KANTUNG BERWARNA EMAS 05
(Tien Kumalasari)
“Kok ibu tidur di sini? Aku kira berkutat di dapur,
ternyata Nurani.” Gumam pak Candra sambil duduk. Urung membangunkan istrinya
karena ia mendengar dengkur halusnya, yang menandakan bahwa tidurnya sangat nyenyak.
Nurani datang membawa nampan berisi secangkir coklat
susu. Ia menatap heran ke atas sofa, dimana ibunya tidur dan mendengkur. Ia
meletakkan minuman itu, sambil terus menatap tubuh tergolek nyenyak, yang oleh
suaminya juga tidak dibangunkannya.
“Kenapa dia?” tanya pak Candra. Tapi Nurani memang
benar-benar tidak tahu, jadi dia hanya mengangkat bahunya tanda tak mengerti.
Pak Candra menyeruput susu coklatnya beberapa teguk,
lalu meletakkan lagi cangkirnya di meja.
“Kamu tidak membuat minuman?”
“Nanti saja, di dapur.”
“Kamu mengerjakan semuanya di dapur?”
Nurani tak menjawab, ia mengambil baki lalu beranjak
ke belakang, membuat pak Candra tak mengerti. Ketika itulah tiba-tiba bu Candra
menggeliat, lalu membuka matanya,
menutupinya sejenak karena silau.
Ia terkejut melihat suaminya duduk di sofa di
depannya.
Bu Candra mengucek matanya, seakan tak percaya.
“Bapak, kok … duduk … disini?" katanya sambil bangkit.
“Harusnya aku yang bertanya, mengapa kamu tidur di
sini?”
“Aduh, mengapa Nurani tidak membangunkan aku. Tadi
itu, aku sedang mencuci beras, tiba-tiba kepala pusing. Aduuh, Nuur, mengapa tidak membangunkan aku?”
katanya sambil beranjak ke belakang. Nurani sedang menyelesaikan memasak sayur.
Pak Candra mengikuti istrinya ke arah dapur.
“Nurani, mengapa kamu mengerjakan semuanya? Aku tadi
kan bilang mau tiduran sebentar, kepalaku pusing. Ya ampuun, kenapa sudah
hampir selesai semuanya?” oceh bu Candra, dan Nurani tetap melanjutkan
pekerjaannya. Sandiwara sedang berlangsung.
“Kenapa kamu mengerjakannya sendiri sayang?” ucapan
manis terus terdengar, karena bu Candra tahu, suaminya mengikuti di
belakangnya.
“Nurani, ibumu sedang bicara,” kata pak Candra yang
sebenarnya merasa kesal, karena Nurani tidak menjawab sepatah katapun.
“Nur, apa kamu marah sama ibu? Sini, biar aku
lanjutkan masak sayurnya,” suara manis masih berkumandang.
“Sudah hampir selesai Bu, saya akan membawakan minuman
ibu ke ruang tengah,” kata Nurani yang kemudian menuang susu coklat dari dalam
termos kecil yang sudah berisi coklat susu.
“Baiklah, kamu memang sangat pengertian. Maafkan ibu
ya?” kata bu Candra sambil beranjak ke depan, lalu duduk di sofa di ruang
tengah sambil memijit-mijit kepalanya.
“Ibu sakit?” tanya pak Candra yang kebingungan melihat
sikap istrinya dan Nurani yang lebih banyak diam.
“Hanya sedikit pusing. Untunglah ada Nurani. Anak itu
sangat pengertian,” katanya sambil meraih cangkir berisi susu coklat yang sudah
dihidangkan Nurani.
“Mengapa Nurani diam saja?” gumam pak Candra.
“Pasti Nurani kesal sama ibu. Tapi nanti ibu akan
meminta maaf. Membiarkan dia bekerja sementara sebentar lagi waktunya dia
berangkat sekolah,” katanya dengan manis.
Ketika pak Candra beranjak mandi, bu Candra mendekati
Nurani dengan wajah garangnya.
“Kamu ingin bilang sama ayah kamu, bahwa kamu lah yang
mengerjakan semuanya?” tanyanya bengis.
“Saya tidak mengatakan apa-apa,” jawabnya sambil terus
mengaduk sayur, kemudian mematikan kompornya.
Ia sudah selesai membuat sarapan, nasi pecel dan
ceplok telur, sedang untuk nanti siang semur ayam dan perkedel. Semuanya sudah
siap di almari makan.
Nurani beranjak ke kamarnya, bermaksud mandi.
