KANTUNG BERWARNA EMAS
22
(Tien Kumalasari)
Karina panik. Tadi pagi sehabis dandan, dia hanya merasakan
gatal sedikit, dia mengira sisa digigit nyamuk atau apa, entahlah, dia
menganggapnya tidak serius. Tapi semakin siang, gatal semakin terasa, dan sekarang,
sebelah pipinya berbintik-bintik kemerahan, terasa panas dan gatal.
Karina lari ke poliklinik yang memang disediakan di
perusahaan itu. Dokter mengatakan hanya alergi. Karina diberinya obat berbentuk
kapsul.
“Kalau gatalnya mereda, sehari sekali saja sudah
cukup, tapi kalau masih gatal juga, boleh dua kali," pesan sang dokter.
Karina langsung meminumnya. Tapi sampai sore hari
menjelang pulang, kemerahan itu tak juga mereda, rasanya semakin panas dan semakin
gatal. Tak tahan Karina menggaruknya, sehingga beberapa bagian kemudian menjadi
luka lecet.
Kepala bagian Karina yang melihatnya, juga merasa
kasihan. Ia menghubungi Andre, karena dianggapnya Andre sangat dekat dengan
keluarga Candra. Ia menceritakan keadaan Karina, yang sudah dibawa ke dokter
tapi tidak juga mereda.
Andre beranjak ke keruang kerja Karina, melihat gadis
itu sedang menangis.
“Ada apa?”
“Lihatlah wajahku. Mengapa menjadi begini ?” isaknya.
Andre terkejut.
“Kalau begitu kita ke rumah sakit saja. Ada dokter kulit
yang lebih mengerti tentang penyakit kamu itu. Kamu alergi sesuatu. Tadi makan
apa?”
“Aku bahkan belum makan sedikitpun sejak siang.
Kemarin hanya makan daging dan sup, beli di warung.”
“Ya sudah, ayo ke rumah sakit saja, di dekat sini ada
rumah sakit. Kita cari dokter kulit."
Karina menurut. Sore itu juga ia mengajak Karina ke
rumah sakit. Tapi celakanya, dokter kulit baru akan praktek jam tujuh malam.
Karina terus menerus menangis, membuat Andre
kebingungan. Lalu dia menelpon Rian.
“Ada apa Mas? Ini aku dalam perjalanan ke rumah sakit.”
“Karina sakit.”
“Sakit apa?”
"Separuh wajahnya kemerahan, katanya panas dan gatal.
Sudah dibawa ke dokter di poliklinik perusahaan, tapi tidak mereda, semakin parah.
Lalu aku membawanya ke rumah sakit."
"Rumah sakit mana?"
"Yang dekat dengan kantor. Dokter kulit akan praktek
nanti jam tujuh malam."
“Ada apa dia?”
“Entahlah, sekarang wajahnya luka karena Karina tak
tahan untuk tidak menggaruknya.”
“Aku segera ke sana.”
“Kenapa aku ini? Kenapa aku ini?” tangis Karina sangat
keras, sehingga menarik perhatian banyak orang, membuat Andre merasa sungkan.
“Jangan menangis, malu dilihat orang.”
“Kamu tidak tahu mas, aku nggak tahan lagi.”
“Bertahanlah, jangan digaruk, lihat, ada yang sampai
berdarah. Nanti malah semakin parah.”
“Aku tidak tahan, aku tidak tahan.. ”
Andre terpaksa membiarkannya, karena Karina tak lagi
bisa mengendalikan diri oleh rasa panas, dan terlebih gatal yang menyiksanya.
Jam tujuh masih setengah jam lagi. Andre mengajak
Karina untuk shalat, tapi Karina menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus
menggaruk wajahnya.
Akhirnya Andre berangkat sendiri ke mushala, setelah
berpesan agar lukanya jangan terus digaruk.
Karina membanting-banting kakinya.
“Omong saja, enak. Aku ini yang merasakannya. Ya
ampuuun, mana dokteeer … mana dokteeeerrr ….”
Ketika Andre sudah kembali, bersama itu pula ia
melihat Rian. Ia datang bersama Siswati.
“Ada apa?” tanyanya. Tapi tanpa dijawab Rian sudah
tahu apa yang terjadi. Ia merasa ngeri melihat wajah adiknya.
“Itu tadinya kenapa?”
“Nggak tahu. Pagi tadi gatal sedikit, tapi siang tadi
mendadak menjadi parah, aku tak tahan lagi. Mengapa dokternya lama sekali?”
“Sabarlah Karin, hanya dokter yang bisa menangani.”
