Monday, November 20, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 02

 BUNGA UNTUK IBUKU  02

(Tien Kumalasari)

 

Wijan bergegas menemui ayahnya, yang sedang duduk bersama ibunya di ruang tengah. Wijan selalu melihat wajah cerah ayahnya setiap kali melihatnya. Ia menyadari, bahwa kasih dan cinta ayahnya adalah sesuatu yang tulus. Pandangan matanya tulus, senyumnya tulus. Setulus hatinya saat mencintai satu-satunya anak laki-laki, yaitu dirinya. Ia masih berdiri di samping sofa, ketika sang ibu tiri menyuruhnya duduk dengan suara ramah. Wijan tahu, keramahan itu adalah karena ada ayahnya diantara mereka. Tapi Wijan sudah terbiasa menghadapi keramahan palsu itu. Sudah sejak tiga tahun yang lalu ia merasakannya.

“Duduklah Wijan, kenapa hanya berdiri saja? Sini, duduk dekat ibu,” katanya sambil menepuk sofa dimana dia duduk di atasnya. Suara itu begitu segar terdengar, dan selalu menunjukkan kepada sang ayah, bahwa dia benar-benar menyayangi Wijan, seperti anak kandungnya sendiri. Itu adalah janjinya, yang melegakan hati Raharjo, sehingga diapun kemudian menyayangi kedua anak tirinya yang diberinya kasih sayang dan memberikan apa saja yang dimintanya. Mobil? Raharjo membelikannya, dengan janji harus dipakai berdua dengan ibunya. Hanya Nilam yang tak pernah meminta yang aneh-aneh, kecuali makanan yang pasti dibaginya bersama Wijan.

“Ayolah Wijan, duduklah di samping ibu,” katanya lagi ketika melihat Wijan masih berdiri. Sebenarnya ia enggan berada terlalu dekat dengan ibu tirinya karena menyadari ketidak tulusannya, tapi karena ada ayahnya yang menatapnya, maka dia menurutinya.

“Beberapa hari ini bapak selalu berangkat lebih pagi, karena bapak berkantor di luar kota, di kantor cabang yang baru. Bapak selalu memikirkan kamu, yang sejak lama selalu mau berangkat ke sekolah dengan sepeda.”

“Iya tuh, sedih ibu memikirkan kamu setiap hari berpanas-panas, dan kalau musim hujan juga pasti kehujanan, sementara di rumah ada mobil. Mulai besok berangkatlah bareng kakakmu Hasti,” kata perempuan cantik yang harus dipanggilnya ibu, yang didengarnya seperti sebuah nyanyian sumbang.

“Nah, begitu lebih baik, kan Wijan?”

“Tidak Pak, Wijan lebih suka naik sepeda saja,” kata Wijan yang tak mungkin dia menuruti kata ibu tirinya, kata-kata palsu yang dibuat-buat. Ia tahu kalau sampai dia menyanggupinya, maka setelah ayahnya pergi maka ia akan diinjak-injaknya seperti serpihan sampah.

“Kamu tetap lebih suka naik sepeda? Besok kalau senggang akan bapak belikan yang baru dan lebih baik.”

“Tidak usah, itu juga sudah baik,” kata Wijan yang tahu bahwa ibunya sedang bertepuk tangan dalam hati.

“Menurut bapak standartnya rusak, kamu pasti susah menyandarkannya.”

“Banyak tempat untuk meletakkan sepeda Wijan.”

“Tidak, begini Wijan, sepeda kamu itu bukan hanya standartnya saja yang rusak, tapi ban depan dan belakang juga sudah halus.”

Pak Raharjo membuka dompet yang sejak tadi disiapkannya, mengeluarkan lembaran ratusan ribu sebanyak lima lembar, diulungkannya kepada Wijan.

“Ini. Besok sepulang sekolah, kamu bisa membawanya ke bengkel yang bagus. Beli dua ban depan dan belakang, dan beli juga standart yang baru. Bengkel itu pasti mau memasangkan semuanya.”

Wijan menerimanya karena uang itu diulurkan dekat ke depannya.

