KANTUNG BERWARNA EMAS
06
(Tien Kumalasari}
Pak Candra saling pandang dengan Nurani, tapi gadis
itu kemudian menundukkan wajahnya, pura-pura asyik menyendok makanannya.
Pak Candra menatap Rian, tapi dilihatnya Rian
mengangkat bahunya. Apalagi Andre, yang bingung melihat sikap atasan dan
anak-anaknya.
“Saya panggil ibu saja?” Rian menawarkan.
“Tidak, jangan. Ibumu sedang bersenang-senang dengan
kawan-kawannya, jangan sampai kita mengganggunya.
“Oh, baiklah.”
“Ayo kita selesaikan makan kita, lalu pulang. Nurani
pasti sangat lelah. Sesampai di rumah harus segera beristirahat,” perintahnya
kemudian kepada Nurani.
Nurani hanya mengangguk, sambil menyuapkan suapan
terakhirnya, kemudian menghabiskan jus alpukatnya.
“Kalau masih lapar, kalian bisa makan lagi di rumah.
Ada yang memasak semur daging di rumah. Tapi sebenarnya semur daging atau ayam
sih Nur, kamu tadi bilang semur daging, ibumu sepertinya bilang semur ayam.”
“Oh, itu Pak. Sebetulnya mau masak semur daging, tapi
kan Bapak harus mengurangi makan daging merah, sementara beberapa hari yang
lalu makan rawon? Jadi, pikiran Nurani masih daging saja, padahal sudah diganti
daging ayam,” jawab Nurani sambil mengelap mulutnya dengan tissue.
“Kok kamu bisa tahu semuanya sih? Ibumu menceritakan
itu semua sama kamu?”
“Mm … bukan, hanya melihat dan … mengira-ira saja,”
jawab Nurani sekenanya.
“Tapi ibumu tadi bilang pembantu yang memasaknya.”
Nurani mengangkat bahunya. Ia sudah tahu bahwa yang
dimaksud pembantu oleh ibunya, adalah dirinya, Masa dia akan mengatakannya juga
pada ayahnya?”
“Diam-diam ibumu punya pembantu? Sejak kapan?”
Kembali Nurani mengangkat bahu.
“Kami tidak tahu bahwa ada pembantu di rumah. Entahlah
kalau ibu mengundang pembantu hanya di suruh masak. Tapi tadi Nur sudah tahu
kalau ada masakan semur ayam. Rian yakin yang memasak adalah Nurani,” kata
Rian.
Nurani hanya diam, lalu mengangkat tas sekolah yang
tadi dipangkunya, disangkutkannya pada bahunya.
“Ada yang aneh. Baiklah, nanti aku tanyakan pada ibu
kamu. Andre, masih mau nambah?” tanyanya kemudian kepada Andre.
“Tidak Pak, sudah kenyang.”
“Kalau begitu ayo kita pulang.”
***
Andre yang membawa mobilnya, mengantarkan Rian
terlebih dulu agar mengambil sepeda motornya. Tapi ternyata Nurani memilih
membonceng Rian.
“Kamu pilih kepanasan bersama kakakmu?” tanya pak
Candra.
“Iya. Kasihan mas Rian kepanasan sendirian.”
“Eh, ngaco, banyak yang kepanasan di jalanan ‘kali.
Tuh lihat, banyak pengendara motor di sepanjang jalan,” kata Rian sambil turun.
Nurani mengikutinya turun.
“Terima kasih Bapak, terima kasih mas Andre.”
“Hati-hati di jalan ya Nak.”
Pak Candra lengsung menyuruh Andre untuk segera
kembali ke kantor. Ada banyak pertanyaan tak terjawab, dan membuatnya bingung.
Rian menghidupkan sepeda motornya, setelah Nurani
nangkring di boncengannya.
“Pegangan ya, aku ngebut nih.”
“Jangan dong Mas, kenapa harus ngebut? Jalanan ramai
nih.”
Rian tertawa, dan menjalankan motornya pelan.
