JANGAN PERGI 40
(Tien Kumalasari)
Listi menatap tajam laki-laki bekas suaminya yang
duduk di depannya. Listi melihat rona tegang di wajah Dian.
“Kamu bercanda?”
“Ini permintaan Dewi.”
“Kenapa? Mengasihani aku?”
“Maksudnya_”
“Aku tampak memelas? Pantas dikasihani?”
“Bukan begitu.”
“Iya. Ini begitu.”
“Listi, aku hanya_”
“Hanya usulan Dewi karena dia kasihan melihat aku?
Dengar Dian, aku bukan wanita lemah. Aku juga bukan benda yang terjatuh kemudian
bisa dipungut lagi. Aku adalah Listiani, wanita tegar yang bisa menerima apapun
dan karena apapun. Aku sudah melakukan sesuatu kesalahan, aku sadar itu, dan
aku sudah bertobat. Segala akibat atas kelakuan itu, akan aku terima dengan
segala keikhlasan yang ada. Lihat aku. Apa aku tampak memelas? Aku juga tidak
mau melakukan sesuatu yang kemudian hanya akan menyiksa aku. Menyiksa aku
karena suami aku tidak lagi mencintai aku. Aku akan akan diselimuti oleh belas
dan iba. Ya Tuhan, aku tidak mau!” nada suara Listi tampak meninggi.
Dian merasa serba salah. Sebenarnya dia hanya melakukannya atas permintaan Dewi. Dan bodohnya dia karena tidak melihat situasi hati Listi yang sudah tertutup untuk semua hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Bodohnya dia tidak mendengarkan kata Ratri tentang keinginan Listi yang sekarang. Sesungguhnya Dian hanya kasihan, mengingat Listi kemudian tidak bisa mengandung, walau itu karena ulahnya sendiri. Rasa kasihan, benar memang dia merasa kasihan, mengira Listi menderita karena tidak lagi bisa mengandung, dan dia mengira Listi pasti menyesal dan menderita. Tapi kata tegas yang meluncur dari mulut Listi membuatnya sadar, betapa kuatnya Listi. Betapa semua yang dijalani sebelumnya, lalu menimbulkan konsekuensi yang sekarang diterimanya, memang sudah diterimanya secara ikhlas.
“Apa kamu juga merasa kasihan terhadapku?” tajam kata
itu diiringi dengan mata berkilat.
“Maaf Listi. Sungguh aku minta maaf,” kata Dian pelan.
“Kalau begitu tinggalkanlah aku. Dan jangan pernah
berpikir bahwa aku perempuan yang harus dikasihani,” kata Listi tandas.
Listi menatap punggung laki-laki bercambang itu dengan
tatapan nanar. Ia juga tidak berdiri mengiringi kepergiannya.
“Apakah aku pantas dikasihani?” bisiknya pilu.
Listi mengusap air matanya, tanpa sadar ibunya
tiba-tiba sudah ada di depan pintu.
“Ada apa?”
Listi terkejut, ia berusaha tersenyum, dan berharap
tak ada lagi sisa air mata di wajahnya. Tapi tidak. Sang ibu sempat melihat
mata merah yang membuat wajahnya sembab.
“Kamu menangis?”
“Tidak. Ibu mengada-ada,” jawabnya masih tetap dengan
senyumnya.
“Dia itu bekas suami kamu kan?”
“Iya.”
“Mau apa dia kemari?”
“Itu, hanya bilang bahwa dia akan menikahi … eh …
menikah lagi.”
“Dan kamu menangisinya? Apa kamu masih mencintainya?
Bukankah kalian sudah bercerai? Mengapa dia harus mengabari kalau mau menikah lagi?”
sederet pertanyaan yang membuat Listi untuk sesaat kehilangan jawaban.
“Dia menyakiti kamu?”
“Tidak Bu, sungguh tidak ada yang harus dikhawatirkan.
Listi baik-baik saja.”
Tijah mengerti, ada masalah pribadi yang orang lain
tak boleh tahu, walaupun itu ibunya sendiri. Ia mengelus kepala Listi perlahan.