“Nggak kurang, Pak, segitu. Kasihan Wijan kalau nanti kurang lho,” suara sumbang itu bernyanyi lagi.

“Bapak kira nggak kurang. Nanti kalau kurang, minta dulu sama ibu, biar bapak ganti. Ya kan Bu?”

“Ya, tentu saja. Kalau kurang nanti ibu beri, tidak usah diganti. Masa sih memberi anak kok minta ganti? Nggak apa-apa Jan, bilang pada ibu kalau ada kurangnya.”

Kuping Wijan sudah terasa berdenging mendengar lagu nyaring yang tak jelas nadanya itu. Tapi dia tetap diam, sambil memasukkan uangnya ke dalam saku. Ia tak tahu harga ban dan standart yang dibutuhkan untuk sepedanya, karenanya uang itu diterimanya begitu saja, lalu Wijan berdiri.

“Nanti kalau sisa, akan Wijan kembalikan uangnya pada Bapak.”

“Tidak, kalau sisa, bawa saja dan simpan, barangkali kamu memerlukan sesuatu. Seperti kalau sepeda gembos di jalan, atau kebutuhan yang lain. Nanti kalau nggak ada sisa, bapak akan tambahin.”

Wijan mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, lalu beranjak ke kamarnya.

“Wijan, besok bapak akan membelikan kamu ponsel.”

Wijan berhenti melangkah.

“Saya kira tidak perlu Pak, Wijan belum membutuhkannya.”

“Itu sangat perlu, untuk memudahkan komunikasi diantara kita. Ya bapak, ya ibumu, kakakmu. Begitu kan? Kalau adikmu, bapak kira belum perlu.”

Wijan tak bisa membantahnya.

“Mas Wijaaan,” belum sampai Wijan membuka pintu, teriakan Nilam sudah terdengar menggema. Wijan berhenti.

“Nanti ajarin Nilam mengerjakan PR ya?”

Wijan mengangguk. 

"Ya, tentu, setelah mas menyirami tanaman ya.”

“Nanti Nilam bantu menyiram tanaman," teriak Nilam, riang.

***

Malam itu,  bu Rusmi sedang memijit kaki suaminya sebelum tidur. Ia tahu, kalau ia menginginkan sesuatu, maka ia harus berbaik-baik sama suaminya.

“Tidurlah, ini sudah malam,” kata pak Raharjo.

“Ibu cuma mau bilang, membelikan Wijan ponsel itu apakah memang perlu?”

“Apa maksud ibu?”

“Mijan masih kelas dua SMA, ibu kira itu belum perlu.”

“Menurut bapak itu perlu. Kita semua saling butuh berkomunikasi, barangkali ada sesuatu yang harus kita kabarkan dari masing-masing diantara kita.”

“Ibu hanya khawatir, ponsel itu disalah gunakan oleh Wijan.”

“Wijan anak baik, dia tak akan bertindak macam-macam,” kata pak Raharjo sambil meraih guling di sisinya, lalu memejamkan mata. Ia merasa sangat lelah, karena perjalanan ke kantor cabang setiap hari membutuhkan tenaga lebih. Ia harus berangkat lebih pagi, dan menempuh perjalanan yang lumayan jauh, sekitar 100 km dari kantor pusat yang setiap hari ditungguinya.

“Pak, akhir-akhir ini ibu sering merasa kesepian.”

Pak Raharjo membuka matanya.

“Bagaimana kalau beli satu mobil lagi untuk ibu?” lanjut bu Rusmi.

“Ada satu mobil yang hanya dipakai Hasti untuk kuliah, kalau dia pulang ibu bisa mempergunakannya kan?”

“Hasti sering pulang sore, agak repot kalau ibu ingin pergi.”

“Memangnya ibu mau pergi ke mana?”

“Kadang-kadang kan ibu juga butuh bersosialisasi dengan kawan lama, arisan, dan_”

“Arisan. Kenapa sih kalau ibu-ibu tidak mengadakan arisan? Bapak kurang setuju. Ibu-ibu yang sedang berkumpul, lebih banyak bergunjing atau memamerkan kekayaan, atau apalah, dan itu adalah hal yang tidak perlu.”

