Sunday, December 11, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 05

 KANTUNG BERWARNA EMAS  05

(Tien Kumalasari)

 

“Kok ibu tidur di sini? Aku kira berkutat di dapur, ternyata Nurani.” Gumam pak Candra sambil duduk. Urung membangunkan istrinya karena ia mendengar dengkur halusnya, yang menandakan bahwa tidurnya sangat nyenyak.

Nurani datang membawa nampan berisi secangkir coklat susu. Ia menatap heran ke atas sofa, dimana ibunya tidur dan mendengkur. Ia meletakkan minuman itu, sambil terus menatap tubuh tergolek nyenyak, yang oleh suaminya juga tidak  dibangunkannya.

“Kenapa dia?” tanya pak Candra. Tapi Nurani memang benar-benar tidak tahu, jadi dia hanya mengangkat bahunya tanda tak mengerti.

Pak Candra menyeruput susu coklatnya beberapa teguk, lalu meletakkan lagi cangkirnya di meja.

“Kamu tidak membuat minuman?”

“Nanti saja, di dapur.”

“Kamu mengerjakan semuanya di dapur?”

Nurani tak menjawab, ia mengambil baki lalu beranjak ke belakang, membuat pak Candra tak mengerti. Ketika itulah tiba-tiba bu Candra menggeliat,  lalu membuka matanya, menutupinya sejenak karena silau.

Ia terkejut melihat suaminya duduk di sofa di depannya.

Bu Candra mengucek matanya, seakan tak percaya.

“Bapak, kok … duduk … disini?" katanya sambil bangkit.

“Harusnya aku yang bertanya, mengapa kamu tidur di sini?”

“Aduh, mengapa Nurani tidak membangunkan aku. Tadi itu, aku sedang mencuci beras, tiba-tiba kepala pusing.  Aduuh, Nuur, mengapa tidak membangunkan aku?” katanya sambil beranjak ke belakang. Nurani sedang menyelesaikan memasak sayur.

Pak Candra mengikuti istrinya ke arah dapur.

“Nurani, mengapa kamu mengerjakan semuanya? Aku tadi kan bilang mau tiduran sebentar, kepalaku pusing. Ya ampuun, kenapa sudah hampir selesai semuanya?” oceh bu Candra, dan Nurani tetap melanjutkan pekerjaannya. Sandiwara sedang berlangsung.

“Kenapa kamu mengerjakannya sendiri sayang?” ucapan manis terus terdengar, karena bu Candra tahu, suaminya mengikuti di belakangnya.

“Nurani, ibumu sedang bicara,” kata pak Candra yang sebenarnya merasa kesal, karena Nurani tidak menjawab sepatah katapun.

“Nur, apa kamu marah sama ibu? Sini, biar aku lanjutkan masak sayurnya,” suara manis masih berkumandang.

“Sudah hampir selesai Bu, saya akan membawakan minuman ibu ke ruang tengah,” kata Nurani yang kemudian menuang susu coklat dari dalam termos kecil yang sudah berisi coklat susu.

“Baiklah, kamu memang sangat pengertian. Maafkan ibu ya?” kata bu Candra sambil beranjak ke depan, lalu duduk di sofa di ruang tengah sambil memijit-mijit kepalanya.

“Ibu sakit?” tanya pak Candra yang kebingungan melihat sikap istrinya dan Nurani yang lebih banyak diam.

“Hanya sedikit pusing. Untunglah ada Nurani. Anak itu sangat pengertian,” katanya sambil meraih cangkir berisi susu coklat yang sudah dihidangkan Nurani.

“Mengapa Nurani diam saja?” gumam pak Candra.

“Pasti Nurani kesal sama ibu. Tapi nanti ibu akan meminta maaf. Membiarkan dia bekerja sementara sebentar lagi waktunya dia berangkat sekolah,” katanya dengan manis.

Ketika pak Candra beranjak mandi, bu Candra mendekati Nurani dengan wajah garangnya.

“Kamu ingin bilang sama ayah kamu, bahwa kamu lah yang mengerjakan semuanya?” tanyanya bengis.

“Saya tidak mengatakan apa-apa,” jawabnya sambil terus mengaduk sayur, kemudian mematikan kompornya.

Ia sudah selesai membuat sarapan, nasi pecel dan ceplok telur, sedang untuk nanti siang semur ayam dan perkedel. Semuanya sudah siap di almari makan.

Nurani beranjak ke kamarnya, bermaksud mandi.