“Ibu tak ingin kamu bersedih.”
“Listi tidak sedang bersedih. Listi bahagia ada Ibu di
samping Listi.”
***
Dian duduk di teras depan di rumah Dewi, setelah
memberikan oleh-oleh mainan untuk Arina, kemudian anak itu asyik bermain di
temani pembantu mereka.
Dewi menatap wajah Dian yang tak seperti biasa.
“Mas Dian dari mana?”
“Dari rumah Listi.”
Dewi terkejut.
“Dari rumah Listi? Ya ampun, aku belum sempat
mengatakan pada Mas tentang Listi,” sesal Dewi yang sudah berbincang dengan
Ratri beberapa hari yang lalu.
“Mas bilang apa?”
“Seperti permintaan kamu.”
“Apa jawab dia?”
“Sesungguhnya aku tidak mau. Tapi mendengar cerita
Ratri bahwa dia tak lagi bisa mengandung, aku jadi kasihan. Aku mencoba bicara,
seperti yang kamu inginkan.”
“Diterima?”
“Dicaci maki.”
“Tuh kan. Harusnya Mas bicara dulu sama aku.”
“Setelah Ratri cerita, aku justru merasa kasihan sama dia. Lalu aku mencoba menuruti kemauan kamu, dan bicara dulu sebelumnya sama dia. Ternyata aku salah. Baiklah, memang sebenarnya itu bukan kemauan aku."
Sesaat keduanya terdiam
"Sekarang
kita bicara saja soal lamaran besok pagi, sekaligus acara pernikahan kita,
soalnya kita itu bukan pengantin muda, ya kan? Apa kamu ingin diadakan pesta
yang meriah?”
“Tidak, sama sekali tidak. Yang penting ijab dan
selesai. Simpel dan tidak usah pakai hura-hura.”
“Baiklah, besok kita bicara sekalian, resminya kan
keluarga aku harus datang dulu, dan bicara. Sekarang acara main bersama Arina,”
kata Dian sambil berdiri dan bergegas menemui Arina, yang bersorak begitu
melihat Dian mendekatinya.”
“Ayo om… main ama Ain..” teriaknya.
“Nggak boleh om sekarang, panggil bapak.”
“Apak?”
“Iya sayang, bapak, nggak boleh om.”
Dan Arina berkali kali berteriak … apaak … apaaak …
apaaak… Ibunya tersenyum bahagia.
***
“Dian, apa yang kamu lakukan? Kamu menemui mbak Listi
dan memintanya agar kamu bisa menikahinya?” kata Ratri ketika menelpon Dian
pagi itu, setelah Listi menceritakan tentang kedatangan Dian kemarin sore.
“Maaf Tri, aku yang salah.”
“Bukankah aku sudah pernah bilang bahwa mbak Listi
tidak ingin menikah lagi? Mengapa kamu nekat menemuinya?”
“Justru karena mendengar cerita kamu, aku merasa
kasihan kepadanya, dan menyetujui permintaan Dewi.”
“Kamu masih mencintai mbak Listi?”
“Tidak. Sebetulnya tidak.”
“Keterlaluan kalau kamu memperistrikannya bukan karena
cinta, tapi karena belas kasihan. Dia sudah bilang, sangat marah sama kamu.”
“Maaf Tri, tolong katakan padanya bahwa aku menyesal.
Aku pikir Dewi akan bisa membuatnya senang, dan anak Dewi akan bisa menjadi anaknya
juga.”
“Omong kosong apa itu.”
“Ya sudah, aku sudah berkali-kali minta maaf kan.”
“Bu Dewi sudah mengerti saat aku bicara sama dia. Aku
tidak tahu kamu langsung menemuinya.”
“Aku merasa salah langkah. Aku mohon lupakanlah.”
Ratri hanya terdiam.
“Aku sedang membicarakan rencana pernikahan aku hari
ini, itu sebabnya aku datang pagi-pagi. Aku berharap, kamu dan juga ibu ikut
menghadiri acara lamaran itu. Tapi nanti aku tidak akan mengadakan resepsi.
Hanya syukuran sederhana diantara kerabat dan teman dekat saja.”
