KANTUNG BERWARNA EMAS
03
(Tien Kumalasari)
Nurani masih terdiam, menundukkan kepala. Tapi begitu
ia mengangkat kepalanya, tatapan mata bengis itu langsung menghunjam ke arah
jantungnya.
“Nurani, bapak sedang bicara sama kamu.”
Nurani gelagapan. Ia ingin bersorak, kalau itu benar
terjadi. Tapi mata garang itu membuatnya mengurungkan bibirnya yang nyaris
terbuka.
Pak Candra tiba-tiba menoleh ke arah istrinya. Maksudnya
akan meminta istrinya agar ikut membujuk Nurani. Tapi ia heran sang istri
menatap tajam kepada Nurani.
“Bu, mengapa kamu menatapnya seperti itu?”
Bu Candra terkejut, tak mengira suaminya melihat sorot
matanya yang pastinya tidak enak untuk dinikmati. Tapi bukan bu Candra kalau
tak memiliki jawaban untuk menghindar.
“Aduh, itu lho Pak, gemes banget melihat Nurani tidak
segera menjawab. Apa yang Bapak katakan itu kan sebuah niat baik, yang pastinya
juga untuk kebaikan dia.”
Pak Candra menatap ke arah Nurani kembali.
“Nur, ibumu juga kesal karena melihat kamu ragu-ragu.
Ini kan sebuah niat baik untuk kamu? Agar kelak, kalau Bapak sudah meninggal,
bapak punya sesuatu yang bisa bapak wariskan untuk kamu, yaitu ilmu yang
bermanfaat. Kamu mampu melakukannya. Raih ilmu itu, demi masa depan kamu.”
Nurani menatap ayahnya, menikmati mata lembut dan senyuman
penuh kasih sayang yang memancar dari wajah ayahnya. Rasanya tak tega mematahkan
angan-angan dan cita-cita ayahnya, demi dirinya.
“Bagaimana Nak?”
Tiba-tiba sebuah kekuatan menelusuri setiap aliran
darahnya, setiap detak nadinya, menyalakan sebuah keberanian yang tak pernah
dimiliki sebelumnya. Persetan dengan tatapan serigala yang terus menyala, semua
ini demi ayahnya. Hanya demi ayahnya. Lalu kepala Nurani mengangguk pelan. Tapi
itu cukup membuat senyuman pak Candra merekah. Ia meraih tubuh anak gadisnya,
membuat Nurani bersimpuh didepannya, lalu dipeluknya erat. Mata serigala itu
menyemburkan api, tapi tetesan embun kedamaian memadamkannya.
“Rian!” teriak pak Candra memanggil Rian.
Terdengar langkah cepat mendekat, lalu tiba-tiba Rian
muncul diantara mereka.
Ia melihat Nurani bersimpuh dihadapan ayahnya, yang
kemudian dibangunkan olehnya.
Nurani kembali duduk di tempatnya semula, tapi tak berani
menatap kearah ibunya, atau memang tak ingin menatapnya, karena percikan api
dari mata itu bisa saja melukai kulit mulusnya.
“Ya Pak?” tanya Rian.
“Besok, kamu urus sekolah untuk adikmu ini. Dia mau
melanjutkan sekolahnya. Tak apa walau terlambat bukan?”
“Tentu saja tidak. Baiklah, Rian akan mengurusnya.”
“Sebelum bapak berangkat kerja, ingatkan agar
meninggalkan uang untuk urusan itu. Semuanya bapak serahkan sama kamu,” tandas
pak Candra.
“Siap Pak. Senang mendengarnya,” kata Rian sambil
mengelus kepala Nurani, yang menatapnya dengan senyuman lembut.
Nurani berdiri, dan melangkah ke belakang, diikuti
Rian.
“Aku senang Nurani mau sekolah. Tapi apa sudah Bapak
pikirkan untung ruginya?” tiba-tiba bu Candra nyeletuk.
“Apa maksudmu dengan ucapan untung rugi itu?” tanya
pak Candra sambil mengerutkan keningnya.
“Aku tuh kok melihat, dia itu tak begitu tertarik
untuk sekolah. Bagaimana kalau nantinya hanya akan mengecewakan saja?”
“Tidak akan. Dia mau kok.”
“Kalau maunya karena merasa bapak yang memaksanya?”
“Nurani tidak bodoh, dia akan bisa melakukannya. Coba
saja tanya sama Rian, dia sudah membuktikan bahwa sebenarnya Nurani pintar.”
