Thursday, December 8, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 03

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  03

(Tien Kumalasari)

 

Nurani masih terdiam, menundukkan kepala. Tapi begitu ia mengangkat kepalanya, tatapan mata bengis itu langsung menghunjam ke arah jantungnya.

“Nurani, bapak sedang bicara sama kamu.”

Nurani gelagapan. Ia ingin bersorak, kalau itu benar terjadi. Tapi mata garang itu membuatnya mengurungkan bibirnya yang nyaris terbuka.

Pak Candra tiba-tiba menoleh ke arah istrinya. Maksudnya akan meminta istrinya agar ikut membujuk Nurani. Tapi ia heran sang istri menatap tajam kepada Nurani.

“Bu, mengapa kamu menatapnya seperti itu?”

Bu Candra terkejut, tak mengira suaminya melihat sorot matanya yang pastinya tidak enak untuk dinikmati. Tapi bukan bu Candra kalau tak memiliki jawaban untuk menghindar.

“Aduh, itu lho Pak, gemes banget melihat Nurani tidak segera menjawab. Apa yang Bapak katakan itu kan sebuah niat baik, yang pastinya juga untuk kebaikan dia.”

Pak Candra menatap ke arah Nurani kembali.

“Nur, ibumu juga kesal karena melihat kamu ragu-ragu. Ini kan sebuah niat baik untuk kamu? Agar kelak, kalau Bapak sudah meninggal, bapak punya sesuatu yang bisa bapak wariskan untuk kamu, yaitu ilmu yang bermanfaat. Kamu mampu melakukannya. Raih ilmu itu, demi masa depan kamu.”

Nurani menatap ayahnya, menikmati mata lembut dan senyuman penuh kasih sayang yang memancar dari wajah ayahnya. Rasanya tak tega mematahkan angan-angan dan cita-cita ayahnya, demi dirinya.

“Bagaimana Nak?”

Tiba-tiba sebuah kekuatan menelusuri setiap aliran darahnya, setiap detak nadinya, menyalakan sebuah keberanian yang tak pernah dimiliki sebelumnya. Persetan dengan tatapan serigala yang terus menyala, semua ini demi ayahnya. Hanya demi ayahnya. Lalu kepala Nurani mengangguk pelan. Tapi itu cukup membuat senyuman pak Candra merekah. Ia meraih tubuh anak gadisnya, membuat Nurani bersimpuh didepannya, lalu dipeluknya erat. Mata serigala itu menyemburkan api, tapi tetesan embun kedamaian memadamkannya.

“Rian!” teriak pak Candra memanggil Rian.

Terdengar langkah cepat mendekat, lalu tiba-tiba Rian muncul diantara mereka.

Ia melihat Nurani bersimpuh dihadapan ayahnya, yang kemudian dibangunkan olehnya.

Nurani kembali duduk di tempatnya semula, tapi tak berani menatap kearah ibunya, atau memang tak ingin menatapnya, karena percikan api dari mata itu bisa saja melukai kulit mulusnya.

“Ya Pak?” tanya Rian.

“Besok, kamu urus sekolah untuk adikmu ini. Dia mau melanjutkan sekolahnya. Tak apa walau terlambat bukan?”

“Tentu saja tidak. Baiklah, Rian akan mengurusnya.”

“Sebelum bapak berangkat kerja, ingatkan agar meninggalkan uang untuk urusan itu. Semuanya bapak serahkan sama kamu,” tandas pak Candra.

“Siap Pak. Senang mendengarnya,” kata Rian sambil mengelus kepala Nurani, yang menatapnya dengan senyuman lembut.

Nurani berdiri, dan melangkah ke belakang, diikuti Rian.

“Aku senang Nurani mau sekolah. Tapi apa sudah Bapak pikirkan untung ruginya?” tiba-tiba bu Candra nyeletuk.

“Apa maksudmu dengan ucapan untung rugi itu?” tanya pak Candra sambil mengerutkan keningnya.

“Aku tuh kok melihat, dia itu tak begitu tertarik untuk sekolah. Bagaimana kalau nantinya hanya akan mengecewakan saja?”

“Tidak akan. Dia mau kok.”

“Kalau maunya karena merasa bapak yang memaksanya?”

“Nurani tidak bodoh, dia akan bisa melakukannya. Coba saja tanya sama Rian, dia sudah membuktikan bahwa sebenarnya Nurani pintar.”

