A Y N A 36
(Tien Kumalasari)
“Aduuh, banyak sekali darahnya..” teriak bu Tarni.
Ayna segera membalut luka Rio, setelah membersihkan darahnya.
Bintang masih terpaku didepan pintu. Ada rasa nyeri mengiris jantungnya. Ia ingin membalikkan tubuhnya ketika tiba-tiba Rio melihatnya dan memanggil namanya.
“Mas Bintang !”
Ayna terkejut. Pegangan dijari Rio terlepas, dan perban yang sedang dibalutkannya terurai.
“Oh.. eh..”
“Sudah Ayna, aku bisa..”
Bintang mengangguk, dan tersenyum tipis.
“Ternyata ada mas dokter.. ini .. aduh.. salahnya Rio.. maunya ikutan saja. Sudah, mana, biar ibu yang membalut,” kata bu Tarni.
“Mas Bintang, ayo duduklah dulu.. waduh.. berantakan ini, bikin puding sambil nonton tivi sih, ayo nak.. duduklah.”
Bintang terpaksa duduk. Ayna mengawasi mata Bintang yang tampak tidak berkenan.
“Mas Bintang darimana ?”
“Dari rumah,” jawab Bintang singkat.
“Aku cuci tangan dulu..” kata Ayna sambil membawa panci dan peralatan yang tadi dibawa ke ruang depan.
“Nah, sudah.. kamu itu.. namanya pisau kok ya buat rebutan..” gerutu bu Tarni yang selesai membalut jari tangan Rio.
“Ma’af mas Bintang, datang-datang disuguhin orang terluka,” kata Rio.
“Nggak apa-apa mas, namanya kecelakaan.”
“Ya itulah, maunya membantu Ayna mengiris buah, jadi berebut, nah.. terluka deh,” kata bu Tarni.
“Rio, tolong simpan lagi kotak obat ini,” kata bu Tarni lagi kepada Rio.
Bintang hanya tersenyum. Lalu dilihatnya Ayna keluar, sudah membawa mangkuk-mangkuk berisi puding buah yang tadi dibuatnya.
“Ini mas Bintang, aku sama ibu tadi yang buat.”
“Wah, ma’af .. aku lagi nggak minum dingin.. “ jawab Bintang.
“Oh, mas lagi pilek ?”
“Agak flu.”
“Kalau begitu buatkan teh hangat saja Ayna.” kata bu Tarni.
“Tidak bu, terimakasih banyak, saya datang kemari hanya akan menjemput Ayna,” kata Bintang sambil menatap Ayna.
“Lho, kenapa buru-buru dijemput nak? Kemarin aku sudah bilang sama Tanti.”
“Bukankah besok Ayna sudah masuk kerja?”
“Masuk kerja kan bisa dari sini? Tolong bilang Tanti, biarkan menginap semalam lagi disini,” kata bu Tarni.
Bintang tak menjawab, menatap Ayna yang tampak kebingungan.
“Bagaimana Ayna?” tanya Bintang.
“Ibu, saya mohon ma’af, sebenarnya... saya kasihan sama ibu Danang.”
“Memangnya kenapa dia?”
“Sa’at ini kan beliau sedang hamil. Jadi saya tidak tega meninggalkannya lebih lama, karena saya harus membantu semua pekerjaan ibu Danang dirumah juga.”
“Aduuh, ya kasihan kalau kamu banyak bekerja dirumah, sementara kamu juga harus bekerja di toko, kan?”
“Tidak bu, itu kemauan saya sendiri, bukan karena disuruh sama ibu. Kasihan, kan ibu lagi hamil,” kata Ayna lembut.
“Tapi kalau semalam ini lagi kan nggak apa-apa Ayna? Aku mau bilang sama Tanti sekarang,” kata bu Tarni sambil mengambil ponselnya.
Ayna menatap Bintang yang mulai merasa kesal. Memang ya, bu Tarni sangat nekat, dan setengah memaksa.
