Monday, November 30, 2020

SANG PUTRI 08

SANG PUTRI  08

(Tien Kumalasari)

 

Mata menyala itu mendekat kearah bangku, membuat Hndoko terkejut, Mirah gemetaran melihat mata yang. tampak bagai memancarkan api itu.

“Oh.. begini rupanya..?” katanya sambil telunjuknya menunjuk kearah hidung Mirah.”

“Lupi, duduk dan bicara pelan..” tegur Handoko yang merasa sungkan karena beberapa orang mulai memandang kearahnya.

“Mana mungkin aku bisa bicara pelan? Aku sangat marah. Begundal ini telah menginjak-injak rumah tanggaku.”

Handoko sangat marah mendengar Palupi seperti juga Danang menyebut Mirah sebagai begundal.

“Dia bukan begundal,” katanya tandas, tapi pelan.

“Jadi apa? Calon isteri muda kamu?”

“Ya !” Handoko menjawab singkat. Lalu diulurkannya beberapa lembar uang kepada Mirah.

“Rah, tolong dibayarkan ke kasir, berikut yang harus kita bawa.”

Mirah mengangkat Bintang dari kursinya, lalu berjalan kearah kasir.

Handoko mengambil ponselnya dan memanggil taksi.

Palupi bertambah naik pitam.

“Jadi benar, dia akan kamu jadikan isteri muda kamu?”

“Apa kamu tidak mendengarnya? Kurang jelas ?”

“Setan alas itu harus dilenyapkan.”

Wajah Palupi semakin merah padam, Handoko merasa merinding. Itu seperti bukan Palupi yang dikenalnya, yang pernah dicintainya bahkan sampai beberapa bulan terakhir, yang kemudian lenyap tanpa bekas karena sikap dan ulahnya.

Handoko berdiri, mengambil kruknya, lalu melangkah keluar. Dilihatnya Mirah sudah sampai diluar rumah makan itu.

Namun tanpa diduga Palupi memburunya, dan menjambak rambut Mirah sehingga kepala Mirah tertarik kebelakang.

“Augh..” pekik Mirah, sementara Bintang yang semula diam kemudian menangis keras. Handoko marah bukan alang kepalang. Diayunkannya tongkat yang dipakainya kearah tubuh Palupi, membuatnya terhuyung dan  terjatuh, tapi Handoko sendiri juga terhuyung dan beruntung bisa bersandar pada tubuh Mirah yang berada didekatnya.

“Mirah, itu taksinya sudah datang, cepat masuk,” kata Handoko yang kemudian juga bersiap masuk kedalam taksi.

Palupi yang sudah bangkit berusaha menarik tangan Mirah yang sudah hampir masuk kedalam taksi, tapi Handoko menghalanginya dengan tongkatnya. Handoko sendiri hampir saja terjatuh kalau saja tubuhnya tidak bersandar pada badan taksi itu.

Palupi lupa segala-galanya, ia berteriak sambil mengejar taksi yang sudah berlalu.

***

Mirah ingin menangis, tapi ditahannya. Ia tak ingin Bintang bertambah sedih melihat kekacauan yang baru daja terjadi.

“Mas Bintang jangan menangis ya.. tidak apa-apa kok,” hibur Mirah sementara hatinya juga teriris.

“Ma’afkan Mirah.. “ kata Handoko sambil menoleh kebelakang, dimana Mirah sedang merangkul Bintang.

“Tidak apa-apa bapak..”

“Tiba-tiba dia seperti orang kesetanan. Ya Tuhan, apa yang merubahnya menjadi seperti itu,” keluh Handoko.

“Sabar pak, ada mas Bintang, kata Mirah lirih sambil membungkukkan tubuhnya kearah Handoko. Mirah sangat menjaga, jangan sampai Bintang merasakan adanya kekacauan tadi.

“Oh ya mas Bintang, tadi es krimnya yu Mirah bawa pulang, ini, ayo dimakan, sebelum meleleh nih,” kata Mirah sambil mengeluarkan kotak es krim yang tadi dibelinya.

Bintang mengangkat kepalanya yang semula berada dalam rangkulan Mirah.

“Ini sendoknya, aduuh.. ini rasa coklat sama strowberi.. enaknyaaa...”

Bintang menerima kotak es krim itu,.

“Ini sendoknya. Wah, mas Bintang pinter sudah bisa membuka sendiri.. sudah, ayo dihabiskan.”

Diam-diam Handoko memuji Mirah yang mengerti tentang kejiwaan anak kecil.  Bintang tidak boleh terluka. Perasaannya harus selalu dijaga. Mirah benar, kebahagiaan seorang anak adalah sesuatu yang nomor satu.

