Friday, October 31, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 11

 RUMAH kENANGA DI TENGAH BELANTARA  11

(Tien Kumalasari)

 

 

Sanusi dan Alvin terbelalak. Kesadarannya mulai pulih, walau tubuhnya sangat lemah. Melihat kera bongkok yang wajahnya sangat mengerikan, membuat bulu kuduk mereka merinding.

Mereka membuang muka, tak lagi memandangi kera itu. Tapi kera bongkok itu tak hendak pergi dari sana. Ia duduk di sebuah batu, memandangi keduanya dengan sebelah matanya, tanpa mengucapkan kata-kata.

Sanusi yang merasa tubuhnya lemas, beringsut mendekati Alvin, memberi isyarat untuk mengajaknya pergi.

Keduanya berdiri, tanpa mengacuhkan lagi si kera bongkok, sambil saling berpegangan tangan.

“Kenapa kita keluar dan sampai di sini lagi?”

“Aku juga heran, Ini sama saja kita tetap terjebak, tak bisa lolos dari tempat ini.”

“Ayo kita lari, pokoknya menjauh dari sini,” kata Sanusi yang kemudian lari sambil menarik tangan Alvin.

Tapi baru beberapa langkah mereka berlari, tiba-tiba di depan mereka tampak kera bongkok itu sudah berada di depannya, bergantungan pada sebuah dahan pohon yang berjuntai ke bawah.

Sanusi dan Alvin berhenti melangkah tiba-tiba.

“Ya Allah … Ya Allah … Ya Allah…”

“Berarti kita salah jalan.”

“Benar, perempuan itu mengatakan kita harus melewati jalan menanjak, tapi kita berjalan lurus, bukan?”

“Itu karena kita mendengar suara air. Ternyata kita bukan menjauh dari bukit Senyap, tapi mendekatinya. Aliran sungai itu menuju ke arah bukit Senyap, jadi inilah jalan terakhir yang kita temukan setelah keluar dari goa itu.”

Kera bongkok itu masih bergelantungan di dahan pohon. Alvin mengajak berjalan dengan berbelok arah.

Mereka menghadapi ranting-ranting yang terkadang berduri, tapi tak peduli. Yang penting harus pergi jauh dari tempat itu.

Tapi mereka terhenyak, kera itu tiba-tiba juga sudah ada lagi di depannya. Kali ini ia duduk di atas sebongkah batu besar. Keduanya tak berani menatap. Wajah kera bongkok itu memang sangat mengerikan. Ia tidak seperti kera pada umumnya. Matanya yang hanya satu, berwarna kemerahan seperti bara. Kalau dia meringis, giginya tampak hanya dua, Alvin dan Sanusi benar-benar tak ingin menatapnya. Ia juga tak berani berbuat apa-apa, karena kera itu teramat besar, sudah jelas seandainya harus melawan, pasti tubuhnyalah yang akan dikoyak-koyaknya.

Karena kehabisan akal, jalan ke manapun selalu dihadang, keduanya kemudian duduk di bawah sebuah pohon.

“Bagaimana ya, nasib ketiga kawan kita?” kata Alvin sedih.

“Aku menyesal meninggalkan mereka tadi.”

Mereka berbicara tanpa memandang kera bongkok yang terus menatap mereka dengan mata merah. Memikirkan ketiga temannya juga membuat mereka sedih. Kalau saja mereka tahu bahwa ketiga temannya justru selamat dan bertemu Kenanga si gadis dusun, pasti mereka tak akan segelisah itu. Tapi darimana mereka bisa tahu akan nasib ketiga temannya itu? Kalau saja mereka berjalan menuruti arahan si gadis, pasti mereka berlima bisa bertemu dan barangkali juga bisa segera pulang ke rumah masing-masing. Tapi nasib membuat mereka tertahan, di dua tempat yang berbeda.

***

 Gadis desa yang cantik itu telah kembali ke tepian sungai, dimana tiga orang yang baru saja ditolong sedang duduk menunggu di sana, seperti pesan Kenanga sebelum pergi. Mereka berharap Alvin dan Sanusi juga bisa keluar dari arus sungai yang tadi mereka lalui.

“Belum ada yang muncul?” tanya Kenanga sambil meletakkan kan tempat air dan makanan.

“Belum ada, kami juga sedang menunggu.”

“Kok lama ya? Jangan-jangan mereka keluar dari sungai yang berbeda.”

“Apa maksudnya sungai yang berbeda?”