Bu Candra diam. Rasa kesalnya kemudian tertuju kepada
anak laki-lakinya. Memang dia selalu melihat bahwa Rian selalu bersikap baik
pada Nurani, tapi bukan masalah selagi Nurani masih patuh pada dirinya. Tapi
kemudian membujuk ayahnya agar meminta Nurani melanjutkan sekolah, sungguh
membuatnya marah.
***
“Mengapa kamu membujuk ayah kamu agar mau
menyekolahkan Nurani?” kata bu Candra dengan wajah kesal.
“Mengapa Ibu sepertinya nggak rela? Nurani itu pintar,
agak mengherankan kalau dia tiba-tiba tak mau melanjutkan sekolahnya.”
“Dia pintar, menurut kamu, tapi dia itu malas.
Setidaknya malas untuk berpikir, itu sebabnya dia tak mau melanjutkan sekolah,
memilih mengerjakan pekerjaan rumah tangga.”
“Yang malas berpikir itu Karina, bukan Nurani.”
“Apa maksudmu Rian? Adik sendiri dijelek-jelekin?”
“Bukan dijelek-jelekin, memang dia malas kok. Kalau
tidak, pasti dia mau melanjutkan kuliah. Mengapa memilih bekerja dengan
pendidikan hanya sebatas SMA? Sementara bapak mampu menyekolahkannya.”
“Buktinya selepas SMP, Nurani tidak mau sekolah lagi
kan? Kenapa dipaksa juga? Kamu biang keladinya.”
“Kenapa Ibu marah hanya gara-gara Nurani mau
melanjutkan sekolah? Apa Ibu takut tak ada yang membantu ibu mengerjakan pekerjaan
rumah? Bukankah Ibu bisa mencari pembantu?”
“Kamu itu memang nyebelin ya Rian, menentang kemauan
ibu saja.”
“Apa Ibu benci sama Nurani?”
“Omong kosong apa itu,” kata bu Candra sambil
melangkah keluar dari kamar Rian, menuju ke kamar Karina. Hanya Karina yang
sepaham dengan dirinya, sedangkan Rian selalu menentangnya.
Tapi bu Candra kesal melihat Karina masih meringkuk di
ranjangnya, pulas sampai terdengar dengkurnya.
“Hei! Malas! Bangun !!” kata bu Candra sambil menarik
selimut anaknya.
Karina menggeliat, lalu membuka matanya.
“Eh, sudah pagi ya? Aku terlambat kerja? Bapak marah
pasti.”
“Mimpi kamu ya. Ini sudah menjelang malam, siapa
bilang pagi?”
“Oh, ya ampuun. Malam ? Ada apa sih Bu, membuat aku
panik saja, kirain terlambat masuk kerja, dan bapak sudah berangkat duluan,”
omelnya sambil bangun.
“Ibu tuh mau ngomong sama kamu. Kesel banget rasanya.”
“Masalah apa nih?”
“Bapakmu memaksa Nurani agar melanjutkan sekolah.”
“Dia pasti tidak mau kan? Sejak dulu kan dia tidak mau
sekolah? SMP sudah bagus bagi dia, yang penting bisa membaca dan menulis
sedikit-sedikit, ya kan?”
“Dia mau. Ayahmu memaksanya.”
“Oh ya? Sudah ketuaan kalau dia mau sekolah lagi.
Teman-temannya sudah pada punya anak, dia baru mau masuk SMA.”
“Kakakmu mendukungnya. Besok akan mulai di daftarkan.”
“Ini kan belum awal pelajaran?”
“Nggak tahu tuh. Ibu kesal pokoknya.”
“Biarin saja. Paling juga akan berhenti di tengah
jalan. Mana betah dia berteman dengan anak-anak ABG?”
“Nggak tahu. Ibu sekarang memikirkan, bagaimana kalau
dia sekolah, ibu jadi tidak bisa kemana-mana dong.”
“Ibu harus tegas dong. Boleh masuk kuliah kalau semua
pekerjaan sudah selesai, begitu. Enak saja menyuruh ibu bekerja sendiri.”
“Iya, nanti ibu bilang sama dia.”
***
Nurani masih berkutat di dapur ketika Rian menghampirinya.
“Hei, ayo, kita harus berangkat pagi.”
“Kemana?” tanya Nurani tak mengerti.
“Ya ampun, daftar sekolah untuk kamu. Nih, bapak sudah
memberi uangnya.”
“Masa aku harus ikut sih Mas. Nggak usah.”
“Bagaimana sih? Calon muridnya itu kamu, jadi kamu
harus ikut.”
“Malu aku Mas.”