“Hei, apa yang kamu lakukan? Kamu seperti menyepelekan
aku? Merasa berjasa di rumah ini?”
“Ibu yang bilang. Saya tidak bilang apa-apa.”
Nurani merasa lebih berani maju setapak dalam
menghadapi ibunya. Dia sudah lelah berdiam dan mengalah. Bukan tak mau
mengerjakan semuanya, tapi lelah mendapat umpatan dan tumpahan kemarahan walau
dia sudah melakukan semuanya.
“Kamu benar-benar sombong sekarang. Mentang-mentang
sudah berhasil masuk sekolah? Apakah itu yang membuatmu bangga?”
“Bukankah ibu sedang bicara tentang apa yang ada dalam
hati ibu? Bukan di hati saya,” lalu Nurani masuk ke kamar dan menguncinya dari
dalam. Ia harus segera mandi dan bersiap masuk sekolah.
Bu Candra menghentakkan kakinya dengan kesal. Nurani
diinjaknya, tapi masih bisa menggeliat sempurna, bahkan sambil menampakkan
senyuman manis. Bu Candra merasa kalah.
“Bu, mana Nurani?” tiba-tiba suara Rian yang baru saja
keluar dari dalam kamarnya.
“Nggak tahu ibu.” Jawabnya sengit.
“Aduh, ibu kenapa lagi? Haaa, aku mencium aroma sambal
pecel. Sudah lama Nurani tidak masak pecal,” kata Rian sambil melongok ke meja
makan, lalu duduk menunggu.
“Rupanya aku yang pertama kali siap makan di pagi ini.
Bapak sudah mandi kah?”
Bu Candra tak menjawab. Ia masuk ke dalam kamar
Karina, dan seperti biasa menarik selimut untuk membangunkannya.
“Aduuuh, ibu. Kenapa wajah ibu selalu muram setiap
pagi?”
“Sudah, jangan banyak bertanya. Cepat mandi dan
bersiap. Aku tak mau mendengar ayahmu mencela kamu, padahal kamu itu sebenatnya
juga selalu membuat kesal,” kata bu Candra sambil menata tempat tidur anaknya.
Rian tersenyum cerah ketika melihat Nurani sudah rapi
dengan pakaian seragamnya.
“Duuh, adikku cantik sekali pagi ini,” pujinya sambil
menarik kursi untuk Nurani.
“Bukankah aku selalu cantik setiap hari?”
“Iya dong. Tapi pagi ini jauh lebih cantik. Bukankah
kamu yang menyiapkan sarapan pagi ini? Ini kesukaan aku, tahu. Itu sebabnya aku
memuji kamu jauh lebih cantik dari kemarin-kemarin”
Tak lama kemudian pak Candra muncul, kemudian ikut
duduk di depan mereka.
“Anak-anak Bapak sudah cantik dan ganteng. Mana yang
lain?” katanya sambil duduk.
“Paling lagi dandan. Saya dan Nurani harus berangkat
pagi. Sarapan duluan ya Pak,” kata Rian yang langsung menyendok nasi dan
sayuran.
“Aku juga mau duluan makan. Sudah duduk dan mencium
aroma sambal pecel nih.”
“Haa, kesukaan Bapak sama dengan kesukaan Rian,
rupanya.”
“Bapak juga suka sup ayam. Sayur asem sama ayam goreng juga
suka.”
“Nurani pintar memasak, semua masakan pasti terasa
enak.”
“Itu karena ibumu yang mengajarinya,” kata pak Candra
tanpa dosa, sementara Nurani menggigit ceplok telurnya hingga lumat. Kapan ibu
mangajarinya? Pikirnya. Tapi mana mungkin Nurani membantah? Sebuah kebaikan dan
keburukan akan tampak pada akhirnya, dan kebaikan tak perlu dipamerkan.
“Aku antar kamu, lalu aku jemput kamu. Ya, awas,
jangan pergi ke mana-mana,” kata Rian sambil menikmati nasi pecelnya.
“Tidak, nanti bapak yang akan menjemputnya, dan
mengajaknya makan siang,” sela pak Candra.
“Yaaaah, Bapak curang deh. Aku ikut kalau begitu.”
“Nanti tungguin saja di sekolah Nurani, kalau mau
ikut.”
“Siap, komandan,” canda Rian.
Ketika mereka hampir selesai, Karina baru muncul
diiringi ibunya.
