BUNGA UNTUK IBUKU 06
(Tien Kumalasari)
Bu Rusmi mencubit lengan Baskoro, dengan cubitan mesra, membuat Baskoro seperti sedang melayang diudara.
“Kamu ke sini mau ngapain?” tanya bu Rusmi.
“Saya mau menyerahkan KTP pak Raharjo, tadi dompetnya ketinggalan di kantor.”
“Mengapa bukan KTP ku yang dipakai?”
“Nggak tahu saya Bu, sebentar, saya serahkan ini dulu. Soalnya sudah ditunggu.”
“Pakai ini saja. KTP aku.”
“Wah, saya nggak berani Bu, pak Raharjo menyuruh menyerahkan ini.”
“Berarti bukan milikku dong, mobilnya.”
“Mengapa ibu permasalahkan kepemilikan mobil itu, yang penting ibu bisa mengendarainya setiap saat. Kan ini mobil untuk Ibu,” kata Baskoro sambil ngeloyor masuk untuk menyerahkan KTP nya kepada petugas, kemudian segera keluar lagi.
Bu Rusmi tampak merengut. Ada rasa kecewa karena sang suami tampaknya kurang mempercayainya. Buktinya beli mobil untuk dirinya, tapi mengatas namakan dirinya sendiri.
“Ayo naik, apa Ibu mau berdiri saja di situ?”
Baskoro membuka mobil untuk Rusmi, sambil tersenyum senang. Pasti dia tidak menduga akan ketemu ibu bos di tempat itu.
“Ibu mau ke kantor bapak?”
“Tidak, aku bisa kena marah kalau ke kantornya.”
“Lalu kita mau ke mana?”
“Ayuk bersenang-senang dulu,” kata bu Rusmi enteng.
Baskoro terkejut. Bersenang-senang yang dimaksud sang ibu bos ini adalah mencari kesenangan berdua. Ada langganan hotel yang setiap saat mereka datangi. Baskoro sih senang sekali, tapi kalau dia pergi kelamaan, pasti pak bos akan marah. Bagaimana ini?
“Hei, kenapa diam? Kamu nggak suka? Sudah bosan sama aku?”
“Tidak … tidak …” Baskoro menjawab dengan cepat.
"Kenapa seperti orang bingung begitu?”
“Bagaimana kalau saya kembalinya ke kantor kelamaan?”
Bersenang-senang yang mereka maksudkan pasti memerlukan waktu ber jam-jam. Biasanya juga begitu. Baskoro senang, tapi resikonya itu ….
“Sebentar saja Bas, sekedar melepaskan kepenatan. Kamu pasti punya alasan kalau nanti bapak menanyakan tentang kepergian kamu yang lama.”
“Iya sih.”
“Kalau begitu tunggu apa lagi?”
Baskoro mengemudikan mobilnya ke tempat yang biasa mereka datangi. Baiklah, kalau hanya sebentar, pikir Baskoro sambil mereka-reka jawaban apa nanti yang akan diberikannya kalau pak Raharjo menanyakannya.
***
Di kantor sedang sibuk. Banyak barang datang, dan kepala gudang sedang tidak di tempat. Raharjo yang mengetahui hal itu segera menelpon Baskoro. Tapi tidak dijawab. Apa dia harus menunggu jadinya surat-surat mobil itu? Raharjp pun segera menelpon ke dealer, tapi jawabnya membuat pak Raharjo kesal.
“Pak Baskoro sudah lebih dari sejam yang lalu memberikan KTP bapak.”
Pak Raharjo kesal bukan alang kepalang.
“Sudah sejam lebih dan dia belum juga kembali ke kantor? Ponselnya mati pula. Kemana dia?” gumamnya sambil berkali-kali mencoba menelpon.
Setelah dua jam lebih, Baskoro baru muncul. Wajahnya kucel, pakaiannya kusut.
Pak Raharjo menatapnya tajam, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
“Apa yang terjadi?”
“Maaf Pak, seribu kali maaf. Tadi ban gembos, harus menunggu tukang bengkel datang, padahal jalanan sangat ramai, nyaris macet,” katanya berapi-api, tampaknya kalimat yang diucapkannya sudah tersusun sangat rapi.
“Sekarang sudah beres? Wajahmu sampai tidak karu-karuan begitu. Seperti tukang perbaikan jalan yang baru mengecor aspal.”
“Maaf Pak, saya mau membersihkan diri dulu,”katanya sambil berlalu.
“Hei, tunggu dulu.”
Baskoro berhenti di depan pintu, membalikkan badannya ke arah sang atasan.