“Ketika dia masuk ke ruangan aku, aku hanya melihat
pipi sebelah kiri agak kemerahan, entah bagaimana, kok tiba-tiba sudah separah
itu.
Ketika dokter datang, hanya Rian yang menemani masuk.
Siswati menunggu di luar, ditemani Andre.
“Eh, kita belum kenalan, saya Andre,” kata Andre
sambil mengulurkan tangannya.
“Siswati, “ kata Siswati sambil tersenyum.
“Teman Rian ya?”
“Saya adik kelasnya. Tadi kebetulan mau diajak
membezoek Nurani.”
“Oh, sudah kenal Nurani?”
“Kemarin membezoek, sepulang kuliah.”
“Oh.”
Mereka berbincang agak lama, karena Karina rupanya
juga ditangani lebih dari penanganan biasa. Rupanya dokter juga menyuntiknya
untuk menghilangkan rasa gatal, dan juga mengobati luka-luka di wajahnya.
Begitu keluar, wajah Karina sudah diobati. Tapi ia tak
lagi mengeluh gatal.
“Bagaimana kata dokternya?” tanya Andre.
“Dokter hanya mengira alergi yang sangat parah. Belum
diketahui penyebabnya. Tadi disuntik, dibersihkan lukanya dan diobati. “
“Syukurlah, semoga segera sembuh.”
“Mas Andre, maukah mengantarkan Karina pulang? Saya
bawa motor, kalau saya boncengkan, takut lukanya terkena debu,” pinta Rian.
“Tentu. Biar saya mengantarkannya pulang.”
“Lagi pula saya harus membelikan obatnya juga, supaya bisa segera diminum.”
“Baiklah, sekarang juga saya antarkan Karina.”
***
Bu Candra sangat terkejut melihat keadaan Karina.
Andre yang hanya mengantarkan segera pamit pulang.
“Mengapa buru-buru pulang? Ibu buatkan minum dulu, ya.”
“Terima kasih Bu, saya belum pulang sejak pagi. Semoga
Karina cepat sembuh,” kata Andre yang bergegas pergi.
Karina sudah masuk ke dalam kamarnya, berbaring dengan
mata sembab. Rasa gatal itu sudah banyak berkurang, tapi sekarang berganti
dengan rasa pedih dan nyeri pada wajahnya.
“Sebenarnya kamu kenapa?”
“Ibu, aku capek menjawabnya. Banyak orang bertanya dan
aku sudah menceritakan semuanya,” kata Karina tak terkendali.
“Apa maksudmu Karina? Ibu baru melihatmu, dan tidak
tahu apa-apa. Mengapa kamu marah?”
“Aku kesal Bu, lelah.”
“Ibu hanya bertanya kenapa. Tiba-tiba parah seperti
itu.”
“Aku juga nggak tahu Bu, pagi tadi hanya sedikit
gatal, tapi siang harinya parah, panas dan gatal yang Karin rasakan. Untunglah
mas Andre sangat perhatian, aku dibawanya ke rumah sakit.”
“Pasti itu karena alergi sesuatu. Tapi kamu kan tidak
pernah alergi makanan apapun? Lagipula kemarin kamu juga tidak makan apa-apa
yang bisa memicu alergi.”
“Entahlah Bu, semua orang juga sudah menanyakan itu,
dan aku tetap tidak tahu jawabnya. Sekarang aku mengantuk Bu. Biarkan aku tidur,”
kata Karina.
“Jangan-jangan karena pipi kamu terkena kotoran kucing
itu.”
Karina terkejut. Mata yang semula terpejam, dibukanya
lebar-lebar.
“Apa? Karena kotoran kucing itu? Memang kemarin yang
terkena juga di sebelah sini, yang luka ini. Tapi kan aku langsung mencucinya
dengan sabun. Bahkan aku keramas karena takut rambutku juga terkena kotoran
itu.”
“Ibu kira itu penyebabnya.”
“Ya ampuun, kenapa kucing itu jahat sekali sama aku?”
“Mana Rian?”
“Tadi bilang mau beli obatnya sekalian.”
***
Ketika Rian datang, Karina menceritakan tentang
kotoran kucing itu, membuat Rian terheran-heran.
“Bagaimana bisa ada kotoran kucing di kamar kamu?”
“Bukan hanya di kamar, di atas bantal aku,” sergah
Karina kesal.
“Aku sama ibu pernah mencari keberadaan kucing di
dalam rumah, tapi tak ada. Kami tak menemukannya. Kalau ketemu sudah pasti aku
bunuh dia,” lanjutnya, bengis.
