Friday, December 2, 2022

JANGAN PERGI 40

 

JANGAN PERGI  40

(Tien Kumalasari)

 

Listi menatap tajam laki-laki bekas suaminya yang duduk di depannya. Listi melihat rona tegang di wajah Dian.

“Kamu bercanda?”

“Ini permintaan Dewi.”

“Kenapa? Mengasihani aku?”

“Maksudnya_”

“Aku tampak memelas? Pantas dikasihani?”

“Bukan begitu.”

“Iya. Ini begitu.”

“Listi, aku hanya_”

“Hanya usulan Dewi karena dia kasihan melihat aku? Dengar Dian, aku bukan wanita lemah. Aku juga bukan benda yang terjatuh kemudian bisa dipungut lagi. Aku adalah Listiani, wanita tegar yang bisa menerima apapun dan karena apapun. Aku sudah melakukan sesuatu kesalahan, aku sadar itu, dan aku sudah bertobat. Segala akibat atas kelakuan itu, akan aku terima dengan segala keikhlasan yang ada. Lihat aku. Apa aku tampak memelas? Aku juga tidak mau melakukan sesuatu yang kemudian hanya akan menyiksa aku. Menyiksa aku karena suami aku tidak lagi mencintai aku. Aku akan akan diselimuti oleh belas dan iba. Ya Tuhan, aku tidak mau!” nada suara Listi tampak meninggi.

Dian merasa serba salah. Sebenarnya dia hanya melakukannya atas permintaan Dewi. Dan bodohnya dia karena tidak melihat situasi hati Listi yang sudah tertutup untuk semua hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Bodohnya dia tidak mendengarkan kata Ratri tentang keinginan Listi yang sekarang. Sesungguhnya Dian hanya kasihan, mengingat Listi kemudian tidak bisa mengandung, walau itu karena ulahnya sendiri. Rasa kasihan, benar memang dia merasa kasihan, mengira Listi menderita karena tidak lagi bisa mengandung, dan dia mengira Listi pasti menyesal dan menderita. Tapi kata tegas yang meluncur dari mulut Listi membuatnya sadar, betapa kuatnya Listi. Betapa semua yang dijalani sebelumnya, lalu menimbulkan konsekuensi yang sekarang diterimanya, memang sudah diterimanya secara ikhlas.

“Apa kamu juga merasa kasihan terhadapku?” tajam kata itu diiringi dengan mata berkilat.

“Maaf Listi. Sungguh aku minta maaf,” kata Dian pelan.

“Kalau begitu tinggalkanlah aku. Dan jangan pernah berpikir bahwa aku perempuan yang harus dikasihani,” kata Listi tandas.

Listi menatap punggung laki-laki bercambang itu dengan tatapan nanar. Ia juga tidak berdiri mengiringi kepergiannya.

“Apakah aku pantas dikasihani?” bisiknya pilu.

Listi mengusap air matanya, tanpa sadar ibunya tiba-tiba sudah ada di depan pintu.

“Ada apa?”

Listi terkejut, ia berusaha tersenyum, dan berharap tak ada lagi sisa air mata di wajahnya. Tapi tidak. Sang ibu sempat melihat mata merah yang membuat wajahnya sembab.

“Kamu menangis?”

“Tidak. Ibu mengada-ada,” jawabnya masih tetap dengan senyumnya.

“Dia itu bekas suami kamu kan?”

“Iya.”

“Mau apa dia kemari?”

“Itu, hanya bilang bahwa dia akan menikahi … eh … menikah lagi.”

“Dan kamu menangisinya? Apa kamu masih mencintainya? Bukankah kalian sudah bercerai? Mengapa dia harus mengabari kalau mau menikah lagi?” sederet pertanyaan yang membuat Listi untuk sesaat kehilangan jawaban.

“Dia menyakiti kamu?”

“Tidak Bu, sungguh tidak ada yang harus dikhawatirkan. Listi baik-baik saja.”

Tijah mengerti, ada masalah pribadi yang orang lain tak boleh tahu, walaupun itu ibunya sendiri. Ia mengelus kepala Listi perlahan.