“Hei, apa yang kamu lakukan? Kamu seperti menyepelekan aku? Merasa berjasa di rumah ini?”

“Ibu yang bilang. Saya tidak bilang apa-apa.”

Nurani merasa lebih berani maju setapak dalam menghadapi ibunya. Dia sudah lelah berdiam dan mengalah. Bukan tak mau mengerjakan semuanya, tapi lelah mendapat umpatan dan tumpahan kemarahan walau dia sudah melakukan semuanya.

“Kamu benar-benar sombong sekarang. Mentang-mentang sudah berhasil masuk sekolah? Apakah itu yang membuatmu bangga?”

“Bukankah ibu sedang bicara tentang apa yang ada dalam hati ibu? Bukan di hati saya,” lalu Nurani masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Ia harus segera mandi dan bersiap masuk sekolah.

Bu Candra menghentakkan kakinya dengan kesal. Nurani diinjaknya, tapi masih bisa menggeliat sempurna, bahkan sambil menampakkan senyuman manis. Bu Candra merasa kalah.

“Bu, mana Nurani?” tiba-tiba suara Rian yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.

“Nggak tahu ibu.” Jawabnya sengit.

“Aduh, ibu kenapa lagi? Haaa, aku mencium aroma sambal pecel. Sudah lama Nurani tidak masak pecal,” kata Rian sambil melongok ke meja makan, lalu duduk menunggu.

“Rupanya aku yang pertama kali siap makan di pagi ini. Bapak sudah mandi kah?”

Bu Candra tak menjawab. Ia masuk ke dalam kamar Karina, dan seperti biasa menarik selimut untuk membangunkannya.

“Aduuuh, ibu. Kenapa wajah ibu selalu muram setiap pagi?”

“Sudah, jangan banyak bertanya. Cepat mandi dan bersiap. Aku tak mau mendengar ayahmu mencela kamu, padahal kamu itu sebenatnya juga selalu membuat kesal,” kata bu Candra sambil menata tempat tidur anaknya.

Rian tersenyum cerah ketika melihat Nurani sudah rapi dengan pakaian seragamnya.

“Duuh, adikku cantik sekali pagi ini,” pujinya sambil menarik kursi untuk Nurani.

“Bukankah aku selalu cantik setiap hari?”

“Iya dong. Tapi pagi ini jauh lebih cantik. Bukankah kamu yang menyiapkan sarapan pagi ini? Ini kesukaan aku, tahu. Itu sebabnya aku memuji kamu jauh lebih cantik dari kemarin-kemarin”

Tak lama kemudian pak Candra muncul, kemudian ikut duduk di depan mereka.

“Anak-anak Bapak sudah cantik dan ganteng. Mana yang lain?” katanya sambil duduk.

“Paling lagi dandan. Saya dan Nurani harus berangkat pagi. Sarapan duluan ya Pak,” kata Rian yang langsung menyendok nasi dan sayuran.

“Aku juga mau duluan makan. Sudah duduk dan mencium aroma sambal pecel nih.”

“Haa, kesukaan Bapak sama dengan kesukaan Rian, rupanya.”

“Bapak juga suka sup ayam. Sayur asem sama ayam goreng juga suka.”

“Nurani pintar memasak, semua masakan pasti terasa enak.”

“Itu karena ibumu yang mengajarinya,” kata pak Candra tanpa dosa, sementara Nurani menggigit ceplok telurnya hingga lumat. Kapan ibu mangajarinya? Pikirnya. Tapi mana mungkin Nurani membantah? Sebuah kebaikan dan keburukan akan tampak pada akhirnya, dan kebaikan tak perlu dipamerkan.

“Aku antar kamu, lalu aku jemput kamu. Ya, awas, jangan pergi ke mana-mana,” kata Rian sambil menikmati nasi pecelnya.

“Tidak, nanti bapak yang akan menjemputnya, dan mengajaknya makan siang,” sela pak Candra.

“Yaaaah, Bapak curang deh. Aku ikut kalau begitu.”

“Nanti tungguin saja di sekolah Nurani, kalau mau ikut.”

“Siap, komandan,” canda Rian.

Ketika mereka hampir selesai, Karina baru muncul diiringi ibunya.

“Karina selalu terlambat, karena selalu membersihkan kamarnya sendiri. Sudah diberi tahu, supaya cepat, agar bapak tidak menunggu. Ee, masih saja nekat.”

“Tidak apa-apa. Anak perempuan membersihkan kamarnya sendiri. Memang harus itu, supaya terbiasa, kelak kalau sudah berumah tangga.