“Tampaknya anak buah kamu kerepotan karena banyak barang datang, segera bereskan semuanya. Salah aku tadi, menyuruhmu kembali ke dealer. Hei, sebentar, mana KTP ku?”
Baskoro kembali lagi, lalu merogoh sakunya dan mengambil KTP yang tadi sudah di copy di tempat dealer.
“Ada baiknya kamu mandi. Keringatmu bau asem,” kata pak Raharjo terus terang.
“Mm … maaf Pak, harap maklum, udara sangat panas.”
“Ya sudah, sana.”
Pak Raharjo kembali menatap laptopnya, mengamati file-file yang harus diteliti semuanya. Agak kesal karena berhenti beberapa saat karena menuruti kemauan sang istri.
***
Wijan dan Nilam sudah selesai makan, dan duduk santai di samping rumah, di dekat kolam ikan dimana ikan-ikan koi berseliweran cantik dan menenangkan hati. Wijan memang sedikit merasa tenang, karena Hasti yang mengomelinya sudah pergi lagi, tidak lama setelah dirinya dan Nilam masuk ke rumah.
Bibik membawakan jus tomat yang segar kepada keduanya, diletakkan di bangku kolam itu. Dengan cepat Nilam segera meraih gelasnya dan menyedotnya dengan nikmat.
“Mas, ayo diminum dulu. Hm, segar sekali diudara yang panas begini Mas.”
Wijan tersenyum. Menaburkan pakan ikan ke dalam kolam, dan melihat ikan-ikan berebut memangsanya.
“Diminum dulu, Mas.”
“Iya, baiklah.”
Wijan berdiri, mendekati Nilam, lalu meraih gelas yang satunya, serta menghirupnya pelan.
“Enak kan? Segar kan. Kecuali itu, tomat juga buah yang sehat,” kata Nilam kemayu, merasa bahwa dirinya sangat pintar.
Wijan tertawa.
“Anak pintar,” katanya memuji, membuat Nilam sangat senang.
Wijan kembali meneguknya, tapi kemudian dia tersedak, ketika sebuah teriakan memekakkan telinganya.
“Wijan! Enak sekali kamu, duduk santai di situ!” itu suara ibu tirinya. Entah kapan dia datang, baik Wijan maupun Nilam tak mendengarnya.
Wijan masih terbatuk-batuk, dan Nilam dengan lembut menepuk-nepuk punggungnya.
“Pelan-pelan Mas.”
“Nilam! Sini !”
Nilam berdiri dan berjalan ke arah ibunya dengan wajah cemberut. Wijan mengambil gelas yang sudah kosong, dan membawanya ke dapur. Bibik menatapnya dengan iba. Hanya bersantai sambil minum, apa salahnya? Lagipula Wijan itu kan juga anak majikannya. Bahkan asli anaknya, sedangkan Hasti dan Nilam hanyalah anak yang dibawanya. Walau begitu mereka benar-benar tak tahu diri. Yang baik dari ketiga pendatang itu hanyalah Nilam. Mengapa wataknya bisa berbeda? Barangkali Nilam meniru watak bapaknya, pikir bibik.
“Kamu jangan mengajari Wijan untuk duduk bersantai. Dia itu sudah besar, harus bisa meringankan pekerjaan rumah tangga. Masa semuanya diserahkan kepada bibik? Dasar anak malas, kamu malah mendukungnya,” omel sang ibu, sementara Nilam hanya berdiam. Terhadap ibunya, Nilam tidak begitu berani menentang. Ia menundukkan wajahnya, kemudian masuk ke dalam kamar.
“Hei, dengar dulu, ibu belum selesai bicara.”
Nilam berhenti melangkah, menatap ke arah ibunya.
“Besok, kalau mobilnya sudah datang, setiap pagi ibu yang akan mengantarkan kamu sekolah.”
Nilam tertegun. Mobil siapa yang datang?
“Jangan melongo. Ibu tidak suka kamu membonceng sepeda. Nanti kulitmu jadi hitam, dan wajah serta rambutmu akan berdebu.”
“Mobil apa?”
“Oh ya, kamu belum tahu ya. Besok akan ada mobil baru. Mobil ibu. Jadi ibu tidak harus berebut mobil dengan kakakmu setiap ibu ingin bepergian,” katanya dengan senyuman. Nilam masih tidak mengerti. Ia belum juga masuk ke kamarnya.
“Ibu beli mobil?”
“Iya.”
“Untuk apa beli mobil? Kan sudah ada mobil yang dipakai mbak Hasti?”
“Ibu nggak mau berebut sama kakak kamu setiap kali mau memakai mobil. Jadi ibu beli mobil sendiri.”
