Saturday, May 18, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 01

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  01.

(Tien Kumalasari)

 

Minar melanjutkan memetik sayur di kebun. Hari ini panen kacang panjang, sangat menyenangkan. Ada sebakul yang didapatnya. Senyumnya merekah ketika dia masuk ke dalam rumah, mendapatkan ayahnya sedang minum secangkir kopi pahit, sedangkan ibunya berkutat di dapur untuk merebus singkong. Wajahnya masam, selalu mengeluh capek.

“Bu, saya baru memetik kacang panjang, nih lumayan banyak. Ibu pakai buat sayur saja?” kata Minar sambil meletakkan bakul berisi kacang panjang.

“Kacang sebegitu banyak, untuk sayur? Memangnya yang makan berapa orang?”

“Tapi ini kan nggak didapat dari beli di warung Bu, hanya dipetik di kebun.”

“Bisa saja kamu ngomong. Kalau memang kamu merasa sayang ada barang begitu banyak, bawa saja ke pasar.  Malah dapat uang, terus bisa buat beli beras,” sungut sang ibu.

“Dijual ke pasar?”

“Iya, memangnya kenapa? Kamu sadar dong Min, kamu itu anak orang tak punya. Bapakmu sudah tidak bekerja, gantian kamu yang cari uang. Jualan sayur di pasar, memangnya aneh?”

“Iya Bu, memang tidak aneh. Saya bawa ke pasar saja sekarang, biar nggak kesiangan.”

“Ya sudah, sana. Atau kamu cari pekerjaan kan bisa? Bapakmu hanya bekas satpam di sebuah perusahaan kecil, menyekolahkan kamu sampai SMA itu sudah luar biasa. Kalau nggak bisa cari pekerjaan, ya cari suami saja. Cari yang kaya, supaya bisa membantu kehidupan orang tua kamu.”

Minar yang sudah melangkah keluar sambil menjinjing bakul, menoleh ketika mendengar perkataan ibunya yang terakhir. Mencari suami? Yang kaya? Mana pantas perempuan mencari suami. Yang pantas adalah laki-laki mencari istri.

Bu Birah, sang ibu, tak peduli pada sikap Minar. Ia melanjutkan mengukus singkong  untuk makan pagi.

Ketika ia menyajikan singkong yang sudah matang di hadapan suaminya, sang suami menegurnya.

“Ada apa tadi, pagi-pagi sudah rame?”

“Itu, Minar memetik kacang panjang sebakul penuh. Aku disuruhnya memasak. Apa waras, dia itu? Masak kacang sebakul, hanya untuk bertiga?”

“Lalu dibawa ke mana tadi tuh?”

“Saya suruh jual ke pasar. Bukankah dulu saya juga sering melakukannya? Kalau sayuran di kebun banyak, pasti saya bawa ke pasar untuk tambah-tambah belanja. Habisnya, uang dari Bapak kan nggak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi kenapa sekarang Minar yang nggak punya pekerjaan itu hanya berdiam diri saja di rumah? Menjual sayur kan nggak apa-apa?”

“Memang benar.”

“Menurut aku, sebaiknya Minar dikawinkan saja Pak, setuju nggak?”

“Minar masih sangat muda.”

“Sudah lulus SMA kok muda? Gadis-gadis seusia dibawahnya itu sudah banyak yang punya anak satu atau dua.”

“Lha kalau belum ada yang mau, mau dinikahkan sama siapa?”

“Nanti aku akan coba mencarikan. Minar itu sebenarnya cantik. Cuma karena dia tidak suka berdandan saja, maka kelihatan lusuh dan kecantikannya tidak kelihatan. Mulai nanti akan aku suruh dia berdandan, biar menarik”

“Kamu seperti mau menjual anak kamu saja, Bu,” kata pak Sutar, ayah Minar, kesal.

 “Bukan begitu. Memang kalau punya anak perempuan itu kan ibaratnya punya dagangan? Mana bisa diberikan kepada sembarang pembeli. Harus diberikan kepada penawar yang cocok dong, yang kaya, yang bisa merubah kehidupan kita yang sekarang ini.”

“Dagangan?” mata Sutar terbelalak mulutnya berteriak.

“Ibaratnya. Hanya ibaratnya. Kok Bapak berteriak sih?”

“Itu ungkapan yang merendahkan. Masa anak dijadikan dagangan.”

“Huh, susah ngomong sama Bapak. Aku itu kan cuma ingin agar kehidupan kita lebih baik. Bapak yang bekas satpam itu sekarang kan tidak lagi punya penghasilan. Mana satpam di perusahaan kecil. Hanya pesangon yang tidak seberapa, terus … sekarang sudah habis, lalu kalau kita tidak berusaha, mau makan apa?”

“Besok aku mau cari pekerjaan. Jangan kamu suruh anakmu menjual sayuran. Biar aku yang bekerja.”

“Mengapa Bapak lupa, kalau aku juga suka menjual sayur hasil kebun yang bisa aku pergunakan untuk mengurangi beban biaya hidup? Anak di sayang-sayang, istri dibiarkan,” katanya sambil melangkah pergi.

Sutar menghela napas sedih. Sesungguhnya dia juga sudah mencari pekerjaan. Tapi usianya yang menjelang tua tidak membuatnya mudah mendapatkannya.

***

Siang itu Minar pulang dengan membawa uang yang kemudian diserahkan kepada ibunya.

“Nah, jadi uang kan? Berapa ini?”

“Hanya laku dua puluh lima ribu, itupun karena kacangnya masih segar.”

“Terlalu murah, sementara kalau beli harganya mahal.”

“Menjual dengan membeli kan berbeda Bu,” jawab Minar dengan wajah kesal.

“Kamu kalau bicara sama ibumu jangan sambil cemberut begitu. Bisa kualat, tahu!”

“Tidak Bu, Minar hanya lelah.”

“Manja! Hanya kepasar dan duduk diam saja mengeluh lelah. Tapi ya sudah, lumayan, bisa beli beras sekilo dan lauk. Besok coba cari lagi di kebun, apa yang bisa dijual.”

“Sudah habis kacangnya Bu. Sudah Minar ambil semua.”

“Selain kacang kan ada, di dekat parit ada banyak sayur kangkung.”

“Besok saya cari lagi Bu,” kata Minar yang kemudian langsung meninggalkan ibunya untuk mencuci kaki dan tangannya. Ia belum makan sejak pagi, dan melirik singkong di piring yang masih tersisa. Ia juga tak melihat ayahnya di rumah.

Begitu ia meletakkan pantatnya di kursi makan, ibunya mendekat dan duduk di depannya. Minar meraih sepotong singkong yang sudah tak lagi hangat.

“Bapak ke mana?”

“Nggak tahu, keluar tadi, nggak bilang mau pergi ke mana.”

“Minar, kamu tahu, kamu itu sudah dewasa,” lanjut Bu Birah.

Minar mengangkat kepalanya, sambil mengunyah singkongnya pelan.

“Kamu bisa nggak sih, dandan sedikit, gitu. Pakai bedak kek, lipstik walaupun tipis.”

Minar heran mendengar perkataan ibunya. Mengapa tiba-tiba menyuruhnya berdandan? Lipstikan pula? Mana ada lipstik di rumah itu.

“Besok ibu sisihkan sedikit uang untuk membeli bedak dan lipstik, yang murah saja kan tidak apa-apa, yang penting wajah kamu kelihatan segar.”

Minar masih menatap ibunya dengan tatapan tak mengerti.

“Memangnya Minar mau ke mana, harus memakai bedak dan lipstik?”

“Tidak ke mana-mana juga apa salahnya berdandan sedikit. Lihat, wajahmu selalu kelihatan kucel, kumuh.”

“Tidak apa-apa Bu, kan hanya di rumah saja. Aneh kalau harus berdandan.”

“Kamu itu kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Dengar, sekarang akan ibu jelaskan. Ibu akan mencarikan kamu seorang suami.”

Minar terkejut. Ia ingat ucapan ibunya sebelum berangkat ke pasar tadi. Jadi benar-benar dia akan dicarikan suami?

Merinding Minar mendengarnya. Belum pernah dia membayangkan bisa berdekatan dengan seorang laki-laki, lalu tiba-tiba akan dicarikan suami? Tangannya urung meraih sepotong lagi singkong di piring.

“Kamu itu sudah dewasa. Perempuan seumur kamu di sini sudah pada menggendong anak. Bahkan ada yang sudah punya  dua. Kamu masih merasa jadi kanak-kanak? “

“Bukan begitu, Bu. Minar belum ingin punya suami. Biar begini saja dulu.”

“Enak saja kamu, mau terus-terusan menjadi beban orang tua. Sekarang ini saatnya kamu terbebani kebutuhan orang tua. Kalau kamu belum punya pekerjaan, lebih baik menikah saja.”