“Iya Pak, nggak enak kalau dibersihkan orang lain.”

“Rupanya Rian dan Nurani sudah selesai, jadi mau pamit dulu, sekalian langsung berangkat,” kata Rian sambil berdiri, lalu mencium tangan bapaknya dan ibunya, diikuti Nurani.

“Belajar yang pintar ya Nak, supaya bapak sama ibu senang dan bangga,” kata bu Candra sambil mengelus kepala Nurani.

Nurani tak menjawab, kemudian berlalu sambil mengikuti langkah Rian yang telah mendahuluinya.

“Nurani itu hebat. Bulan depan ujian kenaikan kelas, dia berani mengikutinya.”

“Wah, kalau sampai nggak naik, kasihan. Pasti diejek teman-temannya, sudah terlalu tua sih,” celetuk Karina.

Pak Candra tertawa.

“Kita lihat saja nanti, bagaimana sepak terjang kakak kamu itu,” kata pak Candra  sambil berdiri.

“Aku tunggu di depan, jangan sampai terlambat seperti kemarin,” katanya lagi sambil berlalu.

Bu Candra mencibirkan bibirnya.

"Sekarang Nurani menjadi kebanggaan di rumah ini. Gara-gara dia mau sekolah lagi. Huh, kita lihat saja nanti,” omel bu Candra.

“Sudah ketuaan untuk anak SMA, paling juga akan menjadi bahan tertawaan,” ejak Karina sambil melahap makanannya.

“Yah, kalau mengecewakan, biar ayahmu tahu rasa.”

“Ngomong-ngomong, sambal pecelnya enak nih, rasa daun-daun jeruknya menggigit. Ibu yang memasak?”

“Iya lah, siapa lagi,”  jawabnya tak tahu malu.

***

Nurani tersenyum, ketika keluar dari halaman sekolah, dilihatnya Rian sudah nangkring di atas sepeda motornya.

“Sudah lama Mas?”

“Baru saja, aku kan sudah tahu jam berapa kamu pulang. Tapi sekarang kita harus menunggu bapak. Bukankah bapak akan mengajak kita makan siang?”

“Iya benar. Padahal aku masak semur daging di rumah.”

“Bisa untuk makan malam.  Tenang saja. Kadang-kadang kita kan butuh kebersamaan di luar rumah. Selama ini jarang sekali. Sering sih, tapi kan kamu nggak pernah mau ikut?” tegur Rian.

“Bagaimana mau ikut, ibumu selalu memelototi aku agar tak pernah mau ikut kan? Untuk apa, hanya sekedar makan, dalam suasana tertekan,” kata batin Nurani.

“Kenapa Nurani?” tanya Rian karena Nurani tak berkomentar.

“Nggak pengin saja. Paling kan hanya makan, di rumah juga sudah ada makanan,” jawaban yang begitu sederhana, membuat Rian tersenyum haru menatapnya.

“Kamu perlu melihat suasana luar. Lain kali aku akan mengajak kamu jalan-jalan,” kata Rian mantap.

“Itu mobil bapak,” kata Nurani tiba-tiba.”

“Iya, syukurlah, aku sudah kelaparan nih,” canda Rian.

“Ayo Rian, sepeda motormu titipin saja di toko itu, nanti kami antar lagi kamu ke sini,” perintah pak Candra.

“Tidak Pak, saya mengikuti mobil bapak saja,” kata Rian.

“Kalau begitu aku bonceng mas Rian saja,” kata Nurani yang kemudian sudah nempel di bagian belakang motor Rian.

“Tidak, tidak boleh begitu. Masa pergi bareng tapi beriring-iringan. Nurani naik, Rian harus menitipkan sepeda motornya di situ,” perintah pak Candra.

Tak ada yang bisa menolaknya. Nurani kemudian masuk ke dalam mobil, diikuti Rian setelah menitipkan sepeda motornya.

“Selamat bertemu lagi Nurani,” sapa Andre.

“Eh, iya … ketemu lagi sama Mas Andre,” kata Nurani tersipu, karena Andre menatapnya sangat lekat.

***

Mereka memilih restoran dengan masakan Jawa, karena pak Candra adalah orang yang sederhana, tak suka makanan yang aneh-aneh untuk lidahnya. Seperti masakan Jepang, Korea, atau entah apa lagi.

“Ayo pesen Rian, aku pengin nasi timlo, minum jus alpukat,” kata pak Candra.