“Enakkah Bintang ? Bapak jadi pengin nih..” kata Handoko ikutan membuat Bintang senang.

“Bapak mau?”

Lalu bintang menyendok sesendok es krim diulurkan kearah bapaknya. Handoko membuka mulutnya dan mengecap-ngecap es krimnya.

“Hm.. ternyata enak.. Bintang suka ?”

“Suka.. yu Mirah mau? Haaaak...” kata Bintang sambil menyendokkannya untuk Mirah. Tapi Mirah menggeleng.

“Jangan mas, yu Mirah nggak suka es krim..” jawab Mirah yang nggak ingin mengecap bekas mulut tuan gantengnya.

“Enaaak yu... cobain..” Bintang memaksa.

“Yu Mirah agak pilek. Kata dokter, kalau lagi pilek nggak boleh minum es krim..”

“Oh, yu Mirah lagi pilek?”

“Iya nih,,, sudah, dihabisin mas Bintang saja ya..”

Bintang asyik menyendok es krimnya, wajah yang semula tampak bingung sudah kembali cerah.

“Rah, kita tidak langsung pulang ya.”

“Kemana bapak?”

“Jalan-jalan ke mal, ajak Bintang bermain main.”

“Bapak tidak capek ?”

“Tidak, Bintang harus gembira. Bintang, maukah bermain di mal, naik mobil-mobilan? Atau kereta-keretaan?”

“Mauuu..” Bintang langsung berteriak riang.

“Baiklah... pak, langsung ke mal terdekat ya,” perintah Handoko kepada tukang taksi.

***

Bu Ismoyo lama menunggu diteras rumah Handoko. Danang hanya menurunkannya lalu langsung berangkat ke kantor, tanpa tahu bahwa rumah Handoko kosong.

“Kemana mereka pergi? Lama sekali aku menunggu, dan sayangnya aku kok ya lupa bawa ponsel sehingga nggak bisa menghubungi siapa-siapa..” keluh bu Ismoyo yang kelelahan menunggu.

Bu ismoyo berdiri .. melangkah keluar, mau tidak mau dia harus naik becak pulang, karena yang ditunggu tidak segera datang. Tapi sebelum sampai diluar tiba-tiba Widi muncul dengan sepeda motornya.

“Lho.. bude kok jalan kaki ?”

“Itu.. rumah kamasmu kosong, aku capek menunggu, mau pulang saja..”

“Kok nggak naik taksi?”

“Bude lupa nggak bawa ponsel nduk, ya mau naik becak saja jadinya.”

“Memangnya mas Handoko kemana? Yu Mirah juga nggak ada?”

“Nggak ada semua, ayo kalau begitu temani bude menunggu sambil omong-omong.”

“Baiklah bude.”

Maka Widi menemani bu Ismoyo duduk di teras.

“Bude kok sendiri..?”

“Habis mau sama siapa Wid, simbok kan sa’atnya bersih- bersih setelah memasak. Tadi bude bareng sama Danang ketika dia habis makan siang dirumah.”

“Mas Danang langsung ke kantor?”

“Iya. Bude sedang susah ini Wid..”

“Lho, kenapa bude?”

Pagi tadi Palupi nangis-nangis, katanya suaminya selingkuh dengan Mirah.”

“Masa sih bude?” tanya Widi tak percaya.

“Benar Wid, malah tadi Danang juga bilang, kalau kamasmu itu suka sama Mirah.”

“Mas Handoko bilang begitu?”

“Iya. Makanya bude sedih nih Wid, kalau Handoko ingin wanita yang lain, ya biar saja wong isterinya nggak pernah ngurusin rumah tangganya, tapi kok sama Mirah.. gimana coba?”

“Tapi kok Widi nggak percaya kalau mas Handoko melakukan itu. Kalau dekat sama yu Mirah, itu kan memang karena yu Mirah mengurus semuanya dirumah ini. Melayani mas Handoko, melayani dan momong Bintang.”

“Mirah memang baik, bisa mengurusi semuanya, tapi rasanya nggak tega kalau Handoko benar-benar suka sama Mirah.”

“Lalu bude datang kemari karena mau memarahi mas Handoko?”

“Bude ingin tanya kebenarannya. Nggak bisa tidur bude kalau belum mendapat jawabannya.”

“Bude, saya pikir bude tidak usah terlalu memikirkan mas Handoko. Bude sudah melepasnya untuk membangun rumah tangga sendiri, jadi biarkan saja bude, mas Handoko pasti sudah bisa memilih dan mentukan apa yang harus dilakukannya.”

“Kalau bude punya menantu seperti Mirah, apa bude juga harus menerimanya?”