Bu Candra diam. Rasa kesalnya kemudian tertuju kepada anak laki-lakinya. Memang dia selalu melihat bahwa Rian selalu bersikap baik pada Nurani, tapi bukan masalah selagi Nurani masih patuh pada dirinya. Tapi kemudian membujuk ayahnya agar meminta Nurani melanjutkan sekolah, sungguh membuatnya marah.

***

“Mengapa kamu membujuk ayah kamu agar mau menyekolahkan Nurani?” kata bu Candra dengan wajah kesal.

“Mengapa Ibu sepertinya nggak rela? Nurani itu pintar, agak mengherankan kalau dia tiba-tiba tak mau melanjutkan sekolahnya.”

“Dia pintar, menurut kamu, tapi dia itu malas. Setidaknya malas untuk berpikir, itu sebabnya dia tak mau melanjutkan sekolah, memilih mengerjakan pekerjaan rumah tangga.”

“Yang malas berpikir itu Karina, bukan Nurani.”

“Apa maksudmu Rian? Adik sendiri dijelek-jelekin?”

“Bukan dijelek-jelekin, memang dia malas kok. Kalau tidak, pasti dia mau melanjutkan kuliah. Mengapa memilih bekerja dengan pendidikan hanya sebatas SMA? Sementara bapak mampu menyekolahkannya.”

“Buktinya selepas SMP, Nurani tidak mau sekolah lagi kan? Kenapa dipaksa juga? Kamu biang keladinya.”

“Kenapa Ibu marah hanya gara-gara Nurani mau melanjutkan sekolah? Apa Ibu takut tak ada yang membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah? Bukankah Ibu bisa mencari pembantu?”

“Kamu itu memang nyebelin ya Rian, menentang kemauan ibu saja.”

“Apa Ibu benci sama Nurani?”

“Omong kosong apa itu,” kata bu Candra sambil melangkah keluar dari kamar Rian, menuju ke kamar Karina. Hanya Karina yang sepaham dengan dirinya, sedangkan Rian selalu menentangnya.

Tapi bu Candra kesal melihat Karina masih meringkuk di ranjangnya, pulas sampai terdengar dengkurnya.

“Hei! Malas! Bangun !!” kata bu Candra sambil menarik selimut anaknya.

Karina menggeliat, lalu membuka matanya.

“Eh, sudah pagi ya? Aku terlambat kerja? Bapak marah pasti.”

“Mimpi kamu ya. Ini sudah menjelang malam, siapa bilang pagi?”

“Oh, ya ampuun. Malam ? Ada apa sih Bu, membuat aku panik saja, kirain terlambat masuk kerja, dan bapak sudah berangkat duluan,” omelnya sambil bangun.

“Ibu tuh mau ngomong sama kamu. Kesel banget rasanya.”

“Masalah apa nih?”

“Bapakmu memaksa Nurani agar melanjutkan sekolah.”

“Dia pasti tidak mau kan? Sejak dulu kan dia tidak mau sekolah? SMP sudah bagus bagi dia, yang penting bisa membaca dan menulis sedikit-sedikit, ya kan?”

“Dia mau. Ayahmu memaksanya.”

“Oh ya? Sudah ketuaan kalau dia mau sekolah lagi. Teman-temannya sudah pada punya anak, dia baru mau masuk SMA.”

“Kakakmu mendukungnya. Besok akan mulai di daftarkan.”

“Ini kan belum awal pelajaran?”

“Nggak tahu tuh. Ibu kesal pokoknya.”

“Biarin saja. Paling juga akan berhenti di tengah jalan. Mana betah dia berteman dengan anak-anak ABG?”

“Nggak tahu. Ibu sekarang memikirkan, bagaimana kalau dia sekolah, ibu jadi tidak bisa kemana-mana dong.”

“Ibu harus tegas dong. Boleh masuk kuliah kalau semua pekerjaan sudah selesai, begitu. Enak saja menyuruh ibu bekerja sendiri.”

“Iya, nanti ibu bilang sama dia.”

***

Nurani masih berkutat di dapur ketika Rian menghampirinya.

“Hei, ayo, kita harus berangkat pagi.”

“Kemana?” tanya Nurani tak mengerti.

“Ya ampun, daftar sekolah untuk kamu. Nih, bapak sudah memberi uangnya.”

“Masa aku harus ikut sih Mas. Nggak usah.”

“Bagaimana sih? Calon muridnya itu kamu, jadi kamu harus ikut.”

“Malu aku Mas.”

“Aku akan menceritakan semuanya. Biar mereka menge test kamu. Apa kamu takut?”

