KANTUNG BERWARNA EMAS
07
(Tien Kumalsari)
Pak Candra menatap tajam istrinya dan juga Karina.
Suara yang terdengar, dirasa sangatlah sumbang.
“Apa maksudmu Bu? Karina?”
“Itu … bapak tadi … berkata mengada-ada bukan?”
“Aku bersungguh-sungguh. Nanti Nurani yang akan
memegang usaha aku, karena Rian tidak mau. Dia hanya akan ikut mengawasi dan
membimbing adiknya saja,” tandas pak Candra.
“Nurani itu kan tidak berpendidikan, mana mungkin bisa
memegang suatu usaha? Bukankah Karina lebih pantas, karena dia sudah
berpengalaman dan mengetahui seluk beluk usaha Bapak,” kata bu Candra tanpa
malu.
“Karina? Dia hanya lulusan SMA, tidak bersemangat
menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan dia hanyalah pembantu di bagian
gudang. Tahu apa dia tentang seluk beluk perusahaan.”
“Paling tidak dia mengerti,” masih ngeyel, bu Candra.
“Tidak, tidak … kemampuan seseorang itu sudah tampak
pada wajah dan perilakunya, tutur kata dan sikapnya. Menurutku, Karina tidak
bisa.”
“Karina kemarin bilang ingin melanjutkan kuliah lho,”
bu Chandra masih mengejarnya.
“Apa Bu? Aku tidak bilang.”
“Karina, kamu bilang kemarin, karena tidak mau kalah sama Nurani kan?”
“Tapi ….” Karina tampak ragu. Dia tak ingin kuliah.
Dia merasa tak mampu karena begitu malas untuk berpikir. Mendapatkan
penghasilan secepatnya adalah impiannya, dan ayahnya mengijinkannya bekerja
walau pendidikannaya tidak begitu tinggi.
“Sudah … sudah, aku hanya bilang tentang keinginan
aku. Lagi pula Nurani masih mengejar ketertinggalannya di SMA, baru mau
melanjutkan kuliah. Jadi, dia hanya harus menomor satukan pendidikannya saat
ini. Iya kan Nur?” katanya kemudian kepada Nurani.
“Nurani akan mencoba untuk tidak mengecewakan Bapak,
walau Nurani tidak yakin bakal mampu melakukannya.”
“Kamu anak pintar. Pasti mampu. Ya kan Rian?”
“Benar Pak,” kata Rian yang sebenarnya kasihan pada
Karina, karena ibunya seperti memaksanya, sementara tampaknya dia tidak mampu.
“Orang semuanya belum tentu saja, belum-belum sudah
ribut,” omel bu Candra.
Pak Candra tertawa.
“Yang ribut itu sebenarnya siapa? Bukannya kamu
sendiri?”
“Hanya heran saja aku ini, anak masih sekolah saja
belum tentu mampu, sudah digadangkan memimpin perusahaan. Apa ingin rusak
semuanya?”
“Masa sih? Kan ada aku, ada Andre yang mengendalikan
usaha itu.”
“Oh ya, yang namanya mas Andre itu kan ganteng dan
pintar. Aku bisa dong Pak, sesekali minta bimbingan mas Andre?”
“Bimbingan tentang apa? Kamu di gudang, minta
bimbingan sama pak Karsono, pimpinan kamu dong. Bagian Andre bukan bidang kamu,” kata pak
Candra membuat wajah Karina menjadi manyun.
***
Pembicaraan malam itu membuat bu Candra uring-uringan.
Ia kesal pada Karina, dan memarahi Karina habis-habisan di kamarnya.
“Kamu mengapa mempermalukan ibu? Aku bilang kamu mau
kuliah, karena supaya bapakmu juga memperhitungkan kamu menjadi pewaris usaha itu. Kok kamu malah mengelak. Malu dong ibu.”
“Salah ibu sendiri juga, kalau benar, bapak kemudian
ingin menyuruh Karina kuliah, mampus lah aku.”
“Apa susahnya kuliah sih? Sama saja seperti sekolah,
hanya jenjangnya lebih tinggi, lebih keren, lebih terhormat.”