“Ya sudah, ini obatnya di minum dulu, aku harus
mengantar teman aku pulang, tapi mau langsung ke rumah sakit dulu. Seharian
belum ke rumah sakit. Apa ibu sudah?”
“Ibu tadi arisan sampai jam tiga, baru istirahat
sebentar, Karina datang.”
“Karina kan datangnya sudah malam Bu, Bapak pasti
bertanya, mengapa ibu tidak menjenguknya.”
“Nanti kalau kamu ke rumah sakit, bilang bahwa ibu
menunggui Karina yang juga sedang sakit.”
Rian tak menjawab, tapi sebelum pergi, dia mengatakan
sesuatu.
“Nanti setelah pulang, Rian mau bicara sama ibu.”
Lalu Rian berlalu, mengantarkan Siswati yang
menungguinya sejak pulang kuliah. Bu Candra hanya mengawasi gadis teman Rian,
dari dalam rumah, karena Rian tidak sempat memperkenalkannya.
***
Nurani terkejut ketika Rian mengatakan tentang
penyakit Karina.
“Ibu mengira karena semalam sebelah pipinya terkena
kotoran kucing,” kata Rian.
Nurani terhenyak. Lagi-lagi kucing … kucing dan kucing
… Mengapa tiba-tiba banyak cerita tentang kucing? Tiba-tiba dia teringat, almarhumah ibunya dulu punya piaraan kucing berbulu emas dan
sangat disayangi, serta sangat menyayanginya. Tapi kan sudah puluhan tahun
berlalu, dan selama ini tak pernah ada lagi kucing di rumah itu.
Nurani hanya diam, tak mengatakan apa-apa tentang kucing
piaraan almarhumah ibunya itu. Toh tak akan ada yang memikirkannya. Cuma saja
dia heran ketika tiba-tiba ia mendengar banyak cerita tentang kucing. Bahkan
ketika dia jatuh ke jurang, Andre juga melihat kucing di dekatnya.
“Mungkin juga karena kotoran, jadi membawa banyak
bibit penyakit,” kata Nurani prihatin.
“Pastinya begitu. Tapi heran juga ya, tiba-tiba ibu
sama Karina diganggu kucing. Di rumah sakit, di rumah ….”
“Semoga hanya kucing tetangga. Aku juga pernah, saat di
rumah mendengar suara kucing.”
“Benarkah?”
“Hanya suara kucing. Mungkin kucing tetangga. Namanya
kucing, bisa saja main kemana-mana.”
“Semoga tidak mengganggu lagi.”
“Ya.”
“Kamu dapat salam dari Siswati,” kata Rian tiba-tiba.
Siswati lagi? Nurani selalu merasa tak enak mendengar
nama itu disebut Rian. Ada rasa cemburu mengganggunya. Eh, cemburu? Apa Nurani
mencintai Rian? Tidak juga barangkali. Cemburu, iya … tapi karena takut tidak
lagi mendapat perhatian dari kakak tirinya itu. Benarkah begitu? Itu pertanyaan
yang selalu menghantui pikiran Nurani.
“Hei, kamu tidak mendengarnya?” tanya Rian karena
Nurani tidak menjawabnya.
“Eh, apa?”
“Kamu dapat salam dari Siswati.”
“Oh, wa’alaikum salam,” kata Nurani sambil tersenyum.
“Sedianya tadi mau ikut ke sini, tapi karena aku
kemudian mengurus Karina juga, jadi aku langsung mengantarnya pulang. Takut
dimarahi orang tuanya karena kemalaman.”
“Tidak apa-apa, jangan merepotkan siapapun.”
“Tidak repot. Siswati suka sama kamu.”
“Oh ya? Terima kasih.”
“Aku mau ke ruang bapak dulu ya, seharian nggak ada
yang menjenguk.”
“Tadi siang mas Andre kemari, dan menemui bapak karena
ada yang harus dibicarakan.”
“Oh, syukurlah.”
***
Pagi hari itu Rian tidak pergi kuliah pagi. Ia harus
bicara dengan ibunya. Ia merasa tak enak setelah ayahnya berbicara panjang
lebar tentang sikap ibunya dan Karina terhadap Nurani.
“Ibu mau pergi?”
“Ya, ada urusan, aku titip Karina ya?”
“Nanti Rian
mau ke kampus.”
“Tuh, giliran menjaga adiknya sendiri, kamu keberatan.”
“Bukan keberatan, Karina kan di rumah, beda dengan Nurani.
Apalagi bapak juga ada di rumah sakit.”
“Alesan kamu.”
“Ibu jangan pergi dulu, Rian mau bicara.”
