ROTI CINTA 16
(Tien Kumalasari)
“Lho, mengapa Dita tidak bilang dan meminta aku untuk menjemputnya? Apa dia tak suka aku menyatakan cinta? Lalu dia berusaha menjauh dari aku ? Aduuh, kok aku jadi bingung begini, berarti aku benar-benar menginginkan gadis itu. Bagaimana kalau aku menelpon dia? Tidak, pasti dia tak akan mengangkatnya, dia selalu men silent ponselnya, apalagi dia sedang membonceng.”
Abian memutar baik mobilnya, bermaksud mengikuti Dita yang diboncengkan seseorang.
“Lebih baik aku mengikuti mereka. Aduh, tampaknya sudah jauh. Aku harus ngebut nih, supaya bisa mengikutinya.”
Rupanya Abian melarikan mobilnya dengan kencang, dan untunglah jalanan tidak begitu ramai, sementara Ferry juga menjalankan motornya pelan-pelan. Sayang kalau segera sampai tujuan, barangkali. Kan kesempatan langka nih, bisa memboncengkan si jantung hati.
Tapi Dita terkejut ketika Ferry tidak menjalankan motornya ke arah rumahnya. Disebuah perempatan dimana seharusnya dia lurus, justru berbelok kekiri.
“Hei, mau kemana? Kamu lupa dimana rumahku?” teriak Dita.
Ferry justru tertawa.
“Maaf nona, aku akan mengajak kamu makan bakso.”
“Bakso? Bakso apa?”
“Ya ampuun, bakso ya bakso, yang dagingnya bulat-bulat begitu.”
“Aku nggak lapar.”
“Eeh, jangan begitu, aku sangat lapar. Kamu akan suka setelah makan semangkuk saja. Tolong jangan kecewakan aku.”
Dita kurang suka cara Ferry mengajak dia makan.
“Tapi baiklah, sekali ini saja,” kata batin Dita.
Ferry berhenti di tempat bakso langganannya mangkal. Hanya ada satu dua pembeli disitu.
“Ayo turun nona,” kata Ferry setelah menghentikan motornya.
“Disini ?”
“Ya, disini. Apa orang kaya nggak suka makan dipinggir jalan? Kemarin aku ketemu mbak Dina juga sedang makan disini,” kata Ferry sambil mempersilahkan Dita duduk.
“Oh, ini bakso yang dibawa mbak Dina kemarin ?”
“Ya, aku ingat mbak Dina pesan tiga bungkus. Salah satunya untuk kamu kan?”
Dita duduk, tapi tetap menampakkan wajah tak suka. Bukan karena harus makan di bakso angkringan, tapi karena Ferry mengajaknya setengah memaksa.
“Mas, bakso dua, satunya sama seperti biasanya ya. Minumnya teh panas saja,” kata Ferry kepada tukang bakso itu.
“Baik mas..”
“Dita, kenapa cemberut?”
“Ingat ya Fer, ini yang terakhir. Jangan lagi mengajak aku, apalagi dengan cara memaksa seperti ini.”
“Yaaah, aku bukannya memaksa, aku hanya ingin menunjukkan bahwa makanan jalanan tak kalah enak dengan sajian di restoran.”
“Tapi kamu nggak bilang sebelumnya.”
“Baiklah, maaf ya, lain kali tidak.”
“Betul, lain kali tidak lagi.”
Tukang bakso sudah menghidangkan pesanan Ferry.
“Ayo nikmati Dit, ini luar biasa,” kata Ferry sambil menyendok sepotong pangsit kesukaannya.
“Mas, untuk saya semangkuk ya,” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Ferry, apa lagi setelah seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya.
“Mas Bian ?”
“Eh, ada Dita…” kata Bian bercanda. Kan dia sudah tahu kalau Dita berhenti di tukang bakso itu.
“Mas dari mana ?”
“Dari jemput kamu, tapi kamu keburu bonceng teman kamu. Lalu aku ikutin kamu, lho kok nggak menuju rumah, aku takut kenapa-kenapa, lalu ngikutin terus dari belakang.”
“Eh mas, aku ini teman dia sekampus, masa mau mencelakai dia?” kata Ferry sedikit tersinggung.