“Aku akan menceritakan semuanya. Biar mereka menge
test kamu. Apa kamu takut?”
“Bukan masalah takut. Tapi masalah malu.”
“Kamu anak pintar, mengapa malu? Biar calon guru kamu
terheran-heran melihat kecakapan kamu.”
“Tapi, aku belum selesai. Mau memasak dulu.”
“Tidak usah masak dulu. Masak nanti kalau sudah pulang,
aku bantuin. Ayo !” kata Rian sambil menarik tangan adiknya. Tapi sebelum masuk
ke kamarnya, Nurani berpapasan dengan ibunya yang sudah siap hendak bepergian.
“Kok ditinggal? Sudah selesai masaknya? Pasti belum
kan?”
“Iya Bu, ini mau ….”
“Nurani akan pergi ke sekolah. Rian akan
mengantarkannya.” Kata Rian.
“Sekarang? Ini belum tahun ajaran baru kan?”
“Baru mau bicara dulu sama pihak sekolah. Ayo Nur, aku
tunggu di depan. Ganti baju yang bagus dan rapi,” perintah Rian kemudiaan
kepada Nurani. Nurani segera masuk ke kamarnya.
Bu Candra mengetuh pintu kamar Nurani yang terkunci,
lalu berteriak dari luar.
“Kamu boleh pergi, atau sekolah sekalipun, tapi semua
pekerjaan rumah harus beres. Aku tak mau cari pembantu.”
Nurani mendengarnya, tapi tak sepatah katapun keluar
dari mulutnya. Ia melanjutkan berganti pakaian, karena Rian sudah menunggu.
***
“Selamat pagi Pak Candra,” sapa Andre ketika pak
Candra masuk ke dalam kamarnya.
“Pagi, Andre,” jawab pak Candra dengan wajah berseri.
“Bapak tampak senang pagi ini,” kata Andre.
“Iya, hari ini Rian mendaftarkan Nurani masuk sekolah.”
“Oh ya? Tapi ini belum tahun ajaran baru kan?”
“Baru mau bertanya-tanya tentang kemungkinannya,
mengingat Nurani sudah terlambat empat tahun sejak kelulusannya dari SMP.”
“Semoga semuanya berjalan lancar Pak.”
“Aamiin, semoga impianku untuk menjadikan dia anak yang
pintar, bisa berhasil.”
“Tampaknya dia pintar. Saya bisa menangkapnya saat
berbicara sama dia ketika pagi-pagi ke rumah Bapak waktu itu.”
“Oh ya?”
“Ya, cara dia berbicara tidak menunjukkan suatu
keterbelakangan, maksudnya untuk orang yang berpendidikan rendah. Dia santun
dan tegas dalam bicara. Saya kalah Pak.”
“Benarkah?” tanya pak Candra sambil tertawa.
“Itu benar.”
“Baiklah, sekarang kita akan membahas tentang stok
barang habis yang diajukan. Kamu sudah memeriksanya?”
“Baru diberikan ketika saya mau pulang Pak, hari ini
saya akan memeriksa laporannya, lalu segera mengecek keadaan fisiknya.”
“Bagus Andre. Segera putuskan tentang permintaan barang,
apa benar harus segera disiapkan. Aku janjian akan bertemu klient siang ini.
Saya harap kamu sudah selesai, karena kamu juga harus mendampingi aku.”
“Siap Pak, akan segera saya kerjakan.”
Tiba-tiba Karina masuk ke ruangan pak Candra, membuat
pak Candra terkejut.
“Karina, mengapa tidak mengetuk pintu terlebih dulu?
Kamu tahu aturannya kan? Etikanya bagaimana kalau mau masuk ke ruangan orang
lain?”
“Ini kan ruangan Bapak,” bantah Karina yang seenaknya
duduk di depan meja kerja ayahnya.
“Di kantor ini tidak ada hubungan keluarga yang bisa
membedakan setiap etika yang harus dipatuhi, termasuk kamu. Sekarang keluar
lagi, dan ketuk pintunya, baru boleh masuk ketika dipersilakan,” tegas kata pak
Candra.
“Tapi Pak.”
“Cepat lakukan.” Perintahnya tandas. Andre menahan
senyum mendengar percakapan ayah dan anak itu. Bagus sekali, pak Candra selalu
memegang aturan dengan keras, termasuk kepada anaknya sendiri.
Karina berdiri, lalu melangkah keluar, kemudian
mengetuk pintu agak keras.
“Masuk,” kata pak Candra.
Lalu Karina membuka pintunya, dengan wajah cemberut.
