JANGAN BAWA CINTAKU 16
(Tien Kumalasari)
“Mas… maaas..” Rina menggoyang-goyang tubuh suaminya yang diam tapi tubuhnya menggigil.
Rina mengambil selimut, diselimutkannya dari kaki sampai ke dadanya. Tapi tampaknya kurang tebal, Rina membuka almari, mengambil lagi selimut yang lebih tebal, diselimutkannya lagi. Lalu diambilnya guling, diletakkannya disebelah kiri dan kanan suaminya.
“Maas…” bisik Rina.
Lalu Rina menelungkupkan tubuhnya didada suaminya, agar merasa lebih hangat. Leo masih menggigil, tapi sudah berkurang. Dibukanya matanya, dilihatnya Rina menelungkup didadanya. Leo mendorongnya pelan.
“Mas, badan kamu panas.. ayo ke dokter.”
“Tidak, aku mau obat turun panas saja,” katanya lirih.
Rina kebelakang, menyeduh teh hangat, dan mengambil obat, sambil menelpon dokter Puji, langganan keluarganya.
Ia kemudian meminumkan itu, dan Leo kembali berbaring. Rina membetulkan selimutnya.
“Ikaaa…”
Rina yang sudah mau keluar berhenti melangkah. Dilihatnya suaminya memejamkan matanya. Hatinya teriris mendengar suaminya membisikkan nama Ika. Ditahannya kesal yang menghantam dadanya, mengingat suaminya yang sedang sakit.
Ketika ia keluar dari kamar, ia mendengar suara mobil memasuki halaman. Rina menengoknya, dan melihat dokter Puji sudah datang.
“Kenapa pak Leo?”
“Silahkan dokter melihatnya, badannya panas sekali, sampai menggigil.”
Rina mengajaknya memasuki kamar Leo.
“Kenapa pak Leo?” sapa dokter Puji sambil duduk di kursi yang disediakan Rina.
Leo diam saja ketika dokter memeriksanya.
“Benar, panas sekali. Sudah minum obat ?”
“Baru saja minum obat turun panas dok, ini obatnya..” sela Rina sambil menunjukkan sisa obat yang tadi diberikan.
“Baiklah, saya akan memberikan obat tambahan. Tapi kalau sampai sore juga panasnya muncul lagi, sebaiknya periksa ke laborat, saya akan memberikan pengantarnya.”
“Baiklah dok, terimakasih banyak.”
Leo tak banyak membantah, ia masih merasa seperti menggigil. Rina kembali membetulkan letak selimutnya lalu mengantarkan dokternya keluar.
“Apakah sakitnya berat?” tanya Rina sebelum dokternya pergi.
“Semoga saja tidak, tapi panasnya sangat tinggi. Itu sebabnya saya minta agar periksa laborat kalau sampai nanti panasnya tidak juga turun.”
Ketika kembali ke kamar, dilihatya Leo memejamkan mata. Rina memegang keningnya, dan merasa panasnya belum juga turun.
“Mas, aku mau ke apotik sebentar untuk mengambil obatnya.”
Leo tak menjawab, tapi Rina langsung keluar dari kamar, dan pergi ke apotik.
***
Disepanjang perjalanan Rina merasa sedih. Ia mengasihani suaminya dan mengasihinya pasti, tapi sikap Leo selalu menyakitkan. Ia juga khawatir ketika suaminya sakit, tapi perhatian yang ditunjukkannya sama sekali tak bisa meluluhkan hati suaminya.
“Baiklah, barangkali aku kurang sabar dan kurang lembut menghadapinya, seperti kata ibu, semuanya harus dihadapi dengan kelembutan. Biar hati kesal mungkin aku harus lebih bersabar.”
“Ia baru saja turun dari mobil setelah sampai di apotik, ketika seseorang tiba-tiba sudah berhenti didepannya.
“Rina !”
“Ya ampun Bas, kamu membuat aku kaget,” omel Rina ketika melihat Baskoro.
Baskoro tersenyum lebar. Rina mengakui Baskoro masih seganteng dulu, walau badannya agak kurus. Tapi cinta untuk Baskoro sudah ditutupnya. Ada sebuah pengabdian yang harus digenggamnya erat, pengabdian kepada suami dan keluarganya.
