Monday, December 12, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 06

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  06

(Tien Kumalasari}

 

Pak Candra saling pandang dengan Nurani, tapi gadis itu kemudian menundukkan wajahnya, pura-pura asyik menyendok makanannya.

Pak Candra menatap Rian, tapi dilihatnya Rian mengangkat bahunya. Apalagi Andre, yang bingung melihat sikap atasan dan anak-anaknya.

“Saya panggil ibu saja?” Rian menawarkan.

“Tidak, jangan. Ibumu sedang bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jangan sampai kita mengganggunya.

“Oh, baiklah.”

“Ayo kita selesaikan makan kita, lalu pulang. Nurani pasti sangat lelah. Sesampai di rumah harus segera beristirahat,” perintahnya kemudian kepada Nurani.

Nurani hanya mengangguk, sambil menyuapkan suapan terakhirnya, kemudian menghabiskan jus alpukatnya.

“Kalau masih lapar, kalian bisa makan lagi di rumah. Ada yang memasak semur daging di rumah. Tapi sebenarnya semur daging atau ayam sih Nur, kamu tadi bilang semur daging, ibumu sepertinya bilang semur ayam.”

“Oh, itu Pak. Sebetulnya mau masak semur daging, tapi kan Bapak harus mengurangi makan daging merah, sementara beberapa hari yang lalu makan rawon? Jadi, pikiran Nurani masih daging saja, padahal sudah diganti daging ayam,” jawab Nurani sambil mengelap mulutnya dengan tissue.

“Kok kamu bisa tahu semuanya sih? Ibumu menceritakan itu semua sama kamu?”

“Mm … bukan, hanya melihat dan … mengira-ira saja,” jawab Nurani sekenanya.

“Tapi ibumu tadi bilang pembantu yang memasaknya.”

Nurani mengangkat bahunya. Ia sudah tahu bahwa yang dimaksud pembantu oleh ibunya, adalah dirinya, Masa dia akan mengatakannya juga pada ayahnya?”

“Diam-diam ibumu punya pembantu? Sejak kapan?”

Kembali Nurani mengangkat bahu.

“Kami tidak tahu bahwa ada pembantu di rumah. Entahlah kalau ibu mengundang pembantu hanya di suruh masak. Tapi tadi Nur sudah tahu kalau ada masakan semur ayam. Rian yakin yang memasak adalah Nurani,” kata Rian.

Nurani hanya diam, lalu mengangkat tas sekolah yang tadi dipangkunya, disangkutkannya pada bahunya.

“Ada yang aneh. Baiklah, nanti aku tanyakan pada ibu kamu. Andre, masih mau nambah?” tanyanya kemudian kepada Andre.

“Tidak Pak, sudah kenyang.”

“Kalau begitu ayo kita pulang.”

***

Andre yang membawa mobilnya, mengantarkan Rian terlebih dulu agar mengambil sepeda motornya. Tapi ternyata Nurani memilih membonceng Rian.

“Kamu pilih kepanasan bersama kakakmu?” tanya pak Candra.

“Iya. Kasihan mas Rian kepanasan sendirian.”

“Eh, ngaco, banyak yang kepanasan di jalanan ‘kali. Tuh lihat, banyak pengendara motor di sepanjang jalan,” kata Rian sambil turun.

Nurani mengikutinya turun.

“Terima kasih Bapak, terima kasih mas Andre.”

“Hati-hati di jalan ya Nak.”

Pak Candra lengsung menyuruh Andre untuk segera kembali ke kantor. Ada banyak pertanyaan tak terjawab, dan membuatnya bingung.

Rian menghidupkan sepeda motornya, setelah Nurani nangkring di boncengannya.

“Pegangan ya, aku ngebut nih.”

“Jangan dong Mas, kenapa harus ngebut? Jalanan ramai nih.”

Rian tertawa, dan menjalankan motornya pelan.

“Aku masih heran soal semur tadi,” kata Rian tiba-tiba.

“Apa?”