“Tidak apa-apa. Yang penting nikah. Baiklah, nanti aku
akan pergi. Barangkali ibu juga mau datang.”
“Aku samperin?” tawar Dian
“Terserah. Nanti aku bicara sama mbak Listi,
barangkali dia mau datang juga. Tapi sebaiknya datang bersama-sama, karena kami
kan mewakili keluarga kamu.”
“Baiklah.”
Lalu Ratri menghampiri Listi yang ternyata duduk di
ruang tamu, dan mendengarkan saat Ratri bertelpon.
“Dian akan melamar bu Dewi siang ini. Mbak Listi masih
marah?” tanya Ratri, hati-hati.
“Siapa bilang aku marah? Aku hanya tidak terima
dikasihani.”
“Dian sudah minta maaf. Aku harap mbak Listi memaafkannya.”
“Sudah aku maafkan. Lupakan saja.”
“Nanti mau ya, ikut lamaran di rumah bu Dewi? Ibu
Cipto dan ibu Tijah juga diminta ikut sebagai keluarga Dian.”
“Jam berapa?”
“Aduh, aku kok nggak nanya jam berapanya ya, nanti aku
tanyakan lagi, yang penting mbak Listi mau datang.”
“Aku pasti ikut, supaya mereka tidak mengira aku
marah. Aku biasa-biasa saja kok. Aku hanya ingin, mereka mengerti.”
“Iya, mereka sudah mengerti.”
Tapi tiba-tiba ponsel Ratri berdering lagi.
“Dari mas Radit,” gumamnya sambil meraih ponselnya.
“Ya Mas.”
“Bisakah kamu datang ke rumah? Ibu mau bicara.”
“Tapi sekarang tidak bisa Mas. Dian akan melamar bu
Dewi siang ini, aku dan ibu diminta ikut sebagai keluarga dia.”
“Lamaran? Sekarang? Kalau begitu aku ikut. Jam berapa?”
kata Radit bersemangat.
“Baru mau aku tanyakan. Kalau begitu biar Dian
nyamperin mas Radit.
“Tidak, aku membawa mobil sendiri, lalu nyamperin kamu.
Kamu masih di rumah Listi?”
“Masih. Sebenarnya kami mau keluar kota, mbak Listi ngajakin
jalan-jalan, tapi karena ada acara, jadi kami urungkan, mungkin minggu depan
jalan-jalannya.”
“Baiklah, aku siap-siap, segera kabari aku jam nya ya.”
***
“Mau kemana?” tanya bu Listyo ketika melihat Radit
berdandan rapi.
“Mau mengantar Dian, melamar.”
“Kamu kan belum sehat benar, masih harus banyak
istirahat di rumah. Ratri aku minta datang kemari kan karena kamu belum sehat
juga.”
“Radit sudah sehat Bu, percayalah.”
“Kemarin kamu masih bilang pusing, bukan?”
“Sedikit Bu, sekarang sudah baik kok.”
“Kamu tuh ya, sudah dewasa, bukan anak kecil lagi kan,
tapi kalau dikasih tahu, bandel bener. Kalau kamu anak kecil, bisa ibu ikat
kaki kamu, aku masukkan ke dalam kamar, dikunci dari luar, beres. Lha sudah
segede itu, harusnya menurut mendengar petuah baik. Kamu tidak,” omel bu Listyo.
Radit tertawa, kemudian duduk di samping ibunya,
merangkul pinggangnya.
“Ibu lupa ya, Radit kan dokter, jadi Radit sudah tahu
apa yang harus Radit lakukan kalau merasa sakit. Ibu jangan khawatir.”
“Apa? Kamu saat di rumah sakit, ribut ingin pulang,
nyatanya keadaan kamu belum baik, dan dokter-dokter melarang kamu kan?”
“Iya, waktu itu masih sakit beneran, sekarang sudah
sembuh.”
Bu Listyo merengut.
“Baiklah, ibu nggak jadi ngomong sama Ratri kan? Ya
sudah.”
“Eeh, ibu kok gitu. Ini nanti Radit juga bersama
Ratri. Nanti sepulang dari sana, Radit bawa Ratri kemari.”