“Ada aliran yang mengarah kemari, tapi kalau dia salah jalan, bisa sampai di bukit Senyap.”

“Celaka,” keluh mereka bersahutan.

“Semoga saja tidak, kalau mereka menuruti petunjukku.”

Matahari yang mengintip di sela dedaunan, sedikit menghangatkan tubuh mereka yang kedinginan karena memakai baju yang basah.

“Aku membawa minuman hangat, dan makanan, semoga bisa mengobati rasa lapar sampeyan semua.”

Walau masih memikirkan kedua temannya, mereka segera melahap makanan dan minuman hangat yang disediakan gadis itu. Sungguh beruntung mereka bertemu dengan Kenanga, yang semula dikira siluman.

“Sebenarnya kamu tinggal di mana?” tanya Hasto.

“Aku tinggal di sana, dekat kaki bukit.”

“Sendiri?”

“Tidak, bersama ayahku. Dia seorang dukun.”

“Dukun?” mereka membayangkan bahwa dukun adalah seorang paranormal yang bisa membantu seandainya Alvin dan Sanusi butuh pertolongan.

“Dia seorang ahli pengobatan. Tapi pengobatan tradisional. Itu sebabnya aku naik kemari. Aku sedang mencari daun-daun obat yang diperlukan oleh ayahku ketika mendengar suara dari dalam goa. Mereka dua orang, pasti teman kalian.”

“Itu goa yang aneh bukan?”

“Goa yang aneh, tapi dikenal memendam harta karun yang tak terhitung. Beberapa orang sejak puluhan tahun yang lalu berusaha mengambil harta karun itu, tapi berakhir tewas, karena terjebak oleh pintu-pintu yang rumit.”

“Ada harta karun ya? Kita tidak menemukan apa-apa kan?” tanya Rasto yang dijawab dengan anggukan oleh teman-temannya.

“Ada, sepertinya kedua teman kalian itu melihatnya. Semoga mereka tidak tergiur oleh harta itu.”

“Harta karun itu milik siapa?”

 “Puluhan tahun yang lalu, atau mungkin ratusan, seorang keluarga kerajaan yang entah kerajaan mana, melarikan diri bersama keluarganya dan banyak anak buahnya, ketika itu mereka menemukan bukit ini, lalu membangun tempat persembunyian yang rumit. Tak seorangpun bisa menemukan mereka, sampai kemudian mereka meninggal. Sebagian dari anak buahnya berhasil pergi dari goa itu dan menjadi penduduk desa sekitar. Tapi sebagian lagi tetap berada di goa itu sampai tewas. Berita tentang harta karun itu disebarkan oleh mereka yang kemudian tinggal bersama penduduk desa. Banyak yang tertarik untuk mengambil harta karun itu, tapi tak satupun dari mereka bisa keluar dari sana.”

“Kami menemukan tulang belulang manusia di sana, mungkin itu tulang-tulang orang yang meninggal karena memburu harta karun itu.”

“ Harta itu kabarnya sepeti penuh, berujud emas permata yang berkilauan, entahlah, aku hanya mendengar cerita mereka.”

“Bukan main. Kenapa kita tak melihat ada harta sepeti penuh ya?” kata Rasto

“Kalau melihat nanti kamu pasti ingin mengambilnya,” ejek teman-temannya.

“Harta itu di simpan di sebuah ruang, bersama dua peti mayat yang diduga adalah pemilik harta itu.”

“Bukit ini bersebelahan dengan bukit Senyap yang angker itu bukan?”

“Benar. Bukit senyap dihuni oleh siluman-siluman, semuanya perempuan.”

“Semuanya perempuan? Kami bertemu dua diantaranya, cantik-cantik.”

“Tiga, yang satu nenek bongkok itu.”

“Iya, benar. Tidak bertemu yang lain.”

“Kalau siang mereka menjadi kera. Kalau malam berujud manusia.”

“Kera?”

“Jadi kera yang kita lihat itu bukan kera beneran, tapi jelmaan siluman.”

“Sebenarnya mengapa kalian berlima datang ke tempat yang rumit ini?”

Lalu Hasto menceritakan asal muasalnya mereka berada di tempat itu. Semua gara-gara Alvin yang tiba-tiba menghilang.

“Siluman bukit Senyap selalu tertarik kepada perjaka ganteng. Mungkin teman kalian yang bernama Alvin itu wajahnya ganteng?”