“Ibu tak ingin kamu bersedih.”

“Listi tidak sedang bersedih. Listi bahagia ada Ibu di samping Listi.”

***

Dian duduk di teras depan di rumah Dewi, setelah memberikan oleh-oleh mainan untuk Arina, kemudian anak itu asyik bermain di temani pembantu mereka.

Dewi menatap wajah Dian yang tak seperti biasa.

“Mas Dian dari mana?”

“Dari rumah Listi.”

Dewi terkejut.

“Dari rumah Listi? Ya ampun, aku belum sempat mengatakan pada Mas tentang Listi,” sesal Dewi yang sudah berbincang dengan Ratri beberapa hari yang lalu.

“Mas bilang apa?”

“Seperti permintaan kamu.”

“Apa jawab dia?”

“Sesungguhnya aku tidak mau. Tapi mendengar cerita Ratri bahwa dia tak lagi bisa mengandung, aku jadi kasihan. Aku mencoba bicara, seperti yang kamu inginkan.”

“Diterima?”

“Dicaci maki.”

“Tuh kan. Harusnya Mas bicara dulu sama aku.”

“Setelah Ratri cerita, aku justru merasa kasihan sama dia. Lalu aku mencoba menuruti kemauan kamu, dan bicara dulu sebelumnya sama dia. Ternyata aku salah. Baiklah, memang sebenarnya itu bukan kemauan aku." 

Sesaat keduanya terdiam

"Sekarang kita bicara saja soal lamaran besok pagi, sekaligus acara pernikahan kita, soalnya kita itu bukan pengantin muda, ya kan? Apa kamu ingin diadakan pesta yang meriah?”

“Tidak, sama sekali tidak. Yang penting ijab dan selesai. Simpel dan tidak usah pakai hura-hura.”

“Baiklah, besok kita bicara sekalian, resminya kan keluarga aku harus datang dulu, dan bicara. Sekarang acara main bersama Arina,” kata Dian sambil berdiri dan bergegas menemui Arina, yang bersorak begitu melihat Dian mendekatinya.”

“Ayo om… main ama Ain..” teriaknya.

“Nggak boleh om sekarang, panggil bapak.”

“Apak?”

“Iya sayang, bapak, nggak boleh om.”

Dan Arina berkali kali berteriak … apaak … apaaak … apaaak… Ibunya tersenyum bahagia.

***

“Dian, apa yang kamu lakukan? Kamu menemui mbak Listi dan memintanya agar kamu bisa menikahinya?” kata Ratri ketika menelpon Dian pagi itu, setelah Listi menceritakan tentang kedatangan Dian kemarin sore.

“Maaf Tri, aku yang salah.”

“Bukankah aku sudah pernah bilang bahwa mbak Listi tidak ingin menikah lagi? Mengapa kamu nekat menemuinya?”

“Justru karena mendengar cerita kamu, aku merasa kasihan kepadanya, dan menyetujui permintaan Dewi.”

“Kamu masih mencintai mbak Listi?”

“Tidak. Sebetulnya tidak.”

“Keterlaluan kalau kamu memperistrikannya bukan karena cinta, tapi karena belas kasihan. Dia sudah bilang, sangat marah sama kamu.”

“Maaf Tri, tolong katakan padanya bahwa aku menyesal. Aku pikir Dewi akan bisa membuatnya senang, dan anak Dewi akan bisa menjadi anaknya juga.”

“Omong kosong apa itu.”

“Ya sudah, aku sudah berkali-kali minta maaf kan.”

“Bu Dewi sudah mengerti saat aku bicara sama dia. Aku tidak tahu kamu langsung menemuinya.”

“Aku merasa salah langkah. Aku mohon lupakanlah.”

Ratri hanya terdiam.

“Aku sedang membicarakan rencana pernikahan aku hari ini, itu sebabnya aku datang pagi-pagi. Aku berharap, kamu dan juga ibu ikut menghadiri acara lamaran itu. Tapi nanti aku tidak akan mengadakan resepsi. Hanya syukuran sederhana diantara kerabat dan teman dekat saja.”

