yang mulai panik. Ia juga memikirkan teman-temannya yang pasti kebingungan karena tiba-tiba dia menghilang. Tapi Sanusi tak menemukan jalan untuk kembali ke sana.

“Teman-temanku pasti bingung. Mudah-mudahan mereka tidak mengikuti aku sehingga akhirnya malah jadi tercerai berai.”

Ruangan itu bukan ruangan kosong. Sanusi melihat sesuatu berbentuk panjang yang berjajar-jajar. Sanusi mendekat dan merabanya.

“Apakah ini senjata?”

Benda panjang yang berdiri berjajar itu di rabanya. Gagangnya dari kayu, Sanusi menariknya, lalu melihat sesuatu yang lancip pada ujungnya.

“Ini senjata, atau tombak. Benar, tombak yang berjajar-jajar. Jadi ini sebuah ruang penyimpan senjata? Rumah siapa ini? Tadi aku dan kawan-kawan melihat tempat tidur berukir di sebuah ruangan, pasti pemilik rumah ini, atau seorang pemimpin yang dihormati. Dan telah terjadi peperangan, dan kemana mereka semua? Tadi Hasto menyandung tengkorak manusia. Apa mereka mati semua, di mana yang lainnya? Lalu bagaimana mereka bisa pergi dari sini? Banyak ruangan-ruangan tertutup dan penuh rahasia. Sepertinya tempat mereka bersembunyi. Tapi pasti ada pintu keluar dari ruangan ini, benarkah hanya satu pintu di mana tadi aku bisa masuk, lalu tak bisa keluar?”

Sanusi kebingungan. Masa dia akan terperangkap di ruangan itu dan tak bisa keluar? Ia meraba-raba dalam gelap, tak menemukan apapun. Sanusi selalu mengingat junjungannya. Dimanapun ia berada atau dalam kesulitan apapun, ia selalu menyebut nama TuhanNya.

Sanusi terengah engah, ia bukan hanya lelah, tapi juga lapar. Pasti demikian juga teman-temannya,

Ia duduk sembarangan dan bersandar di tembok batu. Batu sepertinya sangat dominan di tempat itu, baik dinding, pintu maupun peralatan yang ada, bahkan ujung tombak itupun terbuat dari batu yang diruncingkan.

Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki. Bulu kuduk Sanusi merinding. Seperti tadi, ada langkah langkah kaki di balik dinding. Lalu berhenti.

Tapi kemudian langkah kaki itu menjauh.

“Dia, atau siapapun dia, sudah pergi. Suara langkah siapa itu?”

Sanusi masih terduduk ketika tiba-tiba ia melihat sesuatu di atasnya. Ada celah yang menganga, tapi hanya sedikit. Walau begitu Sanusi segera sadar kalau udara tidak begitu pengap karena angin bisa masuk dari celah itu.

Sanusi mendekat, apakah dia bisa keluar dari celah itu? Rasanya tak mungkin. Celah itu hanya sebesar telapak tangan, kiri kanan adalah batu.

Lalu Sanusi mundur dari sana, mengamati sekeliling celah itu, barangkali ada sesuatu yang bisa menjadikan jalan untuk keluar dari sana.

Tiba-tiba celah itu seperti menyemburkan sinar, bukan sinar biasa, tapi sinar pagi. Matahari memancarkan sinarnya dan menembus ke ruangan itu. Sanusi bernapas lega. Ia merasa sudah dekat dengan dunia luar.

“Ya Allah, selalu tolonglah hamba-hambaMu ini,” bisiknya dengan linangan air mata.

Sinar itu semakin terang, dan suasana di dalam ruangan juga semakin terang. Walau tidak benderang, tapi Sanusi bisa melihat ke sekeliling dengan lebih jelas.

Dari celah itu ia bisa melihat daun-daun yang bergoyang. Sebuah harapan muncul. Ia kemudian merobek bajunya, lalu mengambil sebatang tombak. Ia mengikatkan sobekan baju di ujungnya, lalu membawa tombak itu ke celah yang terlihat, memasukkan ujung tombak dengan sobekan baju itu, agar terlihat dari luar.

Ia juga berteriak minta tolong.

“Tolooong,” berkali-kali dia berteriak, dan ujung tombak itu digoyang-goyangkannya.

Tiba-tiba terdengar suara.

“Sanusi?”

Itu suara Alvin?

Namun suara itu tidak terdengar dari arah luar, tapi di sisi ruang yang lain.

***

Besok lagi ya.

 

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 33

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  33 (Tien Kumalasari)   Hasto membuka matanya perlahan. Jalannya mobil yang bergoyang-goyang membuatnya te...