“Mirah wanita yang baik, dia bisa mengurus sebuah rumah tangga dengan sempurna. Seandainya benar mas Handoko memilih Mirah, saya kira tidak ada masalah.”

“Apa maksudmu tidak ada masalah?”

“Bude, saya yakin bude berfikir tentang derajat seseorang. Ma’af ya bude, bukannya Widi menggurui, tapi menurut Widi, itu tidak masalah.”

“Aku tidak mengerti jalan fikiran kamu Wid.”

“Bude, derajat manusia itu sama dimata Allah.. “

Bu Ismoyo diam. Ia heran Widi tidak mempermasalahkan derajat seseorang. Bukankah ada pembantu dan ada majikan? Bukankah itu derajat yang berbeda ?

“Bude, seseorang berbeda karena harta yang dimilikinya. Yang kaya, derajatnya dianggap lebih tinggi dari orang yang miskin .  Tapi perilaku baik tidak hanya dimiliki oleh orang yang berderajat tinggi. Ada orang yang derajatnya tinggi, tapi perilakunya buruk. Seseorang bisa memilih, yang derajatnya tinggi tapi perilaku buruk, atau derajatnya rendah tapi perilakunya mulia.”

Lalu Widi terkejut sendiri, dia yang masih bocah berani mengutarakan hal yang semestinya orang tua sudah tahu.

“Bude, sungguh Widi minta ma’af, Widi hanya menirukan kata-kata yang pernah diajarkan bapak kepada Widi. Ma’af ya bude.”

Bu Ismoyo menatap Widi dengan kagum. Ia tahu bahwa Tarman adiknya adalah seorang yang sangat sederhana. Dia jarang datang kerumah karena merasa menjadi orang yang bukan orang berada. Sering Tarman mengutarakan hal itu kalau bu Ismoyo menegurnya dengan jarangnya dia datang menemuinya. Dan menjadi orang yang serba berkecukupan, membuat bu Ismoyo merasa memiliki derajat yang lebih tinggi. Lalu diresapinya kata-kata Widi, bahwa derajat manusia sama dimata Allah. Bu Ismoyo merasa bodoh dihadapan Widi. Widi yang masih bocah ternyata lebih bijaksana.

“Bude, apakah bude marah sama Widi? Sungguh bude, Widi tanpa sengaja telah mengutarakan sesuatu seperti yang pernah bapak katakan. Memang tidak pantas Widi mengatakannya.”

“Tidak.. tidak, kamu benar, sekarang kamu membuat budemu ini kangen sama bapakmu. Ayo antarkan bude ketempat bapakmu,” kata bu Ismoyo sambil berdiri.

“Sekarang bude ?”

“Iya, sekarang, bude tak ingin terlalu mengurusi rumah tangga kamasmu.”

“Bude, tapi Widi naik sepeda motor. Apa berani bude mbonceng sepeda motor?”

“Mengapa tidak? Ayo kita coba,” kata bu Ismoyo sambil tersenyum.

Widipun berdiri, mendekati sepeda motornya dan menstarternya.

“Silahkan naik bude, tapi pegangan sama Widi yang kenceng ya.”

***

Handoko dan Mirah duduk disebuah bangku, menunggu Bintang yang berputar-putar dengan mobilnya.

Handoko senang Bintang tampak sangat gembira, dan Handoko yakin  Bintang sudah melupakan kejadian ketika mereka berada dirumah makan.

Tapi Handoko merasa prihatin, wajah Mirah tampak kuyu. Kejadian dirumah makan itu seperti menampar mukanya. Palupi mengatakan dia begundal, dan dia mengakui bahwa Mirah adalah calon isteri mudanya. Apakah Mirah terluka?

“Rah..”

Mirah yang semula menatap kosong kedepan menoleh tuan ganteng yang duduk disampingnya.

“Ya, bapak..”

“Aku minta ma’af..”

“Tadi bapak sudah mengatakannya.”

“Palupi sungguh tak terkendali. Kenapa tiba-tiba mengamuk seperti itu?”

“Bapak terlalu menganggap saya keluarga, duduk semeja dengan bapak, itu kan tidak pantas? Saya sudah memilih meja yang lain tadi.”

“Bukan itu Rah. Aku tidak mau kita yang hanya bertiga harus menempati dua meja. Lagipula kamu itu bukan aku anggap pembantu. Kamu keluargaku juga.”

“Mengapa bapak mengiyakan ketika ibu mengatakan bahwa saya calon isteri muda bapak?”

“Apakah kamu tersinggung dengan ucapan itu?”

“Bukan tersinggung bapak, tapi kecewa, karena dengan meng ‘iya’ kan ucapan itu, bapak telah membuat ibu sangat marah. Dan saya menjadi sasaran kemarahan itu. Seperti ketika tadi ibu menjambak rambut saya.”

