JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 50
(Tien Kumalasari)
Kinanti ingin membalikkan tubuhnya dan pergi, tapi Suryawan memanggilnya. Kinanti masuk, dengan menatap wajah-wajah kaku dari anak-anak Suryawan. Tapi dengan bijak Kinanti mengembangkan senyum, lalu mendekati Tia, dan mengulurkan boneka micky mouse kepada Tia.
“Selamat ulang tahun, Tia.”
Tapi Tia melemparkan boneka itu ke lantai dengan sengit.
“Tia!!” bentak sang ayah.
Tia bergeming. Wajahnya kaku.
Kemudian Kinanti membalikkan tubuhnya, keluar dari ruangan yang disewa Suryawan untuk merayakan ulang tahun anak sulungnya.
“Kinanti!”
Suryawan memburunya, tapi sebelum sampai di pintu, Tia berteriak.
“Kalau Bapak mengejarnya, aku akan membuang kue taart ini ke keranjang sampah.”
Suryawan berhenti. Terbelalak menatap anaknya yang sedang membanting-banting kakinya.
“Tia, siapa yang mengajari kamu berbuat tidak sopan?”
“Tia sudah bilang, tidak suka tante Kinanti. Tidak mau punya ibu tiri,” katanya kemudian sambil menangis, diikuti adik-adiknya yang entah kenapa, lalu ikut-ikutan menangis berbarengan. Yang kecil-kecil barangkali takut ayahnya marah.
Suryawan kebingungan. Separuh hatinya terbang mengikuti Kinanti. Angan-angan yang sudah dirangkai indah, hancur berkeping-keping.
Tapi lama sekali dia kemudian berpikir, bahwa kalau dia menikah, bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk anak-anaknya. Kalau mereka menolak, lalu bagaimana?
“Tia, kamu membutuhkan seorang ibu bukan? Tante Kinanti itu baik, bisa menjadi ibu kalian, yang akan mengasihi kalian seperti ibu kandung kalian,” kata Suryawan yang berusaha membujuknya.
“Tidak mau! Ibu Tia cuma satu. Biarpun sudah meninggal, tapi Tia sudah punya ibu. Tidak mau yang lain,” kata Tia masih setengah berteriak.
Beberapa karyawan restoran tampak memperhatikan mereka, dan Suryawan mengalah sambil menekan rasa sedihnya, demi menjaga martabat keluarganya dan hati anak-anaknya.
“Baiklah, ayo kita mulai acara kita,” kata Suryawan pada akhirnya.
Tia dan adik-adiknya kemudian merasa lega. Mereka menyanyikan lagu ulang tahun, meniup lilin, membagi-bagikan kue dan menikmati hidangan kesukaan mereka.
Ketika melihat boneka yang diberikan Kinanti masih tergeletak di lantai, Suryawan memungutnya dengan perasaan pilu.
“Tia tidak mau pemberian dia,” tiba-tiba Tia kembali berteriak.
“Boneka ini bapak yang beli.”
“Benarkah?”
“Bapak tidak bohong. Kasihan, jangan dibuang begini,” kata Suryawan sambil menyerahkan boneka itu, yang kemudian diterima Tia dengan perasaan ragu.
“Kalau kamu tidak percaya, lihat ini. Notanya masih bapak bawa,” kata Suryawan sambil menunjukkan nota pembelian boneka itu kepada Tia.
Tia merasa puas, lalu meletakkan boneka itu di sebuah bangku, setelah mengucapkan terima kasih kepada sang ayah.
Melihat anak-anaknya bergembira, hati Suryawan seperti teriris. Kegembiraan itu menindih dan melukai hati Kinanti. Ia ingin pesta segera berakhir, lalu ingin menemui dan meminta maaf kepadanya.
“Bapak, kenapa kuenya tidak dimakan?” teriak si bungsu ketika melihat kue ulang tahun yang diberikan Tia kepada ayahnya, tidak dimakan olehnya.
“Oh iya, bapak lupa. Habis keasyikan melihat kegembiraan kalian,” kata Suryawan sambil menyuapkan sesendok kue ke mulutnya, sekedar menyenangkan hati mereka.
“Sebentar lagi bubar ya, kita lanjutkan di rumah,” kata Suryawan yang semakin merasa gelisah.
“Nggak mau … masih asyik … masih asyik … teriak mereka bersahutan.
Hati Suryawan semakin kacau.