“Kalau bapak menyuruh ibu hanya duduk diam di rumah, ibu menjadi semakin cepat tua dong.”

“Tidak apa-apa menjadi tua, toh bapak masih mau sama ibu, dan tak akan pernah bosan selamanya.”

“Bapak kok gitu,” kata bu Rusmi cemberut, lalu tidur memunggungi suaminya.

“Kalau ingin pergi kan bisa naik taksi.”

“Nggak enak. Tidak sebebas kalau membawa mobil sendiri.”

“Nanti bapak pikirkan, tapi sekarang bapak sangat lelah,” katanya sambil kembali memejamkan matanya. Bu Rusmi membalikkan tubuhnya, dan merangkul suaminya hangat. Ada harapan bahwa keinginannya akan dikabulkan. Membawa mobil sendiri, mengapa tidak? Hasti sudah semakin besar dan punya keinginan yang lebih. Dia juga sering bepergian, bahkan saat malam hari. Karena itu Rusmi ingin memiliki mobil sendiri, agar kalau ingin ke mana-mana harus tergantung pada kepulangan anaknya, yang kadang harus disertai pertengkaran karena sama-sama membutuhkan.

***

Pagi hari itu pak Raharjo pergi dengan dijemput mobil dari kantor. Ia bahkan tak sempat makan pagi, karena saat beranagkat bibik baru menata sarapan di meja makan. Hanya Wijan yang mengantarkan sampai ayahnya naik ke dalam mobil, karena ibu dan saudaranya sedang bersiap untuk makan pagi.

“Hati-hati ya Pak,” pesan Wijan dengan mata berbinar.

Pak Raharjo menatap anak laki-lakinya dengan perasaan tak menentu. Satu-satunya anak peninggalan istrinya itu selalu membuatnya teringat pada istri pertamanya, yang meninggal karena sakit, saat Wijan masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

“Wijan, mengapa tubuh kamu kurus?” kata sang ayah sambil melongok dari kaca jendela mobil.

“Masa sih Pak? Nggak kok.”

“Makan yang banyak, biar sehat, dan gemukan sedikit. Kamu sangat tampan. Kalau badan kamu lebih besar, maka kamu akan jauh lebih tampan.”

Wijan tertawa.

“Bapak bisa saja.”

“Ya sudah, bapak pergi dulu, dan jangan lupa perbaiki sepeda kamu.”

Wijan mengangguk, dan sekali lagi mengucapkan pesan agar ayahnya berhati-hati.

***

Wijan bergegas masuk ke dalam kamarnya, mengambil tas sekolah dan mengenakan sepatunya.

“Mas Wijaaan, makan dulu.” teriak nyaring si kecil terdengar. Wijan mendekat dan masuk ke ruang makan sambil sudah menggendong tas sekolahnya.

“Makan dulu, nanti di sekolah kelaparan.”

“Apaan sih kamu, dia sudah besar, sudah tahu apa yang harus dilakukannya,” tegur Hasti sambil mengakhiri makan paginya, sementara bu Rusmi menyiapkan dua potong roti untuk Nilam, agar dibawanya sebagai bekal.

Wijan duduk di kursi, hanya Nilam yang masih duduk di sana, sambil menghabiskan sarapannya.

“Cepat makan, nanti terlambat,” seru Nilam.

Di meja ada nasi goreng dan sepotong telur ceplok. Ketika Wijan mau meraihnya, tiba-tiba Hasti mencomot telur itu dan digigitnya.

“Kamu nggak usah pakai telur, aku suka telur ceplok,” katanya tanpa belas.

Wijan tak bereaksi. Tak masalah makan nasi  saja. Ia makan dengan nikmat. Tapi tiba-tiba Nilam mengulurkan separo telur ceplok, langsung ditaruh di piringnya.

“Nggak usah Nilam.”

“Makan saja, aku sudah cukup. Mbak Hasti memang jahat,” omelnya.

“Apa kamu bilang? Aku jahat?”

“Jahat lah, telur bagian mas Wijan mbak Hasti ambil.”