“Soal semur. Semur ayam, jadi semur daging …”

“Oh, itu aku hanya salah ucap. Tadinya ingin membuat semur daging sih, tapi mengingat bapak tidak boleh terlalu banyak makan daging merah, sementara belum lama ini aku memasak rawon, daging juga tuh, ya kan, jadi aku ganti dengan ayam.”

“Jadi alasan kamu tentang daging merah itu benar?”

“Benar.”

“Mengapa kamu tidak bilang pada bapak bahwa kamu yang memasak semur itu?”

“Biarkan saja.”

“Sekarang aku mulai berpikir, bahwa ibu telah meperlakukan kamu dengan sewenang-wenang.”

“Apa?”

“Mengapa kamu diam saja? Kalau memang kamu yang memasak setiap hari?”

“Masa aku harus mengatakannya? Biar dapat bintang, gitu?”

“Tapi ibu mengakui bahwa itu masakannya, kemudian kepada teman-temannya malah mengatakan bahwa itu masakan pembantunya.”

“Ya nggak apa-apa, biarin saja.”

“Aku tidak mengerti, selama ini ada yang tersembunyi diantara kamu dan ibu.”

“Tidak ada. Sudah, jangan dipikirkan.”

***

Tapi sesampai di rumah, setelah berganti pakaian, Rian langsung menuju ke meja makan. Ia mengeluarkan semur ayam dari atas kompor, menuangkannya dalam panci pemanas, lalu mengeluarkan juga perkedel dari dalam lemari.

“Nuraniiii,” teriaknya sambil duduk.

Nurani mendekat, juga sudah dengan pakaian rumahan.

“Mau makan lagi?” senyumnya melebar.

“Gara-gara bicara soal semur, aku lapar lagi. Yuk, temani dong.”

“Baiklah, kata Nurani yang ikut duduk di meja makan, membuka piring yang sudah disiapkan Rian.

“Hm, begitu mulai panas, aroma sedapnya keluar.”

“Ya sudah, segera makan, tunggu apa lagi?”

“Belum panas benar, nggak enak makan semur saat dingin,” katanya sambil menyomot perkedel.

Nurani menyendok sedikit nasi.

“Sedikit amat?”

“Masih kenyang. Ini hanya untuk menemani mas Rian.”

“Aku sudah tahu sejak lama, bahwa ini masakan kamu. Sebelum kamu masuk sekolah, kamu juga yang masak kan? Aku tahu semua masakan kamu.”

“Biasa saja. Dari pada bengong, ya masak, bersih-bersih. Itu pekerjaan perempuan. Ya kan?”

“Selama ini ibu menekan kamu dengan semua pekerjaan rumah?”

“Kamu berlebihan deh Mas. Ayo cepat makan, sudah panas tuh.”

“Kamu, mengapa diam saja?”

“Maksudmu apa?”

“Kamu bisa minta agar Karina membantu kamu. Ya kan?”

“Aduh, cuma begitu saja. Maaf, bukan dengan maksud minta dipuji, aku kan tidak mengatakan pada siapapun tentang apa yang aku lakukan? Tapi semua bisa aku lakukan, jadi ya biarkan saja.”

“Aku mau bilang sama ibu.”

“Jangan!!” Nurani berteriak.

“Tidak boleh begitu terus, Nur.”

“Mengapa tidak boleh? Semua yang aku lakukan adalah pelajaran dalam hidup. Aku menikmatinya. Jadi jangan berbuat apapun untuk menghentikannya.”

“Tapi itu keterlaluan.”

“Tidak. Mana bisa keterlaluan? Ini pekerjaan perempuan kok.”

“Tolong Nur, semua ini harus dihentikan.”

“Tolong Mas, jangan lakukan apapun yang aku bilang ‘jangan’.”

Rian mengbahiskan makanannya dengan wajah muram.

“Kamu gadis yang luar biasa Nur,” pujinya sambil berlinang air mata haru.

“Mas Rian, aku merasa biasa saja, mengapa risau dengan apa yang bisa aku lakukan?”

“Katakan apa saja apabila kamu butuh pertolongan aku. Jangan memikul beban kamu sendirian.”

