Tuesday, December 13, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 07

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  07

(Tien Kumalsari)

 

Pak Candra menatap tajam istrinya dan juga Karina. Suara yang terdengar, dirasa sangatlah sumbang.

“Apa maksudmu Bu? Karina?”

“Itu … bapak tadi … berkata mengada-ada bukan?”

“Aku bersungguh-sungguh. Nanti Nurani yang akan memegang usaha aku, karena Rian tidak mau. Dia hanya akan ikut mengawasi dan membimbing adiknya saja,” tandas pak Candra.

“Nurani itu kan tidak berpendidikan, mana mungkin bisa memegang suatu usaha? Bukankah Karina lebih pantas, karena dia sudah berpengalaman dan mengetahui seluk beluk usaha Bapak,” kata bu Candra tanpa malu.

“Karina? Dia hanya lulusan SMA, tidak bersemangat menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan dia hanyalah pembantu di bagian gudang. Tahu apa dia tentang seluk beluk perusahaan.”

“Paling tidak dia mengerti,” masih ngeyel, bu Candra.

“Tidak, tidak … kemampuan seseorang itu sudah tampak pada wajah dan perilakunya, tutur kata dan sikapnya. Menurutku, Karina tidak bisa.”

“Karina kemarin bilang ingin melanjutkan kuliah lho,” bu Chandra masih mengejarnya.

“Apa Bu? Aku tidak bilang.”

“Karina, kamu bilang kemarin, karena tidak mau kalah sama Nurani kan?”

“Tapi ….” Karina tampak ragu. Dia tak ingin kuliah. Dia merasa tak mampu karena begitu malas untuk berpikir. Mendapatkan penghasilan secepatnya adalah impiannya, dan ayahnya mengijinkannya bekerja walau pendidikannaya tidak begitu tinggi.

“Sudah … sudah, aku hanya bilang tentang keinginan aku. Lagi pula Nurani masih mengejar ketertinggalannya di SMA, baru mau melanjutkan kuliah. Jadi, dia hanya harus menomor satukan pendidikannya saat ini. Iya kan Nur?” katanya kemudian kepada Nurani.

“Nurani akan mencoba untuk tidak mengecewakan Bapak, walau Nurani tidak yakin bakal mampu melakukannya.”

“Kamu anak pintar. Pasti mampu. Ya kan Rian?”

“Benar Pak,” kata Rian yang sebenarnya kasihan pada Karina, karena ibunya seperti memaksanya, sementara tampaknya dia tidak mampu.

“Orang semuanya belum tentu saja, belum-belum sudah ribut,” omel bu Candra.

Pak Candra tertawa.

“Yang ribut itu sebenarnya siapa? Bukannya kamu sendiri?”

“Hanya heran saja aku ini, anak masih sekolah saja belum tentu mampu, sudah digadangkan memimpin perusahaan. Apa ingin rusak semuanya?”

“Masa sih? Kan ada aku, ada Andre yang mengendalikan usaha itu.”

“Oh ya, yang namanya mas Andre itu kan ganteng dan pintar. Aku bisa dong Pak, sesekali minta bimbingan mas Andre?”

“Bimbingan tentang apa? Kamu di gudang, minta bimbingan sama pak Karsono, pimpinan kamu dong.  Bagian Andre bukan bidang kamu,” kata pak Candra membuat wajah Karina menjadi manyun.

***

Pembicaraan malam itu membuat bu Candra uring-uringan. Ia kesal pada Karina, dan memarahi Karina habis-habisan di kamarnya.

“Kamu mengapa mempermalukan ibu? Aku bilang kamu mau kuliah, karena supaya bapakmu juga memperhitungkan kamu menjadi pewaris usaha itu. Kok kamu malah mengelak. Malu dong ibu.”

“Salah ibu sendiri juga, kalau benar, bapak kemudian ingin menyuruh Karina kuliah, mampus lah aku.”

“Apa susahnya kuliah sih? Sama saja seperti sekolah, hanya jenjangnya lebih tinggi, lebih keren, lebih terhormat.”

“Ibu tidak pernah kuliah, mana bisa bicara tentang kuliah. Kuliah bukan menjadi keren kalau Karina tak bernafsu untuk kuliah, Males banget mikir segala macam pelajaran. Lebih enak cari duit, tiap bulan bisa jalan-jalan dengan uang sendiri.”

