KANTUNG BERWARNA EMAS
23
(Tien Kumalasari)
Karina menangis menggerung-gerung, membuat bingung
seisi rumah.
“Ya sudah, ini namanya musibah, terima saja dengan
lapang dada. Nanti mencari dokter yang baik untuk menghilangkan cacat kamu itu,”
kata bu Candra yang bukannya membuat berhenti menangis tapi justru membuat
tangisnya semakin keras.
“Ibu bagaimana? Ini musibah yang harus aku terima
dengan lapang dada? Bagaimana aku bisa menerima keadaan seperti ini Bu? Aku
malu dong Bu, mana berani aku keluar? Mana wajah cantikku? Mana ada orang yang
mengagumi aku? Aku tidak mau. Aku tidak mau begini.”
“Karin, tenanglah dulu. Nanti kita cari jalan untuk menyembuhkan
luka itu.”
“Bagaimana caranya Bu, dokter sudah bilang, bekas luka
ini tidak akan bisa hilang.”
“Kamu diamlah dulu, menangis setahun pun kalau tidak
ada upaya, ya tidak akan bisa menjadi pulih. Jadi diam dulu sambil memikirkan
bagaimana cara keluar dari masalah ini. Jangan seperti anak kecil dong Karin,”
kesal ibunya.
Tiba-tiba Nurani memasuki kamar Karin, membawakan jus
buah segar untuk Karina.
“Karin, ini jus buah segar, minumlah.”
“Apa kamu? Kamu pura-pura baik sama aku, sementara
sebenarnya kamu mensyukuri penderitaan aku ini bukan?”
“Karin, kamu salah terima, aku juga prihatin melihat
keadaanmu ini.”
“Bohong! Pergi kamu, pergi!”
“Karin, luka itu kan belum sembuh benar. Bahwa nanti
akan menjadi bopeng, itu kan kata dokter. Siapa tahu nanti setelah kulit luka
itu kering dan mengelupas, wajahmu bisa menjadi cantik lagi.”
“Omong kosong kamu! Memangnya kamu itu siapa? Kamu SMA
saja belum selesai, sok tahu tentang masalah kulit. Keluar kamu. Kamu hanya
mengejek aku.”
“Tidak Karin, aku sungguh sedih melihatmu seperti ini.”
“Keluaaar!!”
Karin mengambil bantal, melemparkannya kepada Nurani
yang sedang membawa gelas jus, sehingga jus itu tumpah, membasahi lantai.
“Karin!” kali ini ibunya berteriak.
Nurani beranjak keluar, membawa bantal yang basah dan
gelas yang sudah kosong. Kemudian dia kembali untuk membersihkan lantai yang basah dan lengket terkena tumpahan jus.
“Itulah kamu. Pantasnya kamu jadi pembantu!” Karina
masih bisa mengejek Nurani yang berjongkok di lantai sambil mengepel.
“Sudah Karin, kamu diam. Pusing ibu mendengarkan semua
omongan kamu,” kata bu Candra sambil keluar dari kamar.
Nurani keluar setelah membersihkan lantai. Wajahnya
tampak murung. Ia memendam rasa kesalnya dalam hati. Ia bermaksud baik, walau
Karina begitu jahat terhadap dirinya. Ia tak ingin membalasnya, ia justru ikut
merasakan kesedihan adik tirinya, tapi balasannya sungguh menyakitkan. Nurani ingin
berteriak atas ketidak adilan itu, tapi selalu dia bisa menahannya.
Bu Candra beranjak ke belakang. Ia melihat Nurani
keluar dari kamar mandi di belakang, setelah selesai mencuci kain pel yang baru
saja dipergunakannya. Tiba-tiba dia teringat perkataan Rian, beberapa hari yang
lalu, yang mengatakan bahwa suaminya sudah tahu perlakuan buruknya terhadap
Nurani.
Ia duduk di kursi dapur, melihat Nurani menjemur kain
pel di luar.
“Nurani,” panggilnya ketika Nurani masuk kembali ke dapur.
Nurani mendekati ibu tirinya.
“Ya Bu.”
“Apa kamu mengadu kepada bapak kamu?”
Nurani terkejut, ia tidak mengerti apa yang dimaksud
sang ibu tiri.