“Iya Tanti, sehari ini lagi saja, nggak apa-apa kan? Kamu harus ingat, Ayna juga anakku lho,” kata bu Tarni ketika menelpon Tanti.
Ayna saling pandang dengan Bintang. Ingin sekali Bintang membantahnya, tapi ia harus menghormati seorang yang lebih tua.
“Nah, begitu dong Tanti, biarlah besok dia berangkat kerja dari sini,” kata bu Tarni kemudian menutup ponselnya.
Bu Tarni menatap Ayna sambil tersenyum.
“Sudah, ibu kamu sudah mengijinkan, jadi nanti tidur sama ibu semalam lagi. Ya Ayna?”
Ayna menatap Bintang. Ia tahu laki-laki ganteng itu tak suka bu Tarni masih menahannya sehari lagi.
“Mas Bintang mau mengajak saya kemana sebenarnya?”
“Entahlah, kalau bisa mau mengajak kamu keluar.”
“Ibu, bolehkah saya pergi bersama mas Bintang sebentar?”
“Mau kemana nak?”
“Aduuh.. si ibu ini seperti ngga pernah muda ya. Masa mau pergi berduaan masih ditanya kemana,” batin Bintang yang sudah merasa kesal sejak tadi.
“Mas, ibu bertanya, mau kemana,” kata Ayna sambil menggamit lengan Bintang, karena Bintang tak segera menjawab.
“Oh, hanya jalan-jalan saja.”
“Baiklah kalau begitu, tapi kalau bisa jangan lama-lama ya nak, nanti saya akan mengajak Ayna nonton wayang orang,” kata bu Tarni.
“Nonton wayang dimana bu?” tanya Bintang heran.
“Di Sriwedari lah nak dokter ini.. adanya wayang orang yang saya kenal ya disitu."
“Bukankah kalau Minggu wayangnya libur bu?”
“Oh.. iya.. ini Minggu.. ibu lupa, tahu begitu tadi malam ya nontonnya.”
“Ayna, bagaimana kalau kita berangkat sekarang?”
“Ya mas, aku ganti baju dulu..”
“Mengapa harus ganti, itu baju bagus.”
“Iya, kamu sudah cantik memakai itu, tapi jangan lama-lama ya, nanti aku ingin mengantar Rio ke bandara, tolong temani aku, soalnya nanti pulangnya mau mampir belanja.”
Ayna hanya mengangguk.
“Saya pamit dulu bu, nanti pamitkan sama mas Rio,” kata Bintang sambil berdiri, lalu keduanya keluar dari rumah.
***
Bintang mengajak Ayna makan di sebuah restoran. Wajah Bintang masih tampak muram, walau Ayna sudah bersamanya.
“Mas jangan cemberut dong.. marah sama Ayna ya?”
“Bukan.. “
“Lalu kenapa cemberut ?”
“Agak sakit melihat tangan lembut kamu memegang-megang jari Rio.”
“Aduh mas, aku merasa bersalah membuatnya terluka.”
“Asyik dong, bercanda sambil bikin puding, sayangnya yang dipakai bercanda kok pisau, terluka dong.”
“Yeee... bukan bercanda tahu. Dia itu ingin ikut mengiris-iris nanas, aku melarangnya, ya sudah, terjadilah kecelakaan kecil itu.”
“Oh.. gitu...”
“Mas marah ?”
“Nggaaak..”
“Kok cemberut begitu..”
“Aku jelek ya kalau cemberut..?” Bintang mencoba bercanda.
“Nggak kok, masih tetap ganteng..”
Bintang tersenyum lebar.. senangnya dipuji kekasih hati.
Ayna gadis yang lincah, cekatan, dan
bukan gadis yang pendiam. Didekat Bintang ia bicara begitu lancar dan
menyenangkan. Bintang suka melihat bibir tipisnya yang setiap ucapannya selalu
membuatnya terpikat. Ia benar-benar
sangat mencintai Ayna.