***
Kinanti sudah duduk di dalam taksi. Ungkapan-ungkapan tidak suka dari anak-anak Suryawan terus mengiang di telinganya. Sungguh menyakitkan. Ia tak menyadari bahwa sesungguhnya mereka tidak menyukainya.
Memang Kinanti tidak sering bertemu mereka dan bercakap akrab. Hanya sesekali kalau dia datang, anak-anak mendekat dan menyalami, lalu pergi begitu saja. Tak terbersit bayangan bahwa sesungguhnya mereka tidak suka melihat kedatangannya. Lagipula Kinanti tidak pernah berlama-lama di sana. Ia mengira semuanya akan baik-baik saja. Dan di moment ulang tahun Tia itulah sesungguhnya Suryawan ingin mendekatkan Kinanti dengan anak-anaknya. Tapi siapa sangka, baru saja mau melangkah, penolakan demi penolakan menyerbu hati Kinanti, bagai ribuan anak panah menerjang dadanya.
Kinanti mengusap air matanya. Ditahannya isak demi menutup malu kalau sampai pak sopir mendengarnya. Lalu sesampai di rumah, Kinanti menghambur ke dalam kamar. Merebahkan tubuhnya, bahkan tanpa melepas sepatunya.
Bu Bono yang mendengar langkah-langkah kaki Kinanti segera memasuki kamar, lalu melihat Kinanti tengkurap dengap pakaian lengkap bahkan tanpa melepas sepatunya.
“Kinanti, ada apa? Tadi kamu menelpon kalau akan terlambat beberapa jam. Kok sekarang sudah ada di rumah?”
Lalu bu Bono mendengar isaknya.
“Apa yang terjadi? Kinanti, katakan pada ibu, jangan membuat ibu bingung,” kata bu Bono sambil menepuk nepuk lengan anaknya.
“Tidak apa-apa Bu, tidak apa-apa,” kata Kinanti yang akhirnya bangkit, lalu melepas sepatunya. Bu Bono meletakkannya di sudut ruangan.
“Tidak apa-apa, tapi sikapmu aneh. Kamu menangis juga. Kamu tiba-tiba ada di atas ranjang tanpa melepas baju dan sepatu. Tidak apa-apa?”
“Semuanya sudah selesai.”
“Apanya? Tadi sebenarnya kamu ke mana?”
"Kinanti mengira, ada kehidupan indah yang akan menghiasi hidup Kinanti setelah terluka oleh kegagalan rumah tangga. Ternyata Tuhan tidak menginginkan Kinanti bahagia,” katanya lirih.
“Jangan menyalahkan Tuhan. Kamu harus percaya bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan memberikan yang terbaik bagi umatnya.”
“Tapi mana? Mana bahagia yang ingin Kinanti terima? Mana ketenangan yang selalu Kinanti impikan?”
“Hanya waktu yang akan menjawabnya. Teruslah bersujud dan memohon, agar hatimu tenang.”
Kinanti mengusap air mata dengan ujung bajunya.
“Sebenarnya ibu tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu. Tadi kamu pergi ke mana? Kamu hanya bilang akan telat pulang selama beberapa jam.”
Lalu dengan terbata, Kinanti menceritakannya. Tentang penolakan yang menyakitkan, dan masih terasa meremas-remas jantungnya.
Bu Bono tersenyum dan merangkul bahu anaknya.
“Apakah kamu tidak sadar, bahwa Allah sedang menunjukkan jalan terbaik untukmu? Allah tidak menginginkan kamu hidup sengsara dengan memikul beban tujuh anak yang masih kecil dalam kehidupanmu. Sadarilah bahwa itu adalah kehendak Allah yang terbaik.”
Mata Kinanti berkedip-kedip, menatap sang ibu. Ada kebenaran di sana.
“Benarkah?”
“Kamu cari sendiri jawabannya. Percayalah bahwa ini yang terbaik.”
Kinanti mengangguk lemah. Sesungguhnya dia mulai mencintai laki-laki setengah tua itu.
“Sebenarnya sejak kamu dekat dengan dia, dan mengetahui latar belakangnya, ibu sudah khawatir. Duda beranak lima yang masih kecil-kecil, apakah kamu sanggup merawatnya, belum dua anakmu sendiri yang juga masih balita.”
“Mengapa Ibu tidak melarangku?”
“Apakah kamu tidak tahu bahwa sebenarnya ibu melarangmu, dengan cara yang halus? Pikirkanlah, dan pilih yang terbaik untuk hidupmu. Hanya itu yang bisa ibu lakukan, karena kamu bukan lagi anak kecil yang perlu dituntun dalam setiap langkah. Ibu tidak pernah mengatakan langsung, ya atau tidak. Karena kamu sudah dewasa dan bisa memilih yang terbaik untuk hidupmu.”