“Ma’af ya Mirah..”

“Belum nanti, kalau kita sampai dirumah, pasti ibu belum melupakan kemarahannya sama Mirah.”

“Tidak, kalau Palupi menyerang kamu, aku akan melindungi kamu.”

“Mengapa bapak tadi tidak membantahnya saja sehingga ibu tidak semakin marah?”

Dan Handoko juga tidak mengerti mengapa tadi dia tidak membantahnya. Apakah dia hanya ingin memanas-manasi hati Palupi? Atau memang benar ada niat itu? Aduhai, Handoko belum mendapat jawaban atas sikapnya sendiri. Mirah memang hanya pembantu, tapi dia bisa menjadi isteri yang baik. Benarkah dirinya menginginkannya?

Mirah menoleh kearah Handoko dari yang semula hanya menundukkan kepalanya. Ada air mata menetes dari sepasang mata beningnya. Jatuh terburai dilantai.

Sesungguhnya Mirah menunggu jawaban Handoko, yang sampai lama tidak juga mengatakannya.

Handoko melihat tetesan air mata itu. Ia merogoh sapu tangan disakunya, diulurkannya kepada Mirah.

“Jangan menangis Mirah.”

Mirah menerima saputangan itu dengan gemetar. Lalu benar-benar dipakainya untuk mengusap air matanya.

Lalu terdengarlah langkah-langkah kecil mendekat.

“Yu Mirah menangis ?” Mirah terkejut atas pertanyaan Bintang.

“Oh, tidak mas, tadi ada debu memasuki mata yu Mirah. Sudah main  mobilnya?”

“Aku mau naik lagi..” rengeknya.

“Oh, masih mau lagi? Nggak capek?”

Bintang menggeleng, lalu menarik tangan Mirah sambil berlari lari kecil.

Handoko menatap punggung Mirah. Menatap tubuh semampai dengan kulit bersih, dan ia teringat senyuman Mirah yang manis.

“Apakah aku tertarik pada gadis itu? Apakah aku memang menginginkannya agar menjadi isteriku?” gumamnya dalam hati.

Mirah kembali duduk, agak jauh dari dirinya.

“Mas Bintang naik mobil yang lain,” kata Mirah lirih.

“Biarkan saja, asalkan dia senang.”

“Tapi ini sudah sore. Biasanya mas Bintang tidur siang.”

“Nanti dia akan lelah dan mengantuk. Biarkan saja. Jarang aku bisa menikmati kegembiraan Bintang. Dulu aku sibuk dikantor. Kalau ingin mengajak Bintang jalan-jalan, hanya ala kadarnya saja. Tapi hari ini aku puas melihat kegembiraannya. Lain kali kita akan mengajaknya lagi ya Rah.”

“Sesekali, ajaklah ibu.”

Handoko menoleh kearah Mirah. Gadis itu kembali menundukkan kepalanya, menatap lantai yang berkilat, memantulkan wajahnya samar-samar. Bayangan sendu itu masih juga tampak. Mirah menahan air matanya, jangan sampai terjatuh seperti tadi.

“Kita lihat saja nanti, apa dia bersedia melakukan hal seperti ini,” gumam Handoko lirih.

Satu kali putaran lagi, Bintang harus menghentikan mobilnya.

“Mas Bintang, habis ini sudah ya. Ini sudah sore,” teriak Mirah.

Mungkin karena lelah, atau mengantuk, Bintang menganggukkan kepalanya.

***

Memang benar Bintang mengantuk. Turun dari taksi Mirah menggendongnya dan Bintang terkulai dipundaknya.

Handoko membuka pintu rumah, dan Mirah menidurkan Bintang dikamarnya.

Mirah mencium pipinya lembut, kemudian membuka sepatunya pelan. Bintang sudah terlelap. Mirah beranjak kebelakang, melakukan tugasnya seperti biasa. Membuat teh sore, lalu meletakkan lauk yang tadi dibelinya, menatanya di meja. Nanti sa’at makan tinggal memanaskannya.

Lalu Mirah menyiapkan minuman untuk tuan gantengnya, secangkir kopi susu, yang diletakkan dimeja ruang tengah.

Ketika ia meletakkan minuman itu, Handoko keluar dari kamar, sudah rapi dan wangi.

“Minumannya sudah, bapak.”

“Terimakasih Mirah. Bintang masih tidur?”

“Masih, tadi kelihatannya sudah sangat mengantuk.”

“Kamu boleh istirahat, pasti kamu juga lelah.”

“Ya bapak, setelah ini Mirah mau mandi dulu.”

Handoko mengangguk, lalu duduk diatas sofa, menikmati kopi susunya.