Nurani berdiri, menumpuk piring kotor, dan menepuk bahu kakak tirinya dengan hangat.”

“Kamu kakak aku yang luar biasa. Tanpa mas Rian aku tidak bisa melakukannya,” katanya kemudian mengangkat piring kotor ke tempat cucian.

***

Agak sore ketika bu Candra kembali ke rumah. Ia melihat rumah sudah rapi dan melihat Nurani sudah membuat minuman sore kesukaan keluarga, susu coklat yang sudah disiapkan di dalam termos, tinggal menuang kalau ayahnya pulang dari kantor. Tapi melihat ibunya sudah datang, Nurani kemudian menuangkannya satu cangkir dan meletakkannya di ruang tengah.

“Minuman untuk Ibu,” katanya, ketika melihat ibunya sudah duduk di sofa dan memegang ponsel, entah untuk menelpon siapa.

Bu Candra tak menjawab, Nurani pun segera meninggalkan tempat itu. Meletakkan cemilan di baki, dan membawanya kembali ke ruang tengah.

“Masak apa kamu pagi tadi?”

“Bukankah Ibu sudah tahu? Semur ayam. Ibu mau makan sekarang?”

“Tidak.”

“Kalau begitu saya mau mandi,” katanya sambil beranjak ke arah kamarnya.

“Tunggu dulu,” Bu Candra menghentikannya.

“Tolong pijit kakiku sebentar, aku lelah sekali,” katanya sambil menyelonjorkan kakinya di sofa panjang.

Nurani meletakkan baki di meja yang ada di ruangan itu, kemudian mendekati ibunya, lalu mulai memijit kakinya.

“Agak keras, nggak terasa nih.”

Aduh, mana kaki Bu Candra sangat tebal karena badannya yang agak gemuk. Tak cukup dengan duduk, Nurani terpaksa berdiri, agar bisa memberikan tekanan agak keras pada kaki ibunya.

“Na, sedikit lagi. Bagus. Kamu bakat jadi tukang pijit Nur,” katanya sambil memejamkan matanya, memeluk bantal sofa dengan nyaman.

Nurani sudah merasa kelelahan. Tapi ibunya belum menyuruhnya berhenti. Ia melihat matanya terpejam, kemudian dia meninggalkannya.

Nurani melihat Rian keluar dari kamarnya.

“Minum susu coklat sekarang Mas?”

“Sudah adakah?”

“Ada dong, sebentar ya,” kata Nurani sambil melangkah ke dapur. Tapi Rian mengikutinya.

Ia menolak ketika Nurani mau meletakkan cangkir susu nya ke ruang tengah.

“Aku minum di sini saja. Eh, kenapa kamu keringatan sampai begitu sih? Bukankah ruangan ini ber AC?”

“Iya tuh, aku merasa gerah.”

“Istirahat dan mandi lah, biar segar.”

“Iya, ini aku juga mau mandi.”

***

Pak Candra pulang, diiringi Karina di belakangnya.

Ia berhenti di ruang tengah, melihat istrinya tertidur sambil mendengkur.

Tak bisa menahan rasa kesal, pak Candra menyentuh kakinya, berharap istrinya bangun. Dan Bu Candra kemudian menggeliat.

“Eh, kenapa sudah berhenti sih? Aku masih lelah, tahu. Pijit lagi sampai aku pulas,” katanya agak keras.

Pak Candra bersedekap di belakang sofa di depan istrinya.

“Cepat Nur, kamu tidak dengar?” katanya lebih melengking.

“Siapa yang kamu panggil? Siapa yang kamu suruh memijat?”

Bu Candra terkejut. Ia langsung bangkit, mengucek kedua matanya.

“Bapak sudah pulang?”

“Kamu minta dipijit? Siapa yang tadi memijit kakimu, sampai kamu marah-marah seperti itu?”

“Aduuh, rupanya … ibu bermipi  .. Biar ibu buatkan minuman untuk Bapak,” katanya sambil bangkit.