“Tidak apa-apa. Yang penting nikah. Baiklah, nanti aku akan pergi. Barangkali ibu juga mau datang.”

“Aku samperin?” tawar Dian

“Terserah. Nanti aku bicara sama mbak Listi, barangkali dia mau datang juga. Tapi sebaiknya datang bersama-sama, karena kami kan mewakili keluarga kamu.”

“Baiklah.”

Lalu Ratri menghampiri Listi yang ternyata duduk di ruang tamu, dan mendengarkan saat Ratri bertelpon.

“Dian akan melamar bu Dewi siang ini. Mbak Listi masih marah?” tanya Ratri, hati-hati.

“Siapa bilang aku marah? Aku hanya tidak terima dikasihani.”

“Dian sudah minta maaf. Aku harap mbak Listi memaafkannya.”

“Sudah aku maafkan. Lupakan saja.”

“Nanti mau ya, ikut lamaran di rumah bu Dewi? Ibu Cipto dan ibu Tijah juga diminta ikut sebagai keluarga Dian.”

“Jam berapa?”

“Aduh, aku kok nggak nanya jam berapanya ya, nanti aku tanyakan lagi, yang penting mbak Listi mau datang.”

“Aku pasti ikut, supaya mereka tidak mengira aku marah. Aku biasa-biasa saja kok. Aku hanya ingin, mereka mengerti.”

“Iya, mereka sudah mengerti.”

Tapi tiba-tiba ponsel Ratri berdering lagi.

“Dari mas Radit,” gumamnya sambil meraih ponselnya.

“Ya Mas.”

“Bisakah kamu datang ke rumah? Ibu mau bicara.”

“Tapi sekarang tidak bisa Mas. Dian akan melamar bu Dewi siang ini, aku dan ibu diminta ikut sebagai keluarga dia.”

“Lamaran? Sekarang? Kalau begitu aku ikut. Jam berapa?” kata Radit bersemangat.

“Baru mau aku tanyakan. Kalau begitu biar Dian nyamperin mas Radit.

“Tidak, aku membawa mobil sendiri, lalu  nyamperin kamu. Kamu masih di rumah Listi?”

“Masih. Sebenarnya kami mau keluar kota, mbak Listi ngajakin jalan-jalan, tapi karena ada acara, jadi kami urungkan, mungkin minggu depan jalan-jalannya.”

“Baiklah, aku siap-siap, segera kabari aku jam nya ya.”

***

“Mau kemana?” tanya bu Listyo ketika melihat Radit berdandan rapi.

“Mau mengantar Dian, melamar.”

“Kamu kan belum sehat benar, masih harus banyak istirahat di rumah. Ratri aku minta datang kemari kan karena kamu belum sehat juga.”

“Radit sudah sehat Bu, percayalah.”

“Kemarin kamu masih bilang pusing, bukan?”

“Sedikit Bu, sekarang sudah baik kok.”

“Kamu tuh ya, sudah dewasa, bukan anak kecil lagi kan, tapi kalau dikasih tahu, bandel bener. Kalau kamu anak kecil, bisa ibu ikat kaki kamu, aku masukkan ke dalam kamar, dikunci dari luar, beres. Lha sudah segede itu, harusnya menurut mendengar petuah baik. Kamu tidak,” omel bu Listyo.

Radit tertawa, kemudian duduk di samping ibunya, merangkul pinggangnya.

“Ibu lupa ya, Radit kan dokter, jadi Radit sudah tahu apa yang harus Radit lakukan kalau merasa sakit. Ibu jangan khawatir.”

“Apa? Kamu saat di rumah sakit, ribut ingin pulang, nyatanya keadaan kamu belum baik, dan dokter-dokter melarang kamu kan?”

“Iya, waktu itu masih sakit beneran, sekarang sudah sembuh.”

Bu Listyo merengut.

“Baiklah, ibu nggak jadi ngomong sama Ratri kan? Ya sudah.”

“Eeh, ibu kok gitu. Ini nanti Radit juga bersama Ratri. Nanti sepulang dari sana, Radit bawa Ratri kemari.”

“Memangnya mau melamar ke mana, dan siapanya kamu yang namanya Dian itu.”