Baru setengah minuman itu direguknya, tiba-tiba terdengarlah langkah sepatu dari arah depan. Handoko menyalakan televisi, pura-pura tak tahu bahwa itu langkah isterinya. Handoko masih sangat marah.

“Oh, pasangan calon suami isteri sudah pulang?” kata Palupi sinis.

Handoko mendiamkannya.

“Mas, aku mau bicara.”

Handoko pun diam.

“Dengar mas, aku serius. Aku sakit hati mas memperlakukan aku seperti ini. Aku bukan tandingan Mirah.”

Sekarang Handoko menoleh kearah Palupi, yang berdiri sambil memegangi sandaran kursi.

“Benar, kamu bukan tandingan Mirah. Jauh sekali, jauh bedanya.”

“Baiklah, sekarang mas harus memilih. Suruh Mirah pergi dari sini, atau mas ceraikan aku.!” Kata Palupi tandas.

Handoko bergeming, menatap tajam isterinya. Sedangkan dibalik pintu, Mirah yang belum sempat pergi mandi mendengarkannya, dengan hati miris.

***

Besok lagi ya

 

 

 

Sunday, November 29, 2020

SANG PUTRI 07

SANG PUTRI   07

(Tien Kumalasari)

 

Handoko sama sekali tak melihat kedatangan Palupi, ia bertumpu pada bahu Mirah, sampai duduk diatas kursi didepan meja makan.

Bintang yang merasa bersalah menatap bapaknya tak berkedip.

“Sakit bapak?” tanyanya takut-takut.

“Tidak Bintang, tidak sakit, ayo kita makan, nasi gorengnya sudah siap.”

Mirah tersenyum sambil mengangkat Bintang dan mendudukkannya dikursi.

“Bapak tidak apa-apa mas Bintang.. ayo makan.”

“Iya.. hm.. bau nasi gorengnya sedap sekali lho..” kata Handoko sambil menyendok nasi gorengnya.

“Mas Bintang mau disuapi ?”

“Tidak, Bintang sudah besar.. makan sendiri saja.”

“Bagus, anak bapak memang pintar. Ayo... berlomba sama bapak.. siapa ya nanti yang habis duluan...” kata Handoko menyemangati Bintang.

“Bintangpun segera menyuap makanannya.”

“Enakkah ?”

“Enak bapak..”

“Hm, pasti nanti Bintang jadi juaranya.”

“Iya.. “

“Mirah, sebaiknya kamu juga makan, supaya nanti bisa segera berangkat.”

“Iya bapak, nanti saja, setelah mas Bintang selesai makan. Mirah bisa makan cepat.”

“Tidak boleh makan cepat, makanan dikunyah tigapuluh dua kali baru boleh ditelan.”

Mirah tertawa.

“Itu benar. Ketika kamu sekolah diajarkan bukan?”

“Iya bapak, tapi jarang yang bisa melakukannya.”

Handoko tertawa.

“Nanti kita jadi ke kebun binatang bukan ?”

“Jadi dong sayang, tapi habiskan dulu makannya ya."

***

Palupi menyuruh taksi berhenti didepan rumah Ryan. Palupi lega melihat mobil Ryan masih ada didepan, berarti dia belum berangkat bekerja.

Palupi bergegas kearah rumah Ryan yang sudah berbeda sejak bertahun-tahun lalu, dan  dia tidak pernah lagi pergi kesana.

Palupi hampir mengetuk pintu ketika tiba-tiba Ryan  muncul, dan serta merta Palupi merangkulnya sambil menangis.

Ryan terperangah, perlahan ia melepaskan pelukan Palupi dan mempersilahkan duduk diteras.

“Duduklah, ada apa?”

“Ryan, tolong aku, hatiku sakit sekali Ryan.. “ katanya masih sambil menangis.

“Ada apa?”

“Suami aku.. selingkuh... “

“Apa ? Selingkuh ? Kamu mendengar dari siapa?”

“Aku melihat dengan mata kepala sendiri Ryan, suamiku memeluk Mirah, pembantu aku.”

Ryan kaget.

“Benarkah ?”

“Itu benar Ryan.. hatiku sakit Ryan, aku dibandingkan dengan pembantu .. Ryan..”

Dari terkejut, Ryan beralih menyalahkan Palupi. Kalau itu benar.. bukankah itu kesalahan Palupi?

“Lupi... apa kamu tahu? Ada asap pasti ada api..”

“Apa maksudmu Ryan? Kamu tampak tidak bersimpati sama aku, kamu sahabat aku yang sampai sekarang masih aku sayangi..”

