JANGAN PERGI 13
(Tien Kumalasari)
Radit tiba-tiba merasa tidak enak, saat Listi
berjongkok di depannya, kemudian membantunya berdiri, dan tampak bahwa Dian
yang datang sambil membawa mobilnya melihat adegan itu. Tapi dia kemudian
meninggalkan Listi duduk di kursi dan menyambut Dian dengan berdiri di ujung
tangga.
“Sekarang mau tukar mobilnya Mas?”
“Iya, nggak enak saja, mobil Mas Radit kan lebih
bagus.”
Radit tertawa, sambil mempersilakan Dian masuk. Tentu
saja Radit tidak tahu, siapa Listi di mata Dian. Dengan santai dia mengajak Dian
masuk ke ruang tamu, membiarkan Listi duduk di teras.
Dian yang semula tidak tahu bahwa wanita tadi adalah
Listi, terkejut saat menoleh sebelum masuk.
“Listi?” serunya.
“Mas Dian kenal?”
“Dia … istri saya …” kata Dian sambil berdiri di depan
pintu masuk.
Radit terkejut bukan alang kepalang. Ia menatap Listi yang
menundukkan kepala sambil sibuk mengusap air matanya.
“Listi … istri mas Dian?”
“Kami sedang dalam proses cerai, seperti yang saya
ceritakan beberapa waktu yang lalu,” kata Dian yang kemudian duduk di depan
Listi, diikuti Radit dengan benak penuh tanda tanya.
“Apa jawabmu Listi?” tanya Radit sambil mengerutkan
keningnya menatap Listi.
Listi terdiam. Wajahnya tampak memucat. Banyak
kebohongan dikatakannya, dan tampaknya hari ini kebohongan itu akan berbuah
petaka bagi hubungannya dengan Radit yang sedang diperjuangkannya.
“Jawab Listi?!!”
“Tiga tahun dia menjadi istri saya. Saya bawa ke
Jakarta begitu selesai akad nikah.”
“Bukan berdagang, kemudian uang habis ditipu orang?”
Listi masih terdiam.
“Dan menggugurkan setiap bayi yang kamu kandung?”
cecar Radit.
Listi terisak.
“Kebohongan apa lagi yang ingin kamu katakan, Listi?”
kata Radit, dengan nada tinggi.
“Aku tidak cinta sama dia!!” akhirnya kata Listi,
sambil menunjuk ke arah Dian.
Dian menghela napas panjang, ada sembilu menyayat
hatinya, karena sejatinya dia dulu sangat mencintai istrinya. Hanya saja
kekecewaan demi kekecewaan telah merobek-robek cinta itu.
“Omong kosong apa kamu itu. Tiga tahun menikah,
berkali-kali mengandung, kamu bilang tidak cinta?”
“Aku terpaksa menikahi dia.”
“Terpaksa? Siapa memaksa kamu?”
“Aku sudah hamil ketika dia menikahi aku.”
“Mas Radit, nanti aku akan mengatakan apa
yang sesungguhnya terjadi,” kata Dian, sedikit lesu.
“Baiklah, perempuan ini pembohong.”
“Radit, aku sangat mencintai kamu. Hanya kamu.”
“Hentikan Listi, aku tidak. Tidak lagi. Apapun alasan kamu,
apapun yang terjadi atas kamu, aku tidak akan peduli lagi. Semuanya sudah
berakhir. Dan jangan lagi menginjakkan kaki kamu di rumah ini. Kamu mengganggu
ketenangan kami, terutama ibuku yang sangat tidak menyukai kamu.”
“Radit. Aku tidak punya siapa-siapa.”
“Belajarlah dari kehidupan yang pernah kamu jalani.
Bertobat dan perbaiki langkah dalam meniti
hidup ini, agar kamu bisa menemukan ketenangan lahir dan batin kamu, karena
meraih sesuatu yang tak mungkin, hanya akan membuat hidup kamu susah dan
terbebani.”
Listi berdiri, menghapus wajahnya dengan kasar, lalu
bergegas pergi.
Radit menghembuskan napas panjang. Apa yang
didengarnya sangat membuatnya terkejut. Ternyata begitu sempitnya dunia.
“Mas Radit, saya minta maaf.” Kata Dian tiba-tiba.