“Bukan masalah takut. Tapi masalah malu.”

“Kamu anak pintar, mengapa malu? Biar calon guru kamu terheran-heran melihat kecakapan kamu.”

“Tapi, aku belum selesai. Mau memasak dulu.”

“Tidak usah masak dulu. Masak nanti kalau sudah pulang, aku bantuin. Ayo !” kata Rian sambil menarik tangan adiknya. Tapi sebelum masuk ke kamarnya, Nurani berpapasan dengan ibunya yang sudah siap hendak bepergian.

“Kok ditinggal? Sudah selesai masaknya? Pasti belum kan?”

“Iya Bu, ini mau ….”

“Nurani akan pergi ke sekolah. Rian akan mengantarkannya.” Kata Rian.

“Sekarang? Ini belum tahun ajaran baru kan?”

“Baru mau bicara dulu sama pihak sekolah. Ayo Nur, aku tunggu di depan. Ganti baju yang bagus dan rapi,” perintah Rian kemudiaan kepada Nurani. Nurani segera masuk ke kamarnya.

Bu Candra mengetuh pintu kamar Nurani yang terkunci, lalu berteriak dari luar.

“Kamu boleh pergi, atau sekolah sekalipun, tapi semua pekerjaan rumah harus beres. Aku tak mau cari pembantu.”

Nurani mendengarnya, tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia melanjutkan berganti pakaian, karena Rian sudah menunggu.

***

“Selamat pagi Pak Candra,” sapa Andre ketika pak Candra masuk ke dalam kamarnya.

“Pagi, Andre,” jawab pak Candra dengan wajah berseri.

“Bapak tampak senang pagi ini,” kata Andre.

“Iya, hari ini Rian mendaftarkan Nurani masuk sekolah.”

“Oh ya? Tapi ini belum tahun ajaran baru kan?”

“Baru mau bertanya-tanya tentang kemungkinannya, mengingat Nurani sudah terlambat empat tahun sejak kelulusannya dari SMP.”

“Semoga semuanya berjalan lancar Pak.”

“Aamiin, semoga impianku untuk menjadikan dia anak yang pintar, bisa berhasil.”

“Tampaknya dia pintar. Saya bisa menangkapnya saat berbicara sama dia ketika pagi-pagi ke rumah Bapak waktu itu.”

“Oh ya?”

“Ya, cara dia berbicara tidak menunjukkan suatu keterbelakangan, maksudnya untuk orang yang berpendidikan rendah. Dia santun dan tegas dalam bicara. Saya kalah Pak.”

“Benarkah?” tanya pak Candra sambil tertawa.

“Itu benar.”

“Baiklah, sekarang kita akan membahas tentang stok barang habis yang diajukan. Kamu sudah memeriksanya?”

“Baru diberikan ketika saya mau pulang Pak, hari ini saya akan memeriksa laporannya, lalu segera mengecek keadaan fisiknya.”

“Bagus Andre. Segera putuskan tentang permintaan barang, apa benar harus segera disiapkan. Aku janjian akan bertemu klient siang ini. Saya harap kamu sudah selesai, karena kamu juga harus mendampingi aku.”

“Siap Pak, akan segera saya kerjakan.”

Tiba-tiba Karina masuk ke ruangan pak Candra, membuat pak Candra terkejut.

“Karina, mengapa tidak mengetuk pintu terlebih dulu? Kamu tahu aturannya kan? Etikanya bagaimana kalau mau masuk ke ruangan orang lain?”

“Ini kan ruangan Bapak,” bantah Karina yang seenaknya duduk di depan meja kerja ayahnya.

“Di kantor ini tidak ada hubungan keluarga yang bisa membedakan setiap etika yang harus dipatuhi, termasuk kamu. Sekarang keluar lagi, dan ketuk pintunya, baru boleh masuk ketika dipersilakan,” tegas kata pak Candra.

“Tapi Pak.”

“Cepat lakukan.” Perintahnya tandas. Andre menahan senyum mendengar percakapan ayah dan anak itu. Bagus sekali, pak Candra selalu memegang aturan dengan keras, termasuk kepada anaknya sendiri.

Karina berdiri, lalu melangkah keluar, kemudian mengetuk pintu agak keras.

“Masuk,” kata pak Candra.

Lalu Karina membuka pintunya, dengan wajah cemberut.

“Duduk.”

Karina duduk, masih dengan muka masam.

“Begitu seterusnya, camkan itu.”

Karina mengangguk. Agak ngeri melihat sinar mata ayahnya yang tajam menusuk.