Ia kesal sejak kemarin karena Ayna seakan ‘disandera’ oleh bu Riri atau bu
Tarni. Bahkan hari inipun ia berpesan agar segera kembali kerumahnya. Bu Riri
seakan benar-benar menguasai Ayna. Itu membuat Bintang kurang nyaman berbincang
dengannya.
“Mas marah sama Ayna ?”
“Kok nanya lagi sih, kan tadi sudah tanya?”
“Kelihatannya mas masih kesal.”
“Tidak, begitu dekat sama kamu, kesal itu hilang.”
“Tapi tunggu dulu, tadi mas bilang tidak minum dingin karena flu kan, kok sekarang pesan es buah juga?”
Bintang tertawa.
“Tadi aku agak pilek, sekarang sudah tidak,” kata Bintang sambil tersenyum.
“Huuh.. bohong kan ?”
“Mana yang bohong, yang tadi atau yang sekarang ?”
“Yang tadi. Nggak suka ya.. minum puding buah buatan Ayna..”
“Yang membuat nggak suka, buahnya diiris sambil bercanda..”
“Mas Bintang tuh, kan aku sudah bilang bahwa aku bukannya bercanda.”
“Aku cemburu, tahu.”
Ayna tertawa lepas. Bintang suka melihatnya. Ya, ia suka senyumnya, cara dia bicara, tawanya, semua serba menarik, membuat hatinya bergetar.
“Kok tertawa sih?”
“Habisnya, cemburu.. bilang-bilang.”
“Kalau aku nggak bilang mana bisa kamu tahu kalau aku cemburu.”
“Tahu dong...” kata Ayna sambil tersenyum.
“Tahu ?”
“Darimana tahunya?”
“Sejak tadi wajahnya masam ."
“Kayak jeruk dong, padahal jeruk itu vitamin.. sehat..”
“Kalau terlalu masam bikin perut sakit.. ya kan? Pak dokter harus tahu itu.”
Keduanya bercanda sambil makan. Bahagia itu sederhana. Dekat dengan orang yang dicintai, apalagi disuguhi senyum dan canda yang menggelitik. Bintang ingin selamanya berada didekat Ayna.
“Ayna...”
“Hm...” jawab Ayna sambil menyapu mulutnya dengan tissue setelah selesai makan.
“Aku akan segera melamar kamu.”
“Begitu cepat ?”
“Kok cepat bagaimana, aku sudah lama menahannya tahu.”
“Mas nggak ingin memikirkan lagi? Aku ini siapa, orang tuaku bagaimana.. dan aku hanya pegawai toko..nanti mas menyesal?”
“Tidak, tak akan ada sesal. Aku yakin, kamu adalah pilihan terbaikku.”
Ayna tersenyum. Menahan debar jantungnya karena bahagia. Laki-laki didepannya ini bukan hanya ganteng, tapi juga baik hati, lembut, dokter lagi.
“Boleh kan? Aku akan bilang sama bapak sama ibu, agar segera melamar kamu.”
Ayna mengerjap-ngerjapkan matanya. Bintang sangat gemas, itu kebiasaan Ayna, mata bintangnya berkedip-kedip, seperti kejora menjelang pagi.
“Diam berarti setuju. Terimakasih Ayna, calon isteriku.”
“Tapi jangan melarang aku bekerja ya, aku kan pernah bilang.”
“Baiklah kalau kamu suka melakukannya.”
“Terimakasih mas..”
Mereka bertatapan dengan sangat mesra. Dan kemesraan itu terganggu karena dering ponsel Ayna.
“Dari bu Tarni.” Kata Ayna lirih.
“Nggak usah diangkat...” kata Bintang yang langsung cemberut.
“Jangan ah, kasihan..”
Bintang benar-benar cemberut ketika Ayna menerima telpon bu Tarni.
“Ya bu.. “
“Kamu dimana ?”
“Sedang makan bersama mas Bintang..”
“Yaah, kami menunggu makan dirumah, Rio sudah kelaparan, dan sebentar lagi dia mau berangkat ke bandara.”
“Ma’af bu, kami sudah makan.”
“Baiklah, tapi segera pulang ya, kita akan mengantar Rio ke bandara.”