Radit tersenyum.
“Mengapa Mas Dian harus minta maaf?”
“Saya telah mengejutkan Mas Radit dengan pernyataan
saya tadi.”
“Benar, saya terkejut. Tapi bukan berarti Mas Dian
bersalah sama saya.”
“Tiga tahun yang lalu, dalam sebuah pesta,
saya melihat seorang gadis yang duduk
sendirian. Saya dekati dia, karena terus terang saya tertarik. Dia
mengatakan pergi sendirian karena sedang kesal dengan pacarnya. Tanpa kami
ketahui, seseorang yang iseng memberikan kami minuman, yang kemudian membuat
kami mabuk, dan lupa segala-galanya.”
Radit teringat, dia memang sering
bertengkar dengan Listi, karena sesungguhnya Listi bertemperamen agak keras.
Tapi karena kesabaran Radit, mereka selalu bisa mengatasi semuanya. Radit sudah
lupa, pertengkaran karena apa yang dimaksud Listi waktu itu.
“Sebulan kemudian dia mengabari saya kalau dia hamil. Saya merasa bertanggung jawab, kemudian menikahi dia, dan membawanya ke Jakarta."
Dian menata napasnya.
“Beberapa bulan kemudian dia
keguguran. Tiga tahun kami berumah tangga, dalam kehidupan yang damai dan
bahagia menurut saya. Tanpa disangka, setiap dia mengandung, selalu menggugurkan
kandungannya. Saya sangat marah. Saya tidak bisa memaafkannya. Dan saat ini
kami sedang dalam proses perceraian.”
Radit termenung mendengar cerita
Dian. Ada yang bisa dimaafkannya, yaitu
ketika keduanya melakukan hal yang tak pantas karena perbuatan yang tak di
sengaja. Tapi ada yang tak bisa dimaafkan, yaitu kalau memang tidak cinta mengapa
Listi menjalaninya sampai selama tiga tahun, bahkan bisa lebih kalau saja Dian
tidak ingin menceraikannya. Tampaknya Listi berbohong dalam mengatakan tidak
cinta. Dian laki-laki baik, mapan dan juga tampan. Dia mengatakan itu karena
Dian yang marah pada kelakuannya kemudian ingin menceraikannya. Lalu
menggugurkan kandungan? Listi telah melakukan dosa besar dengan melenyapkan
janin yang tidak berdosa. Bahkan tidak hanya sekali.
“Apakah Mas Radit menyalahkan saya?
Maksud saya dalam keputusan saya untuk menceraikan dia karena dia selalu
menggugurkan kandungannya?”
“Tidak. Mas Dian tidak salah. Itu
kelakukan yang sangat buruk.”
“Saya tidak mengira Listi adalah
pacar mas Radit.”
“Dulu. Sekarang cinta itu sudah tidak
ada.”
“Saya minta maaf, telah membuat Mas
Radit kehilangan dia.”
Radit menghela napas berkali-kali.
“Jalan hidup yang harus dilalui
manusia itu kan berbeda-beda. Dan jodoh itu juga bukan kita yang menentukannya.
Jadi apapun yang terjadi, ya harus dijalani. Apalagi sekarang saya sudah
menemukan seseorang yang sangat saya sayangi.”
“Ratri?”
Radit tersenyum.
“Baru dalam tahap pendekatan. Saya
tidak tahu, apakah Ratri akan mengimbangi perasaan saya.”
Dian tersenyum lebih lebar. Ratri
memang cantik dan lembut, bukan hanya Radit yang suka, dirinya pun suka. Tapi
ia tahu, Ratri pasti memilih Radit setelah sekian lama dia mencoba
memancing-mancingnya.
“Saya doakan, semoga mas Radit
berhasil.”
“Terima kasih.”
“Dua hari lagi saya akan kembali ke
Jakarta. Hari ini saya menghadiri sidang perceraian saya, selanjutkan saya
serahkan kepada pengacara saya.”
“Baiklah, semoga semuanya lancar, dan
mas Dian segera menemukan pengganti seperti yang diidamkan. Yang bisa menjadi
ibu bagi anak-anak mas Dian.”
“Aamiin.”