“Siapa yang sakit?” tanya Baskoro sambil mengiringi masuk ke dalam apotik.
“Mas Leo, tadi badannya panas sekali. Kamu ngapain ke apotik?”
“Biasa, aku tuh harus minum obat rutin, kalau nggak aku bisa cepet mati,” kata Baskoro seenaknya.
“Iih, ngomong seenaknya.”
Dua-duanya menyerahkan resep ke loket penerimaan resep, lalu menunggu sambil duduk di kursi tunggu.
“Leo sakit apa? Sakit hati ‘kali..” kata Baskoro.
“Ketika aku pulang, badannya panas sekali, sampai menggigil, lalu aku panggil dokter. Nanti kalau masih panas juga harus periksa laborat segala. Aku nggak yakin mas Leo akan mau, susah dia itu kalau disuruh periksa-periksa.”
“Laborat kan bisa dipanggil ke rumah, kalau sudah di rumah mana bisa bilang nggak mau.”
“Iya, kamu benar. Tadi aku juga memanggil dokternya tanpa bilang terlebih dulu, so’alnya ketika bilang dia jawabnya nggak mau.”
“Bagus, ada cara untuk memaksa.”
“Kamu sakit apa?”
“Depresi..”
“Apa?”
“Kalau nggak minum obat aku seperti orang bingung..”
“Bas, apa yang terjadi sama kamu? Terima hidup ini dengan sabar, ikhlas, kalau tidak, bisa memicu penyakit.”
“Ngomong itu gampang..”
“Aku tahu.. tapi kamu harus mencobanya.”
“Sudah aku coba.. hasilnya apa.. ini.. seperti aku ini. Aku nggak pernah bisa tidur nyenyak tanpa obat.”
“Itu ketergantungan. Cobalah mengurangi dari sedikit Bas. Sayangi hidupmu.”
“Sayangnya sama kamu.”
“Jangan begitu Bas. Cinta tidak harus memiliki. Kalau kamu memang cinta sama seseorang, kamu harus bahagia melihat dia bahagia.”
“Itu adanya di cerita-cerita. “
“Jangan begitu Bas.. kita bisa menjalani kok.”
“Bp. Leo Ardiansyah.. “ petugas apotik memanggil, lalu Rina bergegas ke loket.
Baskoro termenung ditempatnya. Rina bukan wanita sembarangan. Dia sangat mencintai keluarganya. Tak mungkin bisa diraihnya lagi. Ada sakit mengiris, karena begitu susah Baskoro melupakannya.
“Bp. Baskoro,” petugas apotik memanggil lagi, pertanda obat untuk Baskoro juga sudah disiapkan.
Ketika keluar dari apotik, keduanya berjalan beriringan.
“Aku pulang ya Bas, salam untuk mbak Risma.”
Baskoro mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
“Cepatlah sembuh, jangan tergantung obat-obatan ya..” pesan Rina sambil tersenyum. Dan senyuman itu tak pernah bisa dilupakan Baskoro.
***
Rina memacu mobilnya, ingin segera meminumkan obat untuk suaminya.
Ketika memasuki kamar, dilihatnya Leo masih terbaring, tapi selimutnya sudah tersingkap. Rina memegang tangannya, sudah berkeringat, jadi tidak lagi panas seperti tadi. Rina menghela nafas lega. Diletakkannya dua macam obat yang baru saja dibelinya, lalu dia mengganti bajunya.
Rina kebelakang, membuatkan lagi minum untuk suaminya, lalu membawanya ke kamar.
“Mas, maukah makan dulu , lalu minum obatnya?”
“Nggak usah, aku sudah sembuh. Tadi bisa berjalan kekamar mandi sendiri.”
“Jangan begitu mas. Ini obat yang diberikan dokter tadi. Mas harus meminumnya.”
“Lihat saja, aku sudah sembuh, tidak panas lagi,” kata Leo dengan nada kesal.
“Ya sudah, makan saja dulu ya, tadi aku beli sup di jalan, karena aku belum sempat masak.”
“Kamu kan tahu bahwa aku nggak suka makan makanan dari luar ?”