“Karina selalu terlambat, karena selalu membersihkan
kamarnya sendiri. Sudah diberi tahu, supaya cepat, agar bapak tidak menunggu.
Ee, masih saja nekat.”
“Tidak apa-apa. Anak perempuan membersihkan kamarnya
sendiri. Memang harus itu, supaya terbiasa, kelak kalau sudah berumah tangga.
“Iya Pak, nggak enak kalau dibersihkan orang lain.”
“Rupanya Rian dan Nurani sudah selesai, jadi mau pamit
dulu, sekalian langsung berangkat,” kata Rian sambil berdiri, lalu mencium
tangan bapaknya dan ibunya, diikuti Nurani.
“Belajar yang pintar ya Nak, supaya bapak sama ibu
senang dan bangga,” kata bu Candra sambil mengelus kepala Nurani.
Nurani tak menjawab, kemudian berlalu sambil mengikuti
langkah Rian yang telah mendahuluinya.
“Nurani itu hebat. Bulan depan ujian kenaikan kelas,
dia berani mengikutinya.”
“Wah, kalau sampai nggak naik, kasihan. Pasti diejek
teman-temannya, sudah terlalu tua sih,” celetuk Karina.
Pak Candra tertawa.
“Kita lihat saja nanti, bagaimana sepak terjang kakak
kamu itu,” kata pak Candra sambil
berdiri.
“Aku tunggu di depan, jangan sampai terlambat seperti
kemarin,” katanya lagi sambil berlalu.
Bu Candra mencibirkan bibirnya.
"Sekarang Nurani menjadi kebanggaan di rumah ini.
Gara-gara dia mau sekolah lagi. Huh, kita lihat saja nanti,” omel bu Candra.
“Sudah ketuaan untuk anak SMA, paling juga akan
menjadi bahan tertawaan,” ejak Karina sambil melahap makanannya.
“Yah, kalau mengecewakan, biar ayahmu tahu rasa.”
“Ngomong-ngomong, sambal pecelnya enak nih, rasa
daun-daun jeruknya menggigit. Ibu yang memasak?”
“Iya lah, siapa lagi,”
jawabnya tak tahu malu.
***
Nurani tersenyum, ketika keluar dari halaman sekolah,
dilihatnya Rian sudah nangkring di atas sepeda motornya.
“Sudah lama Mas?”
“Baru saja, aku kan sudah tahu jam berapa kamu pulang.
Tapi sekarang kita harus menunggu bapak. Bukankah bapak akan mengajak kita makan
siang?”
“Iya benar. Padahal aku masak semur daging di rumah.”
“Bisa untuk makan malam.
Tenang saja. Kadang-kadang kita kan butuh kebersamaan di luar rumah.
Selama ini jarang sekali. Sering sih, tapi kan kamu nggak pernah mau ikut?”
tegur Rian.
“Bagaimana mau ikut, ibumu selalu memelototi aku agar tak pernah mau ikut kan? Untuk apa, hanya sekedar makan, dalam suasana
tertekan,” kata batin Nurani.
“Kenapa Nurani?” tanya Rian karena Nurani tak
berkomentar.
“Nggak pengin saja. Paling kan hanya makan, di rumah
juga sudah ada makanan,” jawaban yang begitu sederhana, membuat Rian tersenyum
haru menatapnya.
“Kamu perlu melihat suasana luar. Lain kali aku akan
mengajak kamu jalan-jalan,” kata Rian mantap.
“Itu mobil bapak,” kata Nurani tiba-tiba.”
“Iya, syukurlah, aku sudah kelaparan nih,” canda Rian.
“Ayo Rian, sepeda motormu titipin saja di toko itu,
nanti kami antar lagi kamu ke sini,” perintah pak Candra.
“Tidak Pak, saya mengikuti mobil bapak saja,” kata
Rian.
“Kalau begitu aku bonceng mas Rian saja,” kata Nurani
yang kemudian sudah nempel di bagian belakang motor Rian.
“Tidak, tidak boleh begitu. Masa pergi bareng tapi
beriring-iringan. Nurani naik, Rian harus menitipkan sepeda motornya di situ,” perintah
pak Candra.
Tak ada yang bisa menolaknya. Nurani kemudian masuk ke
dalam mobil, diikuti Rian setelah menitipkan sepeda motornya.
“Selamat bertemu lagi Nurani,” sapa Andre.
“Eh, iya … ketemu lagi sama Mas Andre,” kata Nurani tersipu,
karena Andre menatapnya sangat lekat.