“Lhoh, kok marah sih mas.. apa salah kalau saya menghawatirkan keluarga saya? Dan saya senang kok, ternyata mas membawa Dita ke tukang bakso. Dia memang suka bakso,” jawab Abian sekenanya.
“Ini pesanan mas, minumnya apa?” tanya tukang bakso sambil menghidangkan pesanan Abian.
“Teh panas saja.”
Dita kebingungan, karena mencium aroma asap kemarahan dari kedua pria yang sedang bersamanya.
“Mas Bian, aku agak lapar dan pengin bakso. Kenalkan, itu Ferry, kakak kelas aku. Kebetulan kami pulang bersamaan, lalu aku memboceng dia,” kata Dita mencairkan kemarahan Bian.
“Nggak apa-apa kok, aku yakin kamu akan baik-baik saja.”
“Sekarang salaman dong, biar kenal.” kata Dita.
Abian mengulurkan tangannya, dan Ferry menerimanya dengan wajah kaku.
“Saya Abian.”
“Ferry.” Kata Ferry yang kemudian melanjutkan makan baksonya.
“Hm, mas Ferry kuliah di jurusan apa?” kata Abian yang berusaha ramah.
“Ekonomi..” kata Ferry singkat.
“Wah, hebat nih, calon ekonom..”
“Dita, kamu nanti pulang bareng siapa?” tanya Ferry tanpa mempedulikan ucapan Abian.
Dita kebingungan. Harus ikut siapa aku?
“Dita, kalau kamu mau pulang dengan mbonceng mas Ferry, nggak apa-apa kok. Nanti aku menyusul kerumah,” kata Abian.
Ucapan itu bukan membuat Ferry senang. Ia bahkan merasa dikalahkan oleh Abian karena ternyata Abian mengalah.
“Tidak, Dita kamu nanti bareng dia saja, aku mau langsung pulang,” kata Ferry sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.
Dita hanya bengong memandangi Ferry dan Abian. Ia melihat Abian begitu sabar dan bijak, sebaliknya melihat Ferry yang susah sekali menghilangkan kekesalannya.
“Mas, berapa semuanya? Nih, masih kurang enggak , buat kami bertiga sekalian,” kata Ferry sambil memberikan uang ratusan ribu kepada tukang bakso.
“Nggak mas, masih ada kembaliannya.”
“Lhoh, aku juga ditraktir nih? Terimakasih ya mas,” kata Abian.
Ferry menerima uang kembalian lalu berdiri.
“Dita, aku pulang dulu,” kata Ferry langsung pergi dan mengambil sepeda motornya, kemudian berlalu.
“Terimakasih ya Fer,” kata Dita, dan barangkali Ferry tak lagi bisa mendengar ucapannya karena dia sudah pergi jauh.
Dita menghela napas panjang.
“Apakah aku mengganggu?” tanya Abian.
“Tidak, kenapa sih, aku jadi bingung.”
“Aku kan hanya ikut makan bakso, kok dia marah?”
“Dia memang agak kaku, tapi sebenarnya dia baik kok. Tadi dia menawarkan bareng, aku terima saja, dan kebetulan aku juga agak lapar,” kata Dita sedikit berbohong.
“Dia suka ya sama kamu?”
“Ah, enggak.. kami hanya berteman. Dia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya.”
“Ooh, mahasiswa tingkat akhir, Tapi ngomong-ngomong kenapa kamu nggak menelpon aku tadi?”
“Yaah, aku sungkan dong, masa ngrepotin kamu terus.”
“Ya enggak, untuk kamu aku nggak repot kok.”
“Enak ya baksonya? Kemarin mbak Dina juga makan disini, lalu aku dibawain yang kemudian aku makan sore harinya.”
“Oh, kemarin kan kita melihat Dina disekitar tempat itu, mungkin karena kecapekan dan kelaparan pastinya, lalu makan bakso disini.”
“Iya, katanya begitu, tapi aku nggak tahu kalau dia makan bakso disini.”
Selepas makan bakso, Abian mengantarkan Dita pulang.
“Aku nanti dikasih jawabannya ya?”