“Dia itu nggak butuh telur, bukankah nasi goreng  sama kerupuk sudah cukup? Kamu cepetan habisin makan kamu, aku tunggu di depan, kalau kelamaan aku tinggal kamu,” katanya sambil masih mengunyah sepotong telurnya, lalu beranjak ke depan.

“Mas, makanlah telurnya. Bukankah telur itu sumber protein dan menyehatkan?”

Wijan ingin mengembalikan sepotong telur itu, tapi Nilam sudah selesai makan dan berdiri meninggalkan ruang makan.

“Aku harus buru-buru, mbak Hasti menunggu di depan.”

Wijan mengangguk sambil menggigit sepotong telur kasih sayang itu. Air matanya merebak.

Ketika ia sudah selesai makan, tiba-tiba bibik menariknya ke dapur.

“Ada apa?”

“Bibik siapkan bekal untuk mas Wijan, diam-diam saja ya,” katanya sambil memasukkan kotak makanan yang sudah berisi makanan ke dalam tasnya.

“Tapi Bik ….”

“Sudah, berangkat saja sana, nanti terlambat. Lainnya naik mobil, mas Wijan naik sepeda kan?”

Wijan mengangguk, mengucapkan terima kasih, kemudian berlalu. Bibik menatapnya penuh rasa iba. Wijan adalah anak pemilik rumah, anak pemilik perusahaan, anak orang kaya dan terpandang, tapi dibuatnya sengsara di dalam rumahnya sendiri.

***

Wijan sudah siap ke arah depan, dimana sepedanya sudah disiapkannya di bawah pohon. Tapi ketika dia berpamit kepada ibu tirinya, sang ibu menahannya.

“Mana uang yang bapak berikan kemarin sore?”

“Ada bu, tapi untuk beli ban dan standart yang baru.”

“Untuk beli ban dan standart, uang sebanyak itu? Mana. Kamu masih muda, belum punya banyak kebutuhan. Berikan padaku uangnya.”

Wijan agak kesal, tapi ia keluarkan juga uang itu dari sakunya.

“Ini terlalu banyak. Nih, duaratus ribu saja cukup kan? Jangan boros, mentang-mentang ayahmu begitu royal memberikan uangnya.”

Wijan tertegun.

“Ba … bagaimana kalau tidak cukup, Bu.”

“Bodoh! Masa duaratus ribu tidak cukup? Awas kamu, jangan sampai mengadu pada ayahmu,” katanya sambil beranjak ke belakang, dengan masih menggenggam uang itu.

Wijan menghela napas panjang, melangkah gontai sambil berjalan mendekati sepedanya, siap mengayuhnya ke sekolah.

***

Bibik sedang membersihkan dapur ketika mendengar sang nyonya majikan sedang bertelpon di ruang makan. Ia merasa aneh, karena nada suara dan bahasa yang dipergunakan sang nyonya terasa janggal. Seperti anak muda sedang pacaran. Eeh, bukan, tapi kok suaranya seperti merengek manja begitu? Bibik tidak ingin tahu tentang apa yang mereka bicarakan, tapi dia merasa risih mendengar ungkapan sayang yang dikatakannya saat bertelpon. Rasanya nggak pantas banget, bukan anak muda bertelpon begitu manja dan memanggilnya sayang berkali-kali.

Barangkali karena merasa bahwa bibik mendengarkan saat dia bertelpon, kemudian bu Rusmi melanjutkan berbicara ke arah depan. Bibik tak peduli. Ia harus bersiap memasak untuk makan siang.

***

Sepulang sekolah , Wijan langsung membawa sepedanya ke toko perangkat sepeda. Di sana juga ada bengkel yang siap melayani pemasangan onderdil atau apa, yang barangkali diperlukan oleh pembeli.

Wijan turun dari sepedanya, dan mengatakan apa yang dibutuhkannya kepada penjaga toko.

Penjaga toko menunjukkan merk ban yang dirasanya baik, karena memang sepeda Wijan bukan sepeda murahan, hanya karena sudah tua maka ada beberapa onderdil yang harus diganti.

“Ini saja mas, nanti sekalian dipasangkan.”