Kinanti merangkul ibunya erat. Tak ada lagi air mata menetes. Tapi bahwa kemudian ada luka di hatinya, itu sangat disadarinya.
***
Suryawan sudah berdandan rapi, ia harus pergi menemui Kinanti dan meminta maaf. Ia harus bisa membujuknya dan membuatnya kembali kepada dirinya. Kinanti adalah satu-satunya wanita yang menarik baginya, dan membuatnya jatuh cinta. Kinanti adalah wanita yang tepat untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Ia melihat anak-anaknya duduk di meja belajar, dengan bibik mengawasinya. Lalu ia mengambil kunci mobil.
“Bapak mau ke mana?”
“Ada perlu sebentar,” jawab Suryawan tanpa berhenti melangkah. Tapi Tia mengejarnya.
“Bapak akan pergi ke rumah tante Kinanti?”
Suryawan menatap anaknya lekat-lekat. Tak ada kata damai di mata bening yang ditatapnya.
“Kamu membencinya?”
“Tidak, tapi Tia tidak mau dia menjadi ibu Tia. Ibu Tia cuma satu.”
“Tapi dia wanita yang baik.”
“Tia tidak mau!!”
“Lanjutkan belajar, dan jadi anak pintar,” kata Suryawan sambil terus melangkah mendekati mobil.
“Pokoknya Tia tidak mau!!” Tia berteriak.
Suryawan melambaikan tangannya, lalu memasuki mobil dan berlalu.
Tia tidak kembali ke ruang belajar, ia duduk ngelesot di lantai sambil terisak-isak. Bibik yang menunggu lama, kemudian menyusulnya ke arah depan.
“Non Tia, belajarnya belum selesai kan? Mengapa menangis di sini? Mau ikut, tapi bapak tidak mengijinkan ya?”
“Bukan mau ikut!” sentaknya.
“Mengapa menangis di sini?” bibik ikut ngelesot di depannya.
“Aku tidak mau ibu tiri! Bapak mau mencarikan ibu tiri, Tia tidak suka! Tia nggak mau!”
“Non Tia, barangkali bapak ingin agar non Tia dan adik-adik punya ibu yang bisa merawat dan mengasihi.”
“Tia sudah punya ibu. Biar meninggal juga, Tia hanya mau ibu itu.”
Bibik menghela napas. Kemudian ditariknya tangan majikan kecilnya.
“Sudah, tidak usah menangis. Nanti Non bicara sama bapak baik-baik. Katakan apa yang non Tia inginkan.”
“Bapak tidak mau dengar.”
“Mau, pasti mau. Bukankah bapak amat mencintai Non dan adik-adik? Ayo, belajar, PRnya belum selesai tuh. Besok kalau dimarahi bu guru bagaimana? Ayo cantik, pintar, nurut,” susah payah bibik membujuknya, barulah berhasil. Tia melanjutkan belajar walau dengan wajah yang murung.
***
Kinanti sedang bermain bersama anak-anaknya, ketika mendengar mobil berhenti. Sang ibu mendekat.
“Kelihatannya nak Suryawan yang datang,” kata bu Bono.
“Ibu saja yang nemuin.”
“Jangan begitu. Justru dengan bertemu, kamu dan dia bisa membicarakan semuanya dengan baik. Ayo, biar ibu yang main bersama anak-anak.”
Kinanti masuk ke kamar dan mengenakan pakaian yang lebih pantas, kemudian keluar, dimana Suryawan sudah menunggu.
“Assalamu’alaikum,” sapa Suryawan.
“Wa’alaikumussalam,” jawabnya sambil duduk.
“Kinanti, aku mau minta maaf atas kelakuan anakku siang tadi.”
“Tidak apa-apa, aku mengerti. Anak kecil akan mengatakan apa yang ada di dalam hatinya. Murni seperti kata hati.”
“Aku tidak mengira akan terjadi seperti itu. Sedianya aku ingin momen ulang tahun itu akan menjadikan hubungan diantara anak-anakku dan calon ibunya akan menjadi lebih akrab, tapi ternyata_”
“Tidak apa-apa, jangan dipikirkan. Aku sangat mengerti. Tidak mudah seorang anak menerima orang asing ke dalam kehidupannya.”
“Kinanti, maukah kamu bersabar beberapa waktu lagi?”
“Bersabar untuk apa?”