“O, begitu ya? Tiba-tiba Alvin ingin keluar dari rombongan. Jalan-jalan sendiri dan kami kehilangan dia. Kami berempat berusaha mencarinya, dan beginilah.”

“Kabarnya para siluman tidak berani menjamah goa itu. Entah mengapa aku juga tidak tahu.”

“Bagaimana kalau Alvin dan Sanusi kembali muncul di bukit Senyap?”

Perasaan khawatir segera melingkupi hati mereka.

“Mereka tidak segera muncul,” gumam Kenanga juga dengan perasaan was-was.

Mereka sudah selesai makan, tapi rasa kenyang yang mereka rasakan, ternodai oleh rasa gelisah tentang kedua temannya yang sekarang entah berada di mana.

Kenanga dengan perasaan yang sama gelisahnya, kemudian mengangkut piring dan mangkuk bekas makan mereka, lalu membawanya turun.

“Tetaplah di sini menunggu mereka,” pesannya.

Ketiganya mengangguk dengan gelisah yang terus menggayutinya.

***

Sementara itu Alvin dan Sanusi masih duduk bersandar di bawah pohon besar. Mulutnya berkomat-kamit melantunkan doa. Ia tidak tahu bagaimana nanti nasib mereka, karena mereka merasa belum terlepas dari bahaya.

Ketika mereka melihat ke arah batu besar di depan mereka, kera bongkok itu masih duduk santai di depan mereka. Ia tiba-tiba melompat turun ketika seekor kera yang lain mendekatinya. Kera yang lebih tinggi besar, membuat Sanusi dan Alvin semakin merasa kecut.

Tiba-tiba angin kencang terdengar gemuruh. Agak aneh karena sejak menaiki bukit itu, Alvin tak pernah merasakan adanya angin bertiup.

Kedua kera itu menatap ke atas. Langit bersih tak berawan, lalu terdengar gemuruh yang lain. Kedua kera itu berjalan menjauh, lalu ada banyak kera berkumpul di sebuah area. Ada seorang laki-laki tua bersorban putih yang sedang menyebarkan buah-buahan. Ada jambu ada mangga ada pisang, yang tersebar dan menjadi rebutan kera-kera itu.

Alvin dan Sanusi berdiri dan merasa heran. Keduanya semakin heran ketika laki-laki tua itu menghampirinya, dan memberi isyarat agar keduanya mengikuti mereka.

***

Besok lagi ya.

 

19 comments:

  1. Alhamdulillah eRKaDeBe_11 sudah tayang....

    Matur nuwun Bu Tien, sugeng dalu.
    Tetap berkarya dan salam SEROJA.
    πŸ˜ŠπŸ€πŸ™πŸŒΉ

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 11 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  4. πŸ›–πŸŒ΄πŸ›–πŸŒ΄πŸ›–πŸŒ΄πŸ›–πŸŒ΄
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eRKaDeBe_11
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ¦‹πŸŒΉ
    πŸ›–πŸŒ΄πŸ›–πŸŒ΄πŸ›–πŸŒ΄πŸ›–πŸŒ΄

    ReplyDelete
  5. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 11" sampun tayang,
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  6. Alhamdulilah. Semoga Bu Tien beserta keluarga sehat selalu
    Mudahan" kakek tua SBG penolong Alvin.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~11 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah cerbungnya sdh hadir bunda..terima ksih dan slmt mlm..slm seroja dan aduhai sll unk bunda sekeluargaπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien,tetep sehat dan bahagia bersama Kel tercinta.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  12. Terima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....11...sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.

    Sekelompok Kera sedang makan buah, umpan dari Kakek tua bersorban putih.
    Semoga dengan bantuan Kakek tsb, Alvin dan Sanusi dapat keluar dari Bukit Senyap.

    ReplyDelete
  13. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  14. Waah...apakah kakek tua itu ayah Kenanga si gadis dusun ya?πŸ€”

    Terima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu ya...πŸ™πŸ»πŸ’–

    ReplyDelete
  15. Mks bun SPSDSPK 11 sdh tayang...selamat mlm ....jaga kesehatan ya bun, jg pak Tom sehat"ya bun

    ReplyDelete
  16. Terimakasih bunda Tien, sehat selalu bunda Tien sekeluarga...

    ReplyDelete
  17. Siapa lelaki itu?
    Siluman lagi kah?
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 11

  RUMAH kENANGA DI TENGAH BELANTARA  11 (Tien Kumalasari)     Sanusi dan Alvin terbelalak. Kesadarannya mulai pulih, walau tubuhnya sangat l...