“Berapa mas?”

“Semuanya, sekalian memasang, duaratus enam puluh ribu.”

Wijan meraba sakunya. Ia merasa kesal karena ibu tirinya telah mengambil yang tiga ratus ribu dari yang diberikan ayahnya.

“Bagaimana Mas?” tanya pelayan toko, karena Wijan tidak segera menjawab.

Wijan ingin membatalkan pembelian itu, tapi bagaimana nanti menjawab kepada ayahnya? Tak mungkin ia mengatakan tentang uang itu, karena ia pasti akan disiksa oleh ibu tirinya kalau mengadu kepada ayahnya.

Apa boleh buat, ia meraba dompetnya, lalu berkata kepada petugas toko bahwa dia menyetujuinya. Wijan punya simpanan, yaitu uang saku yang diberikan ayahnya setiap hari, dan tak pernah dibelanjakannya. Jadi ia mengambil uang simpanan itu untuk menomboki kekurangannya. Tak apa, daripada timbul keributan di rumah gara-gara uang itu.

Wijan duduk menunggu di sebuah bangku, sementara para petugas mengerjakan pesanannya. Tapi tiba-tiba dia terbelalak. Di seberang jalan, ia melihat seorang wanita bergayut manja pada seorang laki-laki berewokan tapi gagah. Yang membuat Wijan terbelalak adalah, bahwa wanita itu adalah ibu tirinya.

***

Besok lagi ya.

38 comments:

  1. πŸŒ·πŸ’πŸŒ·πŸ’πŸŒ·πŸ’πŸŒ·πŸ’
    Alhamdulillah
    Bunga Untuk Ibuku 02
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu dan
    tetep smangat nggih.
    Salam aduhai πŸ¦‹πŸŒΈ
    πŸŒ·πŸ’πŸŒ·πŸ’πŸŒ·πŸ’πŸŒ·πŸ’

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah gak nyangka Bu Rusmi punya PIL...kasian pak Raharjo...Semoga kena batunya, mendpt balasan sesuai perbuatannya...Wijan yg sabar yaa...

      Delete
    2. Alhamdulillaah BUI 02 sdh tayang,
      Matur nuwun bunda Tien
      Salam aduhai dari Jogja πŸ’–

      Delete
    3. Alhamdulillah...
      Jeng Sari number one...
      Terimakasih bu Tien, BeUI_02 sdh hadir malam ini.
      Salam SEROJA dan tetap berkarya

      Delete
    4. Iya yah itulah ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja

      Wkwkwk

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedemikian jahatkah seorang ibu tiri... hingga tercipta lagu Ibu Tiri pada tahun 1970an..
      Yang sabar ya Wijan, yang jahat akan mendapat balasan.
      Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

      Delete
  3. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~02 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
  5. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah..... terimakasih bunda

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yaa rabbal'alamiin

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah..
    Tks banyak bunda Tien..
    Yg ditunggu sdh tayang...
    Semoga bunda sehat selalu..

    ReplyDelete
  9. Terima kasih atas segala dukungan, penyemangat dan perhatian yang penuh cinta, buat bapak2, kakek2, opa:
    Kakek Habi, Nanang, Bambang Subekti, Djoko Riyanto, Hadi Sudjarwo, Wedeye, Prisc21, Latief, Arif, Djodhi, Suprawoto, HerryPur, Zimi Zainal, Andrew Young, Anton Sarjo, Yowa, Bams Diharja, Tugiman, Apip Mardin Novarianto, Bambang Waspada, Uchu Rideen, B Indiarto, Djuniarto, Cak Agus SW, Tutus, Wignyopress, Subagyo, Wirasaba, Munthoni, Rinta, Petir Milenium, Bisikan Kertapati, Syaban Alamsyah,