“Ibu beli mobil? Ibu punya uang?”
“Uang ayahmu dong Nil, masa ibu beli sendiri, pakai uang siapa? Yang punya uang itu bapak.”
Nilam tak berkomentar. Beli mobil bukan hal yang menyenangkan baginya. Diantar pakai mobil, juga tidak membuatnya bangga. Ia lebih suka membonceng sepeda kakaknya, sambil ngobrol di sepanjang jalan. Wijan laki-laki baik yang ditindas oleh ibu dan kakaknya, itu sebabnya Nilam selalu dekat dengannya. Bukan karena merasa iba, tapi juga karena Wijan sangat baik dan lembut hati. Selalu berkata manis, tak pernah menyakiti. Bagi Nilam, Wijan adalah kakak yang luar biasa.
***
Di dalam kamat, bu Rusmi segera menelpon Hasti. Hasti yang mengira ibunya meminta segera pulang karena akan mempergunakan mobilnya, belum-belum sudah menjawab sengit.
“Ada apa sih Bu, Hasti sedang belajar bersama teman Hasti, tidak bisa kalau ibu menyuruh Hasti segera pulang. Tolong ibu naik taksi saja. Lagian mau kemana, ini sudah sore, sebentar lagi bapak pulang. Kalau bapak pulang dan ibu tidak ada di rumah, apa bapak tidak akan marah?”
“Kamu itu omong apa? Ibu belum sempat ngomong, kamu sudah nerocos seperti gendang ditabuh dari neraka.”
“Memangnya ibu mau ngomong apa? Mobil kan? Hasti sudah tahu, setiap kali menelpon, pasti tentang mobil.”
“Hei, dengar. Memang benar, ini tentang mobil. Tapi bukan ibu mau pinjam mobil kamu. Ibu sudah punya mobil sendiri.”
“Apa? Ibu punya mobil sendiri?”
“Bapak membelikannya, tapi baru datang besok. Ibu menelpon kamu, hanya untuk memberi tahu bahwa mulai besok ibu tak akan meminjam mobil kamu lagi,” kesal bu Rusmi karena sikap Hasti yang begitu mau menang sendiri.
“Benarkah?” sekarang nadanya jadi lebih rendah.
“ Mobil seperti apa Bu? Apa harganya mahal?” lanjutnya
“Nggak usah nanya, ibu nggak jadi cerita saja.”
Bu Rusmi menutup ponselnya dengan kesal, lalu membaringkan tubuhnya, memeluk guling, sambil menyebut nama Baskoro berkali-kali dengan wajah yang tak tahu malu.
***
Malam hari itu saat tidur, Bu Rusmi berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada suaminya. Ia memijit kakinya dengan lembut, meskipun rasa kantuk sudah menggayuti matanya.
“Aku senang, Bapak mau mendengarkan aku. Itu tandanya Bapak benar-benar mencintai aku. Aku bahagia sekali.”
“Kamu itu sudah mengantuk, tidak usah memaksakan diri untuk menunjukkan rasa terima kasih kamu. Tidurlah.”
“Iya, tapi kalau belum memijit kaki Bapak, rasanya belum puas. Kalaupun Bapak menginginkan lebih, aku juga siap kok.”
“Kamu itu ngomong apa. Mata kamu sudah kelihatan redup, pijitan kamu juga tidak terasa, kadang berhenti, kadang mulai lagi. Yang kamu katakan siap itu apa?”
Bu Rusmi mencoba tersenyum manis, tapi sesungguhnya memang dia hanya berbasa basi. Setelah bergaul dengan Baskoro, menikmati kesenangan bersama Baskoro, keinginannya untuk melayani sang suami sudah pudar. Kalaupun ia melakukannya, maka apa yang dilakukan tampak sangat terpaksa. Beruntung bahwa pak Raharjo tidak terlalu memikirkan hubungan yang khusus dengan istri. barangkali karena capek bekerja, atau karena tiba-tiba minat itu berkurang entah karena apa. Dan itulah kesalahannya. Pertemuan sang istri dengan Baskoro serasa menghidupkan kembali nyala yang hampir padam di jiwa bu Rusmi. Ia sekarang seperti kelinci terlepas dari kandangnya.
***
Pagi hari itu Nilam kembali merengek minta kesekolah dengan membonceng Wijan. Wijan sudah ikut membujuknya agar naik mobil bersama kakaknya saja, tapi Nilam tidak mau mendengarkan. Ia sudah merasa nyaman di boncengan kakaknya, terlebih dia masih kesal pada sikap kakak perempuannya yang dianggapnya jahat dan semena-mena.