“Lhoh, apa tuh ?”
“Kemarin kan ada pertanyaan aku, masalah suka dan tidak suka?” tanya Abian setelah keduanya naik ke mobil.
“Oh, kenapa nggak bawa contekan?” tanya Dita.
“Apa? Contekan?”
“Biasanya kalau nggak tahu jawabannya apa, pasti sudah bawa contekan.”
Abian tertawa keras.
“Kamu ternyata juga bisa melucu ya? Jangan ngeles, ini bukan masalah ulangan di sekolah, jadi lupakan kebiasaan kamu nyontek.”
“Enak aja, aku nggak pernah nyontek lho..”
“Lha itu, ngelesnya ke ulangan sekolah.”
“Seseorang itu suka atau tidak suka, sudah kelihatan dari sikapnya. Jadi jangan banyak tanya.”
“O, begitu ? kata Abian sambil mengangguk-angguk.
“Kalau begitu aku sudah tahu jawabannya.” lanjut Abian.
Dita menoleh kearah laki-laki disampingnya. Dia merasa telah kelepasan bicara. Walau tidak jelas, ucapannya tadi seperti sudah menunjukkan isi hatinya. Duh, malunya. Dia tidak pernah menolak ajakan Bian, dan selalu menghadapinya dengan manis. Itu jawabannya apa? Aduhai.
“Benar, aku sudah tahu jawabannya.”
“Kalau begitu jangan katakan lagi, cukup disimpan dalam hati.”
“Baiklah cantik,” kata Bian dengan hati berbunga-bunga.
Sebuah pernyataan cinta yang mendapat jawaban secara aneh, tapi Bian bahagia karenanya. Dia sudah menemukan jawabannya.
***
Setelah mengantarkan Dita, tiba-tiba Bian ingin menelpon Dian. Barangkali Dian akan terkejut, dan Bian suka itu.
“Hallo..” jawab Dian ketika itu.
“Apa kabar kamu Dian?”
“Sudah lebih baik, besok aku mau bezoek ibunya karyawanku nih.”
“Oh, iya.. Dina sudah cerita sekilas tentang ketika kamu dikeroyok dua bandit. Jagoan kamu memang Dian.”
“Jagoan tapi hampir keok..” kata Dian sambil tertawa.
“Nggak apa-apa, untuk sebuah perbuatan mulia, sedikit sakit nggak masalah.”
“Kamu sendiri apa kabar?”
“Banyak cerita nih Dian, tapi nggak enak ya ngomong di telpon. Minggu depan aku mau ke Jakarta, tapi cuma pagi datang sorenya sudah balik. Nanti aku akan cerita."
“ Ngapain cuma sehari?”
“Urusan pekerjaan. Kantorku sudah buka minggu depan.”
“Syukurlah, memang keluarga pengusaha yang hebat. Tapi ada sedikit bocorannya nggak?”
“Bocoran apa?”
“Tentang yang mau kamu ceritain itu.”
“Baiklah, sedikit ya .. aku sudah punya calon..”
“Calon apa tuh, calon arang ?”
“Gila, memangnya aku nenek sihir? Ya calon isteri dong.”
“Busyettt ! Dapat dari mana ?”
“Kamu pasti kaget.”
“Woww…Dina… ya kan?”
“Bukaaaan, adiknya.”
“Apa? Dita?”
***
“Bapak, Abian sudah jadian..”
Tapi dirumah itu ia tak menemukan ayahnya. Hanya simbok yang melayani mereka yang ada, dan sedang bersih-bersih rumah.
“Mana bapak ?”
“Pergi dari tadi mas, tadi mas juga ditunggu, tapi sampai sore mas baru pulang.”
“Aku baru ketemu teman, lalu mampir ke kantor, untuk melihat suasana kantor baruku.”
“Barangkali ada yang penting, apa tidak sebaiknya mas Bian menyusul bapak?”
“Lha bapak pergi kemana saja aku tidak tahu, harus menyusul kemana aku?”
“Mas Bian kan bisa menelponnya.”
“Nggak usah ah, aku capek, mau istirahat saja. Kalau memang bapak mengharuskan aku menyusul pasti sudah menelpon aku.”