Hari sudah menjelang malam ketika
Dian pulang dari rumah Radit. Esok pagi ada rencana yang akan menyenangkannya,
yaitu bermain dengan Arina.
***
Pagi hari itu, Arina senang bukan
alang kepalang. Tak lama setelah ibunya pergi, om ganteng brewok yang di hari-hari
terakhir ini selalu menemaninya, datang lagi, dan membawa sebuah mainan pula,
berupa sepeda kecil yang bisa menyanyi. Semalam, sepulang dari rumah Radit, dia
membelinya.
“Naik cepeda … naik cepeda … “
teriaknya riang.
Si bibik yang sudah beberapa kali tahu bahwa Dian adalah teman dekat majikannya, kemudian menaikkan Arin keatas sepeda kecil itu, dan
mendorongnya ke sana kemari, karena kaki Arina belum bisa mengayuhnya.
“Cama om Dian … cama om Dian," pekiknya.
Dian tertawa, kemudian menggantikan
bibik mendorongnya berkeliling halaman yang tidak begitu luas itu.
“Mana oneka … mana oneka …”
“Oh, boneka? Mau diajak naik sepeda?”
Bibik segera berlari ke dalam,
mengambil boneka yang baru kemarin diberikan Dian, lalu diletakkannya
dipangkuan Arina.
Arina melonjak-lonjak senang.”
“Pak Dian mau minum apa?” tanya bibik
kemudian.
“Air putih saja Bik, tidak usah
repot-repot.
“Baiklah, kalau air putih, di kulkas
ada minuman botol.”
“Ya Bik, itu sudah cukup,” kata Dian
sambil terus menuntun sepeda, dimana Arina duduk di atasnya sambil sebelah
tangannya merangkul boneka yang sudah menjadi boneka kesayangannya.
“Pak Dian pasti capek, biar saya saja
yang mendorongnya,” kata Bibik.
“Tidak, biarkan saya saja. Saya
senang melakukannya.”
“Arin sudah ya, naik sepedanya, nanti
om Dian capek,” bujuk Bibik.
“Main boneka saja yuk,” Dian ikut
membujuk.
Arin mengangguk. Dian menggendongnya,
lalu diajaknya masuk ke rumah, sedangkan si bibik menarik sepeda kecil itu ke
dalam pula.
Dian duduk di lantai, menemani
Arina bermain boneka. Bibik mengambilkan boneka-boneka Arina yang lain,
kemudian masuk ke belakang, barangkali ada yang harus dilakukannya tapi belum
terlaksana, dan kebetulan Arina ada yang menemaninya.
“Ya Tuhan, begini senangnya bermain
bersama anak kecil. Betapa rindunya aku akan suasana ini, suasana yang belum
pernah aku rasakan sebelumnya,” bisiknya pelan, dan tak terasa air matanya
menitik.
“Om Dian angis?” tanya Arina ketika
melihat Dian mengusap air matanya. Dan lebih mengharukan lagi ketika Arina
menyentuh pipi Dian yang sedikit basah.
Air mata Dian mengalir lagi.
“Bodoh, mengapa aku tidak bisa
menahannya? Pasti membuat anak ini kebingungan,” kata batin Dian, yang kemudian
meraih tubuh Arina, didekapnya di dadanya.
“Angan angis … “ suara kecil itu
membuat Dian semakin mempererat pelukannya, dan menciuminya bertubi-tubi.
Arina mengusap pipinya yang terkena
air mata Dian.
“Asah.. pipi Ain asah…”
“Sayang, maaf ya, basah ya. Baiklah,
ayo bermain boneka lagi,” katanya sambil mengambil boneka Arin, diletakkannya berjajar-jajar.
Arina sudah melupakan pipinya yang
basah, kembali asyik bermain dengan boneka-bonekanya.
“Besok, om sudah pulang, Arin tidak
boleh rewel ya?”
“Ulang? Ulang ke cini?”
“Tidak sayang, om Dian pulang ke
Jakarta, jauuh. Tapi om janji, akan sering ke sini menemani Arin. Ya.”
Arina mengangguk, sesungguhnya dia
tidak mengerti apa yang dikatakan Dian. Yang dia tahu adalah bahwa Dian
sekarang sering datang dan mengajaknya bermain.