“Saya tidak mengerti apa maksud ibu.”
“Kamu mengadu kepada bapak, bahwa aku melakukan hal
buruk terhadap kamu?”
“Tidak. Mengapa ibu mengira demikian?”
“Bapakmu menuduh aku melakukan perlakuan buruk sama
kamu.”
“Saya sama sekali tidak pernah bicara apapun sama
bapak. Apalagi mengadu. Tidak pernah Bu. Ibu harus percaya sama Nurani.”
“Baiklah. Tapi awas saja kalau sampai kamu mengadu
yang tidak-tidak,” katanya sambil meninggalkan dapur.
Nurani menghela napas panjang. Hari masih siang. Pak
Candra belum pulang dari kantor, Rian juga belum pulang dari kuliah, sehingga
bu Candra berani menanyakannya kepada Nurani.
“Yang iya-iya saja tidak pernah aku katakan kepada
siapapun, apalagi yang tidak-tidak,” kata batinnya.
Tapi kemudian Nurani mengejar ibu tirinya.
“Ibu.”
Bu Candra berhenti melangkah.
“Kalau boleh saya usulkan, selama wajahnya belum
pulih, Karina kan bisa memakai penutup wajah, sehingga bekas luka itu tidak
kelihatan. Dengan begitu, Karina tidak usah mengurung diri di kamar. Maaf Bu,
saya hanya mengusulkan.”
Bu Candra tak menjawab, tapi tampaknya dia bisa menerima
apa yang dikatakan Nurani.
***
“Lukanya saja belum kering benar, belum tentu kalau
bekas luka itu menyebabkan bopeng,” kata pak Candra ketika sore hari itu sang
istri membicarakannya.
“Tapi memang ada banyak luka yang dalam, karena dulu
Karina menggaruknya sangat keras. Itu karena dia tak tahan rasa gatalnya. Nah
bekas garukan itu membuat luka yang lebih dalam, sehingga akan susah pulihnya,”
kata bu Candra.
“Mau bagaimana lagi, kalau memang harus begitu? Paling
bisa ditutupi dengan bedak yang agak tebal.”
“Bapak kok gitu, kalau bekas lukanya dalam, mana bisa
ditutupi dengan bedak tebal sekalipun?”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”
“Bagaimana kalau operasi plastik?”
Pak Candra terkejut.
“Operasi plastik itu tidak murah.”
“Bapak kan punya banyak uang?” kata bu Candra memaksa.
“Memang ada, tapi kan aku juga punya kebutuhan lain.
Nanti Nurani akan kuliah, dan pasti juga membutuhkan biaya banyak.”
“Nurani lagi,” keluh bu Candra dalam hati.
“Kita tunggu saja nanti bagaimana hasilnya. Kan
lukanya belum kering benar, sehingga kulitnya belum mengelupas semuanya.”
“Karina tidak bisa terus menerus berada di kamar. Tapi
dia malu untuk keluar.”
“Dia juga harus bekerja kan? Masih mau kerja tidak?”
“Maka dari itu, harus ada penanganan untuk membuat
wajahnya bersih kembali.”
“Itu kita pikirkan nanti. Sekarang ini lebih baik memakai
cadar untuk menutupi bekas lukanya.”
“Bapak punya ide dari mana? Usulan dari Nurani?”
“Mengapa kamu membawa-bawa Nurani?”
“Soalnya tadi Nurani mengusulkan hal yang sama.
Memakai cadar.”
“Aku bahkan belum bertemu Nurani sejak pulang dari
kantor, kecuali ketika dia menyajikan susu coklat di meja ini,” kata pak Candra
sambil mengerutkan keningnya.
“Oh, kirain. Soalnya kok bisa punya pemikiran yang
sama.”
“Itu ide terbaik daripada terus mendekam di kamar kan?”
“Ya, tampaknya itu masuk akal. Nanti ibu mau bilang
sama Karina.”
“Katakan juga, dia masih mau bekerja tidak? Kalau terlalu
lama absen juga tidak bisa, apalagi hanya dengan alasan malu dilihat orang.
Jadi kalau mau menutup wajahnya pakai cadar, suruh dia melakukannya, lalu kembali bekerja. Kalau
tidak mau, aku akan mencari orang lain untuk menggantikannya."