Minar tidak menjawab, ia menghentikan kegiatan sarapannya, lalu pergi ke belakang untuk mengambil sapu. Saatnya bersih-bersih rumah. Tapi perkataan ibunya terus menerus terngiang di telinanya. Menikah … menikah … menikah … merinding bulu kuduk Minar, seperti melihat ulat bulu  berderet di depannya.

***

Pagi itu Birah pergi ke pasar sendirian. Ia tak suka kalau Minar yang belanja, karena kalau beli sesuatu tidak pernah menawar, langsung dibayar begitu saja. Itu dianggapnya terlalu boros. Membeli sesuatu haru ditawar. Kalau tidak, ia akan menganggapnya mahal.

Dengan uang yang tak seberapa, dan uang penjualan kacang panjang kemarin pagi, Birah ingin berbelanja ke pasar. Memang sih, paling hanya beli sekilo beras, dan sayur yang akan dibuat sayur bening, lalu beberapa potong tahu.

Ketika dia sedang melenggang pulang, tiba-tiba seseorang menghalangi langkahnya.

“Kamu ... Birah ya? Subirah kan?”

Birah terkejut. Dipandanginya laki-laki di depannya tanpa berkedip. Merasa ingat.. tapi lupa siapa. Wajah itu seperti tidak asing. Laki-laki yang tidak lagi muda, tapI kelihatan gagah. Penampilannya seperti orang kaya. Ia memakai cincin emas tebal dengan permata yang sebesar biji kelereng. Memakai kaos seperti penampilan anak muda. Tapi ia tak bisa menyembunyikan ketuaannya. Keriput di bawah mata menunjukkan bahwa umurnya sudah diatas limapuluh tahun atau enam puluhan.

“Birah, kamu masih cantik. Tapi baju kamu kelihatan lusuh. Dulu kamu meninggalkan aku, karena aku hanya anak petani dan belum bekerja. Kamu memilih seorang satpam yang lebih gagah. Tapi tampaknya sekarang kamu miskin. Lihat pakaian kamu.”

Birah terkejut. Ia segera teringat siapa laki-laki itu. Murtono. Laki-laki yang ditinggalkannya demi mengejar Sutar yang lebih gagah. Sekarang Murtono sudah menjadi laki-laki kaya? Ia melihat tadi dia keluar dari toko emas besar yang kemudian bergegas menghampirinya.

“Kamu, mas Murtono?”

Murtono tertawa. Ada dua gigi emas berbaris di gigi depannya. Itu sebabnya Birah lupa. Ia menatap Birah yang mengamatinya dengan heran.

“Kamu akhirnya ingat. Dasar pelupa.”

“Soalnya kamu sangat berbeda. Jauh berbeda.”

“Tentu saja, dulu aku laki-laki miskin yang kamu tolak. Sekarang aku menjadi pengusaha beras, yang hidup berkecukupan. Tapi aku sudah menduda. Istriku meninggalkan aku setelah melahirkan anak pertamaku. Bagaimana dengan kamu? Melihat penampilan kamu, sepertinya hidupmu tidak baik-baik saja. Ke mana suamimu? Aku yakin seumuran dia tak bakalan bisa bekerja lagi menjadi satpam. Apa dia masih hidup?”

Birah menatap sendu. Tanpa sungkan Murtono menariknya, masuk ke dalam sebuah restoran. Birah menatap kesekeliling ruangan di restoran itu. Udara sejuk karena ber AC, dan perabotnya ditata sangat menarik.

“Kamu mau mengajak aku makan?”

“Tentu saja. Masuk ke restoran tidak untuk makan, lalu apa?” katanya sambil melambaikan tangan ke arah pelayan. Pelayan yang mendekat, menatapnya heran. Laki-laki kaya itu apakah mengajak makan pembantunya?

“Kamu mau pesan apa?” tanya Murtono kepada Birah, sambil menyodorkan buku menu ke arahnya.

“Aku bingung mau makan apa, namanya aneh-aneh.”

Murtono tertawa.

“Ini bukan aneh. Kamu hanya belum pernah merasakannya. “

“Terserah kamu saja.”

“Baiklah, pesen steak ya.”

Murtono meminta agar pelayan menuliskan pesanannya. Sang pelayan yang walaupun terheran-heran, tapi nyatanya tuan kaya itu bersikap akrab, dan si wanita pun tak merasa sungkan berbicara dengannya. Kemudian pelayan itu berlalu setelah menuliskan pesanan mereka.

“Suami kamu masih ada?” Murtono melanjutkan pembicaraan itu.

“Masih ada. Aku menyesal dulu menolak kamu. Suamiku sudah tidak bekerja. Melamar ke mana-mana juga belum ada yang mau menerima.”

“Mana ada perusahaan menerima karyawan tua. Anak kamu berapa?”

“Cuma satu, perempuan. Anakku cantik lho, aku akan mencarikannya suami yang kaya. Supaya hidupku lebih baik.”

Murtono tertawa.

“Anakmu umur berapa?”

“Baru lulus SMA. Itupun aku sudah bersyukur, bisa menyekolahkannya sampai SMA.”

“Masih sangat muda. Suruh dia bekerja saja.”

“Anakku itu susah sekali disuruh berdandan. Sekilas tampak seperti gadis biasa, tapi sebenarnya dia cantik.”

“Kamu juga begitu, sedikit saja bersolek, kamu pasti juga kelihatan cantik.”

Birah tertawa masam. Ia merasa Murtono masih menyukainya. Aneh, bukankah sudah sama-sama tua?

“Bahkan untuk membeli bedak saja aku tidak bisa. Aku sedang berpikir untuk mendandani anakku, agar ada yang mau mengambilnya sebagai istri. Tapi baru menyisihkan uang untuk membeli bedak. Aku sih tidak penting.”

Pelayan menyajikan makanan yang dipesan Murtono.

“Makan dan minumlah dulu.”

Birah menatap makanan yang disajikan. Sungguh dia belum pernah makan makanan seperti itu. Sejak suaminya masih bekerja pun dia belum pernah merasakannya.

“Makanlah. Atau minumlah dulu.”

Birah menghirup jus  alpukat yang disajikan. Matanya merem melek ketika kesegaran menyusuri kerongkongannya.

“Enak sekali.”

“Makanlah, kalau perlu pesan untuk dibawa pulang.”

“Tidak. Aku harus bilang apa kalau suami aku bertanya tentang makanan yang aku bawa?”

“Katakan saja ketemu teman lama dan memberi kamu makanan.”

“Ya sudah, nanti gampang.”

Birah menatap Murtono yang mengiris daging di pinggannya, lalu mencocol daging itu dengan garpu yang tersedia, barulah dia ikut melakukannya, walau dengan sikap kaku.

“Enak?”

Birah tak sanggup menjawab karena mulutnya penuh daging. Terlalu besar ia  mengirisnya tadi. Jadi dia hanya mengangguk.

“Kamu tahu? Aku ingin melihat kamu berdandan. Aku yakin kamu masih cantik.”

Birah tersenyum tipis. Hal yang tak mungkin bisa dilakukannya bukan?

Tiba-tiba Murtono mengeluarkan setumpuk uang di meja.

“Ini untuk kamu. Beli apa yang kamu suka.”

“Ini … apa?”

“Itu uang, kamu kira apa? Ini untuk kamu.”

Gemetar tangan Birah ketika menyentuh uang itu.

“Aku tidak membawa uang banyak. Itu hanya dua juta.”

“Dd..dua juta?”

“Hmhm, dua juta, segera simpan, nggak enak dilihat orang.”

Birah memasukkan uangnya ke dalam dompetnya yang kecil. Ia harus menekannya agar uang itu cukup masuk ke dalamnya.

“Tapi ada syaratnya.”

Birah menatapnya heran.

“Jadilah istriku.”

“Apa? Aku kan masih punya suami?!”

***

Besok lagi ya.

Friday, May 17, 2024

SURAT KEPADA KAWAN

 SURAT KEPADA KAWAN.

(Tien Kumalasari)

 

Kawan, SEPENGGAL KISAHku, sudah aku ungkapkan SAAT HATI BICARA. Juga saat SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA. Aku tahu DALAM BENING MATAMU, apa yang sesungguhnya engkau rasakan. Apa kamu ingat saat aku bertemu LASTRI? Dia gadis yang baik, bahkan menjadi sahabat terbaikku. Ketika kau titipkan SETANGKAI MAWAR BUAT IBUmu, aku juga sudah melaksanakannya. Semoga kamu tidak kecewa. Kugenggam setangkai KEMBANG TITIPANmu erat-erat, bunga yang lain lagi, yang kau katakan hanya untukku. Indah, tak kan kulepaskan selamanya. Kawan, kamu ingat kawan kita Lestari? Bukankah LESTARI PUNYA MIMPI yang tak pernah tercapai hingga sekarang? Kasihan. Suatu saat aku ingin menemuinya.