“Aku masih heran soal semur tadi,” kata Rian
tiba-tiba.
“Apa?”
“Soal semur. Semur ayam, jadi semur daging …”
“Oh, itu aku hanya salah ucap. Tadinya ingin membuat
semur daging sih, tapi mengingat bapak tidak boleh terlalu banyak makan daging
merah, sementara belum lama ini aku memasak rawon, daging juga tuh, ya kan,
jadi aku ganti dengan ayam.”
“Jadi alasan kamu tentang daging merah itu benar?”
“Benar.”
“Mengapa kamu tidak bilang pada bapak bahwa kamu yang
memasak semur itu?”
“Biarkan saja.”
“Sekarang aku mulai berpikir, bahwa ibu telah
meperlakukan kamu dengan sewenang-wenang.”
“Apa?”
“Mengapa kamu diam saja? Kalau memang kamu yang
memasak setiap hari?”
“Masa aku harus mengatakannya? Biar dapat bintang,
gitu?”
“Tapi ibu mengakui bahwa itu masakannya, kemudian
kepada teman-temannya malah mengatakan bahwa itu masakan pembantunya.”
“Ya nggak apa-apa, biarin saja.”
“Aku tidak mengerti, selama ini ada yang tersembunyi
diantara kamu dan ibu.”
“Tidak ada. Sudah, jangan dipikirkan.”
***
Tapi sesampai di rumah, setelah berganti pakaian, Rian
langsung menuju ke meja makan. Ia mengeluarkan semur ayam dari atas kompor,
menuangkannya dalam panci pemanas, lalu mengeluarkan juga perkedel dari dalam
lemari.
“Nuraniiii,” teriaknya sambil duduk.
Nurani mendekat, juga sudah dengan pakaian rumahan.
“Mau makan lagi?” senyumnya melebar.
“Gara-gara bicara soal semur, aku lapar lagi. Yuk, temani
dong.”
“Baiklah, kata Nurani yang ikut duduk di meja makan,
membuka piring yang sudah disiapkan Rian.
“Hm, begitu mulai panas, aroma sedapnya keluar.”
“Ya sudah, segera makan, tunggu apa lagi?”
“Belum panas benar, nggak enak makan semur saat dingin,”
katanya sambil menyomot perkedel.
Nurani menyendok sedikit nasi.
“Sedikit amat?”
“Masih kenyang. Ini hanya untuk menemani mas Rian.”
“Aku sudah tahu sejak lama, bahwa ini masakan kamu.
Sebelum kamu masuk sekolah, kamu juga yang masak kan? Aku tahu semua masakan
kamu.”
“Biasa saja. Dari pada bengong, ya masak,
bersih-bersih. Itu pekerjaan perempuan. Ya kan?”
“Selama ini ibu menekan kamu dengan semua pekerjaan
rumah?”
“Kamu berlebihan deh Mas. Ayo cepat makan, sudah panas
tuh.”
“Kamu, mengapa diam saja?”
“Maksudmu apa?”
“Kamu bisa minta agar Karina membantu kamu. Ya kan?”
“Aduh, cuma begitu saja. Maaf, bukan dengan maksud
minta dipuji, aku kan tidak mengatakan pada siapapun tentang apa yang aku
lakukan? Tapi semua bisa aku lakukan, jadi ya biarkan saja.”
“Aku mau bilang sama ibu.”
“Jangan!!” Nurani berteriak.
“Tidak boleh begitu terus, Nur.”
“Mengapa tidak boleh? Semua yang aku lakukan adalah
pelajaran dalam hidup. Aku menikmatinya. Jadi jangan berbuat apapun untuk
menghentikannya.”
“Tapi itu keterlaluan.”
“Tidak. Mana bisa keterlaluan? Ini pekerjaan perempuan
kok.”
“Tolong Nur, semua ini harus dihentikan.”
“Tolong Mas, jangan lakukan apapun yang aku bilang
‘jangan’.”
Rian mengbahiskan makanannya dengan wajah muram.