Hasti segera berangkat pergi tanpa mau memaksa lagi agar adiknya mau ikut bersamanya. Ia ingin marah, tapi sungkan karena ada ayahnya, yang mendukung keinginan sang adik.
“Kamu benar-benar lebih suka membonceng kakakmu, Nilam?” tanya sang ayah.
“Iya Pak, setiap hari Nilam mau membonceng mas Wijan saja.”
“Nanti kalau mobil ibu sudah ada, kamu diantar ibu ya,” kata bu Rusmi dengan wajah berseri.
“Nggak mau, aku membonceng mas Wijan saja. Ayo Mas, kita berangkat,” kata Nilam yang segera mendekati sepeda Wijan.
Keduanya mencium tangan ayah dan ibunya, dan Bu Rusmi menjawab Wijan dengan manis, bahkan sambil mengelus kepalanya lembut.
“Hati-hati, Wijan, jalanan ramai kalau saatnya orang berangkat ke sekolah.”
Wijan hanya mengangguk. Ucapan palsu itu sudah sering didengarnya. Ia segera berangkat, memboncengkan Nilam dibelakangnya, yang kemudian sebelum menghilang di balik gerbang, Nilam menoleh sambil melambaikan tangan.
“Nilam sangat menyayangi kakaknya,” gumam pak Raharjo sambil menghirup sisa kopinya di atas meja.
“Keduanya saling menyayangi. Wijan anak yang sangat baik dan rajin,” kata palsu bu Rusmi dikumandangkan lagi.
“Tapi kamu harus melarang Wijan terlalu bekerja keras. Sudah saatnya kenaikan kelas, pasti ia harus menekuni pelajaran sekolahnya.”
“Tentu saja Pak, ibu setiap hari mengingatkan dia kok.”
“Syukurlah. Aku senang mandapat istri yang bisa mencintai anakku seperti anak kandungnya sendiri.
“Mengapa tidak? Wijan anak baik, ibu sangat menyayanginya.” Bibik mencibir sambil berlalu, setelah mengambil gelas dan cangkir kosong dari atas meja.
“Oh ya, jam berapa mobilnya di kirim?”
“Kalau sudah selesai, pasti segera dikirim, tidak usah terburu-buru,” kata pak Raharjo sambil meraih tas kerjanya, bersiap berjalan ke arah mobilnya.
Bu Rusmi mengantarkannya, mencium tangannya sebelum sang suami masuk ke dalam mobil.
Tapi begitu mobil suaminya lenyap dari pandangan, ditelponnya Baskoro.
***
Besok lagi ya,
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
ReplyDelete💐💞💐💞💐💞💐💞
ReplyDeleteAlhamdulillah
BeUI_06 sampun tayang.
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu dan
tetep smangat nggih.
Salam aduhai 🦋🌸
💐💞💐💞💐💞💐💞
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Fokus sehat dulu nggih Mbak Tien , semoga semakin sehat Aamiin.
ReplyDeleteMatur nuwun bun, semoga lekas sembuh 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~06 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Alhamdulillah ..... terimakasih Bunda
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bu Tien..
Semoga sehat dan berbahagia selalu.. 🙏🙏
Alhamdulilah BUI 06 sdh tayang .. terima kasih bunda Tien.. alhamdulilah sdh sukses op kataraknya bunda sehat sehat ya ..istirahatkan dulu .. jangan nulis nulis dulu ya bun. Kami akan setia menunggu sampai bu Tien sembuh sempurna. Salam hangat dan aduhai bunda
ReplyDeleteBiarlah bu rusmi dan hasti berkutat dengan segala kejahatannya.. nanti juga akan ketahuan boroknya
Kasihqn Wijan punya ibu tiri kejam dan perilakunya buruk... semoga cepat ketahuan oleh pak Raharjo, sehingga Wijan bebas dari kejamnya bu Rusmi. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu san aduhai...
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang
ReplyDeleteDasar orang mabuk, seperti remaja sedang jatuh cinta. Mungkin bu Rusmi waktu muda belum puas pacaran.
DeleteBisa jadi Hasti memanfaatkan masa mudanya sepuasnya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Alhamdulillah....matur nuwun Bu Tien BUNGA UNTUK IBUKU 06 sampun tayang...sugeng ndalu sugeng rehat, salam ADUHAI
ReplyDeleteBu Rusmi sdg membuat jln hidupnya yg mulus menjadi berkelok dan berlubang.. Tinggal tunggu wktnya jatuh terjerembab...
ReplyDeletemgkn kah??
Bu Tien sdg mengukir ceritanya dg sgt indah..