“Ibu tidak pernah kuliah, mana bisa bicara tentang
kuliah. Kuliah bukan menjadi keren kalau Karina tak bernafsu untuk kuliah,
Males banget mikir segala macam pelajaran. Lebih enak cari duit, tiap bulan
bisa jalan-jalan dengan uang sendiri.”
“Dasar kamu itu tak punya derajat dan martabat. Maunya
jalan-jalan dengan uang kamu yang ngga seberapa itu?”
“Tapi Karina ogah mikir yang berat-berat bu, capek.”
“Dengar ya, kalau nanti Nurani benar-benar menguasai
usaha bapak kamu, baru kamu tahu rasa.”
“Bapak bilang belum tentu kan? Masih nanti kan? Dan perkataan
‘nanti’ itu banyak punya arti, banyak yang akan bisa terjadi.”
“Apa maksudmu?”
“Kalau Bapak ingin mengangkat derajat Nurani dari
pembantu penjadi pengusaha, bukankah ada banyak cara untuk menggagalkannya? Ibu
tidak bodoh kan?”
“Apa?”
Bu Candra membelalakkan matanya. Kata-kata Karina
tiba-tiba menciptakan akal-akal yang mungkin juga tak masuk akal, tapi akan
dilaksanakannya. Menghalangi Nurani menjadi maju dan berhasil, apa susahnya?
Senyum bu Candra melebar. Ia menepuk lengan anaknya, kemudian keluar dari
kamarnya.
***
Hari-hari terus berlalu. Dan setiap pagi buta pak Candra selalu mengikuti istrinya bangun. Istrinya tidak lagi tidur di sofa setelah ketahuan
beberapa hari yang lalu, tapi langsung ke dapur. Nurani sudah sibuk membuat
minuman hangat, dimasukkan ke termos seperti biasanya.
“Ibu mau minum?” tanyanya, tanpa menunggu jawaban kemudian
menuangkannya di sebuah cangkir, lalu diletakkannya di nampan. Maksudnya mau
dibawa ke ruang tengah, tapi bu Candra menggoyang-goyangkan tangannya.
“Taruh disini saja. Aku minum di sini,” perintahnya.
Nurani meletakkan cangkirnya di meja dapur, tepat di
hadapan ibunya, yang kemudian dengan nikmat meminumnya, seteguk demi seteguk,
sampai habis.
Nurani mengambil cangkir yang telah kosong, dan
melihat kepala ibunya lunglai di atas meja. Terlelap dengan dengkuran khas,
seperti biasanya.
Nurani tersenyum tipis, melanjutkan pekerjaannya
membuat sarapan, lalu memasak untuk makan siang nanti.
Tanpa diketahui Nurani, pak Candra berdiri di depan
pintu dapur, bersedekap sambil tersenyum simpul.
Tiba-tiba tertangkap olehnya bayangan bapaknya, dan
terkejut menyadari, bahwa tampaknya sang bapak sudah lama berdiri di sana.
“Bapak sudah bangun?”
“Ya sudah, kalau belum, masa bisa berdiri di sini?”
“Minum ya Pak?” kata Nurani sambil menuangkan
secangkir susu coklat untuk ayahnya.
“Aku tidak mau lagi,” tiba-tiba terdengar bu Candra
mengigau, lalu mengangkat kepalanya sebentar, mengusap salivanya, lalu
menjatuhkannya lagi di meja.
Pak Candra terkekeh lucu, Nurani menutup wajahnya,
sambil meletakkan cangkir di atas meja dapur, karena ayahnya yang memintanya.
Bu Candra terkejut, karena tawa pak Candra sangat
keras.
“Bapak?”
Pak Candra tak melihat ke arahnya, menyeruput minuman
hangatnya dengan nikmat.
“Kok Bapak ada di sini? Ini tadi aku …
“Aduh, Nurani selalu begitu deh. Ibu tuh akhir-akhir
ini kalau bangun kepagian selalu saja pusing, dan ibu hanya minta waktu sedikit
untuk merebahkan kepala, lalu minta agar kamu membangunkannya. Kenapa kamu
selalu tak mau melakukannya Nur? Ibu khawatir kamu nanti kecapekan. Kan kamu
harus sekolah?” kata bu Candra sambil berdiri, berjalan ke arah kompor, dimana
sayur sedang dimasak.
“Mana untuk sarapan? Biar ibu saja,” katanya.