“Baiklah, kalau begitu biar aku masak sebentar untuk mas,” kata Rina sambil beranjak keluar dari kamar. Leo membalikkan tubuhnya menghadap dinding, sambil memeluk guling.
Rina berkutat didapur, memasak sup ayam untuk suaminya. Ia menahan rasa kesal yang sudah mulai menyesak dadanya.
“Sabaaar.. sabaaar…” desisnya sambil mengaduk sayur yang sudah dibumbuinya.
Lalu dia menyiapkan mangkuk untuk wadah sayur, sepiring nasi yang hangat, lalu dibawanya kembali ke kamar. Leo masih tidur miring menghadap dinding.
“Mas, makan dulu ya.. lalu minum obatnya, biar benar-benar sehat.”
Tapi Leo tak bergerak, pura-pura tidur atau tidur beneran, entahlah.
Rina keluar dari kamar setelah meletakkan nampan berisi makanan dimeja, lalu kembali ke dapur.
Ia duduk di kursi dan merasa sangat lelah. Bukan hanya raganya, juga jiwanya. Batinnya menimbang-nimbang, apakah ia akan mengatakan tentang pertemuannya dengan Ika, atau merahasiakannya demi memenuhi permintaan Ika. Barangkali kalau dia mengatakannya, amarah Leo akan reda, tapi dia pasti akan segera ingin menemui Ika, lalu bagaimana dengan dirinya? Tampaknya Leo sangat mencintai Ika, dan tak peduli dengannya.
“Dia suami kamu, pertahankan itu. Jangan biarkan orang lain mengambilnya.”
Itu pesan ibunya, bagaimana dia harus melakukannya? Leo hanya mengingat Ika, bahkan dalam mengigaupun nama Ika yang disebutnya. Mestinya Rina sakit hati, dan memang sakit. Adakah seorang isteri yang rela suaminya menyukai perempuan lain?
Sesa’at ingin sekali dia mengamuk. Membanting apa saja yang ada didekatnya. Mengobrak-abrik semua tatanan rapi diruangan itu, agar kesal dan amarahnya terobati. Tapi tidak, Rina seorang wanita yang penyabar, dan bisa mengendalikan dirinya sebegitu rupa, sehingga kemarahan tak harus terlampiaskan dengan tindakan brutal.
Rina menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan, ditariknya lagi dan dihembuskannya lagi, itu dilakukannya berkali-kali.
“Semua kebaikan aku, sikap lembut dan penuh perhatian yang aku lakukan, sama sekali tidak bisa meluluhkan hatinya,” keluh Rina sambil menopang kepalanya dengan kedua tangan, yang ditumpukannya diatas meja. Matanya berlinang, lalu bergulir bagai alir sungai bening, membasahi pipinya.. Dan Rina membiarkannya.
Dibiarkannya air matanya terus mengalir, sehingga membasahi meja. Rina tak ingin mengusapnya. dan tangisan itu kemudian menjadi isak yang tersendat karena tangis itu ditahannya.
Lalu tiba-tiba didengarnya Leo terbatuk-batuk, keras dan lama. Rina ingin membiarkannya, tapi lagi-lagi tak tega.
Ia mengusap air matanya kemudian berjalan ke kamar.
Dilihatnya Leo telah duduk ditepi pembaringan, dan masih juga terbatuk-batuk. Rina mendekat, lalu mengulurkan air minum kearahnya. Kali ini Leo menerimanya, dan meneguknya habis. Rina menerima gelas kosong yang diulurkan Leo, meletakkannya dimeja, kemudian dia mengambil obat gosok di laci dekat almari, digosokkannya ke punggung suaminya, dan juga dadanya. Leo masih terbatuk-batuk, walau sudah berkurang. Tapi Rina agak khawatir, karena ketika menggosok itu ia merasa tubuh Leo kembali panas.
“Mas, mas tidak mau minum obatnya sih, badan mas panas lagi.”
Leo tak menjawab, tapi merebahkan tubuhnya kembali ke ranjang. Rina menyelimutinya.
“Makan ya mas, sedikit juga nggak apa-apa, setelah itu minum obatnya.
Leo tak menjawab.