Tks bunda.. 🌹🌹🌹🥰
Keren bener emak2 yg satu ini... sandiwaranya layak dapat oscar..
ReplyDelete#sebel bener
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteEpisode 06 sudah tayang
Mugi ibu segera sehat
Segera pulih
Kami selalu menunggu karya ibu
Salam tahes ulales
Alhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteBunga untuk ibuku 06 telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu
Aamiin
Suwun
ReplyDeleteAlhamdulilah, matur nuwun mbakyuku Tienkumalasari sayang, meskipun masih dlm recovering operasi kataraknya muncul juga episode ke 6, salam sehat & tetep semangat inggih, salam dari Tanggamus Lampung
ReplyDeleteYa ampun, Bu Rusmi semakin nekat.
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah BeUI 6 udah tayang
ReplyDeleteMksh bunda Tien sehat selalu doaku
Sptnya kok makin seru seh
Ttp semangat bunda
Sehat sehat sehat
Wah ini mobil baru harusnya di pasangi GPS saja . Biar ketahuan mobilnya ngeluyur kemana saja istrinya dengan Baskoro...😀😀😀Salam sehat bu Tien.🙏🙏🙏
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari, masih menyempatkan menulus utk.kami semua,
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yra
Rasanya makin gedeg aja ama siRusmi ini...kok ada ya orang kyk gini 😁😁
ReplyDeleteWijaaan mbok Kamu itu ngomong yg sebenarnya... Jangan dipendam...
Mtrsuwun bundaku Tien.. sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda
Semoga bunda selalu sehat aamiin
Matur nuwun, bu Tien. Semoga selalu sehat
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteHamdallah... Bunga Untuk Ibuku 6 sudah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Semangat, tetap Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala. Aamiin
ReplyDeleteWeleh...weleh...Bu Rusmi kok seperti anak ayam yang kehilangan induk nya. Setelah suami berangkat ke kantor. Di telpon nya Baskoro untuk menikmati kesenangan. Padahal kesenangan dunia itu, semakin.di kejar...semakin...jauh lho.
Salam hangat dan Aduhai dari Jakarta
Terima kasih bu Tien ... B U I ke 06 sdh tayang juga ... Smg bu Tien cepat pulih matanya dan sehat wal'afiat ... Semangat bu & Salam Aduhai ...
ReplyDeleteAlhamdulillah Bunga Untuk Ibuku - 6 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga lekas pulih matanya dan sembuh sehat kembali.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Makasih bu Tien, tak terasa sudah episode ke 6..
ReplyDeleteWijan baik apa bodoh sih?
ReplyDeleteUdah SMA juga.
Makasih mba Tien.
In Syaa Allah cepat pulih ya
Salam sehat
ReplyDeleteMaturnuwun
ReplyDeleteAduh mobil ijo lumut
ReplyDeleteKok belum nongol ya episode 7.
ReplyDeleteMasih
ReplyDeleteSetia
Menunggu
Sehat
Selalu
Ibu Tien Komalasari
Mobil ijo lumut wis di pasangi GPS Tracker belum yo...??? Salam sehat bu Tien...🎉🙏🙏
ReplyDeleteMungkin mobilx di pasang sisi TV biar bisa dipantau
ReplyDeleteSemoga mbak Tien Kumalasari segera pulih dari operasi katarak . Aamiin YRA 🤲
ReplyDeleteSemoga segera pulih Bu Tien....
ReplyDeleteUntuk menemui kita semua ....
Aamiin.....
Smg bu tien cpt sehat kembali
ReplyDeleteSemoga lekas sembuh ya Bunda Tien
ReplyDeleteBUI 07 belum tayang
ReplyDeleteSemoga Mbak Tien sehat² saja
Oalah...bu Tien operasi katarak tahhh
ReplyDeleteSemoga berhasil dgn sukses, sehat kembali seperti biasanya...
AMIN...
Aamiin 👐
DeleteSemoga operasi katarak Bu Tien berjalan sukses dan segera sehat kembali....
ReplyDeleteAamiin Yaa Rabb....
Habis operasi katarak harus istirahat minimal seminggu.
ReplyDeleteKena katarak, kok Mbak Tien masih bisa menulis?
Semoga bu Tien segera sehat kembali 🤲
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien eps 6 telah lansubg dibaca, semoga Ibu sehat sehat bersama keluarga
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien, semoga sehat selalu ya Bu.... 🙏🌹
ReplyDeleteBu Tien, semoga operasi kataraknya sukses dan cepat recovery-nya, aamiin
ReplyDeleteIbu semoga penyakitnya diangkat Allah SWT. tanpa meninggalkan sakit lagi.
ReplyDelete