Andre dan Nurani memilih mengikuti pesanan pak Candra, sedangkan Rian memilih nasi gudeg.

“Bapak suka makanan di sini. Rasanya pas dengan selera bapak.”

“Ibumu masak apa ya hari ini?” lanjut pak Candra.

“Semur daging.”

“Benarkah? Kok kamu tahu?”

“Itu … tadi … sepertinya,” kata Nurani berbohong. Ia tetap tak ingin menjahati orang yang telah mendzoliminya.

“O, pasti tadi sudah siap-siap memasak. Ibumu sangat rajin.”

“Bagaimana sekolahnya?” tanya Andre.

“Biasa saja.”

“Bisa mengikuti?”

“InshaaAllah.”

“Nurani ini anak pintar. Bukan aku yang bilang, tapi kakaknya ini,” kata pak Candra sambil menuding ke arah Rian, yang kemudian menyambutnya dengan mengacungkan jempolnya.

“Dia mengikuti ujian SMA juga sanggup kok.”

“Benarkah?” tanya Andre kagum.”

“Itu karena Rian selalu memberi dia bacaan-bacaan sekolah, sehingga dia bisa menguasainya. Jangan-jangan dia nanti juga bisa mengikuti ujian SMA nya.”

“Ya Nur, coba nanti setelah naik ke kelas dua, minta agar boleh mengikuti ujian akhir.”

“Ah, takut aku.”

“Kenapa takut? Kamu bisa kok.”

“Nggak tahu aku, coba saja nanti.”

“Semangat Nur, kamu pasti bisa. Setelah itu kamu harus kuliah seperti kakak kamu.”

“Entahlah, belum Nur pikirkan.

Sementara menikmati makan siang yang dianggapnya hangat dan menyenangkan, Nurani merasa bisa menghirup udara segar yang membuaatnya nyaman. Rasa yang tak pernah dirasakannya saat berada di rumah.

“Rian, kira-kira berapa tahun lagi kamu selesai kuliah?” tanya pak Candra kepada Rian.

“Semoga belum dua tahun sudah selesai Pak.”

“Besok kalau kamu sudah lulus, kamu membantu bapak di kantor saja, tidak usah mencari pekerjaan lain.”

Rian tampak berpikir.

"Sebelumnya Rian minta maaf Pak. Rian sudah berpikir untuk bekerja di sebuah perusahaan otomotif, sesuai dengan pendidikan Rian.”

“Apapun pendidikan kamu, kamu bisa saja memegang kendali usaha ini, karena kamu juga cerdas dan penuh semangat. Bapak suka itu.”

“Entahlah Pak, nanti Rian memikirkannya lagi. Kan kuliah belum usai?”

“Tampaknya, mas Rian ini ingin sukses tanpa bayang-bayang kesuksesan dari ayahnya Pak, ini hebat dan luar biasa,” sela Andre.

“Iya sih.”

“Nanti Bapak bisa menyerahkannya pada Nurani,” kata Rian.

“Apa? Mana bisa aku?” pekik Nurani.

“Kamu pasti bisa.”

Tiba-tiba masuklah lima orang wanita paruh baya yang tampak modis dan berpenampilan elegan.

“Sekali-sekali makan di sini, bosan dengan makanan rumah. Hari ini pembantuku masak semur ayam sih,” itu suara yang dikenal pak Candra, karena wanita itu adalah istrinya. Mereka langsung mencari tempat duduk agak jauh, dan tak mempedulikan meja pak Candra, karena asyik berbincang dengan teman-teman sosialita nya.

“Tapi Nurani mencatat satu kata, ‘pembantuku memasak semur ayam’. Demikian juga pak Candra.

***

Besok lagi ya.

40 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah, minggu2 jeng Iin jogo gawang.
      Matur nuwun bunda, bunda tahu saja kalo kita sdh kangen sama Nurani 🥰

      Delete
    2. Alhamdulillah, bu Tien sudah bugar kembali dan semangat untuk menulis membahagiakan penggemar yg menanti karyanya. Manusang bu Tien slm Aduhai

      Delete
  2. Alhamdulillah udah tayang
    Moga bu Tien sehat sll

    ReplyDelete
  3. Ibu Tien cantiik... Terima kasih ya... Semoga Ibu sehat sekeluarga....

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah...
    Salam sehat kagem Bu Tien...