“Duduk.”
Karina duduk, masih dengan muka masam.
“Begitu seterusnya, camkan itu.”
Karina mengangguk. Agak ngeri melihat sinar mata
ayahnya yang tajam menusuk.
“Sekarang katakan, ada apa.”
“Saya mau pulang sekarang.”
“Apa? Ini belum tengah hari.”
“Perut saya sakit Pak.”
Pak Candra mengawasi wajah Karina yang seperti menahan
sakit. Kalau memang sakit, mau bagaimana lagi.
“Bolehkah mas Andre mengantarkan saya?”
“Apa? Andre itu banyak pekerjaan. Biar sopir
perusahaan mengantarkan kamu,” kata pak Candra sambil memencet interkom ke
ruangan sopir di depan.
Karina bertambah merengut.
“Tunggu dia di depan,” perintah pak Candra, membuat
Karina tak bisa membantah, kemudian melangkah ke luar ruangan.
Pak Candra baru saja membuka map yang harus ditanda
tanganinya, ketika ponselnya berdering. Dari Rian.
“Ya Rian,” sapa pak Candra.
“Apakah Rian mengganggu?”
“Tidak, kalau tidak terlalu lama, ada apa? Kamu jadi
mengantarkan Nurani kan?”
“Jadi Pak, ini sudah mau pulang. Nurani memang sangat
hebat. Entah menyalahi prosedur atau tidak, beberapa guru bertanya tentang
pelajaran SMA, dari kelas satu sampai kelas tiga, Nurani bisa menjawabnya.
Membuat para guru keheranan.”
“Oh ya?” sahut pak Candra gembira.
“Besok Nurani sudah langsung bisa masuk, bulan depan
boleh mengikuti tes kenaikan kelas. Kalau lolos, boleh langsung masuk ke kelas dua.”
“Anakku luar biasa,” kata pak Candra bangga.
“Bayarnya bagaimana?” lanjutnya.
“Sudah saya bayarkan, dan disuruh membeli pakaian
seragam dan segala perlengkapannya. Saya sudah langsung membelikannya.”
“Rian, kamu anak baik. Apa uangnya kurang? Bapak
transfer sekarang.”
“Tidak Pak, sebagian memakai uang saku Rian.”
“Hitung saja, besok bapak ganti, berikut bunganya.”
“Lhoh, Bapak kok ngajarin riba?”
Pak Candra tertawa. Baiklah, bukan bunga, bapak
lebihin untuk uang jajan kamu.”
“Terima kasih Pak.”
***
Karina sampai di rumah, ketika Nurani belum selesai
memasak. Ia bergegas ke belakang karena mencium bau masakan.
“Nurani, aku mau makan,” teriaknya.
“Sebentar Karina, belum selesai nih.”
“Apa? Belum selesai? Ini jam berapa Nur? Kamu tidur ya
sesiang ini?”
“Aku baru kembali, dan tidak mengira kamu sudah pulang
sesiang ini.”
“Apapun alasannya, seharusnya masakan sudah matang di
jam segini ini. Ini kan waktunya orang
makan siang?” kata Karina menggebrak meja, sehingga terdengar suara keras, dan
ada dua piring terpelanting kebawah, lalu pecah berantakan.
“Ya ampun Karin, mengapa kamu kasar sekali?” teriak
Nurani yang marah melihat kelakuan Karina.
“Eeh, kamu berani memaki aku?” kata Karina sambil
mendekati Nurani lalu menjambak rambutnya,
“Aaaugh, Karina !!” teriak Nurani.
Tapi tiba-tiba sebuah tangan menampar pipi Karina.
***
Besok lagi ya,
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien
ReplyDeleteSelamat jeng Erminmalam.ini juara 1
DeleteTerima kasih bu Tien salam SEROJA
Sehat selalu dan selalu sehat, nggih
Alhamdulillah KaBeE_03 sdh tayang
ReplyDeleteAlkhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteAsyiiik... apa kabar Nurani yaaa
ReplyDeleteKetinggalan
ReplyDeleteSugeng dalu... Matur Nuwun mb Tien....
ReplyDeleteMugi tansah pinaringan sehat wal afiat
Salam sayang dr Surabaya😘😍
Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 03 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Ayo Nurani, kenapa mesti takut sama karina..