“Sekarang katakan, ada apa.”

“Saya mau pulang sekarang.”

“Apa? Ini belum tengah hari.”

“Perut saya sakit Pak.”

Pak Candra mengawasi wajah Karina yang seperti menahan sakit. Kalau memang sakit, mau bagaimana lagi.

“Bolehkah mas Andre mengantarkan saya?”

“Apa? Andre itu banyak pekerjaan. Biar sopir perusahaan mengantarkan kamu,” kata pak Candra sambil memencet interkom ke ruangan sopir di depan.

Karina bertambah merengut.

“Tunggu dia di depan,” perintah pak Candra, membuat Karina tak bisa membantah, kemudian melangkah ke luar ruangan.

Pak Candra baru saja membuka map yang harus ditanda tanganinya, ketika ponselnya berdering. Dari Rian.

“Ya Rian,” sapa pak Candra.

“Apakah Rian mengganggu?”

“Tidak, kalau tidak terlalu lama, ada apa? Kamu jadi mengantarkan Nurani kan?”

“Jadi Pak, ini sudah mau pulang. Nurani memang sangat hebat. Entah menyalahi prosedur atau tidak, beberapa guru bertanya tentang pelajaran SMA, dari kelas satu sampai kelas tiga, Nurani bisa menjawabnya. Membuat para guru keheranan.”

“Oh ya?” sahut pak Candra gembira.

“Besok Nurani sudah langsung bisa masuk, bulan depan boleh mengikuti tes kenaikan kelas. Kalau lolos, boleh langsung masuk ke kelas dua.”

“Anakku luar biasa,” kata pak Candra bangga.

“Bayarnya bagaimana?” lanjutnya.

“Sudah saya bayarkan, dan disuruh membeli pakaian seragam dan segala perlengkapannya. Saya sudah langsung membelikannya.”

“Rian, kamu anak baik. Apa uangnya kurang? Bapak transfer sekarang.”

“Tidak Pak, sebagian memakai uang saku Rian.”

“Hitung saja, besok bapak ganti, berikut bunganya.”

“Lhoh, Bapak kok ngajarin riba?”

Pak Candra tertawa. Baiklah, bukan bunga, bapak lebihin untuk uang jajan kamu.”

“Terima kasih Pak.”

***

Karina sampai di rumah, ketika Nurani belum selesai memasak. Ia bergegas ke belakang karena mencium bau masakan.

“Nurani, aku mau makan,” teriaknya.

“Sebentar Karina, belum selesai nih.”

“Apa? Belum selesai? Ini jam berapa Nur? Kamu tidur ya sesiang ini?”

“Aku baru kembali, dan tidak mengira kamu sudah pulang sesiang ini.”

“Apapun alasannya, seharusnya masakan sudah matang di jam segini ini. Ini kan  waktunya orang makan siang?” kata Karina menggebrak meja, sehingga terdengar suara keras, dan ada dua piring terpelanting kebawah, lalu pecah berantakan.

“Ya ampun Karin, mengapa kamu kasar sekali?” teriak Nurani yang marah melihat kelakuan Karina.

“Eeh, kamu berani memaki aku?” kata Karina sambil mendekati Nurani lalu menjambak rambutnya,

“Aaaugh, Karina !!” teriak Nurani.

Tapi tiba-tiba sebuah tangan menampar pipi Karina.

***

Besok lagi ya,

42 comments:

  1. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat jeng Erminmalam.ini juara 1
      Terima kasih bu Tien salam SEROJA
      Sehat selalu dan selalu sehat, nggih

      Delete
  2. Alkhamdulillah, matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  3. Sugeng dalu... Matur Nuwun mb Tien....
    Mugi tansah pinaringan sehat wal afiat
    Salam sayang dr Surabaya😘😍

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 03 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.

    ReplyDelete
  6. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  8. Ayo Nurani, kenapa mesti takut sama karina..
    sikaatt saja..🤣🤣

    Matur nuwun bunda Tien...🙏

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah sdh tayang kbe 3, gemes gemes gimana gitu dg ceritanya .... salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  10. Ya Allah Karina kamu mw nemu apa yah nantinya

    Kok galak amat bukankah kau disitu ngikut bpknya Nurani

    Wow penasaran nih dgn setia kita tunggu lanjutannya bsk yah

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku bunda

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya tuh.. Karina sdh ketularan ibunya.. jahat sm Nurani...