“Palupi, baiklah kita bersahabat, baiklah masih menyayangi, tapi itu bukan berarti cinta ya. Dan tentang masalah kamu, kamu harus tahu dan cari sebabnya mengapa suami kamu melakukannya. Itu andai benar, tapi sesungguhnya aku tidak bisa percaya begitu saja. Mas Handoko begitu baik dan santun.”

“Kamu tidak melihat dengan mata kepala sendiri seperti aku.. jadi kamu tidak percaya. Baru pagi ini. Tadi aku pergi pagi-pagi, kebetulan ponsel aku ketinggalan, ketika aku masuk rumah, aku melihat adegan itu Ryan. Sakit hatiku.”

“Apakah kamu mencintai suami kamu?”

“Ryan itu bukan pertanyaan.”

“Kalau kamu cemburu berarti kamu masih mencintai suami kamu, dan itu bagus sekali, sudah seharusnya seorang isteri mencintai suaminya.”

“Aku sakit hati karena aku dibandingkan dengan pembantu Ryan.”

“Ooh, sakit hati karena dibandingkan dengan pembantu?”

“Ryan, mengapa kamu mengejek aku ?”

“Hanya satu kata, semua adalah salah kamu.”

“Salah aku? Mengapa semua menyalahkan aku?”

“Kamu tidak bisa menjaga rumah tangga kamu, itu sebabnya suami kamu berpaling, tapi tetap saja kalau itu benar.”

“Ryaan... “

“Ma’af Lupi,  aku harus segera berangkat ke kantor.”

“Ryan, tolonglah aku..” Palupi kembali menangis.

“Aku tidak bisa menolong kamu, dan tak seorangpun bisa kecuali diri kamu sendiri,” kata Ryan sambil berdiri dan bersiap pergi.

“Ryan...”

“Ma’af Lupi..”

Ryan mendekati mobil dan masuk kedalamnya.

“Kamu naik apa?”

“Naik taksi, kunci mobil disembunyikan suami aku.”

“Baguslah, barangkali suami kamu mau mendidik kamu agar kamu bisa menjadi isteri  yang patuh kepada suami,” kata Ryan sambil menutup pintu mobil.

“Ryaaan, bawalah aku.”

“Pulanglah, dan rebut kembali suami kamu.”

Ryan menstarter mobilnya dan menjalankannya keluar dari halaman.

Palupi membanting-banting kakinya sambil berurai air mata.

***

Bu Ismoyo sedang menyirami tanaman ketika tiba-tiba Lupi muncul dan merangkulnya sambil menangis.

“Lho.. lho.. ada apa ini?”

“Ibu.. tolong Lupi ibu... “

“Memangnya kamu kenapa?”

“Mas Handoko berselingkuh bu..”

“Handoko? Berselingkuh sama siapa? Dia kan tidak pernah pergi kemana-mana?”

“Dengan Mirah bu...”

“Apa? Mirah? Maksudnya.. Mirah pembantu kamu?”

“Iya bu ?”

“Kata siapa ?”

“ Palupi melihat dengan mata kepala sendiri bu.. mas Handoko merangkul Mirah dengan mesra.. sakit hati Lupi bu..”

Bu Ismoyo mengajak Palupi duduk diteras. Palupi duduk sambil terisak isak.

“Ibu tidak menyalahkan kalau suami kamu berpaling, karena itu salah kamu sendiri. Bukankah kamu tidak pernah mengurus suami kamu?”

“Tapi bu.. berselingkuh dengan Mirah bu. Mirah pembantu.. apa itu pantas bu? Apa ibu tidak malu ? Lupi saja malu bu, mengapa Lupi kalah sama pembantu, mas Handoko kebangetan bukan bu?”

Bu Ismoyo terdiam. Kalau Handoko berpaling kepada wanita lain, ia bisa mengerti, dan barangkali bu Ismoyo akan membiarkannya. Tapi dengan Mirah. Aduh.. mengapa selera anak sulungnya begitu rendah? Apa tidak ada wanita lain yang lebih cantik dan lebih pantas diselingkuhi? Bahkan dinikahi sekalipun ?

“Bu, jangan diam saja bu, lakukan sesuatu, kalau perlu Mirah harus dipecat bu.”

“Sebelum ibu melakukan sesuatu, ibu ingin mengatakan bahwa itu salah kamu.”

“Ibu..”

“Seorang isteri harus bisa menjaga rumah tangganya. Kamu apa? Pernah mengurus suami kamu? Anakmu? Rumah tanggamu? Semuanya ada pada Mirah. Mirah meladeni semua anggauta keluarga dengan baik. Menyayangi anakmu dengan tulus dan telaten.”

“Tapi mana pantas mas Handoko bermain api dengan pembantu bu?”

“Masalah pantas dan tidak itu urusan belakangan. Yang jelas ini semua adalah salah kamu.”