“Bicara apa? Mau melamar gadis yang bersama kamu
semalam?”
“Ibu gimana sih, itu teman kuliah Rian. Tepatnya adik
kelas. Belum-belum melamar, mau dikasih makan apa nanti?”
“Lalu kamu mau bicara apa?”
“Bapak mengajak bicara Rian. Bapak tahu bahwa ibu sama
Karina tidak suka sama Nurani, dan memperlakukan Nurani dengan sangat buruk.”
“Bapakmu itu hanya mengada-ada. Saking sayangnya sama
Nurani, lalu menuduh orang lain berlaku buruk sama dia.”
“Bapak bukan anak kecil. Pasti bapak mengatakannya
dengan pertimbangan. Ibu jangan marah, sebagai ayah, bapak memperlakukan kita dengan
sangat baik. Melindungi kita, memberikan kehidupan yang layak, mengasihi Rian
dan Karina seperti anak kandung sendiri.”
Bu Candra mencibir.
“Ibu, Rian mengatakan ini, karena yang dibicarakan
bapak adalah ibuku, ibu kandung aku.”
“Lalu maksudmu apa?”
“Bapak ingin agar kita memperlakukan Nurani dengan
baik.”
“Dia itu hanya manja.”
“Itu tidak mungkin. Nurani tidak pernah manja. Dia
bahkan tidak pernah meminta sesuatu. Ketika Karina minta dibelikan ponsel, Nurani
sama sekali tak menginginkannya. Ketika Karina minta sesuatu, Nurani tak pernah
ikutan memintanya.”
Bu Candra tak menjawab. Itu memang benar. Tapi namanya
rasa benci dan dengki, tak mudah menghilangkannya. Apalagi kalau diiringi rasa
ingin mendapatkan lebih, sampai-sampai lupa siapa dirinya sebenarnya.
“Baiklah Bu, Rian hanya ingin mengingatkan itu.
Sebaiknya ibu merubah perangai buruk itu, Nurani adalah adiknya Rian juga,”
kata Rian sambil berdiri.
“Hei, kamu mau ke mana?”
“Ke kampus Bu.”
“Ibu kan minta supaya kamu menjaga Karina?”
“Rian harus ke kampus, banyak yang harus Rian kerjakan,”
katanya sambil menjauh.
Bu Candra kesal. Bukan hanya karena diberi tahu Rian
tentang perasaan suaminya, tapi juga karena dia tidak akan bisa pergi karena
Karina tak mau ditinggal sendiri.
***
Hari terus berlalu, pak Candra dan Nurani sudah pulang
ke rumah, karena memang sudah sehat benar. Nurani juga sudah harus masuk
sekolah. Tapi apa yang selalu dijalani sebelumnya, masih dilakukannya tanpa
beban.
Berkali-kali ayahnya melarang supaya jangan terlalu banyak mengurusi
rumah, tapi Nurani tak mau mendengarkan. Nurani sudah terlatih menjalani
kehidupannya dengan selalu bekerja, demi keluarganya, dan sekarang ditambah
kewajibannya untuk memikirkan pelajaran sekolahnya.
Berhari-hari tidak masuk bekerja, Karina masih
menunggu agar bekas luka diwajahnya bisa pulih. Tapi saat terakhir periksa,
dokter mengatakan bahwa bekas luka itu akan menyebabkan wajahnya menjadi
bopeng. Aduhai.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah KaBeE_22 sdh tayang. Matur nuwun bu Tien, salam SEROJA dan tetap ADUHAI
ReplyDeleteYesss
DeleteYesss
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah yg ditunggu sdh tayang
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteSuwun
ReplyDeleteYess
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
matur nuwun bun
ReplyDeleteKalah ...... Gak juara ya,....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien...🌷🌷🌷🌷🌷
ReplyDeleteTernyata dah buanyak yg ancang-ancang balapan
Selamat Kakek Habi
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ....
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 22 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun bu Tien sugeng ndalu
ReplyDeleteAlhamdulillah... akhirnya KBE 22 hadir juga...
ReplyDeleteMatunuwun Bu Tien, salam sehat selalu...
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
🙏🙏
🦋🍃🌸 Alhamdulillah KBE 22 telah hadir. Salam Aduhai Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...
ReplyDeleteMatur nuwun. 🙏🦋🏵
Alhamdulilah...
ReplyDeleteTks bu da Tien...
Semoga sehat" selalu ya bunda..
Salam aduhai dari Sukabumi.. 🙏🙏🥰🌹
Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~22 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteSehat selalu nggih Mbak.
Kucing berbulu kuning emas.. apkh kamu punya kantung berwarna emas utk Nurani??