Kawan, Lihatlah CINTAKU ADA DIANTARA MEGA. Bergulung di langit lepas, berkawan dengan bulan dan bintang. Tapi kamu harus tahu,  sudah ada BUAH HATIKU yang selalu menemani aku. Ia cantik BAGAI REMBULAN, tapi masih ADA YANG TERSISA untukmu. Percayalah, kamu adalah SANG PUTRI yang luar biasa bagiku. Walaupun kamu dekat dengan AYNA, tapi JANGAN BAWA CINTAKU pergi. Jangan biarkan aku MENGAIS CINTA YANG TERSERAK. Tunggu kedatanganku, akan aku bawakan kamu sebungkus kesukaanmu, ROTI CINTA. Mengapa aku namakan begitu? Karena ada cintaku di dalam roti itu.

Aku pernah membaca surat yang kamu sembunyikan dariku, surat dari kekasihmu, yang menyebutmu sebagai MELANI KEKASIHKU. Tapi aku sedih ketika dia menyebutmu MEMANG KEMBANG JALANAN. Keterlaluan dia itu. Tapi aku senang ketika kamu menulis untuknya yang kau kirimkan dengan ungkapan BUKAN MILIKKU. Itu benar, tak pantas memiliki seseorang yang telah merendahkanmu.

ADUHAI-AH, lalu kau temukan seseorang yang menyebutmu KEMBANG CANTIKKU. Aku ikut bahagia, karena kamu telah menemukan seseorang yang memiliki SEBUAH JANJI. Bahkan dia mengatakan kepadamu, JANGAN PERGI. Itu adalah cinta yang murni. Setialah kepadanya, apalagi setelah dia memberikanmu KANTUNG BERWARNA EMAS. Bukan hanya karena isinya yang berharga, tapi ungkapan cintanya yang sangat manis.

Kawan, walau kita tak pernah bertemu, terima juga SETANGKAI BUNGAKU, percayalah bahwa aku memiliki cinta yang manis. Percaya jugalah, bahwa CINTAKU BUKAN EMPEDU.

Kawan, aku memiliki SEBUAH PESAN untukmu, bahwa kamu selalu ada, sebagai BUNGA TAMAN HATIKU, yang walau musim kering, tapi BERSAMA HUJAN akan selalu membuatnya menawan.

Rasanya sudah panjang suratku ini, barangkali lain kali bisa disambung lagi ya, aku sedang membeli bunga nih, BUNGA UNTUK IBUKU. Jangan salahkan aku, kalau ADA CINTA DIBALIK RASA, kalau kamu lama tak membalas cintaku. Kalau kau datang nanti, akan aku siapkan senampan bunga MELATI kesukaanmu.

Sampai katemu lagi.

 

Dari kawan masa kecilmu.

 

Wednesday, May 15, 2024

M E L A T I 45

 M E L A T I    45

(Tien Kumalasari)

 

Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya. Bagaimana kalau nanti membuat onar, atau mempermalukan dirinya.

“Mas, ada bu Nely,” kata Melati pelan.

“Biarkan saja, kalau dia akan membuat onar, akan aku hajar dia,” jawab Daniel.

“Sssst,” bisik Melati khawatir, karena Daniel bicara agak keras.

Sementara itu Nurin menggandeng ibunya memasuki arena resepsi, wajahnya biasa saja, tapi Melati melihat Nurin tampak begitu gembira. Padahal tadinya ia tahu bahwa Nurin ingin sekali menjadi pendamping pengantin bersama Daniel. Bagaimana kalau karena kecewa kemudian Nurinpun bersikap kasar?

Tiba-tiba saja, Nurin terlihat sudah naik ke atas mimbar pengantin, menyalami Anjani dan Jatmiko, menyusul yang lainnya.

“Selamat ya mbak, ikut bahagia melihat Mbak seperti ini,” kata Nurin yang kemudian memeluk Anjani.

“Nurin, senang sekali kamu mau datang. Sama siapa?” tanya Anjani ramah.

“Aku bersama ibu. Ini ibuku,” kata Nurin sambil menarik tangan ibunya.

“Selamat ya Nak. Tadi Nurin memaksa aku supaya ikut datang ke pesta ini.”

“Terima kasih banyak, Bu. Senang sekali ibu mau datang. Tadinya Nurin yang akan menjadi pendamping pengantin, tapi karena Nurin sakit, jadi digantikan Melati. Itu, dia duduk di sana,” kata Anjani lagi.

“Tidak apa-apa Mbak, Melati lebih pantas. Saya senang bisa menjadi bagian dari pesta yang meriah ini.”

“Semoga kamu segera menyusul.”

“Aamiin.”

Setelah menyalami pengantin pria juga, Nurin menarik tangan ibunya, mendekati Daniel dan Melati yang sedang duduk berdampingan. Melati berdebar, ia duduk lebih mendekat ke arah Daniel. Harapannya hanya satu, kalau memang ingin ribut, sebaiknya di luar saja. Tapi ia tercengang, ketika bu Nely menyalami Daniel dengan wajah manis.

“Nak Daniel, saya minta maaf,” katanya sambil menggenggam tangan Daniel. Daniel merasa, telapak tangan bu Nely berkeringat.

“Maaf untuk apa Bu, saya tidak mengerti.”

“Selama ini saya selalu menganggap nak Daniel buruk, gara-gara Nurin melaporkan yang tidak-tidak. Saya terpancing dan tidak bisa berpikir jernih. Tidak tahunya anak saya yang salah.”

“Lupakan saja Bu, silakan duduk,” kata Daniel sambil tersenyum tipis.

“Saya berterima kasih sekali, nak Daniel justru mencabut laporan itu, melepaskan Nurin dari jerat hukum.”

“Bukan saya yang mau, tapi dia,” kata Daniel sambil menunjuk Melati yang duduk di sampingnya tanpa mengucapkan apa-apa.

Bu Nely segera mendekati Melati, menyalaminya dengan hangat.

“Maafkan saya Nak, saya begitu jahat sama kamu, tak tahunya kamu sangat baik dan budimu sangat mulia. Maaf ya Nak,” mata bu Nely berkaca-kaca.

“Tidak apa-apa Bu, dalam hidup memang terkadang kita harus melalui banyak sandungan. Bersyukur kalau kita bisa melewatinya. Sudah, mari silakan duduk,” kata Melati sambil menunjukkan ke tempat kursi yang masih kosong. Nurin yang mengikutinya juga mengatakan hal yang sama, kepada Daniel maupun Melati. Nurin merangkul Melati sangat erat.

“Melati, kapan kalian menikah?” kata Nurin lirih.

“Doakan saja mBak,” lalu Melati membawa bu Nely dan Nurin ke kursi yang tadi ditunjuknya.

“Kamu cantik sekali, Melati,” sambungnya ketika bersama ibunya dia sudah duduk.

“Ah, bisa saja,” jawab Melati tersipu.

“Itu benar, aku ikut berbahagia melihat kamu bersanding dengan mas Daniel. Kalian pasangan yang serasi.”

“Saling doa ya Mbak, semoga mbak Nurin juga segera mendapatkan jodoh yang baik, yang saling mencintai,” jawab Melati yang kemudian berlalu.

Melati kembali ke kursinya dan bernapas lega.

“Rupanya mereka sudah tahu bahwa Mas mencabut laporan itu, dan barulah mereka benar-benar sadar,” kata Melati sambil tersenyum.

“Bukankah dalam hidup kita harus melalui banyak sandungan?” kata Daniel sambil tersenyum. Ia mengulangi apa yang tadi dikatakan Melati kepada Nurin.

“Bersyukur kita bisa melaluinya, bukan? Seperti hidupku ini mas, beberapa sandungan sudah terlewati.”

“Seperti hidupku ini juga.”

“Semoga untuk selanjutnya kita akan menemukan ketenangan.”

“Dan kebahagiaan,” sambung Daniel.

“Aamiin.”

“Melati, kamu tahu apa yang sekarang aku pikirkan?”

“Apa?”

“Aku ingin segera seperti mereka,” bisiknya di telinga Melati, membuat Melati tersipu, sehingga wajahnya kemerahan.

***

Di tempat duduknya, bu Nely masih tampak seperti sedang gelisah. Sikap Daniel yang dingin, menunjukkan bahwa hatinya masih kurang senang.

“Bu, pengantinnya cantik sekali ya.”

“Iya.”

“Mengapa ibu dari tadi diam saja? Karena nggak ada yang kenal?”

“Tidak, ibu sedikit pusing.”

“Apa kita pulang saja?”

“Sebentar lagi saja, kelihatannya kamu masih senang menikmati.”

“Senang lah Bu, melihat wajah-wajah cantik. Melati juga sangat cantik. Harusnya aku yang jadi pendamping pengantinnya.”

“Kamu menyesal?”

“Sesal itu ada, tapi semuanya salah Nurin.”