“Sudah Nurani tata di meja makan, Bu.”
“Ya ampun, kamu selalu begitu sih Nur. Ibu selalu
bilang, bangunin … bangunin … hanya tidur sebentar saja kok. Tapi kamu tidak
pernah mau melakukannya.”
“Tidak apa-apa Bu, sudah selesai semuanya kok.”
Pak Candra menghabiskan susu coklatnya di meja dapur
itu juga, kemudian berdiri dan beranjak ke kamar.
Bu Candra mengikutinya.
“Kalau Bapak mau mandi, biar ibu siapkan baju
gantinya, soalnya pekerjaan di belakang sudah selesai semua.”
“Setiap hari selalu sudah selesai semua kan? Tanpa campur
tangan kamu?”
“Akhir-akhir ini ibu memang sering pusing dan cepat
lelah. Nanti sore mau ke dokter saja untuk periksa. Bapak mau mengantarkannya?”
“Nanti aku pulang lebih malam, ada meeting dengan
kient jam lima sore.”
“Ya sudah, apa Karina ikut meeting?”
“Tidak, ini urusan bisnis, mana Karina tahu?”
“Kalau begitu aku ke dokter sama Karina saja.”
“Terserah ibu saja.”
***
Sebenarnya bu Candra memang agak kesal, karena
akhir-akhir ini ia hampir tak punya waktu untuk membentak-bentak Nurani,
sekedar melampiaskan rasa tidak senangnya saja. Kalau pagi, ada suaminya dan
Rian yang pasti melindunginya, lalu setelah itu Nurani pergi sekolah. Sore,
apalagi, suaminya sudah ada di rumahnya kembali. Ditambah keinginan suaminya
untuk menjadikan Nurani pewaris kerajaan bisnisnya? Tidak. Jangan sampai hal
itu terjadi.
Setiap saat selalu dicarinya akal agar membuat Nurani
tersingkir. Tapi dia belum juga menemukan cara itu.
Beberap hari lagi Nurani akan menjalani ujian kenaikan
kelas. Ayahnya sudah melarang agar Nurani tak usah mengurusi urusan rumah
tangga, termasuk memasak dan membuat sarapan, tapi Nurani memaksanya. Tak enak
rasanya, meninggalkan pekerjaan rumah dengan alasan mau ujian. Semua itu adalah
kewajibannya bukan?
Sore itu bu Candra mengajak Karina untuk keluar,
dengan alasan pergi ke dokter. Tapi ternyata keduanya sedang membuat rencana
jahat, entah rencana apa.
“Ibu dan Karina ke mana?” tanya Rian yang baru pulang
kuliah saat sore.
“Kalau tidak salah, mau ke dokter,” jawab Nurani.
“Siapa yang sakit?”
“Kalau tidak salah, ibu.”
“Dari tadi kalau tidak salah … kalau tidak salah … ?”
Nurani tertawa sambil menutupi mulutnya.
“Soalnya aku hanya mendengar percakapan mereka, mereka
tidak bilang langsung sama aku.”
“O, gitu. Tapi ngomong-ngomong kalau tertawa nggak
usah ditutupin kenapa sih? Biarkan saja kelihatan gingsulnya.”
“Hiih, kalau tertawanya terlalu lebar ya malu ah Mas.”
“Tadi tertawa lebar ya?”
“Iya, habisnya Mas Rian ngomongnya lucu.”
“Kok tumben Bapak juga belum pulang?”
“Kalau itu aku tahu, karena bapak bicara sama aku,
bahwa hari ini pulang agak sorean, ada meeting, begitu.”
“Ya sudah, kenapa kamu nggak belajar? Bukankah
sebentar lagi mau ujian?”
“Iya, baru selesai manasin sayur, habis ini mau
belajar.”
“Apa ada kesulitan? Mungkin aku bisa membantu?”
“Mas Rian sudah membantu banyak. Kan hampir semua
buku-buku aku, mas Rian yang memberi. Dan aku bisa kok belajar dari buku-buku
itu.”
“Kamu memang hebat Nur. Aku setuju kalau besok kamu
bisa meneruskan usaha bapak. Kamu pasti bisa.”
“Eh, enak saja. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana
sulitnya memimpin sebuah perusahaan. “
“Karena kamu belum terbiasa.”