ReplyDeletesikaatt saja..🤣🤣
Matur nuwun bunda Tien...🙏
Maturuwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah sdh tayang kbe 3, gemes gemes gimana gitu dg ceritanya .... salam sehat bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Ya Allah Karina kamu mw nemu apa yah nantinya
ReplyDeleteKok galak amat bukankah kau disitu ngikut bpknya Nurani
Wow penasaran nih dgn setia kita tunggu lanjutannya bsk yah
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku bunda
Iya tuh.. Karina sdh ketularan ibunya.. jahat sm Nurani...
DeleteKetika di dapur.. saat Karina menjambak rambut Nurani.. tiba" ada yg menarik tangan Karina bahkan marah sm Karina..
Siapa ya?? Penasaran yaa tunggu nanti mlm...
⚘🌿🌹Alhamdulillah KBE 03 sdh hadir. Matur nuwun Bunda Tien...Sehat2 slalu yaa...Salam aduhai...😍🦋🌷
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai selalu
Untunglah ada Rian yang baik hati. Mungkin Lakonnya Nurani dan Rian. Selamat belajar Nur cantik, besok belajar sampai jadi sarjana ya, mengganti kedudukan ayahmu.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Matur nuwun, ibu Tien...sehat selalu.🙏😀
ReplyDeleteMestinya Nurani tidak usah masuk sekolah dulu ya...kan bisa langsung ikut ujian persamaan SMA, bisa dapat ijazah, lalu kuliah.😀
DeleteAlhamdulillah seri 3 sdh heboh seru ... terima kasih mbak Tien salam sehat selalu, semoga akhir yg bahagia dari Nurani dan kita semua. Aamiin YRA 🤲
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteTrims Bu tien
ReplyDeleteMaturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 03 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah sudah Nurani....
ReplyDeleteMengingatkan ku pada non cantik Sekar....
Matur nuwun Bu Tien Kumala...
Moga sehat selalu nggih....
Aamiin...
Alhamdulillah Nurani sudah tayang**
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteBojlèng bojlèng bolduseré pêthèntang pêthèntèng, ngêruk rambut malah sambat; mêrgå disampluk sléboré mèncèng, iki polahé Rian mesthi jian kåyå éntuk purbå waséså pak Chandra ngawasi polahe wong omah sing mawut ora gênah, mbokné lagi kumpulan madang madang, ngirim perwakilan ngungak dapur, lha yå mesthi durung rampung.
ReplyDeleteIni ramé, wuah jangan jangan kedua anak ini laen bapak, atau Amirah pemburu duda ya.
Nggak ada dirumah tuh; nyatanya tuh Karina beda sama Rian, la yå bédå laki laki sama perempuan.
Iya ya, terus kenapa Rian begitu membela Nurani, kan memang dia kan nggak mau ada diskriminasi, berarti kåyå grup wwf ya, hus ini urusan orang orangan bukan masalah habitat! ih sok tahu lho.
Iya ya dihutankan siapa menang itu jadi raja ya.
Nah lho tahu; ini ada untungnya ya, untung Rian dirumah gitu.
Kalau Rian nggak dirumah gimana coba.
Ya gosong masakannya. Karina bingung mau apa; minta tolong sama emak? Kan meeting madang madang sama temen temennya.
Terus Amirah mau bilang sama bapak? Kan biasa ngarang, halah malah sasar susur nggak nyambung, kan nggak ada di tkp,
kan ngarang, penggiringan opini publik, wuah cuma masalah rumah aja dipolitisir, mau cari muka?
Rumit, kaya status - keluarga di fb ya.
Banyak tuh yang pakai; la mung ungkur-ungkuran waé ngakuné rumit.
Penggelembungan kasus, bèn sidangé panjang bolak balik, kan ada uang hadir. Terus dapat sapaan para hadirin sekalian, ya kalau gitu namanya diganti; uang sapaan, beda lagi itu buat pembicara.
Nggladrah, sudah bener seiket sebundel malah di larah larah.
Hé hé hé hé Karina ada sesuatu sama Andre, maunya.
Andre ya milih yang sudah teruji ya.
Diem diem cemburu sama Rian dia, nguping ya, kan tau dalam negeri nya pak boos.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Translite dong pa Nanang...🤭🤭
DeleteRian ya yg nampar Karina?
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~03 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien Nurani sdh hadir..
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu
Aamiin...
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat
Kira2 siapa ya Rian atau pak Chandra yg memukul,,, aduhaiii
terima ksih bunda Tien..slm sht sll dan tetapaduhai karya2 bunda🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat selalu
Salam aduhai.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, di KBE 3. Baru ep 3 tapi sudah bikin semangat dan kepo mau tau lanjutannya.
Semoga sehat dan bahagia selalu.
Salam aduhai.trima kasih
ReplyDelete