“Dasar kamu itu tak punya derajat dan martabat. Maunya jalan-jalan dengan uang kamu yang ngga seberapa itu?”

“Tapi Karina ogah mikir yang berat-berat bu, capek.”

“Dengar ya, kalau nanti Nurani benar-benar menguasai usaha bapak kamu, baru kamu tahu rasa.”

“Bapak bilang belum tentu kan? Masih nanti kan? Dan perkataan ‘nanti’ itu banyak punya arti, banyak yang akan bisa terjadi.”

“Apa maksudmu?”

“Kalau Bapak ingin mengangkat derajat Nurani dari pembantu penjadi pengusaha, bukankah ada banyak cara untuk menggagalkannya? Ibu tidak bodoh kan?”

“Apa?”

Bu Candra membelalakkan matanya. Kata-kata Karina tiba-tiba menciptakan akal-akal yang mungkin juga tak masuk akal, tapi akan dilaksanakannya. Menghalangi Nurani menjadi maju dan berhasil, apa susahnya? Senyum bu Candra melebar. Ia menepuk lengan anaknya, kemudian keluar dari kamarnya.

***

Hari-hari terus berlalu. Dan setiap pagi buta  pak Candra selalu mengikuti istrinya bangun.  Istrinya tidak lagi tidur di sofa setelah ketahuan beberapa hari yang lalu, tapi langsung ke dapur. Nurani sudah sibuk membuat minuman hangat, dimasukkan ke termos seperti biasanya.

“Ibu mau minum?” tanyanya, tanpa menunggu jawaban kemudian menuangkannya di sebuah cangkir, lalu diletakkannya di nampan. Maksudnya mau dibawa ke ruang tengah, tapi bu Candra menggoyang-goyangkan tangannya.

“Taruh disini saja. Aku minum di sini,” perintahnya.

Nurani meletakkan cangkirnya di meja dapur, tepat di hadapan ibunya, yang kemudian dengan nikmat meminumnya, seteguk demi seteguk, sampai habis.

Nurani mengambil cangkir yang telah kosong, dan melihat kepala ibunya lunglai di atas meja. Terlelap dengan dengkuran khas, seperti biasanya.

Nurani tersenyum tipis, melanjutkan pekerjaannya membuat sarapan, lalu memasak untuk makan siang nanti.

Tanpa diketahui Nurani, pak Candra berdiri di depan pintu dapur, bersedekap sambil tersenyum simpul.

Tiba-tiba tertangkap olehnya bayangan bapaknya, dan terkejut menyadari, bahwa tampaknya sang bapak sudah lama berdiri di sana.

“Bapak sudah bangun?”

“Ya sudah, kalau belum, masa bisa berdiri di sini?”

“Minum ya Pak?” kata Nurani sambil menuangkan secangkir susu coklat untuk ayahnya.

“Aku tidak mau lagi,” tiba-tiba terdengar bu Candra mengigau, lalu mengangkat kepalanya sebentar, mengusap salivanya, lalu menjatuhkannya lagi di meja.

Pak Candra terkekeh lucu, Nurani menutup wajahnya, sambil meletakkan cangkir di atas meja dapur, karena ayahnya yang memintanya.

Bu Candra terkejut, karena tawa pak Candra sangat keras.

“Bapak?”

Pak Candra tak melihat ke arahnya, menyeruput minuman hangatnya dengan nikmat.

“Kok Bapak ada di sini? Ini tadi aku …

“Aduh, Nurani selalu begitu deh. Ibu tuh akhir-akhir ini kalau bangun kepagian selalu saja pusing, dan ibu hanya minta waktu sedikit untuk merebahkan kepala, lalu minta agar kamu membangunkannya. Kenapa kamu selalu tak mau melakukannya Nur? Ibu khawatir kamu nanti kecapekan. Kan kamu harus sekolah?” kata bu Candra sambil berdiri, berjalan ke arah kompor, dimana sayur sedang dimasak.

“Mana untuk sarapan? Biar ibu saja,” katanya.

“Sudah Nurani tata di meja makan, Bu.”