“Ini bukan penyakit biasa mas, jangan merasa biasa-biasa saja. Menurutlah apa kata dokter. Biar aku suapin ya.”
“Nggak mau..” katanya lemah.
“Mas harus periksa ke laborat..”
“Nggak usaaah… nggak mau,” kali ini walau lemah tapi suaranya agak keras. Rina ingat apa yang dikatakan Baskoro. Petugas laborat bisa dipanggilnya datang ke rumah. Hanya itu satu-satunya cara.
Rina keluar dari kamar dan mengambil surat pengantar dokter yang tadi diberikannya. Ada nomor kontak laboratorium yang dimaksud.
Setelah pihak laborat menyanggupinya, Rina kembali masuk ke kamar. Leo tidur meringkuk, kembali dia menggigil.
Rina cemas sekali.
Ia mengambil sup yang tadi dihidangkan dimeja dan sudah dingin, membawanya ke belakang untuk dipanaskan.
“Aku akan mencobanya sekali lagi, membujuknya agar dia mau makan dan minum obatnya.”
Rina kembali ke kamar dengan membawa nasi dan sup yang sudah hangat.
“Mas harus makan. Setelah itu minum obat. Kalau mas tidak menurut, aku akan menelpon rumah sakit agar mas dirawat,” katanya tandas.
“Sedikit saja..” kali ini ia menjawab.
Rina mendekat, menumpuk satu bantal lagi agar kepala Leo terletak agak tinggi. Perlahan dia menyendokkan nasi dan sup hangat.
Rina merasa lega Leo mau menerimanya. Tapi baru tiga suap, Leo sudah menggoyang-goyangkan tangannya.
“Satu lagi ya?”
Leo menggeleng.
“Ya sudah, minum dulu obatnya.”
Rina meminumkan dua butir obat yang tadi diambilnya dari apotik. Lega rasanya karena Leo mau meminumnya. Lalu Leo kembali meringkuk, dan Rina membetulkan selimutnya.
Ketika Rina keluar dari kamar, didengarnya bel tamu berdering, dan dari pintu kaca rumahnya, Rina tahu bahwa ternyata petugas laborat yang datang.
Rina meletakkan nampan yang dibawanya diatas meja terdekat, lalu bergegas membuka pintu.
“Dari laborat ya? Ayo silahkan masuk.”
Leo ingin memprotes, tapi sungkan karena petugas sudah mengeluarkan alat-alatnya. Ia hanya mengambil darah Leo, kemudian pergi. Hasilnya akan dikirim secepatnya.
“Mengapa sih, pakai memanggil petugas laborat segala. Sepertinya aku ini sakit parah."
“Kalau tidak begitu, mana mau mas aku ajak pergi ke laborat,” omel Rina yang mulai ingin menumpahkan kekesalannya.
“Aku sakit parah kah ?”
“Sangat parah. Coba, sekarang mas panas lagi kan ?” kata Rina yang kembali membetulkan selimut suaminya lalu keluar dari kamar.
Leo kembali tidur meringkuk. Memang benar, ia mulai menggigil lagi.
“Apa aku kelamaan mengguyur tubuhku tadi ?” pikir Leo sambil mendekap guling untuk mengurangi rasa dingin yang mulai kembali menggigit.
***
Pagi itu Rina menemui dokter untuk menyerahkan hasil lab suaminya. Hasilnya sangat membuatnya sedih.
Radang tenggorokan yang parah. Dan itu sangat menular.
“Kalau bu Leo tidak keberatan, saran saya adalah lebih baik pak Leo dirawat. Apalagi pak Leo punya anak kecil. Kemungkinan menular sangat besar. Apalagi saya juga mencurigai adanya penyakit lain yang serius. Tapi harus ada pemeriksaan lebih lanjut.”
Rina pulang ke rumah dengan tubuh terasa lemas. Apalagi ketika Leo enggan dirawat dirumah sakit.
“Aku nggak mau.”
“Mas, kalau mas tetap dirawat dirumah, sementara ada Dina, aku khawatir Dina akan ketularan juga.”
“Dimana Dina, aku tidak melihatnya sejak kemarin..”
O, jadi Leo tidak memperhatikan bahwa anaknya sejak kemarin tak ada dirumah.