“Kamu gadis yang luar biasa Nur,” pujinya sambil
berlinang air mata haru.
“Mas Rian, aku merasa biasa saja, mengapa risau dengan
apa yang bisa aku lakukan?”
“Katakan apa saja apabila kamu butuh pertolongan aku.
Jangan memikul beban kamu sendirian.”
Nurani berdiri, menumpuk piring kotor, dan menepuk
bahu kakak tirinya dengan hangat.”
“Kamu kakak aku yang luar biasa. Tanpa mas Rian aku
tidak bisa melakukannya,” katanya kemudian mengangkat piring kotor ke tempat
cucian.
***
Agak sore ketika bu Candra kembali ke rumah. Ia
melihat rumah sudah rapi dan melihat Nurani sudah membuat minuman sore kesukaan
keluarga, susu coklat yang sudah disiapkan di dalam termos, tinggal menuang
kalau ayahnya pulang dari kantor. Tapi melihat ibunya sudah datang, Nurani
kemudian menuangkannya satu cangkir dan meletakkannya di ruang tengah.
“Minuman untuk Ibu,” katanya, ketika melihat ibunya
sudah duduk di sofa dan memegang ponsel, entah untuk menelpon siapa.
Bu Candra tak menjawab, Nurani pun segera meninggalkan
tempat itu. Meletakkan cemilan di baki, dan membawanya kembali ke ruang tengah.
“Masak apa kamu pagi tadi?”
“Bukankah Ibu sudah tahu? Semur ayam. Ibu mau makan
sekarang?”
“Tidak.”
“Kalau begitu saya mau mandi,” katanya sambil beranjak
ke arah kamarnya.
“Tunggu dulu,” Bu Candra menghentikannya.
“Tolong pijit kakiku sebentar, aku lelah sekali,”
katanya sambil menyelonjorkan kakinya di sofa panjang.
Nurani meletakkan baki di meja yang ada di ruangan
itu, kemudian mendekati ibunya, lalu mulai memijit kakinya.
“Agak keras, nggak terasa nih.”
Aduh, mana kaki Bu Candra sangat tebal karena badannya
yang agak gemuk. Tak cukup dengan duduk, Nurani terpaksa berdiri, agar bisa
memberikan tekanan agak keras pada kaki ibunya.
“Na, sedikit lagi. Bagus. Kamu bakat jadi tukang pijit
Nur,” katanya sambil memejamkan matanya, memeluk bantal sofa dengan nyaman.
Nurani sudah merasa kelelahan. Tapi ibunya belum
menyuruhnya berhenti. Ia melihat matanya terpejam, kemudian dia
meninggalkannya.
Nurani melihat Rian keluar dari kamarnya.
“Minum susu coklat sekarang Mas?”
“Sudah adakah?”
“Ada dong, sebentar ya,” kata Nurani sambil melangkah
ke dapur. Tapi Rian mengikutinya.
Ia menolak ketika Nurani mau meletakkan cangkir susu
nya ke ruang tengah.
“Aku minum di sini saja. Eh, kenapa kamu keringatan
sampai begitu sih? Bukankah ruangan ini ber AC?”
“Iya tuh, aku merasa gerah.”
“Istirahat dan mandi lah, biar segar.”
“Iya, ini aku juga mau mandi.”
***
Pak Candra pulang, diiringi Karina di belakangnya.
Ia berhenti di ruang tengah, melihat istrinya tertidur
sambil mendengkur.
Tak bisa menahan rasa kesal, pak Candra menyentuh
kakinya, berharap istrinya bangun. Dan Bu Candra kemudian menggeliat.
“Eh, kenapa sudah berhenti sih? Aku masih lelah, tahu.
Pijit lagi sampai aku pulas,” katanya agak keras.
Pak Candra bersedekap di belakang sofa di depan istrinya.
“Cepat Nur, kamu tidak dengar?” katanya lebih
melengking.
“Siapa yang kamu panggil? Siapa yang kamu suruh
memijat?”