“Daniel tampaknya masih marah, tadi sikapnya dingin, senyumannya seperti terpaksa. Ibu jadi semakin merasa bersalah.”

“Nurin yang salah Bu, Nurin juga harus minta maaf sama Ibu.”

“Kamu sudah berumur, bagi seorang gadis. Sudah saatnya kamu menikah. Tapi rupanya kamu masih saja suka berhura-hura seperti gadis belasan tahun.”

“Iya Bu, nanti Nurin akan belajar menjadi dewasa.”

“Jangan lagi melakukan kesalahan dalam bertindak. Kamu seorang gadis, harus bisa menjaga kewanitaan kamu. Sebuah kesalahan tidak bisa secara langsung membuat perasaan kita terhapus dari rasa bersalah, walaupun kita sudah mendapatkan maafnya. Rasa berdosa itu akan terus menghantui, dalam waktu yang panjang.”

“Iya, Nurin merasakannya. Sampai sekarang Nurin masih merasa takut kalau bertemu mas Daniel. Kelihatannya dia benci sekali pada Nurin.”

“Jangankan kamu, ibu saja tadi juga merasa, dia menyalami ibu tidak dengan rasa ikhlas. Sampai sekarang kepikiran terus, nggak enak rasanya.”

“Iya, itu benar, Bu.”

Keduanya berdiam beberapa saat lamanya. Di dalam sebuah perjamuan, mereka menumpahkan perasaan yang membebani, dan terasa sakit. Barangkali karena bertemu Daniel, dan sikap Daniel masih seperti ketemu orang asing. 

Berkali-kali bu Nely menghela napas panjang.

“Jadi sedih kalau mengingatnya. Sekarang ini, ibu menyesal meninggalkan kamu terlalu lama, sehingga tidak bisa mengawasi kamu, yang ibu kira sudah bisa bertindak dewasa, ternyata belum.”

“Ibu jangan kembali ke luar negri lagi ya.”

“Akan ibu pikirkan. Sebenarnya ibu sedang dalam proses bercerai.”

“Bercerai?”

“Suami ibu selingkuh dengan gadis sebangsanya. Lebih baik memang ibu pulang.”

“Ya ampun Bu, Nurin senang sekali.”

Wajah Nurin berseri, kalau tidak ingat bahwa sedang berada di dalam suasana perjamuan, pasti ia sudah memeluknya sambil menangis.

***

Disebuah tempat duduk yang lain, Nilam mengawasi Melati dan Daniel yang tampak bersanding dengan sesekali bertatapan mesra.

“Mas, lihatlah, mereka serasi bukan?” tanyanya kepada sang suami yang duduk di sampingnya.

“Pengantinnya?”

“Bukaaan, Mas melihat pengantinnya terus ya, belum bisa melupakan bekas pacar?” seloroh Nilam.

“Eh, siapa yang bekas pacar?”

“Halaah, nggak usah ngeles deh, dulu pernah suka kan?”

“Kamu itu ada-ada saja. Buktinya kan aku memilih kamu, berarti memang kamu yang aku cintai.”

“Tapi Mas melihatnya terus dari tadi.”

“Ngawur. Memang namanya pengantin ya jadi pusat perhatian. Kok cemburu sih?”

“Yeee, siapa yang cemburu? Duh, jadi lupa tadi mau ngomong apa …” keluh Nilam.

“Ngomong serasi, aku kira ngomongin pengantinnya.”

“Itu, yang serasi tuh, mas Daniel sama Melati.”

“Oh, iya … dari tadi aku juga mau ngomong begitu. Kapan ya rencananya mereka mau menikah?”

“Kemarin ketika lamaran, ibunya bilang tiga bulan lagi. Kelamaan ya Mas?”

“Nanti kita omong-omong lagi sama mas Daniel. Kelihatannya dulu itu dia juga keberatan. Dia inginnya buru-buru.”

“Benar. Bukankah kita sudah mempersiapkan semuanya?”

“Ya sudah, tinggal menunggu kapan maunya mereka, nanti kita bicara lagi deh.”

Nilam mengangguk senang. Ingin rasanya melihat sang kakak segera hidup berbahagia bersama gadis pilihannya.

“Tapi kita nggak bisa lama lhoh mas, setengah jam lagi kita pulang.”

“Ya, aku sedang memikirkannya, soalnya Ndaru pasti sedang menunggu.”

“Benar, tadi lupa meninggalkan stok ASI di kulkas.”

***

Ketika Melati pulang dari bekerja di suatu sore, dilihatnya sang ibu sedang melamun. Melati langsung mendekatinya.

“Ibu, sedang memikirkan apa?”

“Oh, kamu sudah pulang?” kata sang ibu yang terkejut ketika tiba-tiba Melati sudah ada di dekatnya.

“Tuh … kan, ibu kelihatan sedang memikirkan sesuatu.”

“Iya. Tadi pagi nak Nilam datang kemari, katanya sih cuma mampir, tapi ternyata dia berbicara soal pernikahan kamu nanti.”

“Bu Nilam bicara apa? Tidak ingin membatalkannya kan?”

“Tidak, mengapa kamu berpikir begitu?”

“Soalnya ibu melamun, kelihatan sedang memikirkan sesuatu yang berat.”

“Bukan terlalu berat, cuma agak bingung. Nak Nilam mengusulkan agar pernikahan diadakan bulan depan, bukankah terlalu cepat? Kita belum mempersiapkan apapun.”

“Satu bulan, Bu?”

“Iya, katanya, dia sudah bicara sama nak Daniel, dan nak Daniel sangat setuju. Memang sih, katanya yang akan mempersiapkan semuanya nanti keluarga nak Nilam, tapi sebagai pihak pengantin putri, ibu kan tidak bisa diam saja.”

“Sebenarnya Melati juga ingin, tidak usah terlalu mewah, sederhana saja, toh yang penting itu sah. Tapi mereka bukan orang biasa seperti kita.”

“Itulah yang menjadi beban pemikiran ibu.”

“Bu, kita tidak usah mengimbangi mereka. Ibu mau apa, ya semampu ibu saja. Kalau mereka ingin ada resepsi, terserah mereka. Yang penting nikahan di rumah ini secara sederhana, semampu kita.”

“Ya sudah, ibu punya tabungan cuma sedikit.”

“Melati juga punya, tapi masih ada uang yang dari pak Samiaji itu kan. Pokoknya ibu tidak usah ikut memikirkan. Biar Melati saja.”

Karti merasa lega setelah berbincang dengan anaknya. Memang benar, pernikahan sederhana, semampunya. Karti tidak usah terlalu memikirkannya.

“Sebenarnya Melati juga sedih Bu. Kalau Melati menikah, mas Daniel pasti mengajak Melati tinggal di rumahnya. Lalu … Ibu sama siapa?”

“Mengapa kamu memikirkan ibu. Orang tua bersyukur, kalau anaknya bisa hidup berkeluarga dan bahagia. Soal ibu sama siapa, memangnya kenapa? Kiri kanan kita adalah tetangga yang baik, ia bisa menjadi teman dan saudara bagi ibu. Kita juga sering saling kunjung mengunjungi. Ibu tak akan kesepian.”

“Maukah ibu ikut bersama Melati?”

“Tidak nduk, ibu lebih nyaman tinggal di rumah ini. Kamu tidak usah khawatir, toh setiap saat kamu masih bisa mengunjungi ibu? Kita tidak berjauhan kan?”

“Iya, ibu benar. Kita tidak akan berjauhan," kata Melati sambil memeluk ibunya.

***

Dan hari bahagia itu tiba. Memang, pernikahan diadakan di rumah Karti yang sederhana, tapi hari itu juga, keluarga Wijan mengadakan resepsi yang lumayan besar. Daniel dan Melati yang sebenarnya keberatan, tak bisa menolak, karena keluarga mereka sudah mempersiapkan semuanya.

Tamu undangan yang terdiri dari para pengusaha berdatangan, karena mereka memandang Wijan dan tentu saja Raharjo, sebagai pengusaha yang terkemuka di kota itu.

Melati dan Daniel tampak kelelahan, berdiri menyalami ribuan undangan yang berdatangan.

Hampir tengah malam, kedua pengantin baru bisa masuk ke dalam kamarnya, dengan tubuh letih dan lelah.

Melati sedang membersihkan wajahnya dari make up yang memoles wajahnya, ketika tiba-tiba mendengar sesuatu yang mengejutkan.

Suara orang terjatuh?  Melati bangkit dan berlari ke arah datangnya suara. Wajahnya yang masih basah berubah kepucatan ketika melihat Daniel terbaring di lantai. Melati menubruknya dan berteriak memanggil namanya.

“Mas, bangun maas, kamu kenapa mas?” Melati menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan panik.

Ia meraba keningnya, terasa biasa saja, tapi Daniel tak menjawab sepatah katapun.

“Maaas, aduh … apakah ada minyak gosok di sini?”