    Dan mbakyu, ibu, eyang, nenek, oma, diajeng:
    Nani Nuraini Siba, Iyeng Santosa, Mimiet, Nana Yang, Sari Usman, KP Lover, Uti Yaniek, Lina Tikni, Padmasari, Neni Tegal, Susi Herawati, Komariyah, I'in Maimun, Isti Priyono, Yati Sribudiarti, Kun Yulia , Irawati, Hermina, Sul Sulastri, Sri Maryani, Wiwikwisnu, Sis Hakim, Dewiyana, Nanik Purwantini, Sri Sudarwati, Handayaningsih, Ting Hartinah, Umi Hafid, Farida Inkiriwang, Lestari Mardi, Indrastuti, Indi, Atiek, Nien, Endang Amirul, Naniek Hsd., Mbah Put Ika, Engkas Kurniasih, Indiyah Murwani, Werdi Kaboel, Endah, Sofi, Yustina Maria Nunuk Sulastri, Ermi S., Ninik Arsini,
    Tati Sri Rahayu, Sari Usman, Mundjiati Habib, Dewi Hr Basuki, Hestri, Reni, Butut, Nuning, Atiek, Ny. Mulyono SK, Sariyenti, Salamah, Adelina, bu Sukardi, mBah Put Ika, Yustinhar, Rery, Paramita, Ika Larangan. Hestri, Ira, Jainah, Wiwik Nur Jannah, Laksmi Sutawan, Melly Mawardi, Tri, Rosie, Dwi Haksiwi, Purwani Utomo, Enny, Bunda Hanin , Dini Ekanti, Swissti Buana, YYulia Dwi, Kusumawati,

    Salam hangat dan ADUHAI, dari Solo.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillaah dah tayang makasih Bund, kasihan nijan tertindas

    ReplyDelete
  12. Kasihan Wijan...
    Mtr nwn Bu Tien, sehat sll.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah" Bunga untuk Ibu "eps 02 sdh tayang ..terima kasih bu Tien... semoga bu Tien selalu sehat dan bahagia. Salam hangat dan aduhai bun❤️🌹

    Kenapa bu Rusmi ??? Astagfirullah kejamnya terhadap wijan...

    ReplyDelete
  14. Terima kasih Bu Tien Kumalasari, Bunfa utk Ibu episode ke 2 udah tayang , kadihan Wijan ya ! Punya ibu tiri koq jahat bingit

    ReplyDelete
  15. Hadeeh Wijan kshn sekali kau ini
    Jadi anak kok begitu baik yah
    Barangkali karena orang tuamu mulia hati
    Jauh beda dgn anaknya Rusmi yg namanya Hasti
    Kalau Nilam barangkali karena ikut ayahnya jadi baik hatinya

    Teruslah kau berbuat baik Wijan juga Nilam yah biar hidupmu enak kelak di kemudian hari

    Namanya juga ibu tiri udah jahat eeh selingkuh pula
    Untung Wijan kok yah tau ibu tirinya yg nggelendot sama si berewok

    Wah seru nih, beneran deh
    Yuuk kita tunggu besok lagi yah
    Penisirin bingitzs kan, yah harus sabar
    Yang penting ttp semangat dan
    ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
  16. Baru episode kedua sudah seru karena RUSMI.hebat Maturnuwun Bunda tetap jaga sehat serta tetap semangat

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah Matur nuwun bu Tien πŸ€—πŸ₯°
    Mulai seru nih,,,
    Salam sehat wal'afiat semua bu Tien

    ReplyDelete
  18. Wah, bakalan seru nih...baru eps.2 sudah ketahuan ibu tiri Wijan selingkuh...πŸ˜…

    Terima kasih, ibu Tien. Sehat selalu.πŸ™

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah..
    Mtrsuwun bundaku... Lgsg ngrapell 2 episode berhubung kmren tidak sempet membuka ...sedang ribet ribetnyaπŸ™

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah Bunga Untuk Ibuku- 2 sdh hadir
    Terima kasih Bunfa Tien, semoga sehat dsn bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  21. Kasihan Wijan ... Alhamdulillah matursuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun Bu Tien, ceritanya sdh mulai seru di awal.

    ReplyDelete
  23. Terima ksih bunda BUI nya SMG bunda sll sehat walafiat dan slm kangen dari skbmiπŸ™πŸ˜˜πŸ˜˜πŸŒΉ

    ReplyDelete
  24. Seruu nih..
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu.
    Aduhai

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...