Palupi ingin menjerit sekeras-kerasnya. Semua menyalahkan dirinya, bahkan ketika hatinya sakit karena dibandingkan dengan pembantu, tak ada yang bersimpati padanya. Memang benar, semuanya bergantung pada Mirah, bahkan Bintang sendiri ketika duduk disebuah rumah makan, memilih semeja dengan Mirah, menolak dirinya mentah-mentah. Hatinya semakin sakit ketika melihat Handoko merangkul Mirah. Ia merasa dikesampingkan, lupa atau tak merasa bahwa dirinya yang bersalah.

“Apa yang harus Palupi lakukan?”

“Berbuatlah sebagai ibu rumah tangga yang baik. Barangkali dengan itu kamu bisa merebut kembali cinta suami dan anak kamu.”

“Sebaiknya ibu pecat saja MIrah.. dia merusak cintanya mas Handoko dan jiga cintanya Bintang kepada Lupi.

“Kamu tidak usah mendekte ibu untuk apa yang akan ibu lakukan. Lakukanlah yang terbaik demi rumah tangga kamu.”

Palupi meninggalkan rumah mertuanya dengan perasaan terluka, seperti ketika tadi ketemu Ryan, sama sekali tak ada elusan rasa kasihan, walau air matanya mengalir seperti hujan.

***

Bintang senang bukan alang kepalang. Ia seringkali melepaskan pegangan tangan  Mirah karena tertarik kepada binatang yang satu ke yang lain.

Handoko mengikuti dengan langkah tertatih sambil memegang erat kruk ditangan kirinya.

Mirah yang masih merasa khawatir atas tuan gantengnya mengawasi Bintang dan Handoko dengan sangat hati-hati. Jangan sampai keduanya terjatuh dan cedera.

“Lihat Mirah, Bintang tampak senang sekali,” kata Handoko.

“Iya bapak, sudah sejak kemarin mas Bintang ingin melihat gajah.”

“Aku sudah lama tidak mengajak Bintang jalan-jalan.”

“Tidak apa-apa bapak, kan bapak lagi sakit. Sekarang ketika bapak belum pulih benar juga sudah menyempatkan diri untuk mengajak mas Bintang jalan-jalan.”

“Sebenarnya aku juga ingin jalan-jalan.”

Handoko yang merasa letih kemudian duduk disebuah bangku.

“Capek ya pak?”

“Iya, ikutilah Bintang, biar aku menunggu disini.”

“Kalau bapak capek, lebih baik kita pulang saja.”

“Jangan Rah, nanti Bintang kecewa. Sudah, tuh lihat.. dia berlari kesana Rah.”

Mirah terpaksa mengikuti Bintang yang berlarian kesana kemari.

“Ada burung bagus yu..”

“Iya, itu namanya burung kakak tua.”

“Jadi burung itu sudah tua ?”

“Bukan mas, namanya burung Kakak Tua. Yang baru menetas juga namanya Kakak Tua.”

“Kalau yang tua itu kakek kan, bukan kakak ?”

“Ah, mas Bintang .. nanti mas Bintang juga akan tahu,” jawab Mirah. Tapi diam-diam Mirah memuji kecerdasan Bintang.”

“Mas Bintang, bagaimana kalau kita pulang?” Mirah mencoba membujuk BIntang mengingat tuan gantengnya tampak capek.

“Sebentar, aku mau kasih makan kera.”

“Waduh, harus beli pisang dulu. Tapi nanti setelah kasih makan kera, kita pulang ya, kasihan bapak.”

“Mana bapak?”

“Bapak duduk disana tuh.. lihat..”

“Bapak capek ya?”

“Iya, bapak kan belum sembuh benar, jadi kalau jalan jauh-jauh jadi capek deh.”

“Kalau begitu kita pulang saja yuk.”

“Anak ganteng, anak pintar.. Baiklah, lain kali kalau bapak sudah sehat benar bisa kemari lagi lebih lama.”

Bintang berlari mendekati ayahnya, sementara Mirah mengikutinya dari belakang.

“Bapak, ayo kita pulang.”

“Lhoh, kok pulang? Sudah puas lihat binatangnya?”

“Besok kalau bapak sudah bisa jalan, kita kemari lagi.”

Handoko tersenyum. Pasti Mirah telah berhasil membujuknya untuk pulang.

“Bintang bukannya masih mau melihat-lihat yang lainnya?”

“Nggak bapak, Bintang sekarang lapar.”

“Oh.. ya ampun, anak bapak sampai kelaparan. Ayuk pulang dan makan di restoran ya?”

“Yang ada es krimya ya bapak?”

“Oke, anak pintar.”