      Ketika di dapur.. saat Karina menjambak rambut Nurani.. tiba" ada yg menarik tangan Karina bahkan marah sm Karina..
      Siapa ya?? Penasaran yaa tunggu nanti mlm...

      Delete
  11. ⚘🌿🌹Alhamdulillah KBE 03 sdh hadir. Matur nuwun Bunda Tien...Sehat2 slalu yaa...Salam aduhai...😍🦋🌷

    ReplyDelete
  12. Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  13. Untunglah ada Rian yang baik hati. Mungkin Lakonnya Nurani dan Rian. Selamat belajar Nur cantik, besok belajar sampai jadi sarjana ya, mengganti kedudukan ayahmu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun, ibu Tien...sehat selalu.🙏😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mestinya Nurani tidak usah masuk sekolah dulu ya...kan bisa langsung ikut ujian persamaan SMA, bisa dapat ijazah, lalu kuliah.😀

      Delete
  15. Alhamdulillah seri 3 sdh heboh seru ... terima kasih mbak Tien salam sehat selalu, semoga akhir yg bahagia dari Nurani dan kita semua. Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah KBE 03 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah sudah Nurani....

    Mengingatkan ku pada non cantik Sekar....

    Matur nuwun Bu Tien Kumala...

    Moga sehat selalu nggih....

    Aamiin...

    ReplyDelete
  18. Bojlèng bojlèng bolduseré pêthèntang pêthèntèng, ngêruk rambut malah sambat; mêrgå disampluk sléboré mèncèng, iki polahé Rian mesthi jian kåyå éntuk purbå waséså pak Chandra ngawasi polahe wong omah sing mawut ora gênah, mbokné lagi kumpulan madang madang, ngirim perwakilan ngungak dapur, lha yå mesthi durung rampung.
    Ini ramé, wuah jangan jangan kedua anak ini laen bapak, atau Amirah pemburu duda ya.
    Nggak ada dirumah tuh; nyatanya tuh Karina beda sama Rian, la yå bédå laki laki sama perempuan.
    Iya ya, terus kenapa Rian begitu membela Nurani, kan memang dia kan nggak mau ada diskriminasi, berarti kåyå grup wwf ya, hus ini urusan orang orangan bukan masalah habitat! ih sok tahu lho.
    Iya ya dihutankan siapa menang itu jadi raja ya.
    Nah lho tahu; ini ada untungnya ya, untung Rian dirumah gitu.
    Kalau Rian nggak dirumah gimana coba.
    Ya gosong masakannya. Karina bingung mau apa; minta tolong sama emak? Kan meeting madang madang sama temen temennya.
    Terus Amirah mau bilang sama bapak? Kan biasa ngarang, halah malah sasar susur nggak nyambung, kan nggak ada di tkp,
    kan ngarang, penggiringan opini publik, wuah cuma masalah rumah aja dipolitisir, mau cari muka?
    Rumit, kaya status - keluarga di fb ya.
    Banyak tuh yang pakai; la mung ungkur-ungkuran waé ngakuné rumit.
    Penggelembungan kasus, bèn sidangé panjang bolak balik, kan ada uang hadir. Terus dapat sapaan para hadirin sekalian, ya kalau gitu namanya diganti; uang sapaan, beda lagi itu buat pembicara.
    Nggladrah, sudah bener seiket sebundel malah di larah larah.
    Hé hé hé hé Karina ada sesuatu sama Andre, maunya.
    Andre ya milih yang sudah teruji ya.
    Diem diem cemburu sama Rian dia, nguping ya, kan tau dalam negeri nya pak boos.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  19. Rian ya yg nampar Karina?
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu.

    ReplyDelete

  20. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~03 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  21. Alhamdulilah..
    Tks bunda Tien Nurani sdh hadir..
    Semoga bunda sehat dan bahagia selalu
    Aamiin...

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat

    Kira2 siapa ya Rian atau pak Chandra yg memukul,,, aduhaiii

    ReplyDelete
  23. terima ksih bunda Tien..slm sht sll dan tetapaduhai karya2 bunda🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat selalu

    ReplyDelete
  25. Salam aduhai.
    Terima kasih mbak Tien, di KBE 3. Baru ep 3 tapi sudah bikin semangat dan kepo mau tau lanjutannya.
    Semoga sehat dan bahagia selalu.

    ReplyDelete

KAU PASTI DATANG

KAU PASTI DATANG (Tien Kumalasari) Lewat hujan yang mengucur deras kutitipkan pesan seperti yang kau harapkan akan hadir di kehidupanku akan...