“Dian itu sahabat Radit Bu. Radit ikut melamar, biar segera ketularan.”

“Ketularan apa?”

“Ketularan melamar dong Bu, Radit juga sudah ngebet nih Bu.”

Bu Listyo merengut, tapi dia bukannya marah. Ia hanya tak ingin Radit yang belum sembuh benar tidak pergi ke mana-mana.

“Jam berapa ke sana?

“Radit sedang menunggu kabar dari Ratri, jamnya belum diberi tahu.

“Kalau begitu tilpon sopir kantor biar mengantarkan kamu.”

“Kok gitu sih Bu, nanti Radit nggak bisa berduaan sama Ratri dong.”

“Kalau tidak mau ya sudah, tidak usah pergi saja. Ibu nggak akan beri ijin,” kata bu Listyo tandas.

“Ya sudah, Radit tilpon pak Mardi ya,” kata Radit mengalah.

“Seperti anak kecil saja,” omel bu Listyo.

Radit hanya tertawa, sambil menunggu jawaban dari sopirnya.

***

“Apa kamu mau melanjutkan hubungan kamu sama nak Radit?” tanya bu Cipto ketika mereka sedang menunggu kedatangan Dian.

“Ratri belum tahu Bu. Bagaimana menurut Ibu?” jawab Ratri.

“Yang menjalani kan kamu.”

“Kalau calon mertuanya bersikap baik, berarti merestui, kenapa harus memutuskan hubungan? Aku lihat dia laki-laki baik,” sambung bu Tijah.

“”Iya sih, dan hari ini harusnya saya diminta datang ke sana. Mau apa ya kira-kira?”

“Datang saja ke sana. Kita lihat apa yang dikatakannya. Tapi aku tidak mau bu Listyo menerima kamu karena terpaksa,” sambung Listi yang duduk bersama di teras rumah.

“Benar. Bisa jadi dia terpaksa, karena nak Radit sakit kemarin itu.”

“Jadi apa yang harus Ratri katakan nanti?”

“Kan belum jelas dia mau bicara apa,” kata Listi.

“Kalau bilang ingin bicara, berarti ya tentang hubungannya dengan Ratri dan Radit,” kata bu Tijah lagi.

“Kamu kan bisa melihat nanti, sikap baiknya dibuat-buat atau tulus. Kalau dibuat-buat, tolak saja. Laki-laki bukan hanya anaknya bu Listyo.

“Listi, kamu tidak boleh begitu,” tegur bu Tijah.

“Listi kesal sama dia, sejak dia menyakiti Ratri ketika membawa rendang itu,” kata Listi keceplosan.

“Membawa rendang apa?” tanya bu Cipto.

Ratri menginjak kaki kakaknya.

“Aduhh,” Listi berteriak kesakitan.

“Eh, maaf. Keinjek ya?” tanya Ratri sambil tertawa, melihat Listi melotot kepadanya.

“Rendang apa sih?”

“Bukan Bu, bukan apa-apa. Ketika membawa rendang, tanpa sengaja rendangnya tumpah, lalu bu Listyo marah sama Ratri.”

“Ya ampuun, tumpah? Pantesan nak Radit tidak tahu menahu tentang rendang itu,” kata bu Cipto.

“Maaf ya Bu. Ratri tidak berani bilang sama Ibu, takut Ibu memarahi Ratri.”

“Kamu itu. Kalau kamu bilang, pasti ibu ganti rendangnya. Waktu itu di rumah masih banyak lho.”

“Tidak apa-apa Bu, lain kali Ibu masak rendang lagi, biar diantar Ratri ke rumahnya. Tapi kalau Ratri benar diterima menjadi menantunya lho,” kata Listi yang masih kesal kakinya diinjak oleh adiknya.

Tiba-tiba beberapa mobil berhenti. Rupanya Dian telah datang bersama kerabat dekatnya, bahkan bersamaan dengan mobil Radit.

“Lho, mas Radit sudah sehat?” sapa Dian ketika melihat Radit turun.

“Sehat, demi mas Dian,” kata Radit, lalu keduanya melangkah ke arah rumah. Beberapa kerabat Dian menunggu di mobil.