Melati mondar mandir di kamar pengantin itu, dan tak menemukan obat gosok apapun. Ia kembali mendekati Daniel yang masih saja terdiam.

“Maaas, bagaimana ini, aku akan minta tolong keluar, agar membawa Mas ke rumah sakit,” kata Melati sambil beranjak berdiri, tapi tiba-tiba tangannya terasa dipegang seseorang. Melati terkejut, sehingga ia terjatuh, menimpa tubuh suaminya. Melati terbelalak. Daniel tertawa terbahak. Rupanya ia hanya berpura-pura jatuh untuk menggoda istrinya.

“Mas Danieeeel!! Rupanya modus ya!!”

Bahagia itu sederhana bukan? Malam yang larut, tak membawa gulita, karena bintang bertaburan menghiasi langit biru. Bukankah mendung telah berlalu?

 

T A M A T

 

Ketika Satria turun dari mobil, dilihatnya sang ibu sedang berdiri di teras.

“Satria, ibu sudah mendapatkan pembantu dari tetangga sebelah, mengapa kamu mencari pembantu lagi?” tanyanya sambil menatap gadis muda yang datang bersama Satria.

“Ibu, ini calon istri Satria, bukan calon pembantu.”

Woow, cerita apa pula ini? Tungguin ya, judulnya “KUPETIK SETANGKAI BINTANG”

 

_______________________

 

Puisi tentang melati

 Mimpiku tergantung di awang

mimpiku selalu terbayang

diantara serpihan buih yang menebar dilautan

diantara gumpalan mega yang bergulung diantara awan.

heiii..

aku mendengar bisikmu..

membawa berita penuh suka dan ria

lihatlah nampan yang kubawa

berkuntum melati cantik berseri

bukankah aromanya menusuk sanubari?

selamat pagiiiii

Tuesday, May 14, 2024

M E L A T I 44

 M E L A T I    44

(Tien Kumalasari)

 

Nurin menggenggam ponselnya, menatap Daniel dengan takut-takut.

“Anjani mengirim pesan sejak kemarin, tapi aku tidak membuka ponselku. Ia … mengingatkan aku … tentang ….”

“Kamu tidak perlu mengingat ingat. Kamu urung menjadi pendamping pengantin.”

“Ttapi … dia ….”

“Itu kan pertanyaan basi. Dia sudah menelpon aku. Aku menjadi pendamping, tidak bersamamu,” katanya dingin. Rasa kesal dan marahnya kepada Nurin belum juga hilang, walau gadis itu telah meminta maaf.

“Mas Daniel, sebenarnya tidak apa-apa, mbak Nurin pasti sudah siap untuk melakukannya. Apalagi sudah berjanji untuk_”

“Tidak ada janji-janji. Sudah aku putuskan,” potong Daniel yang tidak suka membicarakan soal pendamping pengantin itu.

“Tapi ….”

“Masukkan sepeda kamu, biar ditaruh sini saja.”

“Maksudnya?”

“Sudah hampir malam, aku akan mengantar kamu.”

“Tap.. pi… “

“Mana kunci sepeda, biar aku saja memasukkannya. Kamu tidak usah naik sepeda, apalagi malam-malam. Sengaja ya, biar diculik orang ganteng?” seloroh Daniel, walau wajahnya tetap serius.

“Sama mbak Nurin juga kan?” tanya Melati sambil menahan senyum.

“Aku pulang sendiri saja. Mana bisa bonceng berdua,” kata Nurin.

“Jangan.” Melati meraih lengan Nurin.

Melati baru ingat, sekarang Daniel punya mobil, hadiah dari adik iparnya. Ia melihat Daniel memasukkan sepedanya di garasi samping yang semula ditutup. Nurin melihat ada mobil berwarna silver di sana. Jadi Daniel sudah punya mobil, pikir Nurin, tapi dia tidak mengucapkan apapun.

“Aku pulang sendiri saja,” katanya kepada Melati, tapi Melati menggenggam tangannya erat.

“Jangan khawatir, pasti sampai rumah kok. Sebenarnya saya lebih suka bersepeda seperti tadi, asyik kan? Tapi mas Daniel itu kalau sudah punya kemauan, sulit ditahan. Dia akan marah kalau kita menolak.”

“Dia hanya mau mengantarkan kamu,” kata Nurin sedih.

“Kata siapa? Aku mana membiarkan mbak Nurin pulang sendiri? Kita berangkatnya sama-sama, jadi pulangnya juga harus sama-sama.”

Sementara itu Daniel sudah mengeluarkan mobil barunya. Bukan untuk pamer, memang dia ingin mengantarkan kedua gadis yang mendatanginya sore itu, jadi tidak mungkin ia membawa motornya.

“Ayo naik,” titah Daniel tanpa menatap keduanya.

Melati menarik tangan Nurin, mendekati mobil.

“Melati di depan, aku bukan sopir.”

Ya ampun, ternyata Daniel kalau marah juga tampak sangar. Tapi gantengnya itu, kenapa tak juga hilang? Melati menatapnya, menahan debar jantungnya. Ia tahu Daniel masih kesal, tapi ketika dia meminta agar Nurin meminta maaf supaya dia mau mencabut laporannya, hal itu sudah terlaksana. Melati pasti akan menagih janji itu. Kalau tidak ….

Mobil berjalan melaju. Dalam keadaan biasa, Nurin pasti mengatakan, atau bertanya. Mobilnya baru ya? Tapi ia tak mengucapkannya. Masih merasa ngeri melihat tatapan Daniel yang tajam seperti belati baru di asah.

Ketika kemudian sampai di rumah Nurin, Melati ikut turun. Daniel menegurnya.

“Hei, mau ke mana kamu?”

“Mengantarkan mbak Nurin lah mas, masa dibiarkan turun begitu saja,” kata Melati yang kemudian membukakan pintu belakang untuk Nurin.

“Terima kasih Mas,” katanya sebelum turun.

“Hmm,” hanya itu jawaban Daniel.

Melati mengantarkannya sampai ke depan rumah. Ia ingin langsung pamit, tapi tiba-tiba bu Nely keluar dari dalam rumah. Ia menatap keduanya dengan pandangan marah.

“Dari mana kamu?”

“Dari … pergi sama Melati.”

“Saya mengantarkan mbak Nurin, Bu,” kata Melati sambul agak membungkukkan badannya.

“Kamu ada-ada saja. Apa kamu pikir Melati akan bisa menolong kamu dari jeratan hukum? Aku sibuk mencari pengacara, kamu malah pergi nggak jelas,” omel  bu Nely sambil menarik tangan Nurin, tanpa mempedulikan perkataan Melati.

“Saya permisi dulu,” kata Melati yang kemudian membalikkan badannya.

“Terima kasih, Melati,” teriak Nurin sambil masuk ke dalam rumah, karena ibunya menarik lengannya dengan kasar.

Ketika sampai di luar, Daniel menegurnya dengan wajah masam.

“Kok lama sekali sih?”

“Masa lama? Aku hanya mengantarkan, kemudian balik lagi ke sini.”

Daniel menjalankan mobilnya pelan.

“Mas jangan marah-marah terus. Bukankah mbak Nurin sudah meminta maaf?”

“Bisa-bisanya kamu memaksa orang untuk meminta maaf.”

“Eh, siapa yang memaksa? Dia sendiri yang mau kok. Lagian kalau orang sudah minta maaf, ya harus diberi maaf. Allah saja memaafkan umatNya yang bertobat, masa Mas enggak?”

“Siapa bilang aku tidak memaafkan? Tadi kan aku sudah bilang bahwa dia aku maafkan?”

“Sepertinya nggak tulus.”

“Tulus lah, aku hanya tidak ingin dia berbaik-baik lagi sama aku. Ujung-ujungnya pasti nggak enak. Jadi aku bersikap dingin saja, supaya dia tahu bahwa aku tidak mudah dipermainkan.”

“Baiklah. Tapi itu sudah terjadi, dia sudah meminta maaf, jadi ….”

“Mengapa kamu begitu ingin agar aku mencabut laporan aku?”

“Ya ampun Mas, dia sudah menyesal. Dia sudah mengakui kesalahannya.”

“Baru tadi dia bilang begitu, tapi kan kamu memintanya sudah sejak kemarin, sebelum dia meminta maaf.”

“Aku kasihan pada dia. Sebetulnya dia baik.”

“Kalau dia baik, nggak akan melakukan hal licik seperti itu,” Daniel masih cemberut.

“Ya sudah, lupakan saja.”

“Lupa? Mana mungkin aku bisa lupa?”

“Maksudku, jangan diingat-ingat lagi, biarlah semuanya berlalu.”

Daniel diam, tapi sesungguhnya dia sangat mengagumi hati Melati. Terbuat dari apa, hati sebaik itu?

“Oh ya, bagaimana tentang pendamping pengantin itu?”

“Kok masih tanya sih, kan aku sudah jawab tadi, dan aku juga sudah ngomong sama Anjani.”