***
Dewi sedang berada di ruangannya,
ketika ponselnya berdering.
“Dari pak Dian,” gumamnya sambil
mengangkat ponselnya.
“Ya pak Dian?”
“Saya tadi ke rumah, bermain bersama
Arin.”
“Oh ya? Pasti Arin sangat senang.”
“Senang sekali, tapi saya sedih,
besok saya harus kembali ke Jakarta.”
“Secepat itu?”
“Saya sudah lama di sini, dan urusan
saya sudah selesai.”
“Oh, begitu ya. Semoga Arin tidak
rewel.”
“Saya sangat menyesal, tidak bisa
bersama Arin lagi setiap hari.”
“Iya Pak, mau bagaimana lagi, namanya
juga tugas.”
“Tapi saya berjanji, setiap senggang
saya akan datang kemari.”
“Baiklah Pak.”
“Nanti sore, maukan jalan-jalan
bersama saya?”
“Saya?”
“Kalau bisa bersama Arina. Maukah?”
“Baiklah, saya akan pulang lebih
awal, supaya tidak kesorean nanti.”
“Terima kasih atas kesediannya, bu
Dewi.”
“Sama-sama, pak Dian.”
Dewi meletakkan ponselnya dengan dada
berdebar. Lagi-lagi ia merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya.
“Apa yang terjadi pada diriku?”
Tiba-tiba terdengar pintu ruangannya
diketuk.
Pintu itu terbuka setelah Dewi
mempersilakan masuk. Ternyata Ratri.
“Oh, bu Ratri.”
“Ini Bu, saya sudah mengetik
undangannya. Coba ibu periksa dulu, sebelum diperbanyak,” kata Ratri sambil menyerahkan
hasil ketikannya, sesuai dengan keinginan bu Dewi. Sebenarnya ada pegawai
administrasi yang bisa disuruhnya, tapi Dewi lebih suka meminta Ratri
mengerjakannya, karena Ratri dinilai lebih bagus dalam menyusun kata.
Ia membaca undangan itu, lalu
tersenyum.
“Serahkan saja pada bagian
administrasi Bu, ini sudah bagus, saya suka.”
“Baiklah Bu.”
“Jangan lupa undangan untuk pak Radit
harus di nomor satukan,” kata Dewi mengingatkan.
Ratri tersenyum, lalu mengundurkan
diri, untuk pergi ke ruang kantor, agar undangan tersebut diperbanyak.
“Oh ya bu Ratri,” kata Dewi
menghentikan langkah Ratri yang sudah hampir sampai di pintu.
“Besok pak Dian mau pulang ke
Jakarta.”
“Oh ya? Saya malah belum
mendengarnya.”
“Katanya urusannya sudah selesai.”
“Oh ya, syukurlah.”
“Nanti sore beliau mengajak saya
jalan-jalan.”
“Oh ya?” Ratri tersenyum lebar.
“Maksud saya, Arina. Dia sangat suka
pada Arina.” Dewi meralatnya.
“Oh, dia memang suka anak kecil.”
“Kasihan, mungkin karena belum punya
seorang anak pun.”
“Iya, Bu Dewi. Saya permisi, mau
mengajar.”
“Baiklah.”
Dewi tersenyum senang, Entah mengapa
dia mengatakan rencana jalan bersama Dian itu, kepada Ratri. Mungkin untuk
memberikan kesan bahwa dia tidak lagi mengidolakan Radit, entahlah. Tapi kemudian
dia teringat, bahwa Dian sudah punya istri, ada sedikit ganjalan yang
membuatnya memarahi dirinya sendiri karena punya perasaan aneh pada Dian.
***
Arina sangat senang, ketika sore hari itu Dian menggendongnya, dan berjalan-jalan di taman bersama ibunya pula. Setelah Dewi duduk di sebuah bangku, Arin berlari-lari kecil diantara tumbuhan bunga-bunga yang ditata apik di taman itu. Dian dengan suka cita mengikutinya dari belakang.
“Arin, jangan kenceng-kenceng larinya,”
teriak Dian sambil mengejar. Tapi Arin malah seperti mengajak kejar-kejaran.
Tiba-tiba Dian terkejut, mendengar
Dewi menjerit histeris.
***
Besok lagi ya.