Listi menatap nanar dua laki-laki ganteng yang berjalan berjajar, gagah dan menawan. Sekali lagi ada nyeri mengiris, melihat orang-orang yang pernah mengisi hidupnya.

***

Besok lagi ya.

43 comments:

  1. Alhamdulillah Jangan Pergi 40 sdh tayang
    Matur nuwun bu Tien......

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat Jeng Wiwik Jonegoro, juara 1 di episode ke 40.
      Rak ya pada seger kwarasan ta keluarga Ngasem.....

      Delete
    2. Alhamdulillah,.....
      JP_40 sdh hadir.
      Matur nuwun bu Tien-ku sayang.
      Sugeng dalu sehat.. sehat..sehat.

      Delete
    3. Alhamdulillah kung sami seger waras

      Delete
  2. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah... JP 40 sudah tayang...
    Matunuwun Bu Tien ...
    Salam sehat selalu ...

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, matur nuwun 🙏🏽
    Sehat wal’afiat dan bahagia selalu bunda Tien 🤲🏽

    ReplyDelete

  6. Alhamdulillah JANGAN PERGI~40 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah Ratri sdh hadir..
    Tks bunda Tien..

    ReplyDelete
  8. 🌻🦋🍃 Alhamdulillah JP 40 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋⚘

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah JP 40 dah tayang semuanya akan bahagia
    Makasih bunda...

    ReplyDelete
  10. Tampaknya sudah tidak ada aral melintang, baik untuk Dian - Dewi maupun Radit - Ratri. Sudah hampir tamatkah???
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  11. Selamat mlm bunda..terima ksih jp 40 nya..slm sehat dan tetap aduhai sll..🙏😘🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  12. Matursuwun ibu Tien,, semoga sehat selalu 🙏🙏😍

    ReplyDelete
  13. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien.
    Salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  15. Terima kasih bu tien, jp 40 sdh tayang ...salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah....

    Matur nuwun Bu Tien Kumala...

    Moga Bu Tien Kumala sehat selalu...

    Aamiin.....

    ReplyDelete
  17. Asyik rupanya Listiani sudah punya prinsip yang memang dia ambil; demi keluarganya, berusaha menjaga inilah keluarga ku.
    Jadi satpam donk.
    Apapun itu, Listiani sudah ambil sikap meniti jalan hidup nya dimasa datang, nggak tahu belum juga cari kesibukan; kerja maksudnya, iya tapi bukan kerja satpam, cuma merasa nyaman jadi dekat dan memiliki keluarga.
    Bercerita, minta pendapat, tidak sepi lagi.
    Kadang sentuhan hati menerima keikhlasan yang sudah terjadi menguatkan menjalani hidup, lebih tenang.
    Kenangan ya ada, dihilangkan; mana bisa, menutup lembaran lama nah itu yang memungkinkan.
    Ya responnya jangan sampai terucap, bilang sendiri, nanti bisa masuk rumah sakit jiwa lagi.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan pergi yang ke empat puluh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  18. Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  19. Kasihan Listy. Biarkan Ratry dan juga Listy bahagia .
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat 🤗🥰

    Senangnya ,,,,,kumpul semua ,
    Bgm Listi ,,diterima lamaran Dian 🤣🤣🤭

    ReplyDelete
  21. slmt mlm bunda..mksih jp nya .slm sht sll🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete
  22. Kebayang.. Klo jadi Listy
    Nyesek, nyesel pasti ada.
    Itulah, siapa menanam dia menuai nya.
    Kira-kira, masih dikasih jodoh lagi nggak ya sama Bu Tien.... hehehe

    Salam aduhai dari Bandung, semoga Bu Tien senantiasa sehat.
    Terima kasih untuk setiap episode cerita nya yang terkadang bikin emosi kita naik turun kayak rollercoaster.

    ReplyDelete
  23. lho y coment nya kq hilang sih..😅

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 14

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  14 (Tien Kumalasari)   Mbok Truno heran melihat barang-barang yang dibeli Arumi. Ia membuka keresek yang dil...