“Dan itu masih lama kan?”
“Kalau kamu bisa segera menyelesaikan SMA kamu dengan
cepat, lalu kuliah dengan lancar, waktu itu tak akan lama.”
“Menurutku lebih baik mas Rian saja. Tampaknya ibu dan
Karina tak suka kalau aku yang membantu bapak di perusahaan.”
“Mengapa peduli sama ibu dan Karina? Mereka sama
sekali tak mengerti bagaimana menjadi pengusaha. Dikiranya hanya duduk di
kursi, tanda tangan, dihormati, uangnya banyak. Selesai. Padahal begitu rumit.
Kalau salah langkah, usaha bisa hancur.”
“Tuh, mas Rian menakut-nakuti aku.”
“Tapi kalau kamu bersungguh-sungguh mengelolanya,
mengerti bagaimana dan apa yang harus kamu lakukan, kamu pasti bisa. Caranya
bagaimana? Belajar dan mempelajari semuanya. Nanti kamu akan suka. Percayalah.”
“Entahlah, aku tidak bisa membayangkannya sekarang.”
“Jangan kamu bayangkan sekarang. Lebih baik bayangkan
soal-soal ujian kenaikan kelas yang akan kamu hadapi. Aku mendukung kamu. Kamu
pasti bisa.”
Nurani tersenyum lebar, alangkah bahagia rasanya saat
bercanda dan berbincang bersama kakak tirinya yang satu ini.
***
Menjelang malam pak Candra baru pulang. Ternyata dia
tidak sendiri, tapi bersama Andre. Pak Candra yang meminta Andre mampir dulu ke
rumah, sekedar untuk minum segelas susu coklat panas atau kopi.
“Ayo duduklah Andre,” katanya mempersilakan Andre
duduk di ruang tamu.
“Nurani, buatkan minum untuk Andre!” teriaknya
kemudian kepada Nurani.
Nurani yang masih ada di dalam kamarnya, bergegas
keluar. Tapi tiba-tiba Karina hampir menabraknya.
“Biar aku saja. Bukankah kamu harus belajar?” katanya
sambil mendorong Nurani masuk kembali ke kamarnya. Nurani mengangguk, lalu
masuk dan kembali menutup pintu kamarnya.
“Andre mau kopi manis ya, aku juga, dikasih susu
sedikit nggak apa-apa,” pak Candra berteriak lagi.
Tak lama kemudian Karina keluar, membawa nampan berisi
dua cangkir minuman, yang satu kopi susu untuk bapaknya, satunya kopi hitam
untuk Andre.
“Kok kamu yang buat minuman, Karina? Nurani mana?”
“Lagi belajar Pak, kasihan. Karina kan juga bisa.”
“Baiklah, tidak apa-apa. Ayo Ndre diminum dulu,” kata
pak Candra mempersilakan. Tapi ketika keduanya hampir sama-sama menyeruput
minumannya, tiba-tiba mereka menyemburkannya lalu meleletkan lidahnya.
Karina terkejut.
“Karin, apa yang kamu masukkan ke dalam cangkir ini
tadi?”
“Kopi, gula, untuk bapak sedikit susu,” jawabnya tanpa
dosa.”
“Rasain ini. Coba rasain. Cepat.” Perintah pak Candra.
Karina menerima cangkir yang diulurkan pak Candra,
kamudian menyeruputnya perlahan. Kemudian dia juga menyemburkannya keluar.
“Kok asin?” katanya sambil nyengir.
“Kalau yang masuk gula, pasti manis. Rupanya kamu
belum hapal letak bumbu-bumbu dan bahan minuman di dapur. Nuraniii” teriaknya
kemudian kepada Nurani.
Nurani muncul, dengan heran melihat Karina masih
memegangi cangkir.
“Kenapa?” tanya Nurani.
“Kalau naruh garam yang bener dong,” hardiknya
kemudian menyodorkan cangkir berisi minuman ke hadapan Nurani, membuat sebagian
minuman itu menumpahin baju Nurani.
“Ya ampuun, anak itu,” Nurani menatap Karina yang
beranjak ke dalam, dengan wajah merah padam.