“Sepertinya tadi bapak juga menelpon, tapi ponsel mas Bian tidak aktif.”
“Oh, iya.. lupa nge charge. Ini mau aku charge , tapi aku mau istirahat dulu.”
“Baiklah mas, nanti minum sore saya siapkan di ruang tengah ya. Ada pisang goreng yang sudah simbok siapkan juga.”
Mendengar ucapan pisang goreng, Bian urung memasuki kamarnya.
“Ada pisang goreng mbok?”
“Masih hangat, simbok kira bapak sudah mau pulang, ternyata mas Bian yang pulang.”
“Kalau begitu siapkan kopi untuk aku mbok, aku mau pisang gorengnya,” kata Bian memasuki kamarnya, hanya untuk berganti pakaian.
Simbok tersenyum. Momongannya yang sejak kecil dirawat seperti anaknya sendiri ini memang sangat menyukai pisang goreng. Ia bergegas kebelakang untuk menyiapkan kopi pesanan Bian.
***
Ternyata pak Iskandar ada dirumah Leo. Sudah beberapa saat lamanya mereka berbicang, tapi hanya Dina yang melayani tamunya, sedangkan Dita ada di kamarnya.
“Dina ini yang besar ya?”
“Iya om, Dita ada dikamarnya, kecapekan barangkali, kayaknya masih tidur sejak pulang kuliah tadi.”
“Oh, ya sudah biarkan saja, nggak usah dibangunkan, kasihan, pasti dia capek.”
“Mengapa kesini sendiri mas?” tanya Leo.
“Tadi ketika aku berangkat, Bian belum pulang, aku sudah menelponnya berkali-kali, sepertinya ponselnya mati. Anak itu sering lupa men charge ponselnya. Tapi nggak tahu kemana dia kok sampai sore belum pulang juga. Barangkali ke kantornya, yang mungkin bulan depan sudah akan mulai operasional.”
“Wah, syukurlah, ikut senang.”
“Boleh nggak saya melamar menjadi karyawan om?" kata Dina.
“Bener nih, nanti aku bilang sama Bian kalau memang kamu serius.”
“Tidak mas Is, Dina itu tidak suka bekerja kantoran, sejak dulu dia tidak mau bekerja di manapun. Membantu ayahnya saja tidak mau.”
“Iya benar, kata Dina penginnya mandiri. Punya usaha sendiri, tidak menebeng ayahnya, apalagi ikut orang lain,” sambung Rina.
“Tapi aku ingin mencoba di kantornya om Iskandar.”
“Bekerja itu ya harus niat bekerja, tidak boleh nyoba-nyoba,” kata Leo.
“Lho, bagaimana ini Din, serius nggak kamu?”
“Boleh nggak nyoba-nyoba om?”
“Sebenarnya sih sebuah pekerjaan harus dijalani dengan niat yang serius, bener apa kata ayah kamu.”
“Tuh kan..”
“Baiklah, Dina niat kok.”
“Dina, jangan sembarangan kamu,” tegur Leo.
“Nanti coba aku bicara sama Bian, masih ada yang perlu ditambah nggak, soalnya juga masih baru, belum tahu dibagian mana yang masih ada tempat.”
Biarpun dihalangi ayah ibunya, Dina nekat ingin bekerja disana. Padahal tadinya dia ingin punya usaha sendiri. Tampaknya ada maunya yang tersembunyi
***
“Apa? Dina ingin bekerja di perusahaan kita?”
“Iya, katanya tadi begitu.”
“Ah, nggak usah lah pak. Kayaknya masih cukup kok,” kata Bian yang teringat sikap Dina kepadanya, yang kemudian membuatnya berpikir bahwa Dina memang punya rasa suka terhadap dirinya.
“Barangkali bisa kamu jadikan sekretaris kamu.”
“Tidak dulu pak, barangkali cukup yang sudah ada.”
“Lho, seneng kan punya sekretaris cantik.”
“Kok bapak yang ngebet sih.”
“Sesungguhnya bapak lebih suka kalau kamu memilih Dina sebagai isteri.”
“Bapak?”
***
Besok lagi ya.