***
Mereka memilih restoran dengan masakan Jawa, karena
pak Candra adalah orang yang sederhana, tak suka makanan yang aneh-aneh untuk lidahnya. Seperti masakan Jepang, Korea, atau entah apa lagi.
“Ayo pesen Rian, aku pengin nasi timlo, minum jus
alpukat,” kata pak Candra.
Andre dan Nurani memilih mengikuti pesanan pak Candra,
sedangkan Rian memilih nasi gudeg.
“Bapak suka makanan di sini. Rasanya pas dengan selera
bapak.”
“Ibumu masak apa ya hari ini?” lanjut pak Candra.
“Semur daging.”
“Benarkah? Kok kamu tahu?”
“Itu … tadi … sepertinya,” kata Nurani berbohong. Ia
tetap tak ingin menjahati orang yang telah mendzoliminya.
“O, pasti tadi sudah siap-siap memasak. Ibumu sangat rajin.”
“Bagaimana sekolahnya?” tanya Andre.
“Biasa saja.”
“Bisa mengikuti?”
“InshaaAllah.”
“Nurani ini anak pintar. Bukan aku yang bilang, tapi
kakaknya ini,” kata pak Candra sambil menuding ke arah Rian, yang kemudian
menyambutnya dengan mengacungkan jempolnya.
“Dia mengikuti ujian SMA juga sanggup kok.”
“Benarkah?” tanya Andre kagum.”
“Itu karena Rian selalu memberi dia bacaan-bacaan
sekolah, sehingga dia bisa menguasainya. Jangan-jangan dia nanti juga bisa
mengikuti ujian SMA nya.”
“Ya Nur, coba nanti setelah naik ke kelas dua, minta
agar boleh mengikuti ujian akhir.”
“Ah, takut aku.”
“Kenapa takut? Kamu bisa kok.”
“Nggak tahu aku, coba saja nanti.”
“Semangat Nur, kamu pasti bisa. Setelah itu kamu harus
kuliah seperti kakak kamu.”
“Entahlah, belum Nur pikirkan.
Sementara menikmati makan siang yang dianggapnya
hangat dan menyenangkan, Nurani merasa bisa menghirup udara segar yang membuaatnya
nyaman. Rasa yang tak pernah dirasakannya saat berada di rumah.
“Rian, kira-kira berapa tahun lagi kamu selesai
kuliah?” tanya pak Candra kepada Rian.
“Semoga belum dua tahun sudah selesai Pak.”
“Besok kalau kamu sudah lulus, kamu membantu bapak di
kantor saja, tidak usah mencari pekerjaan lain.”
Rian tampak berpikir.
"Sebelumnya Rian minta maaf Pak. Rian sudah berpikir
untuk bekerja di sebuah perusahaan otomotif, sesuai dengan pendidikan Rian.”
“Apapun pendidikan kamu, kamu bisa saja memegang
kendali usaha ini, karena kamu juga cerdas dan penuh semangat. Bapak suka itu.”
“Entahlah Pak, nanti Rian memikirkannya lagi. Kan kuliah
belum usai?”
“Tampaknya, mas Rian ini ingin sukses tanpa
bayang-bayang kesuksesan dari ayahnya Pak, ini hebat dan luar biasa,” sela
Andre.
“Iya sih.”
“Nanti Bapak bisa menyerahkannya pada Nurani,” kata
Rian.
“Apa? Mana bisa aku?” pekik Nurani.
“Kamu pasti bisa.”
Tiba-tiba masuklah lima orang wanita paruh baya yang
tampak modis dan berpenampilan elegan.
“Sekali-sekali makan di sini, bosan dengan makanan
rumah. Hari ini pembantuku masak semur ayam sih,” itu suara yang dikenal pak
Candra, karena wanita itu adalah istrinya. Mereka langsung mencari tempat duduk
agak jauh, dan tak mempedulikan meja pak Candra, karena asyik berbincang dengan
teman-teman sosialita nya.
“Tapi Nurani mencatat satu kata, ‘pembantuku memasak
semur ayam’. Demikian juga pak Candra.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, minggu2 jeng Iin jogo gawang.
DeleteMatur nuwun bunda, bunda tahu saja kalo kita sdh kangen sama Nurani 🥰
Alhamdulillah, bu Tien sudah bugar kembali dan semangat untuk menulis membahagiakan penggemar yg menanti karyanya. Manusang bu Tien slm Aduhai
DeleteMatur suwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah udah tayang
ReplyDeleteMoga bu Tien sehat sll
Ibu Tien cantiik... Terima kasih ya... Semoga Ibu sehat sekeluarga....