***
Nurani bangun sangat pagi, selalu begitu. Dia juga
selalu meneguk segelas air putih sebelum beraktifitas. Pagi itu ia melihat air putih
sudah siap di atas meja di depan kamarnya. Nurani tersenyum. Barangkali dia
lupa semalam telah menyiapkannya. Ia duduk, kemudian bermaksud meraih gelas air
putih itu. Tiba-tiba dilihatnya sesuatu yang berkilat-kilat, menyembul sedikit
dari balik taplak mejanya.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteYes
ReplyDelete🌻🦋🍃 Alhamdulillah KBE 07 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋⚘
ReplyDeletemksh bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Aku ora melu balapan mung dadi suportere, terus ngedit
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 07 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu. Salam *ADUHAI*
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Oh Bu Chandra yg serakah
ReplyDeleteTunggu yah saatnya tiba ambisi itu akan sirna seiring berjalannya waktu
Ok deh kita tunggu lanjutannya aj bsk
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku ttp semangat dan ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Waduh, nurani mau diracun. Oleh siapa yah?
ReplyDeleteTerima kasih banyak mbak Tien. Didoakan semoga mbak Tien dan keluarga sehat selalu. Amin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Salam sehat selalu
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Ibu tiri yg jahat...trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 07 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto,
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~07 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteSelamat malam bu Tien...semoga sehat selalu...maturnuwun cerbung KBEnya..🙏👍🌹
ReplyDeleteRupanya Karina sama emaknya pergi ke dukun; diberi kecoak sama mbah Kliwon.
ReplyDeleteBiar kaget gitu, kok nggak jijik ya, kan berteman, apalagi di tempelin isolasi jadi bisa buat kejutan. Biar heboh gitu kalau ada sedikit salah kan ada alasan untuk teriak memarahi Nurani.
Kok segitunya ya, emang ibu tiri ulahnya pakai ekstrem gitu.
Beda ibu kandung dikasihnya es krim, pasti.
Tapi nggak kaget juga tuh.
Kan selalu teliti, lah tinggal dijepit pakai pinset, buang ketempat asalnya, beres deh.
Aneh aja ada binatang; bisa bisanya menempelkan isolasi sendiri.
Geli juga ulah Karina ngerebut mau cari muka didepan Andre malah kacau tuh, nggak pernah kedapur, nggak ngerti tekstur gula pasir gimana, garam gimana, sama seperti biyungnya.
Maunya jalan pintas.
Mulai persaingan tidak sehat untuk ngaco Nurani.
Terus yang bangun pagi, ada yang ngikut bangun nggak.
Kan habis meeting sama rekanan, pulang malem, capek deh.
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke tujuh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Pak Nanang..bisikin dong pa chandra..
DeleteJangan selalu percaya ke Amirah gitu ya ...
Biar kapok tuh Amirah dan Karina..
Apa tuh yg berkilat dibawah taplak meja?
ReplyDeleteMaturnuwun ibu Tien, semoga sehat dan sukses selalu
Ternyata langkah pertama adalah sabotase, mungkin dari minuman. Dasar otak tidak waras.
ReplyDeleteNurani harus selalu waspada, meski 'pencuri selalu menunggu calon korban lengah ' .
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Semakin seruu ceritanya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Aduh jahat ya ibu Tiri duh ...trim bu Tien ...konflik2 trus
ReplyDeleteAlhamdulilah...Nurani sdh hadir..
ReplyDeleteApa yg berkilat kilat di balik taplak meja dekat gelas berisi air putih yg akan diminum Nurani?
Siapa yg menyiapkan?... takutnya itu rencana ibu tiri yg jahat..
Tambah penasaran.. Bsk lg..
Tks bunda Tien.. Semoga sehat" selalu..
Salam aduhaaii dr Sukabumi
Alhamdulillah. Matursuwun Bu Tien, semoga sehat dan sukses selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah, Matur nuwun bu Tien ,salam sehat wal'afiat untuk semua
ReplyDeleteTdk semua ibu Tiri jahat banyak yg sangat sayang melebihi ibu kandung,,,
Ditunggu cerita selanjutnya ,,adu hai 🤗🥰
Ibu tiri dlm cerita ini mbah put.. Maaf.. Jd tambah penasaran hehe...
DeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAamiin.. 🙏🏻🙏🏻🥰
ReplyDelete