“Aku bertanya, kamu belum menjawab.”

“Apa sih Pak?”

“Siapa yang kamu suruh memijit, sehingga kamu membentak-bentaknya?”

“Aku hanya mimpi Pak. Ya ampuun, bisa kebawa sampai Bapak mendengarnya? Mimpi memanggil tukang pijit, sudah dibayar tapi tidak menyelesaikan pekerjaannya.”

“Nama tukang pijit itu Nur?”

“Eh, bukan? Kenapa Bapak mengira begitu?”

“Kamu tadi menyebut nama Nur, aku dengar kok.”

“Masa sih? Apa itu nama tukang pijitnya ya?” jawab bu Candra sambil berlagak seperti sedang memikir.

“Mana minuman untuk aku, aku mau minum sambil bicara,” perintah pak Candra.

“Bapak tidak mandi dulu? Ganti baju?”

“Nanti saja. Cepat buatkan minum untuk aku.”

Bu Candra melangkah ke belakang. Ia melihat sebuah cangkir di atas nampan, masih kosong, tapi ada termos di sampingnya. Ia menuangkannya, ternyata Nurani sudah menyiapkannya.  Bergegas ia membawanya ke ruang tengah.

“Kok cepet banget? Oh, pembantu kamu yang menyiapkan?” tanya pak Candra sambil meraih cangkirnya. Bu Candra tertegun. Heran mengapa suaminya bisa menyebut ‘pembantu’. Tapi dia tak sempat berpikir lama, karena suaminya sudah memberi isyarat untuk duduk. Ada debar di dada bu Amirah Candra. Sikap suaminya tampak tak biasa.

***

“Kalau bapak belum ingin bicara, aku yang mau mandi dulu.”

“Oh, kamu belum mandi ya? Bahkan masih memakai pakaian saat kamu pergi tadi?”

Bu Candra menundukkan wajahnya, menatap ke arah bajunya. Memang tadi begitu datang langsung minum minuman yang disiapkan Nurani, lalu minta pijit sampai ketiduran, dan keceplosan ketika ternyata suaminya ada didekatnya ketika dia membentak-bentak Nurani. Ia masih bisa berkelit bahwa itu mimpi dan dia mengigau. Tapi ia tak sadar bahwa tadi menyebut nama Nurani.

“Iya, aku datang, kecapekan, langsung ketiduran di sofa.”

“Capek jalan-jalan, atau capek memasak?”

“Aku tadi masak semur …”

“Bukan pembantu. Yang masak semur ayam?”

Bu Candra membulatkan matanya.

“Kok Bapak bilang begitu sih? Kita kan tidak punya pembantu?”

“Tapi tadi kamu bilang sama teman-teman kamu, bahwa yang masak semur ayam adalah pembantu kamu.”

“Apa?”

“Temanku yang mana yang bilang sama Bapak?”

‘Tak ada teman kamu, masa aku kenal sama nyonya-nyonya berpenampilan oke banget seperti tadi?”

“Apa?”

“Ibu sendiri yang bilang, bahwa pembantu memasak semur ayam, ya kan?”

“Oh, ya ampuuun, Bapak melihat kami waktu makan di warung sederhana itu? Mendengar kami bercanda? Iya Pak, memang tadi aku bercanda, yang masak pembantu aku. Hanya bercanda kok, sungguh.”

“Bukan untuk kesombongan ya?”

“Tidak, mereka sudah tahu kalau aku tidak suka pembantu.”

“Baiklah, sekarang aku mau mandi dulu,” kata pak Candra sambil berdiri, meninggalkan rasa masgul di hati istrinya, karena sikap sang suami tampak aneh.

***

“Ketika makan malam, pak Candra tak lagi mempermasalahkan soal semur masakan pembantu. Ia bicara pada Nurani, agar segera istirahat dan belajar.

“Bukankah kamu mau ikut ujian kenaikan beberapa hari lagi?”

“Iya sih Pak.”

“Jangan terlalu capek, supaya bisa fokus kepada pelajaran kamu.”

“Iya.”