Bu Candra termakan oleh ancaman pak Candra. Sebagai
apapun, Karina harus dilibatkan dalam pekerjaan di perusahaan suaminya, kalau
tidak, bu Candra khawatir Karina tidak akan tahu apa-apa tentang perusahaan,
dan pada suatu hari akan dikalahkan Nurani.
Itu sebabnya, bu Candra segera mencarikan cadar untuk
Karina, dan memaksanya masuk bekerja pada keesokan harinya.
***
Hari berjalan begitu cepat. Luka Karina sudah
benar-benar mengering, dan benar saja, bekas luka itu meninggalkan
lobang-lobang seperti bopeng, bahkan ada bekas yang memanjang. Benar perkiraan
bu Candra, bahwa salah satu pemicunya adalah karena luka garuk yang sangat
dalam.
Karina sangat sedih karena ia harus memakai cadar
selama berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. Harapan untuk bisa merebut hati
Andre pupus sudah. Saat masih kelihatan cantik saja susah, apalagi dengan wajah
bopeng seperti sekarang. Hal itu membuat kebenciannya terhadap Nurani semakin
bartambah. Padahal Nurani selalu bersikap baik, bahkan setelah Karina pernah
bermaksud membunuhnya.
***
Hari itu Nurani dipanggil oleh bapak kepala
sekolahnya. Nurani berdebar.
“Nurani, melihat prestasi kamu di sekolah, kami
menawarkan sesuatu untuk kamu,” kata pak kepala sekolah sambil tersenyum ramah.
Selama di sekolah Nurani selalu berprestasi, dan bersikap baik, bukan hanya
kepada para guru, tapi juga kepada teman-temannya yang umurnya tentu saja jauh
di bawahnya. Itu sebabnya dia juga disayangi oleh para guru di sekolah itu.
Nurani hanya menatap kepala sekolahnya, menunggu apa
yang akan dikatakannya.
“Maukah kamu mengikuti ujian akhir tahun ini?”
“Ujian akhir? Apakah itu berarti, kalau saya lulus,
maka saya tidak lagi sekolah di sini?”
Kepala sekolah yang sudah separuh baya itu tersenyum
lucu.
“Tentu saja Nurani. Kalau kamu lulus, berarti kamu
sudah lulus, sudah bukan lagi murid SMA, tapi bisa melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi, yaitu masuk ke perguruan tinggi.”
Mata Nurani berbinar. Kalau demikian halnya, ia bisa
mempersingkat waktu dalam menjalani pelajaran sekolah SMA nya. Tapi Nurani
masih ragu.
“Apa saya bisa? Bagaimana kalau gagal?”
“Namanya orang berusaha itu, bisa gagal, bisa juga
berhasil. Kalau berhasil, bersyukurlah, kalau tidak berhasil, ya terimalah
dengan ikhlas. Begitu kan? Tapi boleh dong, berusaha.”
“Saya sebenarnya ragu.”
“Kamu itu pintar. Kamu menguasai hampir semua
pelajaran dengan sangat baik. Apa selama di rumah kamu banyak membaca buku-buku
sekolah?”
“Iya Pak, kakak saya yang memberikan buku-bukunya.”
“Mengapa juga dulu kamu tidak langsung masuk sekolah?”
Nurani terdiam. Tentu ada sebabnya, mengapa setelah
SMP dia berhenti. Bahkan tetap tidak mau walau ayahnya memaksa. Ia sangat takut
kepada ibu tirinya. Tapi yang namanya Nurani, mana mau dia menjelekkan orang
lain?
“Baiklah, tidak apa-apa. Barangkali ada penyebabnya
mengapa kamu tidak sejak dulu melanjutkan sekolah, tapi aku tak ingin tahu. Yang
jelas kamu mampu dan kamu bisa.”
Nurani mengangguk.
“Jadi kamu mau ya, didaftarkan ikut ujian akhir?”
“Baiklah, saya akan mencobanya Pak.”
“Bagus. Kamu punya semangat tinggi. Kami para guru
akan mendukung kamu.”
“Terima kasih banyak, Pak,” jawab Nurani dengan wajah
berseri.