Bu Candra terkejut. Ia langsung bangkit, mengucek
kedua matanya.
“Bapak sudah pulang?”
“Kamu minta dipijit? Siapa yang tadi memijit kakimu,
sampai kamu marah-marah seperti itu?”
“Aduuh, rupanya … ibu bermipi .. Biar ibu buatkan minuman untuk Bapak,”
katanya sambil bangkit.
“Aku bertanya, kamu belum menjawab.”
“Apa sih Pak?”
“Siapa yang kamu suruh memijit, sehingga kamu
membentak-bentaknya?”
“Aku hanya mimpi Pak. Ya ampuun, bisa kebawa sampai
Bapak mendengarnya? Mimpi memanggil tukang pijit, sudah dibayar tapi tidak
menyelesaikan pekerjaannya.”
“Nama tukang pijit itu Nur?”
“Eh, bukan? Kenapa Bapak mengira begitu?”
“Kamu tadi menyebut nama Nur, aku dengar kok.”
“Masa sih? Apa itu nama tukang pijitnya ya?” jawab bu
Candra sambil berlagak seperti sedang memikir.
“Mana minuman untuk aku, aku mau minum sambil bicara,”
perintah pak Candra.
“Bapak tidak mandi dulu? Ganti baju?”
“Nanti saja. Cepat buatkan minum untuk aku.”
Bu Candra melangkah ke belakang. Ia melihat sebuah
cangkir di atas nampan, masih kosong, tapi ada termos di sampingnya. Ia
menuangkannya, ternyata Nurani sudah menyiapkannya. Bergegas ia membawanya ke ruang tengah.
“Kok cepet banget? Oh, pembantu kamu yang menyiapkan?”
tanya pak Candra sambil meraih cangkirnya. Bu Candra tertegun. Heran mengapa
suaminya bisa menyebut ‘pembantu’. Tapi dia tak sempat berpikir lama, karena
suaminya sudah memberi isyarat untuk duduk. Ada debar di dada bu Amirah Candra.
Sikap suaminya tampak tak biasa.
***
“Kalau bapak belum ingin bicara, aku yang mau mandi
dulu.”
“Oh, kamu belum mandi ya? Bahkan masih memakai pakaian
saat kamu pergi tadi?”
Bu Candra menundukkan wajahnya, menatap ke arah
bajunya. Memang tadi begitu datang langsung minum minuman yang disiapkan
Nurani, lalu minta pijit sampai ketiduran, dan keceplosan ketika ternyata
suaminya ada didekatnya ketika dia membentak-bentak Nurani. Ia masih bisa
berkelit bahwa itu mimpi dan dia mengigau. Tapi ia tak sadar bahwa tadi
menyebut nama Nurani.
“Iya, aku datang, kecapekan, langsung ketiduran di
sofa.”
“Capek jalan-jalan, atau capek memasak?”
“Aku tadi masak semur …”
“Bukan pembantu. Yang masak semur ayam?”
Bu Candra membulatkan matanya.
“Kok Bapak bilang begitu sih? Kita kan tidak punya
pembantu?”
“Tapi tadi kamu bilang sama teman-teman kamu, bahwa
yang masak semur ayam adalah pembantu kamu.”
“Apa?”
“Temanku yang mana yang bilang sama Bapak?”
‘Tak ada teman kamu, masa aku kenal sama nyonya-nyonya
berpenampilan oke banget seperti tadi?”
“Apa?”
“Ibu sendiri yang bilang, bahwa pembantu memasak semur
ayam, ya kan?”
“Oh, ya ampuuun, Bapak melihat kami waktu makan di
warung sederhana itu? Mendengar kami bercanda? Iya Pak, memang tadi aku
bercanda, yang masak pembantu aku. Hanya bercanda kok, sungguh.”
“Bukan untuk kesombongan ya?”
“Tidak, mereka sudah tahu kalau aku tidak suka
pembantu.”
“Baiklah, sekarang aku mau mandi dulu,” kata pak
Candra sambil berdiri, meninggalkan rasa masgul di hati istrinya, karena sikap
sang suami tampak aneh.