“Sepertinya dia ingin, sebenarnya apa salahnya kalau dia saja yang berpasangan dengan Mas?”

Daniel diam, mendongkol karena Melati tetap bersikeras memikirkan Nurin, yang jelas-jelas kelakuannya sangat tidak terpuji. Dirinya saja masih marah, bagaimana Melati masih bisa bersikap sebaik itu?

“Ya Mas?”

“Apa?”

“Dia sepertinya ingin.”

“Apa aku harus memenuhi setiap keinginan orang lain? Tidak. Aku hanya mau menuruti keinginan kamu.”

“Baiklah, tentang mencabut laporan itu kan?”

“Besok aku urus!”

Melati tersenyum. Ia tahu Daniel bukan laki-laki yang jahat. Dia hanya belum bisa menghilangkan sakit hatinya akibat kelakuan Nurin yang keterlaluan. Tapi bahwa dia memaafkan, itu benar. Melati senang ketika kemudian tak harus ada lagi permusuhan diantara mereka.

***

Malam itu Baskoro menunggu Daniel, yang katanya sedang berbelanja keperluan lamaran. Tapi ketika datang, Daniel tak membawa barang apapun, kecuali dua bungkus lontong sate yang kemudian diletakkannya di meja makan.

“Ayo Pak, kita makan, saya cuci tangan dulu ya.”

"Mana belanjaannya, katanya belanja?” tanya Baskoro ketika Daniel sudah kembali.

“Sudah aku serahkan pada Nilam, biar dia mengurusnya. Kita laki-laki, mana bisa mengurus pernik-pernik lamaran. Tadi saya belanja juga sama Nilam.”

“Syukurlah kalau begitu. Saya sedang berpikir untuk meminta tolong tukang daging langganan, yang anaknya pinter membuat isian baki lamaran.”

“Sudah diurus Nilam, biarkan saja.”

“Baiklah, calon pengantin juga tak akan mampu mengurus segalanya.”

“Masih lamaran. Tapi saya berharap bisa segera menikah.”

“Benar, apalagi hadiah pernikahan sudah diterima. Ya kan?” seloroh Baskoro.

Daniel tertawa.

“Saya nggak nyangka dapat hadiah dari mas Wijan. Oh ya Pak, besok kalau saya pindah ke rumah baru, pak Baskoro tetap tinggal disini saja, atau mau ikut ke rumah baru saja?”

“Ya enggak Nak, masa aku ngikutin pengantin baru? Nanti malah mengganggu. Jadi biar saya tetap di sini, menjaga rumah lama nak Daniel.”

“Ya sudah, terserah pak Bas saja.”

“Katanya mau benah-benah rumah baru? Kapan mulai? Nanti saya kan bisa bantu-bantu.”

“Sebenarnya sudah ditata rapi, tapi nggak tahu nanti, Melati mau yang seperti apa. Selera perempuan itu beda dengan selera laki-laki.”

Keduanya makan sambil berbincang tentang rencana pernikahan. Daniel ingin secepatnya.

“Saya senang, akhirnya nak Daniel menemukan wanita yang tepat.”

“Penantian saya akhirnya membuahkan hasil.”

“Kemarin nak Daniel jadi mencabut laporan itu?”

“Sudah selesai. Habis … Melati tidak mau dilamar kalau aku nggak mau mencabut laporannya.”

Baskoro terkekeh geli. Permintaan calon pengantin putri terdengar sangat aneh, tapi kalau Daniel menurutinya, mengapa tidak? Itu hal baik, berarti memaafkan.

“Padahal nak Nurin itu bukan siapa-siapanya, bukan?”

“Mereka kenal belum lama. Tapi Melati memang terkadang aneh, sedikit menjengkelkan, tapi selalu membuat saya kangen,” kata Daniel sambil menggigit sate terakhirnya.

Baskoro kembali terkekeh. Ia maklumlah, kan pernah muda, dan dulu dia juga petualang cinta. Tapi kan sudah berlalu. Sekarang adalah masa tua, yang berharap bisa melakukan sesuatu untuk darah dagingnya. Kegilaan masa lalu sudah lewat. Dia juga tidak segagah dulu. Kehidupan di penjara mengubah segalanya. Tampilan fisik maupun perasaannya sudah berubah. Sekarang saatnya mengubah hidupnya, menjalani hidup yang tenang dengan  disertai hati bersih.

***

Bu Nely marah-marah, karena pengacara yang dihubungi tidak segera memberinya kabar. Nurin yang menunggu datangnya sidang dan vonis yang membuatnya miris, gelisah sepanjang hari.

Melihat Nurin mengutak atik ponsel, bu Nely semakin kesal.

“Sebenarnya apa yang kamu lakukan? Pergilah ke kantor dan urus bisnis kamu, untuk menghilangkan kecemasan. Di sana kamu pasti terhibur, karena kesibukan yang selalu ada.”

“Nurin tidak mau ke kantor lagi Bu, tolong Ibu saja yang mengurusnya. Untuk apa Nurin mengurusinya sekarang, toh tidak lama lagi Nurin akan masuk penjara.”

Nurin memutar nomor kontak Melati. Hanya ketika berbincang dengan Melati, maka hatinya akan menjadi tenang. Gadis lugu dan sederhana itu, memang bukan termasuk kalangan orang berpunya. Tapi Nurin menyadari, bahwa Melati yang berhati lembut, selalu menebarkan pesona yang menenangkan.

Tapi sebelum Melati mengangkatnya, bu Nely merebut ponsel itu dan mematikannya.

“Ibu, ada apa sih Bu?”

“Ibu tidak suka kamu berhubungan dengan Melati. Kamu lupa, bahwa dialah yang membuat Daniel berpaling darimu. Sekarang ini, biarpun kelihatannya baik, tapi dia pasti sedang menyoraki penderitaan kamu. Kamu sangat bodoh, tidak mengerti apa-apa.”

“Melati itu baik Bu, dia selalu bisa menenangkan hati Nurin.”

“Selalu menenangkan hati kamu? Kalau dia bisa membuat kamu terbebas dari ancaman hukuman panjara, barulah dia gadis yang luar biasa.”

“Mana ponsel Nurin, Bu.”

“Tidak akan ibu berikan, selama kamu masih selalu menghubungi dia.”

Tapi tiba-tiba ponsel bu Nely berdering. Ketika dilihatnya, ternyata dari pengacara yang sudah dibayarnya.

“Ya Pak, bagaimana? Pastinya Bapak menemui anak saya dulu, dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Saya baru saja mendapat pemberitahuan, bahwa bapak Daniel telah mencabut laporannya.”

“Apa? Mencabut laporan? Maksudnya?”

“Saya sudah menghubungi bapak Daniel, untuk menanyakan kebenarannya. Ternyata memang bapak Daniel telah mencabutnya. Dia bilang, itu atas permintaan calon istrinya.”

Bu Nely tertegun, sehingga beberapa saat lamanya dia hanya menggenggam ponsel itu. Daniel mencabut laporannya, dan itu karena permintaan calon istrinya? Bukankah calon istrinya adalah Melati yang baru saja dimaki-makinya?

***

Sehari setelah lamaran Daniel yang membahagiakan Melati, gantian Anjani bersama Jatmiko, yang berhasil mengayuh hidupnya yang bermuara pada tulusnya cinta. Seperti juga Nilam dan Wijan, Anjani serta Jatmiko adalah bekas kanak-kanak yang membawa mereka kedalam kehidupan penuh cinta yang sebenarnya cinta. Liku-liku kehidupannya yang rumit tapi unik, terkadang membuat mereka tersenyum-senyum sendiri. Bahkan di hari pernikahan mereka, kilasan-kilasan kisah masa kecil mereka, bergantian melintas.

Daniel dan Melati bukannya sang pengantin, tapi penampilannya yang menampakkan ketampanan dan kecantikan, bagai menyamai sang pengantin itu sendiri. Dua pasang manusia yang mirip dewa dewi itu membuat para tamu berdecak kagum. Melati yang tidak mengira akan menjadi perhatian hampir seluruh tamu, tersenyum malu-malu.

Tapi tiba-tiba mata Melati menangkap sosok orang yang sangat dikenalnya. Nurina, dan juga ibunya. Rupanya Anjani juga mengundangnya, karena mereka sempat berkenalan saat bertemu di rumah Nilam waktu itu.

Untuk apa bu Nely datang? Jangan-jangan akan mempermalukan dirinya.

***

Besok lagi ya.

PUISI MALAM

 Puisi Malam

(Tien Kumalasari)


Hujan deras riuh menghempas

Angin menderu mencabik senjaku

Kutatap langit, kelam menghitam

Tak ada rona, apalagi bianglala

Terpekur aku dalam do'a 

Semoga hadir terang penerang

Semoga tiba berkah yang barokah

Aamiin

Selamat malaaaam

Monday, May 13, 2024

M E L A T I 43

 M E L A T I    43

(Tien Kumalasari)

 

Daniel berdiri, dan keluar ruangan untuk menerima telpon. Nomor tak dikenal soalnya. Tapi dengan hati-hati Daniel menjawabnya.