“Ya ibu.”
Ayna menutup ponselnya, senyuman hilang dari bibir tipisnya.
“Disuruh segera kembali kesana kan?”
Ayna mengangguk.
“Nggak apa-apa, selesaikan dulu minumnya. Kalau perlu nambah makan lagi, biar lebih lama,” sungut Bintang.
“Yaah.. perutnya nggak muat dong mas.”
“Heran aku sama bu Riri itu, seperti benar-benar ingin memiliki kamu.”
“Sabar mas, kan besok aku sudah pulang ke rumah ibu Danang.”
“Jangan-jangan dia akan mengambil kamu sebagai menantu.”
“Enggak mas, kan dia sudah punya pacar.”
“Ya.. kan baru pacar. Belum ada janur melengkung kan?”
“Sudah, jangan lagi cemburu. Sabar untuk hari ini ya, besok aku sudah kembali pulang.”
***
Arsi mengambil bungkusan kecil dengan pita merah itu. Tadi ia segan membukanya, karena tak tahu bungkusan itu dialamatkan kepada siapa. Jangan-jangan memang barang Rio ketinggalan. Tapi rasa keingin tahuan membuat dia nekat ingin membukanya. Pelan ditariknya pita merah yang mengikatnya, lalu dengan hati-hati dia membuka pembungkusnya. Jangan sampai rusak, sehingga kalau barang itu memang milik orang lain, dia bisa dengan mudah mengembalikannya.
Arsi berhasil membukanya, dan terbelalak melihat sebuah arloji cantik melingkar didalam kotak itu. Arsi terpana melihat tulisan yang ada diatasnya.
“UNTUK KEKASIHKU, ARSI ARSANTI”
Gemetar tangan Arsi ketika mengambil arloji cantik itu.
“Rupanya untuk aku. Berarti semalam mas Rio membeli arloji untuk aku, dan Ayna hanya disuruh mencobanya saja, atau entahlah. Tapi pemandangan itu membuat hatiku sangat panas.”
Arsi mengenakan arloji itu dengan kemarahan yang benar-benar padam, berganti rasa suka dan bahagia.
“Ma’af mas, aku salah faham, aku harus menelponnya, semoga dia belum berangkat kembali ke Jakarta.” bisiknya pelan, lalu diraihnya ponselnya.
***
“Disuruh cepet kembali, kok lama sekali sih,” gerutu bu Tarni sambil duduk diruang depan.
“Namanya lagi pacaran bu, mana bisa disuruh cepat-cepat pulang?”
“Aku kan hanya ‘pinjam ‘ dua hari saja. Lagian aku juga berjasa dalam menemukan Ayna lho. Kalau dia tidak ketemu ibu didepan sana, entah bagaimana nasibnya.”
“Ibu kan sudah menolong, ya jangan disesali, atau diingat-ingat lagi.”
“Bukan ibu merasa sudah berbuat baik, tapi harusnya Ayna juga sering-sering berada disini. Aku kan bilang bahwa dia sudah aku anggap sebagai anakku?”
Ponsel Rio tiba-tiba berdering.
Rio menatap kearah ponsel, tapi membiarkannya.
“Kok tidak diangkat sih ?”
“Biar saja, Rio lagi sebel sama dia.”
Arsi ?”
“Iya, tadi pagi Rio kerumah, dia nggak mau keluar menemui Rio.”
“Dia marah ?”
“Marah, karena semalam melihat kita belanja bersama Ayna.”
“Kan ada ibu juga, masa dia marah ? Cemburu ?”
“Itulah bu, Rio kesal sama dia, Cemburunya keterlaluan. Gadis baik itu ya seperti Ayna, sudah cantik, lembut, baik hati.”
“Hm, jangan bilang kamu tertarik sama dia.”
“Memangnya kalau tertarik kenapa?”
“Rio, dia sudah punya pacar.”
“Apa salahnya kalau sudah punya pacar? Kan belum jadi isterinya?”
“Rio..”
***
Besok lagi ya.