***

Ketika Danang pulang untuk makan siang, dilihatnya ibunya sedang termenung diruang tengah.

“Lho, ibu sudah makan?”

“Belum, nungguin kamu.”

“Kalau begitu ayo kita makan.”

“Tunggu Danang, ibu mau bicara.”

Danang kemudian duduk dihadapan ibunya. Ia heran ibunya tampak sedang memendam sesuatu.

“Ada apa bu?”

“Tadi Palupi datang kemari.”

“Oh ya, kangen sama mertuanya rupanya.”

“Bukan, ia menangis-nangis sehingga membuat ibu bingung.”

“Kenapa memangnya bu?”

“Dia bilang suaminya selingkuh.”

“Suaminya itu mas Handoko kan?”

“Iya lah Nang, siapa lagi.”

“Lha itu kan salah dia sendiri, karena tidak mengurus suaminya. Biarkan saja bu, ibu tidak usah memikirkannya.”

“Tapi kakak kamu itu selingkuh sama Mirah.”

Danang terkejut. Dulu ia ingin melaporkan kepada ibunya tentang kakaknya yang tampaknya menyukai Mirah, tapi dia belum sempat melakukannya. Sekarang isterinya sendiri yang mengatakan kepada ibunya.

“Palupi bilang dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kakakmu sedang merangkul Mirah.”

“Bu, sebenarnya kalau hal itu Danang sudah lama tahu.”

“Apa maksudmu sudah lama tahu? Tentang hubungan kakakmu dengan MIrah?”

“Mas Handoko bilang dengan jelas bahwa dia menyukai Mirah.”

“Mengapa kamu baru bilang sekarang? Mengapa tidak kemarin-kemarin kamu mengatakannya pada ibu?”

“Danang takut ibu akan sedih.”

“Ini tidak bisa dibiarkan le, ayo kita makan, setelah makan antarkan ibu kerumah kakakmu.”

“Apa yang akan ibu lakukan?”

“Sebenarnya ibu tidak menyalahkan kakakmu kalau dia berpaling, karena isterinya juga tidak bisa mengurusnya. Barangkali juga ibu akan membiarkannya kalau wanita itu bukan Mirah. Tapi Mirah itu kan pembantu, ibu tidak suka anak ibu berhubungan dengan pembantu.”

“Lalu apa yang akan ibu lakukan?”

“Mirah harus pergi dari sana.”

***

Handoko dan Bintang memasuki rumah makan, Mirah mengiringinya dari belakang. Mereka berjalan pelan karena Handoko berjalan tertatih dengan kruk nya.

Lalu Handoko memilih sebuah bangku, Mirah membantu mendudukkan Bintang. Kemudian Mirah duduk dimeja yang lain. Ia tahu diri, dan Palupi pernah mengingatkan akan hal itu.

“Mirah, mengapa duduk disitu?”

“Biar Mirah disini saja bapak.”

“Tidak Mirah, kamu juga disini bersama kami.”

“Dulu yu Mirah tidak boleh duduk sama-sama ibu,” kata Bintang.

“Oh ya?”

“Tidak apa-apa bapak, biarlah Mirah disini saja.”

“Tidak, kamu harus disini. Mirah !!” kata Handoko tandas, dan Mirah tak bisa membantahnya, perlahan ia beralih duduk semeja dengan tuan gantengnya, didekat Bintang.

“Kamu jangan merasa bahwa kamu itu berbeda Mirah, kamu adalah keluargaku.”

“Mirah hanya takut bapak.”

“Tidak boleh takut. Ayo sekarang mau pesan apa, Bintang mau makan apa, Mirah apa?”

“Bintang mau es krim bapak.”

“Nanti boleh makan es krim, tapi harus makan dulu.”

“Baiklah bapak.”

“Oh ya Rah, nanti kamu juga harus  pesan makanan untuk dibawa pulang, kamu tidak usah masak hari ini.”

“Baiklah.”

“Sekarang mau pesan apa, kamu saja yang menulisnya Mirah, aku mau yang ada kuahnya saja, mungkin sup lebih segar.”

Seperti sebuah keluarga, ketiganya menikmati pesanannya dengan nikmat. Bintang juga makan dengan lahap, tampaknya dia benar-benar lapar.

Namun tiba-tiba seseorang masuk ke restoran itu. Ketika sedang mencari-cari bangku yang kosong, matanya terpaku pada sebuah meja dimana Handoko dan Bintang serta Mirah sedang makan.

Sepasang mata menatap dengan pandangan penuh api.

***

Besok lagi ya.

 

M E L A T I 36

  M E L A T I    36 (Tien Kumalasari)   Daniel tertegun. Seperti mimpi ia menatap sosok yang berdiri di sampingnya, yang kemudian menyandark...