“Memangnya mau melamar ke mana, dan siapanya kamu yang
namanya Dian itu.”
“Dian itu sahabat Radit Bu. Radit ikut melamar, biar segera
ketularan.”
“Ketularan apa?”
“Ketularan melamar dong Bu, Radit juga sudah ngebet
nih Bu.”
Bu Listyo merengut, tapi dia bukannya marah. Ia hanya tak ingin Radit yang belum sembuh benar tidak pergi ke mana-mana.
“Jam berapa ke sana?
“Radit sedang menunggu kabar dari Ratri, jamnya belum
diberi tahu.
“Kalau begitu tilpon sopir kantor biar mengantarkan
kamu.”
“Kok gitu sih Bu, nanti Radit nggak bisa berduaan sama
Ratri dong.”
“Kalau tidak mau ya sudah, tidak usah pergi saja. Ibu
nggak akan beri ijin,” kata bu Listyo tandas.
“Ya sudah, Radit tilpon pak Mardi ya,” kata Radit
mengalah.
“Seperti anak kecil saja,” omel bu Listyo.
Radit hanya tertawa, sambil menunggu jawaban dari
sopirnya.
***
“Apa kamu mau melanjutkan hubungan kamu sama nak
Radit?” tanya bu Cipto ketika mereka sedang menunggu kedatangan Dian.
“Ratri belum tahu Bu. Bagaimana menurut Ibu?” jawab
Ratri.
“Yang menjalani kan kamu.”
“Kalau calon mertuanya bersikap baik, berarti
merestui, kenapa harus memutuskan hubungan? Aku lihat dia laki-laki baik,”
sambung bu Tijah.
“”Iya sih, dan hari ini harusnya saya diminta datang
ke sana. Mau apa ya kira-kira?”
“Datang saja ke sana. Kita lihat apa yang
dikatakannya. Tapi aku tidak mau bu Listyo menerima kamu karena terpaksa,”
sambung Listi yang duduk bersama di teras rumah.
“Benar. Bisa jadi dia terpaksa, karena nak Radit sakit
kemarin itu.”
“Jadi apa yang harus Ratri katakan nanti?”
“Kan belum jelas dia mau bicara apa,” kata Listi.
“Kalau bilang ingin bicara, berarti ya tentang
hubungannya dengan Ratri dan Radit,” kata bu Tijah lagi.
“Kamu kan bisa melihat nanti, sikap baiknya
dibuat-buat atau tulus. Kalau dibuat-buat, tolak saja. Laki-laki bukan hanya
anaknya bu Listyo.
“Listi, kamu tidak boleh begitu,” tegur bu Tijah.
“Listi kesal sama dia, sejak dia menyakiti Ratri ketika
membawa rendang itu,” kata Listi keceplosan.
“Membawa rendang apa?” tanya bu Cipto.
Ratri menginjak kaki kakaknya.
“Aduhh,” Listi berteriak kesakitan.
“Eh, maaf. Keinjek ya?” tanya Ratri sambil tertawa,
melihat Listi melotot kepadanya.
“Rendang apa sih?”
“Bukan Bu, bukan apa-apa. Ketika membawa rendang,
tanpa sengaja rendangnya tumpah, lalu bu Listyo marah sama Ratri.”
“Ya ampuun, tumpah? Pantesan nak Radit tidak tahu
menahu tentang rendang itu,” kata bu Cipto.
“Maaf ya Bu. Ratri tidak berani bilang sama Ibu, takut
Ibu memarahi Ratri.”
“Kamu itu. Kalau kamu bilang, pasti ibu ganti
rendangnya. Waktu itu di rumah masih banyak lho.”
“Tidak apa-apa Bu, lain kali Ibu masak rendang lagi,
biar diantar Ratri ke rumahnya. Tapi kalau Ratri benar diterima menjadi
menantunya lho,” kata Listi yang masih kesal kakinya diinjak oleh adiknya.
Tiba-tiba beberapa mobil berhenti. Rupanya Dian telah
datang bersama kerabat dekatnya, bahkan bersamaan dengan mobil Radit.