“Ini Mas Daniel?” belum-belum dari arah seberang sudah berteriak memanggil namanya.

“Ya. Ini siapa ya?”

“Mas Daniel kok bisa nggak ingat suara saya. Nomornya beda ya, ini ponsel bapak, soalnya punyaku baru saya cas.”

“Anjani?”

Anjani yang ada diseberang sana terkekeh lucu.

“Iya Mas, terkejut ya. Memangnya Mas Daniel belum pernah ya, telponan sama bapak?”

“Iya, belum pernah, tahunya nomor Anjani.”

“Ini Mas, saya cuma mau memastikan, soalnya nanti sore rapat terakhir sebelum minggu depan sudah hari H pernikahan saya.”

“Soal … pendamping pengantin?”

“Iya Mas, jadi nanti pendamping pengantin, mas Daniel, sama mbak Nurina ya?”

“Eh, tidak … tidak … bukan Nurina. Batal, dia sakit.”

“Oh, sakit apa? Kasihan, saya sudah mengirimkan pesan kepadanya juga tadi, cuma karena tidak direspon, lalu saya menelpon mas Daniel.”

“Kamu menghubungi Nurin?”

“Iya. Waktu ketemu, dia sudah memberikan nomor kontaknya.”

“Dia batal.”

“Lalu, siapa penggantinya Mas, saya tidak mencari lainnya lhoh.”

“Ada, namanya Melati.”

“Melati? Bagus banget namanya, pasti dia cantik,” seloroh Anjani.

“Sangat cantik,” kata Daniel sambil tertawa.

“Baiklah, itu sudah pasti ya, tidak akan diganti lagi kan?”

“Tidak, tak tergantikan,” Daniel masih bercanda.

Anjani tertawa senang.

“Baiklah Mas, tapi kalau seandainya Mas tidak sedang dinas, nanti boleh kok, datang di acara rapat panitia itu, supaya jelas mengetahui susunan acara secara keseluruhan.”

“Maaf, saya tidak bisa datang, karena dinas malam. Tapi nanti lain kali, atau besok sore, saya akan datang ke rumah bersama Melati, untuk mengetahui susunan acaranya.”

“Ya Mas, kalau begitu saya tunggu besok saja ya Mas, nanti kita bisa bicarakan lagi.”

Daniel kembali masuk ke dalam, lalu duduk di tempatnya semula.

“Tadi menyebut namaku ya Mas, dari siapa?” tanya Melati.

“Anjani.”

“Oh iya, kurang seminggu lagi Anjani dan Jatmiko menikah,” pekik Nilam senang.

“Kita belum dapat undangannya ya?” tanya Wijan.

“Mungkin belum, kan masih seminggu lebih. Lalu Mas bicara soal apa? Pendamping pengantin itu?” katanya kemudian kepada Daniel.

“Iya. Aku akan menjadi pendamping pengantin bersama Melati,” kata Daniel dengan wajah berseri.

Nilam dan Wijan mengacungkan kedua jempol tangannya.

“Kok aku sih Mas?” pekik Melati.

“Iya, mau siapa lagi?”

“Bukankah dulu Mas sudah memilih pendamping?” seloroh Melati.

“Batal, calon pendamping yang dulu sakit jiwa.”

“Eh, mas Daniel nggak boleh begitu,” kata Melati cemberut.

“Iya, Mas, nggak boleh begitu," sambung Nilam.

“Memang iya kan?”

“Bagaimanapun dia pantas dikasihani,” sambung Melati.

“Iya, maaf.”

“Dan permintaanku masih berlaku.” kata Melati.

“Permintaan apa?”

“Lamaran diterima, tapi Mas harus mencabut laporannya.”

Daniel merengut. Ia lupa bahwa Melati punya permintaan yang membuatnya kesal.

Wijan dan Nilam saling pandang.

“Ada satu permintaan juga dari aku. Aku akan mencabut laporan, asalkan dia mau meminta maaf, atau mengakui kesalahannya.”

“Itu benar, Melati. Bagaimanapun Nurin telah melakukan sesuatu yang mencemarkan nama baik mas Daniel. Kalau dia mengakui kesalahannya, aku juga setuju kalau mas Daniel mencabut laporannya," sambung Nilam.

Melati tak menjawab. Apakah Nurin masih terguncang jiwanya sehingga bicara tak tentu ujung pangkalnya, waktu itu?  Apakah dia sudah bisa diajak bicara secara baik-baik? Diam-diam Melati berjanji akan melakukan pendekatan kembali, melupakan sikap bu Nely yang kasar terhadapnya.

“Apa mbak Nurin sudah tidak dirawat di rumah sakit?” tanya Melati.

“Sudah pulang tiga hari yang lalu. Kamu ingin membezoeknya?”

Melati hanya mengangkat bahu. Mendatangi rumahnya? Melati sama sekali tak takut. Ia harus melakukannya.

***

Di rumah Nurin, sang ibu terus menemani Nurin yang lebih banyak melamun. Sejak ia mendengar hasil pemeriksaan tentang dirinya, yang dipergunakan sebagai bukti untuk melaporkannya ke pihak berwajib, Nurin mulai berpikir bahwa ia sangat menyesalinya. Memang tidak mudah melalui hari-hari yang dipenuhi kebingungan, dan yang membuat dia harus dirawat seorang psikholog. Tapi lama kelamaan Nurin mulai menyadari hal yang pernah dilakukannya, dan menyesali  sikapnya yang seperti orang gila.

“Aku tergila-gila untuk bisa menguasai dia ….” gumamnya pelan.

“Kamu tidak pantas mencintai seseorang dengan caramu ini.”

“Selama hidup Nurin tidak pernah ditolak seseorang. Nurinlah yang selalu menolak. Hal ini membuat Nurin merasa sakit.”

“Nurin, kamu ini cantik, pintar, mengapa kamu bisa melakukan hal sebodoh ini?”

“Apakah Nurin akan dipenjara?” ucapnya pilu.

Bu Nely tak menjawab. Sebuah laporan, dan itu nyata, dan jelas melanggar hukum, pastilah akan ada hukumannya.

“Namaku akan hancur bukan?”

“Apa kamu sangat mencintai Daniel?”

"Nurin hanya ingin menguasainya. Cinta itu apa? Nurin hanya ingin bersenang-senang, sebagai gadis yang dikagumi, disayangi. Nurin tidak mendapatkannya dari mas Daniel.”

“Lupakan ambisi bodoh seperti itu.”

“Nurin akan melupakannya. Semua itu sudah berlalu, Nurin siap menerima hukuman," tapi ketakutan membayang di wajahnya.

“Ibu sedang mencari pengacara terbaik untuk meringankan hukuman kamu,” kata bu Nely pilu.

Nurin mengambil ponselnya, memutar sebuah nomor, tapi tidak diangkat. Berkali-kali dilakukan, tanpa jawab.

Mendengar Nurin mengeluh. Bu Nely memegangi tangannya.

“Menelpon siapa?”

“Melati.”

“Melati? Untuk apa?”

“Dia marah sama Nurin, pasti. Buktinya telpon Nurin tidak diangkat oleh dia.”

“Ya sudah, mengapa kamu menelpon Melati? Memangnya dia bisa meringankan hukuman kamu, nanti?” kata bu Nely kesal.

“Hanya untuk meringankan beban sesal di hati Nurin.”

“Tidak ada gunanya. Yang penting itu beban hukuman kamu nantinya. Memangnya dia bisa apa?”

“Entahlah, dia itu baik, Nurin senang berbincang sama dia.”

“Untuk berusaha meminta agar dia merelakan Daniel untuk kamu?” sentak bu Nely.

“Tidak Bu, Nurin tidak ingin mas Daniel lagi. Dia pasti semakin benci pada Nurin.”

“Kalau begitu sudah. Jangan menelpon siapa-siapa.”

Tapi Nurin kemudian berdiri, dan melangkah keluar.

“Nurin, kamu mau ke mana?”

“Menghirup udara segar.”

Meskipun kesal, bu Nely membiarkannya. Ia sedang menghubungi pengacara yang dimintanya membantu Nurin saat persidangan nanti.

Nurin sudah berdiri di pagar. Ia ingin menemui Melati, tapi ketika ia membalikkan tubuhnya untuk mengambil kunci mobil, dilihatnya seseorang turun dari atas sepeda kayuh.

“Melati?” Nurin berteriak.

Melati menyandarkan sepedanya. Sesungguhnya ia berdebar-debar. Bagaimana kalau Nurin mengamuk dan masih berkata-kata seenaknya seperti saat di rumah sakit itu?

Tapi Melati melihat senyuman di bibir Nurin. Ketakutan dan keraguannya sedikit luntur. Ia melangkah mendekat, dan melihat senyuman Nurin semakin lebar. Itu senyuman orang waras bukan? Melati memarahi dirinya sendiri yang menganggap Nurin masih tidak waras.

“Melati? Senang melihatmu.”

Dan tanpa diduga Nurin merangkul Melati erat. Ada air mata jatuh di bahu Melati.

Melati mendorong tubuhnya pelan.

“Senang melihat mbak Nurin sudah sehat dan bisa pulang ke rumah.”

“Ya, aku sedang menunggu hukuman atas semua kesalahanku,” kata Nurin pilu.

“Jangan bilang begitu.”

“Kamu tahu Melati, aku keluar ini sebenarnya ingin menemui kamu. Kamu tidak bekerja?”

“Ini pas jam istirahat. Ingin menemui mbak Nurin.”

“Ya ampun, apakah ini namanya sehati? Aku mau menemui kamu, dan kamu mau menemui aku? Lalu ketemu disini. Lucu sekali.”

Melati tersenyum senang. Nurin benar-benar sudah bisa diajak bicara dengan benar. Tiba-tiba Nurin menariknya masuk ke halaman. Ada bangku taman yang ada di bawah sebuah pohon rindang. Nurin mengajak Melati duduk di sana.

"Di sini udaranya segar. Atau kamu mau masuk ke rumahku? Ayuk.”

“Tidak. Mbak Nurin benar, di sini lebih segar.”

“Melati, apa kamu tahu bahwa aku sedang menunggu hukuman? Pasti mas Daniel sudah mengatakannya bukan? Kamu sudah mendengar ceritanya bukan?”

“Saya sudah mendengarnya.”

“Tak akan ada yang bisa menolongku, bukan? Bagaimanapun aku akan dihukum. Aku menyesal telah melakukan semuanya.”

“Benarkah mbak Nurin menyesal?”

“Kamu bisa bersorak gembira, ketika mendengar aku menderita.”

Melati meraih tangan Nurina, mengelusnya lembut.

“Mengapa mbak Nurin mengira aku akan bersorak gembira?”

“Dulu aku membenci kamu, secara tidak langsung. Kamu melihat sikap aku baik, tapi sebenarnya aku membenci kamu. Kamu merasakannya bukan?”

“Saya tidak pernah merasa dibenci seseorang, karena saya tidak akan pernah membenci siapapun. Bahkan yang jahat terhadap saya sekalipun.”

“Hatimu sungguh mulia. Sekarang aku bisa mengerti, mengapa mas Daniel sangat mencintai kamu. Kamu itu cantik, luar dalam. Aku kagum kepadamu.”

“Mbak Nurin. Bagaimanapun, mbak Nurin telah menyakiti hati mas Daniel, bukan? Mbak Nurin membohongi dia, bukan?”

“Aku mengakui kesalahan aku, dan itu pula sebabnya aku siap menerima hukuman, walau sebenarnya aku takut. Bukankah di penjara itu sangat tidak enak?”

“Maukah Mbak Nurin ikut bersama saya untuk menemui mas Daniel?”

“Apa? Menemui dia? Tidak … tidak … Kamu ingin membuat aku malu ya?”

“Mengapa malu?”

“Aku sudah melakukan kesalahan, bagaimana bisa menemuinya?”

“Justru sebaiknya Mbak ketemu dia, dan meminta maaf padanya.”

“Melati, dia pasti akan menghajarku. Dosaku sudah teramat besar.”

“Tidak, kalau mas Daniel marah sama mbak Nurin, apalagi sampai menghajarnya, maka saya akan membela mbak Nurin. Biar saya saja yang dihajar olehnya, kalau sampai dia ingin menghajar mbak Nurin.”

“Kamu serius?”

“Datanglah ke rumahnya, saya akan mengikuti dengan sepeda itu.”

“Mana mungkin aku naik mobil, sedangkan kamu mengikuti aku dengan bersepeda?”

“Tidak apa-apa, saya kan tidak mungkin meninggalkan sepeda saya.”

“Tidak, ayo kita pergi dengan sepeda kamu.”

“Apa?” mata Melati terbelalak.

“Aku mbonceng kamu, ayolah…” kata Nurin sambil menarik tangan Melati. Mereka keluar halaman, dan Nurin memaksa Melati untuk mengayuh sepedanya, sedangkan dia membonceng di belakang.

Keduanya terkekeh-kekeh sepanjang jalan, seperti dua orang anak kecil menemukan mainan baru.

***

Daniel yang sedang membersihkan kebun, terbelalak melihat Melati berboncengan dengan seseorang, dan seseorang itu adalah Nurin.

Ia meletakkan sapu lidi yang semula dipegangnya, menatap keduanya tanpa berkedip. Lalu keduanya turun, tapi Nurin melangkah dengan ragu, di belakang Melati. Mata Daniel yang tajam seperti elang, menatapnya seperti melihat seekor anak ayam yang akan dijadikan mangsanya. Hati Nurin tinggal seujung buliran beras. Tapi kemudian Melati menariknya.

Daniel masih terpana, tak sepatah katapun terucap dari bibirnya.

“Mas, ada tamu, kok dibiarkan sih?” akhirnya tegur Melati.

“Oh, eh … iya … Tamu ya?”

“Nggak dipersilakan masuk nih?”

“Tidak … tidak, aku pulang saja ….”

Nurin ingin membalikkan tubuhnya, tapi Melati menariknya.

“Mbak Nurin gimana sih, katanya kepengin ketemu mas Daniel.”

“Eh … apa … kata siapa?” Nurin benar-benar gugup.

“Ada apa sebenarnya, ayo silakan masuk,” kata Daniel sambil mencuci tangannya di sebuah kran air yang ada di sana, kemudian mendahului masuk ke dalam rumah.

Melati menarik Nurin, memaksanya agar mengikutinya.

“Dia pasti marah,” bisiknya di telinga Melati.

“Kan aku sudah berjanji, akan membela mbak Nurin, kalau dia marah,” bisik Melati membalasnya.

Nurin duduk ragu di kursi teras. Melati menemani sambil tersenyum-senyum.

Daniel keluar sudah mengenakan baju bersih, setelah kelihatan kotor karena membersihkan kebun.

“Dari mana?”

“Dari rumah mbak Nurin.”

“Kamu?”

Melati mengangguk.

Nurin menundukkan wajahnya.

“Mbak Nurin, mas Daniel nggak marah kok. Katakan saja apa yang ingin Mbak katakan pada dia.”

Daniel tertegun. Ia teringat janjinya pada Melati, tentang pembatalan laporan dan segala syaratnya, sebelum ia boleh melamarnya. Diam-diam Daniel mengagumi Melati dengan kecerdasannya. Kalau Nurin mau meminta maaf, maka dia akan mencabut laporannya. Dan pencabutan laporan itu atas permintaan Melati, sebelum dia melamarnya. Tersungging sebuah senyuman dibibir Daniel.

Nurin yang mengangkat wajahnya, merasa lebih tenang melihat senyuman itu.

Melati yang duduk di sampingnya, menyentuh bahunya. Keduanya saling pandang, dan Melati memberi isyarat kepada Nurin dengan matanya, agar Nurin mengungkapkan apa yang ada di hatinya.

“Mas Daniel, saya minta maaf,” katanya lirih, sambil menundukkan wajahnya.

“Maaf untuk apa?”

“Saya melakukan banyak kesalahan. Maafkan.”

Daniel tersenyum, tapi Nurin yang menunduk tak melihat senyuman itu.

“Memohonlah maaf kepada Tuhan.”

“Mas Daniel memaafkan saya? Saya siap menerima hukumannya, saya siap di penjara,” bisiknya lirih.

“Aku maafkan kamu. Tapi memohon maaflah juga kepada Tuhan.”

Mereka berbincang tak lama, karena hari mulai remang. Keinginan untuk meminta maaf sudah diterima, Nurin merasa sedikit lega. Melati minta kepada Daniel agar mengantarkan Nurin. Tapi Nurin menolaknya.

“Aku boncengan sama kamu saja, tapi kali ini aku yang mengayuh sepedanya ya,” kata Nurin yang timbul kegembiraannya, membayangkan asyiknya berboncengan sepeda kayuh.

Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk di ponsel Nurin. Rupanya ada beberapa pesan dari Anjani, dan panggilan tak terjawab. Dari Anjani juga.

“Oh, ini dari mbak Anjani, bukankah aku sudah sanggup menjadi …. “ ucapan Nurin terhenti dan urung membuka ponselnya, ketika melihat tatapan tajam Daniel kepadanya.

***

Besok lagi ya.

 

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 01

  KUPETIK SETANGKAI BINTANG  01. (Tien Kumalasari)   Minar melanjutkan memetik sayur di kebun. Hari ini panen kacang panjang, sangat menyena...