“Aku akan membujuk anak-anak, dan memberinya pengertian. Aku yakin, lama-lama mereka akan bisa mengerti.”
“Mas, sudahlah. Mas tidak perlu bersusah payah untuk itu. Sungguh sulit hidup di dalam kehidupan di mana ada kebencian di dalamnya. Aku mengerti, dan aku bisa menerimanya.”
“Kinanti, aku yakin mereka akan mengerti.”
“Tidak Mas, aku sudah memikirkannya masak-masak. Aku ingin hidup dalam ketenangan. Barangkali kita memang tidak berjodoh. Lebih baik lupakanlah aku.”
“Kinanti, kamu tega meninggalkan aku?”
“Ini bukan masalah tega dan tidak. Mas harus membuat anak-anak Mas bahagia. Mereka tidak ingin terusik dengan kehadiran seorang ibu sambung. Aku bisa menerima semuanya. Anggaplah kita tidak berjodoh.”
Suryawan menundukkan kepalanya. Kalau pantas, ingin dia menangis sejadi-jadinya agar runtuh belas kasihan Kinanti.
“Kamu bersungguh-sungguh?”
“Aku yakin ini yang terbaik. Maafkanlah aku.”
Ketika Suryawan pergi dengan lunglai, Kinanti menatap punggungnya dengan rasa iba. Kinanti mengusap titik air matanya, dan menyadari semuanya. Ia ingin menerbangkan cintanya, jauh ke langit biru. Biarkan angin menerpa dan membawanya ke tempat yang semestinya.
***
Ardi yang juga selalu mencari informasi tentang Guntur, mendapat keterangan bahwa Guntur sudah pindah ke luar Jawa. Penasaran, Ardi menelponnya.
“Guntur, kamu di mana?”
“Aku sudah sehat dan baik-baik saja,” jawab Guntur.
“Pertanyaannya adalah kamu di mana?”
“Aku ada di tempat jauh, di luar Jawa. Sudahlah, jangan bertanya lagi, dan lupakan saja aku.”
“Guntur.”
Tapi kemudian Guntur menutup ponselnya. Ardi tak berhasil menghubunginya lagi.
Mengetahui hal itu, Ardi segera menemui Kinanti di kantornya, dan menjemputnya untuk diajaknya bicara.
Ardi membawanya makan siang, di warung yang agak sepi.
“Ada apa? Apa kamu lagi senggang?”
“Mengapa wajahmu pucat? Kamu sakit? Aku baru memperhatikanmu sekarang.”
“Tidak. Aku baik-baik saja,” kata Kinanti sendu.
“Tapi kamu kelihatan berbeda. Ada masalah? Aku baru saja menelpon Guntur.”
Kinanti menatap sahabatnya.
“Kabarnya dia minta pindah tempat kerja,” kata Kinanti.
“Dia di luar Jawa, dan tidak mau dihubungi. Hanya sebentar kami bertelpon, lalu dia menutupnya tiba-tiba. Tapi dia bilang, dia baik-baik saja.”
“Semoga dia menemukan ketenangan di tempat barunya.”
“Aamiin.”
“Sesungguhnya sudah lama aku ingin menemui kamu,” kata Kinanti lagi.
“Mengapa tidak menelpon?”
“Takutnya kamu sibuk.”
“Kalau untuk kamu, sesibuk apapun aku pasti menyisihkan waktu.”
“Ardi, aku sedih,” tiba-tiba Kinanti menitikkan air mata, membuat Ardi terkejut.
“Ada apa? Kamu merasa kehilangan Guntur?”
“Tidak. Bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Aku sudah putus dengan Suryawan.”
“Astaga. Aku pikir kalian sudah mau menikah.”
“Anak-anaknya tidak suka aku.”
Lalu Kinanti menceritakan tentang pesta di ulang tahun Tia, dan mendengar sendiri penolakan anaknya atas kehadiran dirinya sebagai ibu tiri.
Berkali-kali Kinanti menitikkan air mata, membuat Ardi merasa iba.
“Kamu sedih karena kehilangan Suryawan?”
“Bukan. Aku sedih karena tak bisa meraih cinta. Sekarang aku tak ingin apapun. Seandainya bunga, aku sudah layu.”
Ardi meraih tissue dan mengusap pipi Kinanti.