“Dia ada dirumah ibu.”
“Bagus, biarkan dia disana dulu, tak akan ketularan.”
“Tapi kalau dirumah sakit kan ada penanganan yang serius, lalu penyakit apa yang diderita mas bisa ketahuan, sehingga jelas juga pengobatannya,” bujuk Rina.
“Aku tidak mau, pokoknya tidak mau,” kata Leo sambil membelakangi isterinya.
Rina menghela nafas sedih. Leo bukan anak kecil yang kalau membangkang bisa digendong paksa lalu langsung dibawa.
Kalau benar sakit suaminya serius, apa yang bisa dilakukannya?
***
“Mengapa bu Rina belum datang kemari bu?” tanya Dian kepada ibunya.
Ika tahu, pasti Dian sangat ingin ketemu Dina. Apalagi kemarin Rina menjanjikan akan mengajaknya bertemu Dina.
“Jam berapa ya, kira-kira bu Rina datang ?”
“Ibu tidak tahu nak, mungkin bu Rina masih sibuk memasak atau apa, sehingga tidak bisa buru-buru datang.”
“Iya juga ya.”
“Sekarang ayo bantu ibu dulu menata kamar. Kasurnya belum dialasi, kamu bisa kan?” kata Ika untuk membuat agar Dian bisa menghabiskan waktu menunggu sambil melakukan sesuatu.
“Baiklah,” kata Dian sambil menerima sarung bantal yang diulurkan ibunya. Tapi dalam memasang sarung bantal dan guling serta mengalasi kasur itu ingatannya akan bu Rina terus membayanginya. Sudah beberapa hari tidak ketemu Dina, dan Dian ingin sekali bertemu serta bercanda. Dina cantik dan lucu, selalu membuatnya tertawa. Ia ingat ketika Dina selalu memaksa memberikan separuh roti agar dia mau menerimanya.
Tapi ketika sampai lewat tengah hari bu Rina tidak juga datang, sementara kamar sudah selesai ditatanya, Dian kembali gelisah.
“Mungkin bu Rina hanya ingin menyenangkan aku saja, tidak sungguh-sungguh ingin mengajak aku,” omelnya.
Ketika ponsel ibunya berdering, Dian lari mendekati. Ia mengira itu dari bu Rina, padahal ibunya tidak pernah memberikan nomor kontaknya.
Dian mencari ibunya, rupanya ibunya baru ada di kamar mandi. Karena telpon berdering terus, Dian mengangkatnya, tanpa membaca siapa penelpon itu.
“Hallo…”
“Hallo, ini Dian kan?”
“Siapa ya?”
“Yaaah, Dian sudah lupa sama om Broto ya?”
“Oh, iya om.. ma’af, ibu baru ada di kamar mandi.”
“Ya sudah tidak apa-apa. Bagaimana rumahnya? Sudah rapi ?”
“Kemarin tukang yang mengecat rumah juga membantu mengangkat barang-barang, lalu ibu menatanya. Sekarang sudah rapi.”
“Syukurlah, om ingin membantu, tapi om tidak bisa meninggalkan pekerjaan om.”
“Telpon dari siapa Dian?”
“Oh, itu ibu. Ini bu.. dari om Broto.”
“Mas Broto ?” sapa Ika ketika menerima ponselnya.
“mBak Ika, apa kabar, rumahnya sudah rapi?”
“Lumayan rapi mas, tinggal membenahi disana- sini, kan tidak banyak barang yang saya bawa.”
“Syukurlah. Setelah ini mbak Ika masih mau melanjutkan jualan?”
“Iya lah mas, kalau tidak begitu bagaimana saya bisa memberi makan dan menyekolahkan Dian?”
“mBak Ika hebat. Bolehkah Dian bersekolah di Jakarta?”
“Apa?” tanya Ika terkejut.
“Kalau mau sih..”
“Kalau Dian ke Jakarta, saya sama siapa dong? Mas Broto ada-ada saja, saya kan tidak bisa berpisah dari Dian.”
“Bagaimana kalau sama ibunya sekalian?”
“Apa ?”
“Saya serius, sangat serius.”
***
Besok lagi ya