“Kalau bisa menggenjot waktu, kamu bisa lulus lebih cepat.”

“Wah, lebih baik tahu diri deh Nur, dari pada malu nantinya. Kan kamu baru saja mengikuti pelajaran SMA?” sambung Karina dengan sinis.

“Iya, aku tahu diri kok. Tapi berusaha itu boleh kan? Perkara gagal ya belum nasib baik aku,” jawab Nurani santai.

Pak Candra mengangguk setuju.

“Nanti kalau lulus, kamu harus kuliah lho Nur. Tak boleh ada kata tidak.”

“Rian, kamu benar-benar tidak mau bekerja di kantor bapak?”

“Bidang saya kan beda Pak. Nur lebih pantas. Ya kan Nur?”

“Apa? Nurani?” yang berteriak adalah Bu Candra dan Karina, hampir bersama-sama.

***

Besok lagi ya.

 

45 comments:

  1. Replies
    1. Selamat jeng Nani number one
      Matur nuwun bu Tien, cepat sembuh ya.
      Salam ADUHAI

      Delete
  2. Sugeng dalu......
    Matur nuwun mbak Tien....
    Mugi tansah paring berkah Sehat Bugar Panjang Usia....
    Salam rindu dari Surabaya ๐Ÿ˜˜❤️

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ...salam sehat selalu bu Tien๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.

    ReplyDelete
  5. Hooreeee.....gasik mtr nuwun bunda, salam aduhai n sehat sllu

    ReplyDelete
  6. ๐Ÿ’๐Ÿฆ‹๐Ÿƒ Alhamdulillah KBE 06 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai๐Ÿ™๐Ÿฆ‹๐ŸŒน

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 06 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

  9. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~06 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . .

    ReplyDelete
  11. Mtrnwn mb Tien
    Gasik, alkhamdulillah

    ReplyDelete
  12. Makin gayeng kiyiii... lama kelamaan akan terungkap kebenaran. Nurani menggantikan posisi pak Candra, Karina yang tidak cocok dengan pekerjaannya keluar. He he he he....
    Salam sehat mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  13. Ibu tiri yg kejam๐Ÿ˜ญ...trims Bu tien

    ReplyDelete
  14. Hadewww bener nich bunda kecapekan..... wong lagi gerah lho ya, kok meksa ngetik cerbung...ta ya....ya. Gara-2ne semur ayam dadi semur daging ..... trus mbalik kucing dadi semur ayam.... Siapa dulu dong ? Bu Tien gak kurang akal..... hehehehe
    Bu Tien kok dilawan.......

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah KBE 06 sdh hadir
    Duuh Bu Chandra pandai benar berbohong, lama2 ketahuan lho..
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien ๐ŸŒท๐ŸŒท๐ŸŒท๐ŸŒท๐ŸŒท

    ReplyDelete
  17. Alhamdulilah KBE 6 sudah hadir .... mulai bingung nih bu chandra nutupi kesalahan2 yg mulai terungkap.... salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  18. Hadeeh Bu Chandra blum kapok nih msh terus berbohong

    Lanjut dan lanjut tunggu saatnya kejebak lg

    Udah ketahuan belangnya msh juga blum sadar

    Kita tunggu lanjutannya bsk
    Moga bunda Tien sehat selalu doaku

    ReplyDelete
  19. Puji Tuhan, ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip, sehingga KBE 06 hadir untuk kami para penggandrungnya...

    Seperti cerita bawang merah dan bawang putih jaman dulu...
    Semoga ada pertobatan bagi ibu Chandra dan Karina shg semua menjadi bahagia..

    Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem.

    ReplyDelete
  20. Kereenn...Bu Tien memang piawai meliuk2kan cerita. Salut! Penulis sejati.๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ˜€

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah
    Ada anak sebaik itu.
    Terima kasih Bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah ,KBE 6 sudah tayang, terimakasih bu Tien, salam sehat dan aduhai dari mBantul

    ReplyDelete
  23. Semur bikin makmur nggih Bu Tien.Maturnuwun salam sehat

    ReplyDelete
  24. Salam aduhai,sehat dan bahagia mbak Tien.
    KBE 6. Pelan pelan kelakuan buruk bu Chandra mulai terungkap.