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteSalam sehat kagem Bu Tien...
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah
ReplyDeleteMtrnwn mb Tien, mugi2 enggal dangan
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 05 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~05 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah ...semoga Bu Tien sehat selalu..🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah gantinya malming
ReplyDeletePak Candra yg Arif dong. Anakmu disakitin istrimu nggak peka banget.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu
Hadeeh suaranya Bu Chandra pedas amat
ReplyDeleteTrnyt bukan hanya cabe yg pedas
Tp blum tau dia kl sbg pendengar suaranya adalah pak Chandra Rian dan Nurani sndri
Andree juga dengar betapa kejamnya mulutnya ibu tiri
Kita tunggu bsk deh lanjutannya bgmn bunda Tien bikin kita penasaran
Mksh bunda moga sehat selalu doaku ttp semangat menghibur kita dgn ikhlas dan ttp ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Waah, bersyukur ibu Tien sudah sehat kembali dan melanjutkan berkarya, semoga makin dikuatkan.🙏🙏🙏
ReplyDeleteGimana tu bu Candra, anak dibilang pembantu. Awas nanti kalau jabatan pak Candra diberikan kepada pembantu tadi.
ReplyDeleteSalam sehat mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
💐🦋🍃 Alhamdulillah KBE 05 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌹
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat aamiin
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSegera sehat wal'afiat kembali ya 🤗🥰
Alhamdulilah...
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Salam sehat selalu..
Hah!!! Pembantu !!! Sebentar lagi akan ada perang d rumah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSlmt mlm bunda..terima ksih ..smg bunda sll sehat walafiat🙏🥰🌹
ReplyDeleteNah tuh pembantu Amirah dicatat sama pak candra.
ReplyDeleteAdakah kesimpulan kata kata yang terucap tadi di benak pak Chandra.
Apakah buku buku yang di umpetin Amirah membikin Nurani minta kost, kan mengganggu belajar; hah ada ya teror begituan, bisa saja, kan intinya biar gagal, hebat sekolah setahun langsung lulus.
Katanya kamu punya pembantu; mana pembantumu?
Nah lho lama lama bau busuk tercium juga.
Mungkin dari keceplosan tadi; bisa Rian lebih mengawasi, ulah kekompakan ibu dan Karina menganggu belajar Nurani.
Penasaran juga pak Chandra; dia bangun lebih pagi, baru nyahok dia.
Kalau itu terjadi, model pak Chandra; sekali tidak percaya selanjutnya tidak akan pernah percaya lagi.
Ngeri ya; kåyå bandêng, akèh eri né, lho kan bisa di presto, durinya jadi lunak.
Yaudah nDra kamu bangun lebih pagi lagi, nanti pasti tahu kaya apa anakmu diperlakukan Amirah.
Memang Nurani selama ini di curangi, emak tirinya.
Tuh malah dijadikan pembantu sama Amirah.
Jadi nggak sekolah deh, syarat boleh sekolah kan pekerjaan rumah selesai dulu.
Waduh ini ikut kasus kdrt; perundungan.
Lho kan memperbudak, delik aduan nich.
mbuh såpå sing ndelik, jelasé sing nglakoni mêndêlik tênan.
Senangnya Andre ketemu lagi, rasanya kaya merdeka suasananya.
Merdeka belajar yang lagi trend. Setahun langsung lulus, ngirit banget.
Ojek siap, antar jemput.
Jangan jangan lama-lama ada rasa waduh, Andre pusing
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke lima sudah tayang
Sehat sehat ya.. Bu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Akhirnya gara2 Semur terkuak semua.Maturnuwun Bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih bu tien ... wah memang bu chandra itu perempuan gak tau diri .... sdh dicatat sama pak chandra ..tunggu saja .... salam sehat bu tien
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 05 sdh hadir
ReplyDeleteSemoga Pak Chandra menjadi tahu sufat isterinya.
Terima kasih Bu Tien dan semoga sehat dsn bahagia selalu.
Lha Nuraini jdi pembantu? enak aja...😉
ReplyDeleteAlhamdulillah...sdh tayang lagi,
matur nuwun bunda Tien...🙏
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah...sdh tayang lagi,
ReplyDeletematur nuwun bu Tien...salam sehat selalu🙏
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteWedih Dasar ibu Tiri dzolim.trim bu Tien
ReplyDelete