“Ya ampun, kamu selalu begitu sih Nur. Ibu selalu bilang, bangunin … bangunin … hanya tidur sebentar saja kok. Tapi kamu tidak pernah mau melakukannya.”

“Tidak apa-apa Bu, sudah selesai semuanya kok.”

Pak Candra menghabiskan susu coklatnya di meja dapur itu juga, kemudian berdiri dan beranjak ke kamar.

Bu Candra mengikutinya.

“Kalau Bapak mau mandi, biar ibu siapkan baju gantinya, soalnya pekerjaan di belakang sudah selesai semua.”

“Setiap hari selalu sudah selesai semua kan? Tanpa campur tangan kamu?”

“Akhir-akhir ini ibu memang sering pusing dan cepat lelah. Nanti sore mau ke dokter saja untuk periksa. Bapak mau mengantarkannya?”

“Nanti aku pulang lebih malam, ada meeting dengan kient jam lima sore.”

“Ya sudah, apa Karina ikut meeting?”

“Tidak, ini urusan bisnis, mana Karina tahu?”

“Kalau begitu aku ke dokter sama Karina saja.”

“Terserah ibu saja.”

***

Sebenarnya bu Candra memang agak kesal, karena akhir-akhir ini ia hampir tak punya waktu untuk membentak-bentak Nurani, sekedar melampiaskan rasa tidak senangnya saja. Kalau pagi, ada suaminya dan Rian yang pasti melindunginya, lalu setelah itu Nurani pergi sekolah. Sore, apalagi, suaminya sudah ada di rumahnya kembali. Ditambah keinginan suaminya untuk menjadikan Nurani pewaris kerajaan bisnisnya? Tidak. Jangan sampai hal itu terjadi.

Setiap saat selalu dicarinya akal agar membuat Nurani tersingkir. Tapi dia belum juga menemukan cara itu.

Beberap hari lagi Nurani akan menjalani ujian kenaikan kelas. Ayahnya sudah melarang agar Nurani tak usah mengurusi urusan rumah tangga, termasuk memasak dan membuat sarapan, tapi Nurani memaksanya. Tak enak rasanya, meninggalkan pekerjaan rumah dengan alasan mau ujian. Semua itu adalah kewajibannya bukan?

Sore itu bu Candra mengajak Karina untuk keluar, dengan alasan pergi ke dokter. Tapi ternyata keduanya sedang membuat rencana jahat, entah rencana apa.

“Ibu dan Karina ke mana?” tanya Rian yang baru pulang kuliah saat sore.

“Kalau tidak salah, mau ke dokter,” jawab Nurani.

“Siapa yang sakit?”

“Kalau tidak salah, ibu.”

“Dari tadi kalau tidak salah … kalau tidak salah … ?”

Nurani tertawa sambil menutupi mulutnya.

“Soalnya aku hanya mendengar percakapan mereka, mereka tidak bilang langsung sama aku.”

“O, gitu. Tapi ngomong-ngomong kalau tertawa nggak usah ditutupin kenapa sih? Biarkan saja kelihatan gingsulnya.”

“Hiih, kalau tertawanya terlalu lebar ya malu ah Mas.”

“Tadi tertawa lebar ya?”

“Iya, habisnya Mas Rian ngomongnya lucu.”

“Kok tumben Bapak juga belum pulang?”

“Kalau itu aku tahu, karena bapak bicara sama aku, bahwa hari ini pulang agak sorean, ada meeting, begitu.”

“Ya sudah, kenapa kamu nggak belajar? Bukankah sebentar lagi mau ujian?”

“Iya, baru selesai manasin sayur, habis ini mau belajar.”

“Apa ada kesulitan? Mungkin aku bisa membantu?”

“Mas Rian sudah membantu banyak. Kan hampir semua buku-buku aku, mas Rian yang memberi. Dan aku bisa kok belajar dari buku-buku itu.”

“Kamu memang hebat Nur. Aku setuju kalau besok kamu bisa meneruskan usaha bapak. Kamu pasti bisa.”

“Eh, enak saja. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana sulitnya memimpin sebuah perusahaan. “

“Karena kamu belum terbiasa.”

“Dan itu masih lama kan?”

“Kalau kamu bisa segera menyelesaikan SMA kamu dengan cepat, lalu kuliah dengan lancar, waktu itu tak akan lama.”