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal"afiat bu Tien ๐Ÿ™๐Ÿ˜Š

    Wah buat penasaran,, Nuraini pegang perusahaan pak Chandra ,,sdh heboh

    ReplyDelete
  26. Slm seroja utk mb Tien... Sehat ... Sehat ... Semangat .... Slm aduhai utk mb Tien yg selalu piawai mengolah kata... Smg semur ayam atau dagingnya Nurani ... Seenak bistik dagingnya pak harjo solo๐Ÿค—

    ReplyDelete
  27. Alhamdulilah...pak Chandra sdh mulai curiga dg kelakuan istrinya yg sebenarnya dan mulai memperhatikan Nurani anak kandungnya...
    Tks bunda Tien, Nurani sdh tayang
    Semoga bunda sehat selalu..
    Salam aduhaiii dari Sukabumi ๐Ÿ™๐Ÿ™๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah terima kasih bu Tien. Ada yg gak suka Nurani sukses, semoga segera ketahuan kelakuan ibu tirinya, kasihan Nurani. Salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete
  29. Alhamdullilah .terima ksih bunda .slmshtsll๐Ÿ™๐Ÿฅฐ๐ŸŒน

    ReplyDelete
  30. Diinterogasi cari aman ya berlagak bloon, penasaran juga si babe; siapa itu pembantu rumah yang di upload di medsos warung sederhana, kadang gituya merasa pede jadi seenaknya tebar pesona, sampai nggak tahu di sana juga bisa ada yang ikutan perhatian apapun itu berupa status atau pesan yang diharapkan mengesankan.
    Eh sampai rumah, tidur disofa kaki diatas meja, keren nggak. madam gituloh.
    Pakai teriak panggil Nur lagi, dengan nada melengking lagi, suruh pijitin sampai tidur lagi mintanya.
    Andre ya bengong; mereka ngomongin apa, blas enggak nyambung, ya iya lah emaknya yang mana juga nggak tahu.
    Yang diingatnya ya waktu ketemu perdana itu, heran anak boos pakai kostum perewangan gitu.
    Makanya rasa simpati nya sama Nurani, setelah pak boos cerita peta politik dalam negeri rumah tangga pak boos.
    Diem diem mulai ada, ya sebatas simpati aja. Anak boos, mana mau sama pekerja gini, sekretaris lagi. Ya kalau diijinin sama babenya, dikira ngelunjak bisa jadi, gagal, habis karir lah, kembali keselera asal.
    Habis makan malam itulah, terlihat polarisasi kubu kubuan, ternyata para wanita pendatang ini yang tidak terima kalau Nurani masuk dunia bisnis bapaknya.
    Iya kalau peka; pasti tahu maksud protes spontan tadi.
    Paling mengharap Rian masih konsisten nggak; menghentikan perlakuan biyungnya yang dulu berikrar akan memperlakukan setara tidak memilah; ini anak tiri atau anak kandung; dikatakan dengan nada manis kala itu.
    Paginya ya tetap aja ngerjain pรฉ รจr dulu lengkap dengan masak.
    Semua masih ngorok.
    Tau² aroma masakan yang membangunkan mereka; mulai klaim-klaiman pekerjaan siapa ini, itu.
    Memang bangun pagi lebih mengetahui segala yang terjadi dan berarti siap menghadapi/mengatasi masalah yang bakal datang.


    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke enam sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  31. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Kantung berwarna emas 6 sudah tayang
    Salam sehat selalu doaku

    ReplyDelete
  32. Mudah2 an bu Tien sudah sehat kembali dan bisa berkarya lagi, cuma jangan dipaksakan lho Bu Tien, kita sabar kok menunggu

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 13

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  13 (Tien Kumalasari)   Arumi heran melihat sikap Bachtiar yang kelihatan tidak suka. Ia mengira, Bachtiar ti...