***
Sepulang dari sekolah, Nurani berharap Rian
menjemputnya. Ia ingin segera menceritakan tawaran kepala sekolah yang sangat
membahagiakannya.Tapi Nurani terkejut, ketika yang menunggunya adalah Siswati,
teman Rian.
“Nurani!”
Nurani mendekati Siswati.
“Kok Mbak Sis ada di sini?”
“Aku menjemput kamu Nur.”
“Menjemput saya? Mengapa bukan mas Rian?”
“Mas Rian sedang giat mencari bahan untuk skripsi, dia
minta agar aku nyamperin kamu di sekolah.”
“Ya ampun, mengapa jadi repot untuk saya? Saya kan
bisa pulang sendiri.”
“Kamu tidak suka, aku yang menjemput kamu?” tanya
Siswati kecewa.
“Tidak … tidak … mengapa Mbak Sis mengira begitu? Saya
hanya sungkan karena jadi merepotkan.”
“Tidak repot kok. Kebetulan aku pulang di jam ini, dan
kebetulan pula, rumahku melewati sekolah kamu. Dan kebetulannya lagi, aku juga
membawa motor sendiri. Biasanya aku membonceng mas Rian, tapi karena motor di
rumah tidak dipakai, jadi aku bawa motornya untuk kuliah.”
“Benar nih, tidak merepotkan?”
“Tidak Nur, aku senang melakukannya.”
Akhirnya Nurani pulang dengan dibonceng Siswati.
Mereka mampir di warung bakso atas permintaan Nurani. Ia ingin mentraktir
Siswati karena telah susah payah menjemputnya.
“Mbak Sis, hari ini aku mentraktir Mbak ya.”
“Biar aku saja, kita kan belum pernah makan bareng.”
“Tidak, tadi bapak memberi uang saku, jadi aku punya
uang lebih,” kata Nurani.
Mereka makan dengan nikmat, dan ternyata Nurani mulai
menyukai Siswati. Dia gadis yang cantik dan ramah, membuat Nurani cepat menjadi
akrab.
“Sebenarnya aku ingin segera ketemu mas Rian, jam
berapa ya mas Rian pulang?”
“Katanya sih agak siang, kalau sudah cukup bahan-bahan
yang dibutuhkan. Memangnya kenapa?”
“Aku ingin bilang, bahwa aku ditawarin ikut ujian
akhir oleh kepala sekolah aku.”
“Oh ya? Benarkah?”
Nurani mengangguk.
“Mas Rian sudah sering cerita tentang kamu. Katanya
kamu pintar. Bagus kalau kamu bisa melewatinya, sehingga bisa segera kuliah
nanti.”
“Belum tentu juga lulus. Aku kan hanya mencoba saja.”
“Kamu pasti lulus, aku doakan kamu Nur.”
“Terima kasih.”
“Nanti telpon saja mas Rian, supaya segera mendengar
berita menyenangkan ini.”
“Baiklah. Tapi nanti saja kalau dia sudah pulang,
takutnya mengganggu.”
***
Waktu begitu cepat berlalu, dan perkiraan semua orang
adalah benar. Nurani lulus dalam ujian itu. Membuat pak Candra begitu bahagia.
Malam itu pak Candra mamanggil Nurani. Ia ingin bicara
tentang kelanjutan pendidikan untuk Nurani. Pak Candra sudah mempersiapkan
semuanya.
“Nur, sekarang katakan pada bapak, kamu mau
melanjutkan ke mana. Bapak sudah mempersiapkan semuanya untuk kamu."
Tapi pak Candra heran, melihat Nurani menundukkan
wajahnya.
“Jangan bilang kamu tak ingin melanjutkan pendidikan
kamu ya,” kata pak Candra.
Nurani diam beberapa saat lamanya, sebelum kemudian
mengatakannya dengan tegas.
“Memang benar Pak, lebih baik Nurani tidak melanjutkan
kuliah saja.”
Pak Candra terhenyak. Ia menatap tajam anaknya. Sangat
kecewa dengan jawabannya.
“Kamu membuat bapak kecewa Nur.”
“Ada yang lebih penting daripada membiayai kuliah
Nurani Pak.”
“Apa itu?”
“Operasi plastik untuk Karina.”
***
Besok lagi ya,