“Menurutku lebih baik mas Rian saja. Tampaknya ibu dan Karina tak suka kalau aku yang membantu bapak di perusahaan.”

“Mengapa peduli sama ibu dan Karina? Mereka sama sekali tak mengerti bagaimana menjadi pengusaha. Dikiranya hanya duduk di kursi, tanda tangan, dihormati, uangnya banyak. Selesai. Padahal begitu rumit. Kalau salah langkah, usaha bisa hancur.”

“Tuh, mas Rian menakut-nakuti aku.”

“Tapi kalau kamu bersungguh-sungguh mengelolanya, mengerti bagaimana dan apa yang harus kamu lakukan, kamu pasti bisa. Caranya bagaimana? Belajar dan mempelajari semuanya. Nanti kamu akan suka. Percayalah.”

“Entahlah, aku tidak bisa membayangkannya sekarang.”

“Jangan kamu bayangkan sekarang. Lebih baik bayangkan soal-soal ujian kenaikan kelas yang akan kamu hadapi. Aku mendukung kamu. Kamu pasti bisa.”

Nurani tersenyum lebar, alangkah bahagia rasanya saat bercanda dan berbincang bersama kakak tirinya yang satu ini.

***

Menjelang malam pak Candra baru pulang. Ternyata dia tidak sendiri, tapi bersama Andre. Pak Candra yang meminta Andre mampir dulu ke rumah, sekedar untuk minum segelas susu coklat panas atau kopi.

“Ayo duduklah Andre,” katanya mempersilakan Andre duduk di ruang tamu.

“Nurani, buatkan minum untuk Andre!” teriaknya kemudian kepada Nurani.

Nurani yang masih ada di dalam kamarnya, bergegas keluar. Tapi tiba-tiba Karina hampir menabraknya.

“Biar aku saja. Bukankah kamu harus belajar?” katanya sambil mendorong Nurani masuk kembali ke kamarnya. Nurani mengangguk, lalu masuk dan kembali menutup pintu kamarnya.

“Andre mau kopi manis ya, aku juga, dikasih susu sedikit nggak apa-apa,” pak Candra berteriak lagi.

Tak lama kemudian Karina keluar, membawa nampan berisi dua cangkir minuman, yang satu kopi susu untuk bapaknya, satunya kopi hitam untuk Andre.

“Kok kamu yang buat minuman, Karina? Nurani mana?”

“Lagi belajar Pak, kasihan. Karina kan juga bisa.”

“Baiklah, tidak apa-apa. Ayo Ndre diminum dulu,” kata pak Candra mempersilakan. Tapi ketika keduanya hampir sama-sama menyeruput minumannya, tiba-tiba mereka menyemburkannya lalu meleletkan lidahnya.

Karina terkejut.

“Karin, apa yang kamu masukkan ke dalam cangkir ini tadi?”

“Kopi, gula, untuk bapak sedikit susu,” jawabnya tanpa dosa.”

“Rasain ini. Coba rasain. Cepat.” Perintah pak Candra.

Karina menerima cangkir yang diulurkan pak Candra, kamudian menyeruputnya perlahan. Kemudian dia juga menyemburkannya keluar.

“Kok asin?” katanya sambil nyengir.

“Kalau yang masuk gula, pasti manis. Rupanya kamu belum hapal letak bumbu-bumbu dan bahan minuman di dapur. Nuraniii” teriaknya kemudian kepada Nurani.

Nurani muncul, dengan heran melihat Karina masih memegangi cangkir.

“Kenapa?” tanya Nurani.

“Kalau naruh garam yang bener dong,” hardiknya kemudian menyodorkan cangkir berisi minuman ke hadapan Nurani, membuat sebagian minuman itu menumpahin baju Nurani.

“Ya ampuun, anak itu,” Nurani menatap Karina yang beranjak ke dalam, dengan wajah merah padam.

***

Nurani bangun sangat pagi, selalu begitu. Dia juga selalu meneguk segelas air putih sebelum beraktifitas. Pagi itu ia melihat air putih sudah siap di atas meja di depan kamarnya. Nurani tersenyum. Barangkali dia lupa semalam telah menyiapkannya. Ia duduk, kemudian bermaksud meraih gelas air putih itu. Tiba-tiba dilihatnya sesuatu yang berkilat-kilat, menyembul sedikit dari balik taplak mejanya.

***

Besok lagi ya.

37 comments:

  1. 🌻🦋🍃 Alhamdulillah KBE 07 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋⚘

    ReplyDelete
  2. Aku ora melu balapan mung dadi suportere, terus ngedit

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 07 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . .

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu. Salam *ADUHAI*

    ReplyDelete
  6. Oh Bu Chandra yg serakah
    Tunggu yah saatnya tiba ambisi itu akan sirna seiring berjalannya waktu

    Ok deh kita tunggu lanjutannya aj bsk

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku ttp semangat dan ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
  7. Waduh, nurani mau diracun. Oleh siapa yah?
    Terima kasih banyak mbak Tien. Didoakan semoga mbak Tien dan keluarga sehat selalu. Amin.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  10. Ibu tiri yg jahat...trims Bu tien

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah KBE 07 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  12. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto,

    ReplyDelete
  13. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete

  14. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~07 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang.

    ReplyDelete
  16. Selamat malam bu Tien...semoga sehat selalu...maturnuwun cerbung KBEnya..🙏👍🌹

    ReplyDelete
  17. Rupanya Karina sama emaknya pergi ke dukun; diberi kecoak sama mbah Kliwon.
    Biar kaget gitu, kok nggak jijik ya, kan berteman, apalagi di tempelin isolasi jadi bisa buat kejutan. Biar heboh gitu kalau ada sedikit salah kan ada alasan untuk teriak memarahi Nurani.
    Kok segitunya ya, emang ibu tiri ulahnya pakai ekstrem gitu.
    Beda ibu kandung dikasihnya es krim, pasti.
    Tapi nggak kaget juga tuh.
    Kan selalu teliti, lah tinggal dijepit pakai pinset, buang ketempat asalnya, beres deh.
    Aneh aja ada binatang; bisa bisanya menempelkan isolasi sendiri.
    Geli juga ulah Karina ngerebut mau cari muka didepan Andre malah kacau tuh, nggak pernah kedapur, nggak ngerti tekstur gula pasir gimana, garam gimana, sama seperti biyungnya.
    Maunya jalan pintas.
    Mulai persaingan tidak sehat untuk ngaco Nurani.
    Terus yang bangun pagi, ada yang ngikut bangun nggak.
    Kan habis meeting sama rekanan, pulang malem, capek deh.

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke tujuh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pak Nanang..bisikin dong pa chandra..
      Jangan selalu percaya ke Amirah gitu ya ...
      Biar kapok tuh Amirah dan Karina..

      Delete
  18. Apa tuh yg berkilat dibawah taplak meja?
    Maturnuwun ibu Tien, semoga sehat dan sukses selalu

    ReplyDelete
  19. Ternyata langkah pertama adalah sabotase, mungkin dari minuman. Dasar otak tidak waras.
    Nurani harus selalu waspada, meski 'pencuri selalu menunggu calon korban lengah ' .
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  20. Semakin seruu ceritanya.
    Makasih mba Tien

    ReplyDelete
  21. Aduh jahat ya ibu Tiri duh ...trim bu Tien ...konflik2 trus

    ReplyDelete
  22. Alhamdulilah...Nurani sdh hadir..
    Apa yg berkilat kilat di balik taplak meja dekat gelas berisi air putih yg akan diminum Nurani?
    Siapa yg menyiapkan?... takutnya itu rencana ibu tiri yg jahat..
    Tambah penasaran.. Bsk lg..

    Tks bunda Tien.. Semoga sehat" selalu..
    Salam aduhaaii dr Sukabumi

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah. Matursuwun Bu Tien, semoga sehat dan sukses selalu

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien ,salam sehat wal'afiat untuk semua

    Tdk semua ibu Tiri jahat banyak yg sangat sayang melebihi ibu kandung,,,
    Ditunggu cerita selanjutnya ,,adu hai 🤗🥰

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ibu tiri dlm cerita ini mbah put.. Maaf.. Jd tambah penasaran hehe...

      Delete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 13

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  13 (Tien Kumalasari)   Arumi heran melihat sikap Bachtiar yang kelihatan tidak suka. Ia mengira, Bachtiar ti...