    ReplyDelete
  5. Mtrnwn mb Tien, mugi2 enggal dangan

    ReplyDelete
  6. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 05 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete

  8. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~05 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah ...semoga Bu Tien sehat selalu..🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  11. Pak Candra yg Arif dong. Anakmu disakitin istrimu nggak peka banget.
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu

    ReplyDelete
  12. Hadeeh suaranya Bu Chandra pedas amat
    Trnyt bukan hanya cabe yg pedas
    Tp blum tau dia kl sbg pendengar suaranya adalah pak Chandra Rian dan Nurani sndri

    Andree juga dengar betapa kejamnya mulutnya ibu tiri

    Kita tunggu bsk deh lanjutannya bgmn bunda Tien bikin kita penasaran

    Mksh bunda moga sehat selalu doaku ttp semangat menghibur kita dgn ikhlas dan ttp ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
  13. Waah, bersyukur ibu Tien sudah sehat kembali dan melanjutkan berkarya, semoga makin dikuatkan.🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  14. Gimana tu bu Candra, anak dibilang pembantu. Awas nanti kalau jabatan pak Candra diberikan kepada pembantu tadi.
    Salam sehat mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  15. 💐🦋🍃 Alhamdulillah KBE 05 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌹

    ReplyDelete
  16. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Segera sehat wal'afiat kembali ya 🤗🥰

    ReplyDelete
  18. Alhamdulilah...
    Tks bunda Tien..
    Salam sehat selalu..

    ReplyDelete
  19. Hah!!! Pembantu !!! Sebentar lagi akan ada perang d rumah

    ReplyDelete
  20. Slmt mlm bunda..terima ksih ..smg bunda sll sehat walafiat🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  21. Nah tuh pembantu Amirah dicatat sama pak candra.
    Adakah kesimpulan kata kata yang terucap tadi di benak pak Chandra.
    Apakah buku buku yang di umpetin Amirah membikin Nurani minta kost, kan mengganggu belajar; hah ada ya teror begituan, bisa saja, kan intinya biar gagal, hebat sekolah setahun langsung lulus.
    Katanya kamu punya pembantu; mana pembantumu?
    Nah lho lama lama bau busuk tercium juga.
    Mungkin dari keceplosan tadi; bisa Rian lebih mengawasi, ulah kekompakan ibu dan Karina menganggu belajar Nurani.
    Penasaran juga pak Chandra; dia bangun lebih pagi, baru nyahok dia.
    Kalau itu terjadi, model pak Chandra; sekali tidak percaya selanjutnya tidak akan pernah percaya lagi.
    Ngeri ya; kåyå bandêng, akèh eri né, lho kan bisa di presto, durinya jadi lunak.
    Yaudah nDra kamu bangun lebih pagi lagi, nanti pasti tahu kaya apa anakmu diperlakukan Amirah.
    Memang Nurani selama ini di curangi, emak tirinya.
    Tuh malah dijadikan pembantu sama Amirah.
    Jadi nggak sekolah deh, syarat boleh sekolah kan pekerjaan rumah selesai dulu.
    Waduh ini ikut kasus kdrt; perundungan.
    Lho kan memperbudak, delik aduan nich.
    mbuh såpå sing ndelik, jelasé sing nglakoni mêndêlik tênan.
    Senangnya Andre ketemu lagi, rasanya kaya merdeka suasananya.
    Merdeka belajar yang lagi trend. Setahun langsung lulus, ngirit banget.
    Ojek siap, antar jemput.
    Jangan jangan lama-lama ada rasa waduh, Andre pusing
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke lima sudah tayang
    Sehat sehat ya.. Bu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  22. Akhirnya gara2 Semur terkuak semua.Maturnuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  23. Terima kasih bu tien ... wah memang bu chandra itu perempuan gak tau diri .... sdh dicatat sama pak chandra ..tunggu saja .... salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah KBE 05 sdh hadir
    Semoga Pak Chandra menjadi tahu sufat isterinya.
    Terima kasih Bu Tien dan semoga sehat dsn bahagia selalu.

    ReplyDelete
  25. Lha Nuraini jdi pembantu? enak aja...😉

    Alhamdulillah...sdh tayang lagi,
    matur nuwun bunda Tien...🙏

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah...sdh tayang lagi,
    matur nuwun bu Tien...salam sehat selalu🙏

    ReplyDelete
  27. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  28. Wedih Dasar ibu Tiri dzolim.trim bu Tien

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 13

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  13 (Tien Kumalasari)   Arumi heran melihat sikap Bachtiar yang kelihatan tidak suka. Ia mengira, Bachtiar ti...