ReplyDeletePenasaran... tunggu bsk lg..
Tks bunda Tien.. 🙏🙏🥰
Matur nuwun sugeng dalu sugeng sare,salam dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu
Waw .. Semakin seeu, terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteMatur nuwun, mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dari kota Kudus.
Alhamdulillah.. Terima kasih bu Tien.
ReplyDeleteSemoga sehat selalu.
Salam *ADUHAI*
Mksh Bu Tien
ReplyDeletePuji Tuhan, Rian sudah menyampaikan perasaan bapaknya tentang bu Chandra dan Karina yg tidak sayang kpd Nurani.
ReplyDeleteSemoga menyadarkan bu Chandra dan sedikit demi sedikit ada pertobatan...
Matur nuwun ibu Tien....
Nuwun bu .baru buka krn luar kota. Kasihan juga Karina wajahnya jadi bopeng..Apakah omongan Rian dan kejadian yg diakibatkan kucing secara bertubi tubi akan menyadarkan Karina dan bu Chandra ? Tunggu saja jawaban bu Tien di episode mendatang
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu Bunda Tien
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien ..
ReplyDeleteKarina jadi si buruk rupa, memang suasana hati bisa tampak sampai rona wajah: iner beauty kata orang, ini kerjaan kucing kenapa nggak nongol nongol, dikasih bedak sama kucing, salep tepatnya, herbal lagi; lho jadi kalah donk salepnya pak dokter, ah nggak tau, musthi operasi plastik nich biar agak balikan dikit.
ReplyDeletembok pakai plastik kresek saja, banyak tuh dipasar wuah aneh², nggak kasihan apa.
Masih ada untung nich, untungnya Nurani hanya ngumpulin cerita kucing disimpan di angannya, coba kalau kelepasan ngomong apa nggak tambah runyem tuh, halah biasanya juga di share di wa ; nich aku punya cerita kucing, sana bilang dulu sama admin boleh di share tidak.
Jaré kowé sok ngraupi kucing, åpå; weruh banyu mlayu buanter ngadoh.
Amirah tersandera nungguin Karina, susah payah Rian memberi saran sama biyungnya dianggap angin lalu.
Jadi Chandra sering bangun pagi, ngawasin Nurani karena yakin kalau anaknya diperlakukan buruk sama Amirah. Heh duet malah; tuh sama Karina. Anak yang dimanja, anak juragan Chandra wauw, saking bangganya sampai minta diperlakukan istimewa di kantor bapaknya, kadang sok perintah lagi, sama seperti emaknya tiap hari kumpul sama temennya ngehabisin uang saku jatah pemberian dari Chandra, sekedar buat meok sama temen temennya.
Apa itu meok; ya 'makan enak omong kosong' lah.
Terus kalau bopeng; tambah nggak pede donk, lebih manja lah, sakit buat alasan.
Bisa lho nanti pulang sekolah ke kantor dulu, kerumah bareng bapaknya pulang, kan Chandra memastikan kalau Nurani baek baek saja, lagian disuruh nggak ngurusin pekerjaan rumahan nggak mau berhenti, ih semakin setrès tuh Karina.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke dua puluh dua sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Bopeng ..nah kan Itu org yg iri dah kena balasan nya hahah ..kucing peliharaan ibu Nurani yaa jelmaan yg selalu membantu Nurani terhindar dan enak yaa.terima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 22 sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu. Aamiin 🤲
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien KBE 22nya 🙏🙏
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien...
ReplyDeleteSalam sehat sejahtera..
Aduhai, mbak Tien ... Matur nuwun salam Seroja dan doa utk mbak Tien
ReplyDeleteCeritanya mkin Asyiik trs... terima kssih Mbu tien...
ReplyDeleteYg busuk mukanya baru Karina itu pertanda hatinya jg busuk.....trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDelete𝓣𝓮𝓻𝓲𝓶𝓪 𝓴𝓪𝓼𝓲𝓱 𝓜𝓫𝓪𝓴 𝓣𝓲𝓮𝓷...
ReplyDeleteNah, selama Karina dan ibunya masih berbuat jahat kepada Nurani, teror masih berlanjut.
ReplyDeletePahlawannya adalah Kucing berwarna Emas.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Slmt mlm bunda..terima ksih KBE nya..slm sht sll dan slm istrht🙏😍🌹
ReplyDeleteMudah2an malam ini nggak libur
ReplyDeleteMenanti sebuah jawaban...
ReplyDeleteKantung emas...
Kucing Emas koq belum muncul ...
ReplyDelete