“Jangan sedih Kinanti, aku tak ingin bungaku layu.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteYessss tayang gasik
ReplyDeleteMatur nuwun Dhe
Sami2 mas Kakek
DeleteMatur sembah nuwun.. JeBeBeeL..50 sudah tayang gasik
ReplyDeleteSemangat mbak Tien
Salam ADUHAI ..🙏🥰😍
Matur nuwun jeng Ning
DeleteADUHAI dari Babar Layar
Hore.... Tim ardi menang... Yes yes yes... Makasih bu Tien...
ReplyDeleteHoreeee.. jeng dokter senang
DeleteAlhamdulillah bonus awal romadlon tayang awal...
ReplyDeleteMatur nwn bu Tien sehat selalj
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bam's
Alhamdulillah JBBL~50 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 50 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, dimurahkan rizki, serta sll dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung "Jangan Biarkan Bungaku Layu
ReplyDelete"🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteterima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
🎊🎉🎊🎉🎊🎉🎊🎉
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
JeBeBeeL_50 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 🦋😍
🎊🎉🎊🎉🎊🎉🎊🎉
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun wuk
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteMbak Tien memang piawai membuat skenario. Saya tak tau bagaimana cara Kinanti menemukan Guntur karena Guntur merasa Kinanti telah meninggalkannya dan menikah dengan Suryaman. Di mata Guntur, ketika Suryaman dan Kinanti di mall itu mereka mesra sekali, tapi yang dirasakan Kinanti tidak seperti itu...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteNanti ketemunya. Masih lama
Sikap yang diperlihatkan Guntur dengan menjauh pindah ke luar Pulau Jawa merupakan pengulangan sikapnya yang dulu. Dulu Guntur tak tahan melihat Kinanti bernyanyi bersama Zaki, kepala Guntur sampai luka ditimpa tiang tenda. Sekarang Guntur tak tahan melihat Kinanti 'bemesraan' dengan Suryaman, Guntur jadi sakit dan dirawat di rumah sakit. Kemudian dijenguk Kinanti, sembuh dikit dan lari menjauh sejauh-jauhnya dari Kinanti. Memangnya bisa seperti itu ya Guntur?
DeleteMatur nuwun ibu
ReplyDeleteterima ksih bunda jbbl 50 nya..slmt mlm dan slmt beristrht..slm seroja dan aduhaai unk bunda dan keluarga🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam Aduhai
Kan sudah punya buntut, kalau nggak diberi pengertian dulu ya susah, anak-anak itu kan juga mencari referensi sendiri sendiri, apalagi anak tertua; ketua kelas.
ReplyDeleteLebih baik begitu, semua peristiwa dihadapi, bukan kah unit itu belum kompak; maunya proyek itu bisa berlanjut, terus mengira-ngira sendiri, kok mbok irå kåyå lagu né simbah.
Genah lagi 'sakitnya tuh disini', terus ya udah begitu diadepi aja kenyataan, bola bali selak kepingin.
Nglokro, ya enggaklah; semua langkah kan memang harus di tapaki, kan masih nggémbol ban sèrêp, mesakaké; lho kan karepé cèn memposisikan diri gitu maunya.
Untung lho punya sahabat yang perhatian, umpama nggak, terus mau bicara apa, kan satu generasi, siapa tahu nanti kalau ada anak kesulitan yang membutuhkan pendampingan figur bapak toh ada om yang baek hati.
Nah ini ketegasan seorang sahabat memposisikan diri, perlu dan konsisten.
Dadi bujang lapuk
Hi hi
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke lima puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas crigis
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu seha
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya
ReplyDelete"aku tak ingin bungaku layu.” so sweet sekali. Ucapan Ardi , apakah tdk ada rasa Kinanti dg Ardi ..
Sami2 ibu Ika
DeleteSalam sehat juga
Sami2 ibu Windari
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih mbakyu, sugeng siam, Sedaya kalepatan kulo🙏🙏
ReplyDeleteSami2 jeng
DeleteMohon maaf lahir batin
Hmmmm...... saya mencium peluang pengorbanan cerita charles dickens a tale of two cities.... gas keèunnnn
ReplyDeleteWouww..
DeleteTerima kasih Dagoesta the organizer
Terimakasih bunda Tien, selamat istirahat....
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteMatur nuwun Bu Tien, sugeng menjalankan ibadah Ramadhan, semoga selalu sehat. Aamiin YR"A
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Sudah episode50 apakah Ardi yang menjaga bungaku tidak layu jadi penasaran sama Guntur di bulan suci ini mohon Bunda perpanjang nggih cerbung ini.Maturnuwun sanget semoga tetap sehat semangat salam Aduhai.Nuwun
ReplyDelete