“Lho, mas Radit sudah sehat?” sapa Dian ketika melihat
Radit turun.
“Sehat, demi mas Dian,” kata Radit, lalu keduanya
melangkah ke arah rumah. Beberapa kerabat Dian menunggu di mobil.
Listi menatap nanar dua laki-laki ganteng yang berjalan berjajar, gagah dan menawan. Sekali lagi ada nyeri mengiris, melihat
orang-orang yang pernah mengisi hidupnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah Jangan Pergi 40 sdh tayang
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien......
Selamat Jeng Wiwik Jonegoro, juara 1 di episode ke 40.
DeleteRak ya pada seger kwarasan ta keluarga Ngasem.....
Alhamdulillah,.....
DeleteJP_40 sdh hadir.
Matur nuwun bu Tien-ku sayang.
Sugeng dalu sehat.. sehat..sehat.
Alhamdulillah kung sami seger waras
DeleteAlhamdulillah mb Wiwik juara 1
DeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah TKS jp40 sdh hadir
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatyr nuwun bu Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah... JP 40 sudah tayang...
ReplyDeleteMatunuwun Bu Tien ...
Salam sehat selalu ...
Matur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun 🙏🏽
ReplyDeleteSehat wal’afiat dan bahagia selalu bunda Tien 🤲🏽
Looo komenku ilang
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~40 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulilah Ratri sdh hadir..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
alhamdulillah...🙏
ReplyDelete🌻🦋🍃 Alhamdulillah JP 40 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 40 dah tayang semuanya akan bahagia
ReplyDeleteMakasih bunda...
Tampaknya sudah tidak ada aral melintang, baik untuk Dian - Dewi maupun Radit - Ratri. Sudah hampir tamatkah???
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Selamat mlm bunda..terima ksih jp 40 nya..slm sehat dan tetap aduhai sll..🙏😘🥰🌹❤️
ReplyDeleteMatursuwun ibu Tien,, semoga sehat selalu 🙏🙏😍
ReplyDeleteTerimakasih Bu tien
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nwn bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dari mBantul
Terima kasih bu tien, jp 40 sdh tayang ...salam sehat bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien Kumala...
Moga Bu Tien Kumala sehat selalu...
Aamiin.....
Asyik rupanya Listiani sudah punya prinsip yang memang dia ambil; demi keluarganya, berusaha menjaga inilah keluarga ku.
ReplyDeleteJadi satpam donk.
Apapun itu, Listiani sudah ambil sikap meniti jalan hidup nya dimasa datang, nggak tahu belum juga cari kesibukan; kerja maksudnya, iya tapi bukan kerja satpam, cuma merasa nyaman jadi dekat dan memiliki keluarga.
Bercerita, minta pendapat, tidak sepi lagi.
Kadang sentuhan hati menerima keikhlasan yang sudah terjadi menguatkan menjalani hidup, lebih tenang.
Kenangan ya ada, dihilangkan; mana bisa, menutup lembaran lama nah itu yang memungkinkan.
Ya responnya jangan sampai terucap, bilang sendiri, nanti bisa masuk rumah sakit jiwa lagi.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke empat puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai selalu
Terima kasih......
ReplyDeleteTerima kasiih... semangat u bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih bunda Hj tien
ReplyDeleteKasihan Listy. Biarkan Ratry dan juga Listy bahagia .
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu. Aduhai
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Senangnya ,,,,,kumpul semua ,
Bgm Listi ,,diterima lamaran Dian 🤣🤣🤭
slmt mlm bunda..mksih jp nya .slm sht sll🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteKebayang.. Klo jadi Listy
ReplyDeleteNyesek, nyesel pasti ada.
Itulah, siapa menanam dia menuai nya.
Kira-kira, masih dikasih jodoh lagi nggak ya sama Bu Tien.... hehehe
Salam aduhai dari Bandung, semoga Bu Tien senantiasa sehat.
Terima kasih untuk setiap episode cerita nya yang terkadang bikin emosi kita naik turun kayak rollercoaster.
lho y coment nya kq hilang sih..😅
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete