RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 10
(Tien Kumalasari)
Bagaimana dengan Sanusi dan Alvin? Mereka masih mencari jalan seperti ditunjukkan perempuan yang entah siapa itu. Ancer-ancernya adalah naik terus dan temukan air mengalir dari atas..
“Pastinya guyuran air itu nanti akan menghambat kita yang akan keluar dari sini,” kata Sanusi.
“Dan kita belum menemukan tangga ke atas itu lagi, padahal aku tadi melewati tangga, tapi kemudian aku belok ke kiri. Barangkali seharusnya aku terus.”
“Kalau kamu tidak belok ke kiri, kita tidak akan bertemu.”
“Benar.”
“Sekarang kita sampai di sebuah ruangan lagi, buntu.”
Titik-titik air itu tak terdengar lagi.
“Barangkali pintu masuk dan keluar selalu ditandai dengan batu bulat seperti tadi. Tapi ruangan ini gelap, tak ada sinar masuk sama sekali.”
Keduanya berjalan meraba-raba. Tak bisa saling bertatap muka kecuali hanya bayangan yang tampak.
Tapi diujung ruangan, mereka mendengar suara gemuruh.
“Apa itu?” pekik Sanusi.
“Angin kencang?”
“Sepertinya bukan.”
“Aiiirr …” teriak mereka bersama-sama.
“Benar, itu suara air. Tapi ke mana kita harus mendekatinya?”
“Jalanan naik.. jalanan naik … mana jalanan itu?”
Tiba-tiba Sanusi menabrak sesuatu.
“Aku menemukannya!” teriaknya.
“Menemukan apa?” tanya Alvin yang kemudian berjalan mendekat.
"Batu ini aneh bukan? Bukan bulat, tapi agak memanjang. Tunggu, bisakah digerakkan?”
Alvin dan Sanusi menggerak-gerakkan batu itu tapi tak ada apa-apa yang menandakan ada pintu yang bergerak, apalagi terbuka.
“Sebentar,” kata Alvin yang kemudian mencoba menarik ke atas batu itu.
“Tuh, bisa diangkat ke atas … barangkali_”
Belum selesai Alvin bicara, batu besar di depannya bergerak, dan terbuka.
“Awas jangan menginjak batu di depan pintu, biasanya akan membuat pintu tertutup kembali."
Keduanya melompat ke ruangan lain dengan perasaan lega.
Gemuruh itu semakin jelas, memang benar, gemuruh air, tapi belum jelas dari mana arah datangnya.
Hawa di ruangan itu terasa dingin. Ketika meraba dinding, ada sesuatu yang lunak.
“Dinding ini berlumut.”
“Berarti ruangan ini lembab. Sepertinya kita sudah dekat dengan saluran air itu. Kita hampir menemukan jalan keluar,” kata Alvin penuh harap.
“Tunggu, air itu menetes-netes kemari. Barangkali pintu keluar ada di dekat sini, ada celah yang meneteskan air.”
Tapi mereka tak menemukan batu yang diperkirakan sebagai kunci pintu. Baik yang bentuknya bulat atau memanjang.
Tapi ketika mereka mengitari ruangan, ia melihat bentuk-bentuk memanjang dari atas mereka.
“Ini stalaktit, hati-hati…”
“Dan stalagmit … dari bawah sini.. awas kepalamu kalau terus berjalan.”
Jalanan itu dipenuhi oleh stalaktit dan stalagmit .. tapi makin ke sana, udara tampak lebih terang.
“Kita sampai di jalan keluar,” teriak Sanusi.
“Awas, hati-hati.”
Suara gemuruh semakin jelas terdengar. Sungguh beruntung, mereka melalui goa yang sedang menunjukkan jalan ke arah luar.
Rasa dingin menggigit tulang. Di depan mereka adalah air yang mengucur deras dari atas. Ada genangan mencapai lutut ketika mereka semakin mendekati guyuran air yang gemuruh tak berhenti.
Seandainya mereka ada di seberang sana, pasti pemandangan air yang gemuruh ini menjadi sangat menarik. Tapi mereka berada di balik guyuran air yang mengucur deras, memenuhi pintu goa yang terbuka lebar.
“Apa benar ini jalan yang ditunjukkan perempuan itu? Kita sepertinya tidak berjalan menanjak.”
“Mengapa ragu? Jalan manapun yang kita lalui, kita telah menemukan jalan untuk keluar. Lihat di sana, itu adalah udara luar.”
“Tak mudah keluar dari sini. Air itu mengucur sangat deras, dan sungai berada di bawahnya. Begitu kita melompat, kita akan diterjunkan ke dalam sungai yang entah seberapa dalamnya."
“Tapi ini satu-satunya jalan keluar. Apakah kita tidak berani mencobanya?”
“Mati atau hidup adalah nasib. Mati di sini, atau mati tenggelam, akhirnya akan sama. Namanya tetap saja mati. Tapi mati karena berjuang lebih terhormat daripada mati karena menyerah,” kata Sanusi bersemangat.
“Kita berwudhu dan shalat di sini. Apapun yang akan terjadi, kita berserah pada kehendak Yang Maha Kuasa.”
“Benar. Barangkali ini shalat kita yang terakhir, entahlah. Ayo kita mulai.”
Gemuruh air bersahutan dengan untaian doa yang terucap dari hati-hati yang pasrah, Bukannya menyerah, tapi pasrah, karena sesungguhnya mati dan hidup bukanlah milik manusia.
Dengan perasaan lebih tenang, mereka mendekati guyuran air yang tak berujung. Suara gemuruhnya bukan hanya memekakkan telinga, tapi juga mengguncang dada. Keduanya bergandengan tangan. Dengan tanpa berhenti menyebut nama Tuhannya dan menahan napas, akhirnya mereka berjalan menembus guyuran air yang siap melontarkan mereka entah kemana.
***
Sarman, Rasto dan Hasto tersadar berbarengan, dengan tubuh tergolek di rerumputan.
Sejenak mereka belum menyadari keadaan mereka. Mereka merasa berada di dunia lain, karena tak yakin akan keselamatan mereka.
“Kita di neraka? Ataukah sorga?
“Kita sudah mati?”
Ia mendengar aliran sungai, dan ternyata mereka berbaring di rerumputan yang terhampar di tepi sungai.
Hasto duduk, bajunya basah kuyup, tapi wajah dan lehernya kotor oleh sesuatu.
Mereka menyadari ketika masing-masing dari mereka saling memandangi wajah mereka.
“Kenapa wajahmu?”
“Wajahmu sendiri?”
“Mengapa pada belepotan begini?”
“Ini kita hidup bukan?”
“Mengapa wajah kita berwarna hijau dan kotor begini?”
“Bukan hanya wajah, tangan kita juga.”
“Aneh, kenapa ini? Ada yang membalur kita dengan apa ini.. seperti bau daun-daun, rasanya pahit,” teriak Hasto yang tak sengaja menjilat bibirnya.
“Mana gadis itu?”
“Kamu mencarinya? Kamu ingat tadi dia mengatakan namanya siapa?”
“Kenanga kan?”
”Itu siluman yang mengganggu Alvin.”
“Ya ampun, ketemu siluman lagi? Ayo kita basuh wajah kita dan pergi dari sini. Rupanya siluman itu yang mengotori wajah dan tangan kita dengan dedaunan yang entah apa namanya ini.”
“Aku bukan siluman.”
Ketiganya terkejut. Tiba-tiba perempuan yang mengaku bernama Kenanga itu muncul. Wajahnya tampak lelah. Tapi matahari yang mengintip di sela-sela dedaunan memantulkan wajah cantik yang kepucatan.
“Kamu?”
“Kamu bukan siluman?”
“Mana ada siluman gentayangan di pagi hari? Syukurlah kalian sudah siuman.”
“Kamu yang mengotori wajah kami?”
“Kalau aku tidak menolong kalian dengan ramuan itu, barangkali kalian sudah mati.”
“Apa? Ini ramuan apa?”
“Ramuan yang membuat kalian sadar dari pingsan. Kalian hampir kehabisan napas.”
Ketiganya saling pandang. Rasto diam-diam melirik ke arah kaki Kenanga. Kaki nan ramping itu berdiri di tanah dengan mantap, tidak melayang di atas tanah seperti orang mengatakan, bahwa siluman itu tidak menginjak tanah.
Gadis itu tertawa.
“Kalian masih curiga bahwa aku bukan manusia?”
Kenanga berjalan mengitari mereka, langkah kakinya menginjak daun-daun kering, menimbulkan suara gemerisik.
“Maaf.”
“Soalnya kami mengenal perempuan bernama Kenanga yang ternyata adalah_”
“Kalian dari bukit Senyap kan? Itu bukit siluman. Kalau malam menjadi perempuan-perempuan cantik, kalau siang menjadi kera.”
“Kera?”
Lalu mereka ingat tentang kera bongkok, ketika siang, dan malamnya ada perempuan pembantu Kenanga yang juga bongkok. Jadi kera bongkok itu juga nenek bongkok?
“Kalian boleh mencuci muka sekarang, dan mandilah. Tapi aku tidak punya baju laki-laki, sedangkan baju kalian basah semua.”
“Baiklah, terima kasih. Tapi sebenarnya kami sedang mencari dua teman kami yang_”
“Dua orang? Ya … dia juga mengatakan terpisah dengan tiga orang temannya.”
“Kamu ketemu dia? Berarti dia selamat?”
Gadis itu tampak menggelengkan kepalanya.
“Dia tidak selamat?” ketiganya berteriak berbarengan.
“Entahlah, sesungguhnya aku tidak tahu kalau kalian yang muncul. Aku sedang menunggu dia, tapi entah kenapa dia tidak muncul.”
“Di mana kamu melihat dia?”
“Aku tidak melihat dia, kami berbicara berbatas tembok batu. Aku sempat memberi dia makan dan minum, melalui celah-celah batu. Lalu aku tunjukkan jalan keluar, kalau dia tidak tersesat lagi, dia pasti muncul di situ seperti kalian, Entah kenapa dia tidak muncul.”
“Kasihan mereka. Kalau tersesat lagi, lalu bagaimana?”
“Banyak jebakan di sana, banyak jalan tertutup batu yang terkadang susah menuju dari satu ruang ke ruang yang lain. Tapi sebaiknya kalian cepat mandi dulu, bersihkan badan kalian, aku akan mengambil makanan dari rumah, tapi sebaiknya jangan pergi dari sini, agar kalau kedua temanmu muncul kalian bisa melihat lalu menolongnya.”
“Baiklah, terima kasih banyak.”
“Sekali lagi aku ingatkan, tunggu kedua teman kalian di sini, nanti akan aku ceritakan tentang bukit Senyap dan goa bersusun itu.” kata Kenanga sambil melangkah pergi.
Ketiganya kembali mengamatinya, terutama kakinya. Ada rasa belum yakin tentang gadis bernama Kenanga itu. Tapi mereka bernapas lega ketika Kenanga yang satu ini benar-benar menginjak tanah.
***
Sanusi dan Alvin menahan napas ketika tubuhnya seperti terjun ke sebuah kedalaman, kemudian timbul ke permukaan, lalu kembali tenggelam, dan itu terjadi beberapa kali. Pegangan tangan mereka sudah terlepas. Tapi sebuah kesadaran masih memenuhi pikiran mereka. Tiba-tiba mereka sudah terhanyut mengikuti aliran sungai, saling menggapai, tapi tak berhasil.
Ketika sebuah kayu terjulur, keduanya tanpa curiga memegangi kayu itu, yang kemudian menarik tubuh mereka ke tepi.
Sanusi dan Alvin terengah-engah, jatuh di tanah berlumpur di tepi sungai itu.
Mereka sadar, mereka masih hidup, tapi rasa lelah membuat mereka terus memejamkan mata. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, lalu ketika membuka matanya, ia melihat seekor kera bongkok duduk tak jauh dari mereka.
Jantung mereka serasa berhenti berdetak.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteeRKaDeBe_10 sudah tayang.
Terimakasih Bu Tien.
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI....
π€π€π
π️ππ️ππ️ππ️π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
Cerbung eRKaDeBe_10
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
π️ππ️ππ️ππ️π
Makasih mbak Tien
ReplyDeleteAlhamdullilah cerbungnya sdh tayang .terima ksih bundaπSlmat mlm dan slmt rehat..slm setoja unk bunda sekeluarga ππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteAssalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 10" sampun tayang,
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Alhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~10 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Hamdallah....sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Wadeduouhhhh
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Terima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....10...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Benarkah Alvin dan Sanusi tdk selamat. Di tepi sungai mereka melihat kera bongkok lagi. Berdiri bulu romaku, merinding kulit tubuhku...π₯ππ
Alhamdulillah yg di tunggu sdh tayang mksh Bu Tien smg sll diberikan kesehatan
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun Bu Tien cerbung telah tayang, sehat2 dan bahagia selalu agar cerbung tetap berlanjut,...πsemoga 5 pemuda segera bisa ketemu dan selamat..
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteTrimakasih. Telah terbit. Sehat slalu Bu Tien.
Semoga Alvin n Sanusi bisa bertemu dengan Hasto dan teman lainya. Apa kera siluman muncul lagi... Hati" Alvin berdoalah kepada Tuhan. Semoga kamu selanat
Terima kasih, ibu.
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...semangat berkarya dan sehat2 selalu ya...ππ»ππ»ππ»
ReplyDeleteAlhamdulillah,Maturnuwun
ReplyDelete