***
“Ketika makan malam, pak Candra tak lagi
mempermasalahkan soal semur masakan pembantu. Ia bicara pada Nurani, agar segera
istirahat dan belajar.
“Bukankah kamu mau ikut ujian kenaikan beberapa hari
lagi?”
“Iya sih Pak.”
“Jangan terlalu capek, supaya bisa fokus kepada
pelajaran kamu.”
“Iya.”
“Kalau bisa menggenjot waktu, kamu bisa lulus lebih
cepat.”
“Wah, lebih baik tahu diri deh Nur, dari pada malu
nantinya. Kan kamu baru saja mengikuti pelajaran SMA?” sambung Karina dengan
sinis.
“Iya, aku tahu diri kok. Tapi berusaha itu boleh kan?
Perkara gagal ya belum nasib baik aku,” jawab Nurani santai.
Pak Candra mengangguk setuju.
“Nanti kalau lulus, kamu harus kuliah lho Nur. Tak
boleh ada kata tidak.”
“Rian, kamu benar-benar tidak mau bekerja di kantor
bapak?”
“Bidang saya kan beda Pak. Nur lebih pantas. Ya kan
Nur?”
“Apa? Nurani?” yang berteriak adalah Bu Candra dan
Karina, hampir bersama-sama.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Selamat jeng Nani number one
DeleteMatur nuwun bu Tien, cepat sembuh ya.
Salam ADUHAI
Sugeng dalu......
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien....
Mugi tansah paring berkah Sehat Bugar Panjang Usia....
Salam rindu dari Surabaya ๐❤️
Alhamdulillah ...salam sehat selalu bu Tien๐๐๐
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteAsyik matur nuwun
ReplyDeleteHooreeee.....gasik mtr nuwun bunda, salam aduhai n sehat sllu
ReplyDelete๐๐ฆ๐ Alhamdulillah KBE 06 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai๐๐ฆ๐น
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 06 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~06 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu....
Mtrnwn mb Tien
ReplyDeleteGasik, alkhamdulillah
Makin gayeng kiyiii... lama kelamaan akan terungkap kebenaran. Nurani menggantikan posisi pak Candra, Karina yang tidak cocok dengan pekerjaannya keluar. He he he he....
ReplyDeleteSalam sehat mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Gumuuzzzz
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAssiikk... Tayang makasih bunda
ReplyDeleteIbu tiri yg kejam๐ญ...trims Bu tien
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteHadewww bener nich bunda kecapekan..... wong lagi gerah lho ya, kok meksa ngetik cerbung...ta ya....ya. Gara-2ne semur ayam dadi semur daging ..... trus mbalik kucing dadi semur ayam.... Siapa dulu dong ? Bu Tien gak kurang akal..... hehehehe
ReplyDeleteBu Tien kok dilawan.......
Matur suwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 06 sdh hadir
ReplyDeleteDuuh Bu Chandra pandai benar berbohong, lama2 ketahuan lho..
Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Terima kasih
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ๐ท๐ท๐ท๐ท๐ท
Alhamdulilah KBE 6 sudah hadir .... mulai bingung nih bu chandra nutupi kesalahan2 yg mulai terungkap.... salam sehat bu tien
ReplyDeleteHadeeh Bu Chandra blum kapok nih msh terus berbohong
ReplyDeleteLanjut dan lanjut tunggu saatnya kejebak lg
Udah ketahuan belangnya msh juga blum sadar
Kita tunggu lanjutannya bsk
Moga bunda Tien sehat selalu doaku
Puji Tuhan, ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip, sehingga KBE 06 hadir untuk kami para penggandrungnya...
ReplyDeleteSeperti cerita bawang merah dan bawang putih jaman dulu...
Semoga ada pertobatan bagi ibu Chandra dan Karina shg semua menjadi bahagia..
Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem.
Kereenn...Bu Tien memang piawai meliuk2kan cerita. Salut! Penulis sejati.๐๐๐
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAda anak sebaik itu.
Terima kasih Bu Tien
Semoga sehat selalu
Alhamdulillah ,KBE 6 sudah tayang, terimakasih bu Tien, salam sehat dan aduhai dari mBantul
ReplyDeleteSemur bikin makmur nggih Bu Tien.Maturnuwun salam sehat
ReplyDeleteSalam aduhai,sehat dan bahagia mbak Tien.
ReplyDeleteKBE 6. Pelan pelan kelakuan buruk bu Chandra mulai terungkap.
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal"afiat bu Tien ๐๐
Wah buat penasaran,, Nuraini pegang perusahaan pak Chandra ,,sdh heboh
Slm seroja utk mb Tien... Sehat ... Sehat ... Semangat .... Slm aduhai utk mb Tien yg selalu piawai mengolah kata... Smg semur ayam atau dagingnya Nurani ... Seenak bistik dagingnya pak harjo solo๐ค
ReplyDeleteSiip Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah...pak Chandra sdh mulai curiga dg kelakuan istrinya yg sebenarnya dan mulai memperhatikan Nurani anak kandungnya...
ReplyDeleteTks bunda Tien, Nurani sdh tayang
Semoga bunda sehat selalu..
Salam aduhaiii dari Sukabumi ๐๐๐น๐น
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih bu Tien. Ada yg gak suka Nurani sukses, semoga segera ketahuan kelakuan ibu tirinya, kasihan Nurani. Salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdullilah .terima ksih bunda .slmshtsll๐๐ฅฐ๐น
ReplyDeleteDiinterogasi cari aman ya berlagak bloon, penasaran juga si babe; siapa itu pembantu rumah yang di upload di medsos warung sederhana, kadang gituya merasa pede jadi seenaknya tebar pesona, sampai nggak tahu di sana juga bisa ada yang ikutan perhatian apapun itu berupa status atau pesan yang diharapkan mengesankan.
ReplyDeleteEh sampai rumah, tidur disofa kaki diatas meja, keren nggak. madam gituloh.
Pakai teriak panggil Nur lagi, dengan nada melengking lagi, suruh pijitin sampai tidur lagi mintanya.
Andre ya bengong; mereka ngomongin apa, blas enggak nyambung, ya iya lah emaknya yang mana juga nggak tahu.
Yang diingatnya ya waktu ketemu perdana itu, heran anak boos pakai kostum perewangan gitu.
Makanya rasa simpati nya sama Nurani, setelah pak boos cerita peta politik dalam negeri rumah tangga pak boos.
Diem diem mulai ada, ya sebatas simpati aja. Anak boos, mana mau sama pekerja gini, sekretaris lagi. Ya kalau diijinin sama babenya, dikira ngelunjak bisa jadi, gagal, habis karir lah, kembali keselera asal.
Habis makan malam itulah, terlihat polarisasi kubu kubuan, ternyata para wanita pendatang ini yang tidak terima kalau Nurani masuk dunia bisnis bapaknya.
Iya kalau peka; pasti tahu maksud protes spontan tadi.
Paling mengharap Rian masih konsisten nggak; menghentikan perlakuan biyungnya yang dulu berikrar akan memperlakukan setara tidak memilah; ini anak tiri atau anak kandung; dikatakan dengan nada manis kala itu.
Paginya ya tetap aja ngerjain pรฉ รจr dulu lengkap dengan masak.
Semua masih ngorok.
Tau² aroma masakan yang membangunkan mereka; mulai klaim-klaiman pekerjaan siapa ini, itu.
Memang bangun pagi lebih mengetahui segala yang terjadi dan berarti siap menghadapi/mengatasi masalah yang bakal datang.
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke enam sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteKantung berwarna emas 6 sudah tayang
Salam sehat selalu doaku
Mudah2 an bu Tien sudah sehat kembali dan bisa berkarya lagi, cuma jangan dipaksakan lho Bu Tien, kita sabar kok menunggu
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDelete